Share

2). Retno Ayu Sutedja

"Aku butuh benihmu, satu. Kumohon berikan padaku." Naya berbisik, tepat di samping telinga Deaz, bahkan memainkan jemari tangannya, mengusap lembut bibir lelaki yang tidak dikenalnya itu. 

Sementara Deaz, tengah berusaha keras untuk tidak terbuai, menjatuhkan tubuh Naya keatas ranjang kamar hotel yang baru saja dia pesan untuk satu malam.

Abinaya sedang mabuk. Meracau, tidak jelas. Gadis itu bahkan menawarkan tubuhnya dan bicara melantur. Deaz benar-benar tidak habis pikir dibuatnya.

Deaz mengerang, hendak bangun, tapi Naya malah menariknya hingga tubuh besar berotot itu ikut ambruk keatas kasur. Abinaya langsung menduduki perut Deaz, mengusap, membelai dengan senyum sensualnya yang menggoda.

"Kamu mabuk, Naya." Desis Deaz serak.

Deaz berusaha mendorong Naya menjauh, namun gagal. Bukan karena kekuatan Deaz yang lemah, tentu saja Deaz tidak terima jika dibandingkan dengan tenaga mabuk gadis itu. Namun, masalahnya gadis ini sudah gila. Deaz tahu Naya sedang mabuk, tapi ...

"Shit! Kamu gila!"

Naya tertawa cekikikan, lalu memukul pelan dada bidang lelaki yang sedang terbaring dibwahnya itu.

Deaz menggeram kesal dan segera menyingkirkan tubuh Naya menyingkir dari atas tubuhnya. Tidak peduli jika gadis itu terguling dan jatuh ke atas lantai kamar hotel itu. 

Dengan cepat, Deaz segera menarik kembali resleting celananya yang terbuka, menyembunyikan apa yang baru saja gadis itu remas.

Sialan!

Gadis ini benar-benar bar-bar.

Deaz pusing dibuatnya.

"Kenapa? Kamu tidak mau? Jika tidak, ya sudah. Aku bisa mencari lelaki lain yang mau memberikan benihnya padaku."

"A-apa?"

Melihat pergerakan gadis itu yang sudah melangkah bangkit menuju kearah pintu, Deaz segera melompat turun dari atas kasur dan kembali menjatuhkan tubuh Abinaya di ranjang kamar hotel.

Rahang Deaz mengeras melihat Naya yang malah cekikikan.

"Apa maksudmu dengan mencari laki-laki lain?" Tanya Deaz, geram.

Naya bersendawa pelan. Perutnya sedikit bergolak. Namun, wajah tampan lelaki yang tengah mengungkungnya itu membuat Naya lagi-lagi melupakan keinginannya untuk muntah.

"Kamu pikir, aku akan membiarkanmu disentuh laki-laki lain, huh?" Pegangan tangan Deaz semakin kuat, mencengkram pergelangan tangan Naya dengan tatapan tajamnya. 

Bayangan Naya bersama lelaki lain bahkan bercinta membuat kepala Deaz rasanya mendidih.

Satu tangan Naya kemudian terangkat, mengusap rahang tegang lelaki di atasnya itu.

"Aku masih virgin." Naya berbisik lirih, menawarkan dirinya sekali lagi.

Meski pusing, Naya masih cukup sadar, hingga mungkin jika malam ini benar-benar terjadi, keesokan paginya Naya akan malu setengah mati.

Menjajakan tubuhnya untuk lelaki asing? Luar biasa kau, Abinaya!

"Kamu virgin dan berniat memberikan keperawananmu secara cuma-cuma untuk lelaki lain?"

Deaz geram.

Cengkeraman pada kedua lengan Naya menguat, membuat gadis itu sempat meringis untuk beberapa saat.

"Jika itu maumu, baiklah. Aku akan memberikannya untukmu."

***

10 tahun yang lalu.

"Mama, hari ini Naya ulang tahun."

Retno Ayu Sutedja mengendarai mobilnya dengan tenang, fokus menatap jalanan di depan sana sambil menjawab telpon dari putri kecilnya yang hari ini memang sedang berulang tahun.

Malam itu, jalanan lumayan padat membuat Retno beberapa kali mengumpat pelan, namun masih bisa fokus mendengarkan suara kecil bocah di melalui ponsel selulerya yang ia letakkan di dalam dashboard mobil, dengan mode loudspeaker. 

"Mama, bisa pulang kan?"

"Aku sibuk," balas Retno Ayu cuek. Sejujurnya, dia malas mengangkat panggilan dari anak haram itu jika bukan karena paksaan dari Ayahnya-- Tomi Sutedja. Retno Ayu mengamati arloji di pergelangan tangan kirinya sekilas. 

"Mama, please. Tolong pulang. Naya pingin ngerayain ulang tahun kali ini bareng Mama."

"Naya, jangan manja. Lagipula, aku sudah meninggalkan hadiah untuk kamu."

"Tapi ...."

"Di sana juga sudah ada kakekmu. Nikmati pesta ulang tahun kamu dengan kakek saja. Jangan menggangguku."

Setelahnya, terdengar suara isakan tangis kecil Abinaya di seberang sana. Namun, Retno Ayu hanya mendengus. Tidak terenyuh sama sekali.

Dia benci pada anak kecil manja itu.

"Aku tutup telponnya."

"Mama, setidaknya tolong ucapkan selamat ulang tahun untuk Naya," sela gadis kecil itu, sebelum Retno Ayu benar-benar memutus sambungan telponnya.

Retno Ayu memutar kedua bola matanya malas, "Sudak kubilang ...."

"Apakah kamu tidak bisa meluangkan waktu meski hanya sebentar saja. Setidaknya, ucapkan selamat ulang tahun untuk putrimu." Kali ini, suara Tomi Sutedja yang terdengar.

Bisa Retno Ayu bayangkan, pasti saat ini gadis kecil bernama Abinaya itu sedang mengadu dan menangis tersedu-sedu di pelukan Tomi Sutedja.

Naya memang cucu kesayangannya pria tua itu.

"Dia bukan putriku."

"Retno Ayu!"

"Ayah, aku sedang menyetir. Nanti saja bicaranya."

"Pulang, sekarang! Ini perintah."

"Sialan!"

Ciiittttt.....

Brak!

"Retno Ayu! Apa yang terjadi?!"

"Retno! Kau tidak apa-apa?! Retno! Jawab Ayah?!"

Suara itu, samar-samar masih bisa Retno Ayu dengar dari ponselnya yang terlempar tak jauh dari tempatnya saat ini. Retno Ayu mengulurkan tangannya, berusaha meraih ponsel itu dengan napas tercekat. Tubuhnya terhimpit badan mobil yang terbalik sementara darah merembes keluar dari kepalanya.

Kejadian itu terjadi begitu cepat, secepat Retno Ayu menghembuskan napas terakhirnya saat mobilnya meledak dan menghanguskan dirinya, malam itu.

"Retno Ayu!"

Tomi Sutedja bangun terduduk dengan napas terengah-engah. Keringat mengalir keluar dari keningnya. Pria separuh baya itu menoleh ke arah jendela kamarnya yang gordennya masih terbuka.

Di luar hujan sangat deras bahkan kilat petir pun menyambar. 

Tomi meraup kasar wajahnya ketika mimpi kecelakaan yang menewaskan putri tunggalnya kembali hadir. Air mata keluar dari netra pria tua itu. Sungguh. Kematian tragis putri tunggalnya itu benar-benar membuat Tomi terpukul.

***

Erangan panjang terdengar dari dua anak manusia yang sedang bergumul di atas ranjang kamar hotel itu. Deaz menjatuhkan tubuhnya sekaligus menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Naya, mengerang puas sambil memejamkan kedua matanya. 

Keringat mereka menyatu. 

Keduanya baru saja melewati percintaan panas yang panjang. Merasakan surga dunia.

"Apakah aku sudah hamil?" Pertanyaan, berupa bisikan polos itu, terdengar di keheningan malam di saat napas keduanya masih saling bersahut-sahutan.

Deaz tentu saja langsung tertawa mendengarnya. Namun seringai di bibir lelaki berusia 30 tahun itu muncul tak lama setelahnya. 

"Kenapa kamu tertawa?" tanya, Abinaya heran. 

Deaz langsung mencubit sebelah pipi gembul Abinaya Sutedja. "Mana mungkin bisa langsung hamil hanya dengan satu kali percobaan, Abinaya."

"Maksud kamu?"

Deaz mendekatkan bibirnya tepat di telinga Naya dan menggigit pelan daun telinga gadis- ralat wanitanya itu.

"Kita perlu melakukannya berkali-kali." Deaz berbisik dengan suara seraknya yang basah. 

"Seberapa banyak itu?"

"Semalaman penuh."

Naya menelan ludah dengan susah payah membayangkannya. "Tapi, ituku masih sakit."

Deaz menaikkan sebelah alisnya, dengan seringai licik.

"Mau hamil atau tidak? Jika tidak, aku tidak akan memaksa ...."

"Tentu saja mau. Ayo cepat! Hamili aku!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status