"Aku butuh benihmu, satu. Kumohon berikan padaku." Naya berbisik, tepat di samping telinga Deaz, bahkan memainkan jemari tangannya, mengusap lembut bibir lelaki yang tidak dikenalnya itu.
Sementara Deaz, tengah berusaha keras untuk tidak terbuai, menjatuhkan tubuh Naya keatas ranjang kamar hotel yang baru saja dia pesan untuk satu malam.
Abinaya sedang mabuk. Meracau, tidak jelas. Gadis itu bahkan menawarkan tubuhnya dan bicara melantur. Deaz benar-benar tidak habis pikir dibuatnya.
Deaz mengerang, hendak bangun, tapi Naya malah menariknya hingga tubuh besar berotot itu ikut ambruk keatas kasur. Abinaya langsung menduduki perut Deaz, mengusap, membelai dengan senyum sensualnya yang menggoda.
"Kamu mabuk, Naya." Desis Deaz serak.
Deaz berusaha mendorong Naya menjauh, namun gagal. Bukan karena kekuatan Deaz yang lemah, tentu saja Deaz tidak terima jika dibandingkan dengan tenaga mabuk gadis itu. Namun, masalahnya gadis ini sudah gila. Deaz tahu Naya sedang mabuk, tapi ...
"Shit! Kamu gila!"
Naya tertawa cekikikan, lalu memukul pelan dada bidang lelaki yang sedang terbaring dibwahnya itu.
Deaz menggeram kesal dan segera menyingkirkan tubuh Naya menyingkir dari atas tubuhnya. Tidak peduli jika gadis itu terguling dan jatuh ke atas lantai kamar hotel itu.
Dengan cepat, Deaz segera menarik kembali resleting celananya yang terbuka, menyembunyikan apa yang baru saja gadis itu remas.
Sialan!
Gadis ini benar-benar bar-bar.
Deaz pusing dibuatnya.
"Kenapa? Kamu tidak mau? Jika tidak, ya sudah. Aku bisa mencari lelaki lain yang mau memberikan benihnya padaku."
"A-apa?"
Melihat pergerakan gadis itu yang sudah melangkah bangkit menuju kearah pintu, Deaz segera melompat turun dari atas kasur dan kembali menjatuhkan tubuh Abinaya di ranjang kamar hotel.
Rahang Deaz mengeras melihat Naya yang malah cekikikan.
"Apa maksudmu dengan mencari laki-laki lain?" Tanya Deaz, geram.
Naya bersendawa pelan. Perutnya sedikit bergolak. Namun, wajah tampan lelaki yang tengah mengungkungnya itu membuat Naya lagi-lagi melupakan keinginannya untuk muntah.
"Kamu pikir, aku akan membiarkanmu disentuh laki-laki lain, huh?" Pegangan tangan Deaz semakin kuat, mencengkram pergelangan tangan Naya dengan tatapan tajamnya.
Bayangan Naya bersama lelaki lain bahkan bercinta membuat kepala Deaz rasanya mendidih.
Satu tangan Naya kemudian terangkat, mengusap rahang tegang lelaki di atasnya itu.
"Aku masih virgin." Naya berbisik lirih, menawarkan dirinya sekali lagi.
Meski pusing, Naya masih cukup sadar, hingga mungkin jika malam ini benar-benar terjadi, keesokan paginya Naya akan malu setengah mati.
Menjajakan tubuhnya untuk lelaki asing? Luar biasa kau, Abinaya!
"Kamu virgin dan berniat memberikan keperawananmu secara cuma-cuma untuk lelaki lain?"
Deaz geram.
Cengkeraman pada kedua lengan Naya menguat, membuat gadis itu sempat meringis untuk beberapa saat."Jika itu maumu, baiklah. Aku akan memberikannya untukmu."
***
10 tahun yang lalu.
"Mama, hari ini Naya ulang tahun."
Retno Ayu Sutedja mengendarai mobilnya dengan tenang, fokus menatap jalanan di depan sana sambil menjawab telpon dari putri kecilnya yang hari ini memang sedang berulang tahun.
Malam itu, jalanan lumayan padat membuat Retno beberapa kali mengumpat pelan, namun masih bisa fokus mendengarkan suara kecil bocah di melalui ponsel selulerya yang ia letakkan di dalam dashboard mobil, dengan mode loudspeaker.
"Mama, bisa pulang kan?"
"Aku sibuk," balas Retno Ayu cuek. Sejujurnya, dia malas mengangkat panggilan dari anak haram itu jika bukan karena paksaan dari Ayahnya-- Tomi Sutedja. Retno Ayu mengamati arloji di pergelangan tangan kirinya sekilas.
"Mama, please. Tolong pulang. Naya pingin ngerayain ulang tahun kali ini bareng Mama."
"Naya, jangan manja. Lagipula, aku sudah meninggalkan hadiah untuk kamu."
"Tapi ...."
"Di sana juga sudah ada kakekmu. Nikmati pesta ulang tahun kamu dengan kakek saja. Jangan menggangguku."
Setelahnya, terdengar suara isakan tangis kecil Abinaya di seberang sana. Namun, Retno Ayu hanya mendengus. Tidak terenyuh sama sekali.
Dia benci pada anak kecil manja itu.
"Aku tutup telponnya."
"Mama, setidaknya tolong ucapkan selamat ulang tahun untuk Naya," sela gadis kecil itu, sebelum Retno Ayu benar-benar memutus sambungan telponnya.
Retno Ayu memutar kedua bola matanya malas, "Sudak kubilang ...."
"Apakah kamu tidak bisa meluangkan waktu meski hanya sebentar saja. Setidaknya, ucapkan selamat ulang tahun untuk putrimu." Kali ini, suara Tomi Sutedja yang terdengar.
Bisa Retno Ayu bayangkan, pasti saat ini gadis kecil bernama Abinaya itu sedang mengadu dan menangis tersedu-sedu di pelukan Tomi Sutedja.
Naya memang cucu kesayangannya pria tua itu.
"Dia bukan putriku."
"Retno Ayu!"
"Ayah, aku sedang menyetir. Nanti saja bicaranya."
"Pulang, sekarang! Ini perintah."
"Sialan!"
Ciiittttt.....
Brak!
"Retno Ayu! Apa yang terjadi?!"
"Retno! Kau tidak apa-apa?! Retno! Jawab Ayah?!"
Suara itu, samar-samar masih bisa Retno Ayu dengar dari ponselnya yang terlempar tak jauh dari tempatnya saat ini. Retno Ayu mengulurkan tangannya, berusaha meraih ponsel itu dengan napas tercekat. Tubuhnya terhimpit badan mobil yang terbalik sementara darah merembes keluar dari kepalanya.
Kejadian itu terjadi begitu cepat, secepat Retno Ayu menghembuskan napas terakhirnya saat mobilnya meledak dan menghanguskan dirinya, malam itu.
"Retno Ayu!"
Tomi Sutedja bangun terduduk dengan napas terengah-engah. Keringat mengalir keluar dari keningnya. Pria separuh baya itu menoleh ke arah jendela kamarnya yang gordennya masih terbuka.
Di luar hujan sangat deras bahkan kilat petir pun menyambar.
Tomi meraup kasar wajahnya ketika mimpi kecelakaan yang menewaskan putri tunggalnya kembali hadir. Air mata keluar dari netra pria tua itu. Sungguh. Kematian tragis putri tunggalnya itu benar-benar membuat Tomi terpukul.
***
Erangan panjang terdengar dari dua anak manusia yang sedang bergumul di atas ranjang kamar hotel itu. Deaz menjatuhkan tubuhnya sekaligus menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Naya, mengerang puas sambil memejamkan kedua matanya.
Keringat mereka menyatu.
Keduanya baru saja melewati percintaan panas yang panjang. Merasakan surga dunia.
"Apakah aku sudah hamil?" Pertanyaan, berupa bisikan polos itu, terdengar di keheningan malam di saat napas keduanya masih saling bersahut-sahutan.
Deaz tentu saja langsung tertawa mendengarnya. Namun seringai di bibir lelaki berusia 30 tahun itu muncul tak lama setelahnya.
"Kenapa kamu tertawa?" tanya, Abinaya heran.
Deaz langsung mencubit sebelah pipi gembul Abinaya Sutedja. "Mana mungkin bisa langsung hamil hanya dengan satu kali percobaan, Abinaya."
"Maksud kamu?"
Deaz mendekatkan bibirnya tepat di telinga Naya dan menggigit pelan daun telinga gadis- ralat wanitanya itu.
"Kita perlu melakukannya berkali-kali." Deaz berbisik dengan suara seraknya yang basah.
"Seberapa banyak itu?"
"Semalaman penuh."
Naya menelan ludah dengan susah payah membayangkannya. "Tapi, ituku masih sakit."
Deaz menaikkan sebelah alisnya, dengan seringai licik.
"Mau hamil atau tidak? Jika tidak, aku tidak akan memaksa ...."
"Tentu saja mau. Ayo cepat! Hamili aku!"
Suara dering ponsel yang terdengar membuat kedua anak manusia yang masih saling berpelukan di atas ranjang itu menggeliat pelan. Naya hanya bergumam pelan, sementara Deaz sudah membuka kedua matanya terlebih dahulu. Sadar bahwa suara itu berasal dari ponselnya, Deaz segera beranjak turun dan memungut celana panjang miliknya yang tergeletak dibawah ranjang. Mengambil ponsel di dalam saku celana dan menemukan kontak nama Tomi Sutedja dilayar ponsel genggam itu sedang memanggilnya. Deaz segera mengangkat panggilan tersebut seraya berdiri. "Kemana kau membawa cucuku, anak muda?" Deaz melihat kearah Naya yang menggeliat, merubah posisi menjadi tengkurap dan kembali tidur mendengkur. Selimut yang menutupi tubuh telanjang itu melorot turun hingga ke pinggul, membuat Deaz segera berpaling, memutar tubuhnya hingga membelakangi ranjang. Bukan apa, Deaz hanya takut khilaf lagi.
Hari berikutnya, berjalan seperti biasa. Naya masih kerap-kali menghabiskan waktu bersama Celine dan Agatha untuk shopping maupun liburan. Seperti hari ini misalnya, setelah membeli jam tangan keluaran terbaru merk kelas dunia, ketiga gadis itu kemudian nongkrong di Brilliane Cafe. Tempat biasa mereka nongkrong hanya untuk sekedar makan dan berbincang-bincang. Tempatnya yang minimalis namun di desain dengan begitu elegan membuat siapa saja pasti betah nongkrong di tempat itu. Naya bahkan sanggup bejam-jam berada di sana hanya untuk membaca novel. Tersedia ruangan kaca privasi yang bisa mereka jadikan tempat untuk membaca. Seperti yang tengah ketiga gadis itu sewa hari ini misalnya. "Btw, Nay. Kemarin malam, habis dari club, lo pergi kemana, dah? Gue nyariin lo tapi lo ternyata udah gak ada di meja bar?" Naya sontak langsung menghentikan acara membacanya, menggeser novel di tangan dan menatap ke arah Celine kali ini. Nay
"Dua garis merah?" Naya hamil. Cklek. (Suara pintu terbuka.) Naya keluar dari dalam kamar mandi, dengan bathrobe yang membalut tubuh polosnya. Rambutnya yang basah ia gosok menggunakan handuk kecil, berjalan kearah lemari dan mengeluarkan pakaian dalam dari sana. Naya segera mengenakan benda tersebut, lalu mengambil sepasang pakaian yang akan dikenakannya hari ini, tergeletak diatas ranjang kamarnya. Semua aktifitas itu, Deaz saksikan dari balik gorden jendela. Lelaki itu bersembunyi disana, menahan keinginan untuk menerkam ibu dari calon anaknya itu. Deaz tersenyum tanpa sadar. Teringat lagi pada alat tes kehamilan yang tergeletak diatas meja nakas kamar gadis itu. Naya meletakkannya secara sembarangan. Namun, berkat itu pula, Deaz tidak perlu repot-repot mengobrak-abrik isi kamar gadis itu untuk mencarinya. Deaz sudah mendapatkan jawaban, setelah sebulan l
Naya bercermin. Mengenakan dress motif floral, Naya malam ini tampil begitu manis. Tidak lupa dia menyembunyikan testpack di balik saku dressnya jika nanti Naya membutuhkan benda tersebut sebagai senjatanya malam ini. Meskipun dirinya ingin perjodohan ini berakhir, Naya tetap peduli pada penampilannya. Bagaimana pun juga, tampil cantik adalah hal yang wajib. Tok tok tok. "Non, tamunya sudah datang." "Iya, bik." Setelah memoles liptint di bibir sebagai sentuhan terakhir. Naya segera bangun, berjalan menuju ke arah pintu. Naya menarik napas dan menganggukkan kepalanya sendiri. Menyemangati diri sendiri. Jujur saja, Naya sedikit gugup. Setelah merasa yakin, gadis itu kemudain baru mau melangkah pasti menuruni tiap anak tangga satu per satu. Bisa dia lihat sepasang orang dewasa sudah duduk disofa, berbincang dengan kakeknya layaknya keluarga. Namun, Naya sedikit bingung karena tidak menemukan lelaki
Naya menangis. Terus menangis. Tidak mau berhenti. Sementara diluar ruang rawat, Rosa tampak menggigiti kuku jari tangannya sendiri, melihat Naya yang menangis tersedu diatas brankar rumah sakit. Tomi juga sama khawatirnya. Tidak pernah dia melihat cucu kesayangannya itu terus mengalirkan air mata seperti itu. Hatinya tercubit. Merasa ngilu. Sementara Deaz tampak mondar-mandir dengan bingung. Menggaruk rambutnya sendiri, kemudian melangkah kearah sang ibu. "Ma ..." "Diam kamu." Deaz tidak jadi bicara. Rosalinda, tampaknya masih sangat marah kepadanya. Percuma. Saat ini, dialah yang dituduh sebagai tersangka. Suara pintu yang terbuka bersamaan dengan seorang dokter dan perawat yang baru saja keluar dalam ruang rawat itu, membuat Deaz bersama ketiga orang lainnya segera mendekat. "Dokter? Gimana ..," "Cucu saya. Cucu saya kenapa ....
Naya mengerjap bangun. Tubuhnya terasa lelah. Menoleh kesamping, Deaz tidak ada di sebelahnya. Beranjak bangun, Naya segera membersihkan diri lalu keluar kamar dengan celana pendek dan kemeja kebesaran milik Deaz. Gadis itu belum membawa baju ketika diboyong kemari. Rumah yang katanya milik Deaz pribadi ini, tidak terlalu besar namun rapi. Naya sepertinya akan merasa betah tinggal di rumah suaminya itu. Namun rasa lapar di perutnya, membuat Naya melangkah mencari dapur. Aroma lezat masakan tercium, dan disanalah Naya menemukan Rosalinda, ibu mertuanya tengah memasak. Naya jadi malu sendiri, menyadari jika dia bangun kesiangan sementara ibu mertuanya malah memasak untuknya. "Mama?" "Sayang? Kamu udah bangun?" Naya segera menyalami punggung tangan kanan Rosa, dan melihat apa yang sedang ibu mertuanya itu olah. "Maaf, Naya kesiangan." Rosa tersenyum ma
Naya cemberut, menunggu Deaz di dalam mobil. Sambil melipat kedua tangannya, gadis itu baru mau menoleh ketika terdengar pintu mobil yang di buka, lalu di tutup kembali ketika Deaz sudah masuk dan menempati kursi di balik kemudi. Melihat wajah memberenggut gadis itu, Deaz sontak menyentil halus bibir Naya sambil tersenyum tengil. Naya memandang kesal Deaz yang kemudian memasang sabuk pelindungnya sebelum mobil ia jalankan. Deaz menatap fokus ke depan, namun tetap melirik ke arah Naya sesekali. "Kenapa tadi lama banget? Ngomongin apa kamu sama kakek?" "Kakek cuma bilang, dia nitipin kamu ke aku buat aku jagain. Gak boleh disakitin." "Kenapa lama?" "Ada sedikit petuah tentang laki-laki." "Maksudnya?" Deaz menyeringai, "tentang bagaimana seharusnya lelaki melakukan sex yang baik dan benar terhadap perempuan hamil." kata Deaz, sambil mengedipkan satu matanya ke arah Naya. Melihat itu, sontak saja Naya langsung m
Naya merenggangkan otot tubuhnya, menatap kearah luar jendela yang menampilkan sorot terang matahari. Sudah siang. Naya bangun kesiangan lagi. Sementara di sebelahnya, Deaz sudah pergi. Naya segera beranjak turun, melangkah melewati ruang olahraga namun tidak ada Deaz di tempat itu. Begitu melangkah kearah dapur, Naya menemukan seorang wanita paruh baya yang tengah menyapu lantai. "Nyonya sudah bangun?" "Nyonya?" Naya membeo. Yang benar saja, usianya baru 19 tahun. "Panggil saja Naya, atau Non." Wanita paruh baya itu mengangguk. "Baik, Non. Sebelumnya perkenalkan. Saya pembantu yang dikirim Nyonya besar untuk membantu Non Naya mengurus rumah ini. Nama saya Samini. Panggil saja mbok Sam." Naya mengangguk. Pandangannya berputar tampak mencari-cari Deaz yang keberadaan tidak ia temukan juga ditempat ini. "Tuan muda sudah pergi ke bengkel kalau Non Naya mencarinya."