Share

Chapter 5

Caca memandangi mata hazel pria itu, warna hazel mata Bram berhasil membuat Caca terhipnotis hingga tak ingin beralih dari mata itu.

Dengan melihat mata itu, dia tahu dia akan mendapat masalah.

“Ini bukan tempat yang tepat untuk berbicara, ayo kita bicara di tempat lain.”

Caca juga tidak bisa menolak.

Di kafe.

Keduanya sama sama terdiam.

Caca menyipitkan matanya dan menatap pria yang duduk di seberangnya, ingin melihat beberapa hal dalam diri Bram yang sedari tadi mencuri perhatian Caca.

 jika Caca terkesan memberi tatapan menilai,sedangkan Bram dengan santai menyesap kopinya.

Ketika dia masih di perpustakaan, dia tidak sabar untuk mengetahui mengapa Caca sangat ingin punya bayi, tetapi sekarang dia tidak mengatakan apa-apa.

Tampaknya dia berharap Caca akan mengatakan sesuatu dengan sendirinya, bagaimanapun, dia harus menahannya, agar terlihat biasa saja.

"Apa salahku hingga kamu melakukan ini padaku?."

Bram mendengus dan menyesap kopinya lagi, dengan santai meletakkan cangkirnya di atas meja, "Hanya ingin tahu," katanya

Caca memutar matanya jengah "Jika Aku memberitahumu, apa kamu akan menghapus foto itu.?"

Bram mengedikkan bahunya, "Bisa diatur."

Caca menghembuskan nafas lelah: "Aku sebenarnya sudah menikah." Ucap Caca dengan tatapan kosong.

Bram tidak terkejut mendengar ini sedikit pun, tentu saja dia tahu dia sudah menikah, karena dia adalah suaminya.

"Apa suamimu tidak mampu memuaskanmu hingga kamu harus mencari lelaki lain di luar?"

Wajah Caca menunduk malu-malu, "Ini adalah pertama kalinya bagi ku, kamu juga pasti tahu tentang hal ini kemarin saat kita berhubungan. Jadi, Aku dan suami saya…"

“Kenapa? Kenapa kamu dan suamimu? Kenapa kamu ingin punya bayi?”

Mendengar pertanyaan yang Bram lontarkan membuat Caca berpikir sejenak, mengingat apa saja yang sudah terjadi pada hidupnya selama ini: "Seorang Peramal berkata padaku, bahwa rumah tangga kami harus memiliki keturunan dulu kalau ingin bahagia, dan aku harus hamil tahun ini juga." Ucap Caca dengan tatapan nanar.

Bram melihat tatapan mata Caca yang berubah nanar, di balik mata Caca yang berwarna coklat pekat, terkesan tegas namun lemah itu Bram bisa melihat bahwa Caca menyembunyikan beban dalam hatinya. Namun, Bram tidak mau cepat percaya pada hal yang diucapkan perempuan ini tentang—peramal? 

Dia masih percaya pada takhayul feodal di jaman sekarang? Ucap Bram dalam hati.

"Itu kalau kamu berhasil punya anak, kalau tidak? Bagaimana? Apa yang akan terjadi pada hidupmu?" Ucap Bram penuh dengan ketidak percayaannya akan hal hal yang tidak masuk di akal menurutnya. 

“Apa kamu akan dihantui arwah penasaran yang selalu berkata; hai anak muda, cepatlah punya anak!” Bram menyerakkan suaranya, berusaha menirukan suara hantu, lalu melanjutkan: Atau ada apa dengan keluargamu? Atau mungkin—Kamu akan mati?”

Begitu Bram menyebut kata "MATI!" keluar dari mulutnya, Caca berdiri lalu menggebrak meja dengan wajahnya yang mulai memucat: "Diam!!!"

Bram menatap Caca dengan terkejut, ada apa dengan wanita ini. Bram memandang gadis yang terlihat lembut dan lemah dalam satu waktu, tetapi saat ini, dia melihat ketakutan, kesedihan, dan amarah dalam diri Caca di saat yang bersamaan.

Caca sadar akan sikapnya, sehingga dia segera memalingkan wajah serta menetralkan deru nafasnya yang tadi sempat memburu.

“Intinya,penting bagiku untuk segera punya bayi tahun ini.”

“Lalu kenapa kamu tidak memintanya pada suamimu?”

“Suamiku??” Caca berbalik dan memandang Bram dengan tidak percaya, “Orang tua botak itu?? Aku bahkan tidak tahu apakah dia subur atau tidak.” Ucap Caca dengan santai, tanpa dia ketahui suami tua yang ia ilustrasikan dengan pria botak itu sedang duduk di hadapannya dengan penampilan luar biasa memikat wanita wanita di luar sana.

"Orang tua botak?!"

Bram  tanpa sadar menyentuh kepalanya, dia tidak botak.

Rambutnya sehat dan dia tampan.

Lalu kenapa Caca mengatakan itu?

Bram dengan hati-hati mengingat bahwa pada hari pernikahan, Bram sepertinya sedang bermain golf dengan John, dan orang yang bertanggung jawab untuk mengurus pernikahannya adalah sekretarisnya, Ashar, dan Kepala pengurus rumah tangganya, Pak Opik.

Pak Opik berusia lima puluhan dan memang botak.

Sepertinya Caca salah mengira Pak Opik sebagai dirinya.

Caca mengetuk meja, baru kemudian Bram kembali sadar, "Apa kamu percaya padaku kalau aku mengatakan, aku belum melihat suamiku selama setahun ini semenjak kami menikah?"

Tentu saja Bram mempercayainya, jika dia benar-benar bertemu dengannya, maka mereka tidak akan duduk di sini berbicara satu sama lain sebagai orang yang tidak saling kenal, Namun ucapan Bram berbeda dengan isi hatinya.

"Sepertinya tidak," ucap Bram dengan sedikit mengedikkan bahunya.

Caca menggelengkan kepalanya, “Meski kamu tidak percaya padaku, tapi aku benar-benar belum bertemu dengannya lagi, aku bahkan tidak tahu siapa namanya, ketika aku menikah, aku juga tanda tangan di buku nikahku sendiri tanpanya, kemudian baru beberapa hari berikutnya, asistennya memberitahuku kalau suamiku sudah menandatangani buku nikah kami, dan tepat ketika aku hendak melihat siapa nama suami ku, sekretaris sialan itu merampas buku nikah ku."

Kerja bagus Ashar! Ucap Bram dalam hati.

"O—" ucap Bram singkat. 

“Lalu dia meninggalkanku di sebuah vila tanpa peduli padaku.”

“O—tapi kenapa begitu?” Bram hanya bisa pura-pura mengerti dan terus bertanya dengan sadar.

Caca menyangga dagunya dan merenung, "Mungkin dia sadar kalau dia terlalu jelek untuk hidup bersama ku? Atau mungkin anunya sudah tidak bisa berdiri, jadi dia malu dan menghindar. Ya—Aku sih memaklumi,karena memang faktor umur." Ucap Caca dengan enteng.

Bram merasa ini penghinaan buatnya, tetapi dia tidak bisa membantah.

Bram memiliki tenaga seperti kuda. Dia kuat dan tahan lama. Bagaimana mungkin dia tidak bisa memuaskan istrinya? Padahal semalam pun perempuan itu dibuat kelimpungan oleh sentuhannya.

“Mungkin ada hal lain?” Bram tertawa terbahak-bahak.

“Tidak ada. Aku benar-benar sangat sedih, Kamu malah tertawa, jadi tolong tinggalkan aku sendiri saja!” 

Caca segera meraih tangan Bram dan menatapnya dengan mata berkaca kaca, yang nampak menyedihkan bagi siapapun orang yang melihatnya,namun itu semua hanya tipuan Caca agar membuat lelaki di depannya segera pergi. Untuk seorang mahasiswi jurusan aktris, ini adalah sesuatu yang mudah baginya.

Melihat penampilan Caca yang menyedihkan, Bram hanya merasakan detak jantungnya berdetak lambat, gadis kecil ini benar-benar kasihan.

Caca berkata sambil masih memegang tangan Bram: “Aku sudah memberitahumu semuanya, jadi tolong hapus saja fotonya,” pinta Caca.

Bram berdehem dua kali, "Menghapusnya itu soal mudah, tapi kamu harus berjanji pada ku satu hal."

Wajah Caca tiba-tiba berubah, "Apa semua yang kukatakan tadi belum cukup membuatmu percaya padaku? Aku sudah memberitahumu semua yang ingin kamu tahu, aku pikir setelah aku memberitahumu semuanya, Kamu akan menghapus fotonya."

Bram menggenggam ponsel di tangannya, "Aku percaya, tapi aku sudah tidak tertarik lagi pada hal itu, dan sekarang, aku punya permintaan." 

“Kamu!“ Caca menggertakkan giginya, sepertinya pria ini sangat sulit untuk dihadapi, “Oke,apa?!”

Bram tersenyum miring bak hewan buas menemukan mangsanya, “Aku mau tidur denganmu lagi.”

Mendengar kata kata yang Bram ucapkan, sontak membuat Caca geram, serasa ingin menampar lelaki yang sempat ia puji tampan ini dengan keras agar dia sadar akan ucapannya itu "A–apa!! Kamu benar benar tidak tahu malu!!"

"Aku? Tidak tahu malu? Bukannya kamu yang tidak tahu malu, untuk ukuran wanita yang sudah menikah, kamu keluar dan mencari pria lalu kamu tidur dengannya, dan kamu berharap punya bayi dari laki laki yang tidak kamu kenali? Kamu gila! Kalo Aku, Aku belum menikah, jadi apa salahnya Aku keluar dan mencari seorang wanita untuk bersenang senang?" 

"Kamu…!" 

Ucapan menggantung Caca yang menandakan dia sedang menahan diri untuk tidak mengumpati lelaki tampan namun kurang waras itu. Caca sangat marah, dia sangat menyesal.

Kata orang, jangan pernah percaya pada ucapan wanita cantik, tapi ternyata bukan hanya wanita cantik. Pria tampan juga susah dipercaya. 

"Lagipula kamu sudah menyelingkuhi suamimu sekali, jadi seharusnya bukan masalah kalau harus melakukannya lagi bukan?" Tanya Bram dengan pandangan tajam namun tidak dengan bibir Bram yang membentuk smirk.

Dia ingin melihat apakah Caca berani melakukannya lagi.

“Tidak, Aku adalah wanita yang berprinsip, Aku tidur denganmu hanya karena itu adalah upaya terakhir yang bisa ku lakukan untuk memiliki bayi”

"Tadi kan juga sudah ku bilang, mungkin upayamu semalam belum cukup untuk membuatmu bisa hamil, bagaimana kalau kita ulangi sekali lagi, mungkin nanti akan berhasil." Ucap Bram dengan memberi satu kedipan mata.

Caca menggigit bibirnya.

Ini serius,  dia benar-benar tidak akan melakukan hal semacam ini dua kali, karena hati nuraninya tidak bisa menerimanya.

“Luangkan waktumu untuk memikirkannya, aku akan menunggu.” Bram bersandar di sofa dan kembali fokus pada kopinya yang mulai dingin.

Waktu berlalu.

Hati Caca gelisah.

Kalau Bram tidak menghapus foto-foto itu dan malah menyebar luaskan foto itu, bagaimana? Hancurlah hidupnya.

Mungkin sekarang masih tidak berdampak besar karena dia masih orang biasa, tetapi Cac memiliki impian menjadi aktris di masa depan, dan foto-foto itu bisa menghancurkan karirnya yang bahkan belum ia mulai.

Tetapi jika dia harus tidur dengan Bram sekali lagi, dia akan benar-benar menjadi wanita yang murah.

Tetapi—hanya ini cara yang bisa dia lakukan agar segera memiliki bayi.

 

"Aku...,"

Caca baru saja akan membuka mulutnya ketika ponselnya berdering dengan keras.

“Aku akan mengangkat telpon dulu.” Caca pergi dari hadapan Bram, setelah menjauh, Caca segera menekan tombol jawab, seseorang di seberang sana sedang berbicara, entah apa yang orang itu katakan hingga membuat Caca terkejut 

 

“Apa?! suamiku akan pulang?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status