Share

Gina
Gina
Penulis: mapoeri

Rumah tanpa Mama

Danan membuka matanya pagi ini, pagi yang semakin terasa jauh lebih sunyi dan dingin, masih menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih, Danan menyadari bahwa kini paginya tak akan pernah lagi sama, selamanya. Hari-hari yang dia lalui kedepannya akan jauh lebih berat dari yang sudah dia lalui beberapa hari terakhir ini dan dia kesal menyadari bahwa itu semua adalah kenyataan pahit yang harus dia terima tanpa peringatan terlebih dahulu.

Semua orang mengatakan padanya bahwa dia akan baik-baik saja, bahwa semuanya akan kembali seperti semula setelah rasa sedih dan kehilangan itu berakhir. Dia menghela napas.

Dia bahkan tidak tahu bagaimana rasanya ‘semula’.

Dia lupa sebelumnya rasa ‘semula’ itu seperti apa.

Dia juga tidak tahu bagaimana harus mengakhiri rasa sedih dan kehilangan.

“Pa..” Suara gumaman kecil dari Baby Monitor mengejutkannya, Danan menoleh dan mendapati kedua anaknya masih tertidur lelap dibalik selimut tebal. Menyentuh ujung rambut putri keduanya dia tersenyum, senyum kesedihan, lega serta merasa beruntung bahwa dia tidak kehilangan ketiga buah hatinya juga.

Diciumnya pipi si putri kecil dan juga putra sulungnya dengan lembut sebelum kakinya melangkah turun dari kasur menuju kamar putri bungsunya.

Senyum Danan merekah ketika dia mendapati Laya sedang duduk di atas tempat tidur, mengucek matanya yang masih rapat satu sama lain.

“Selamat pagi Yaya,” Ujarnya, berjongkok disamping kasur dan menangkup wajah si kecil Laya sebelum akhirnya pipi bocah itu dia ciumi. Danan menggendong Laya tanpa bicara apapun lagi, membawa anak itu ke kamar mandi dan membasuh wajahnya di wastafel.

“Susu,” Laya berkata setelah selesai menggosok giginya dan Danan mengangguk, mencium lembut pipi si kecil sekali lagi.

Laya kemudian dia dudukkan di atas kursi tinggi dengan kedua tangan mungilnya menopang botol susu. Danan terkekeh melihat tingkah Laya yang kini menaikkan kedua kakinya diatas kursi dan bersandar kebelakang sambil menyedot susu kencang-kencang, tingkahnya sangat menggemaskan. Pria itu berjalan mendekati Rice Cooker di dapur, membukanya untuk mengecek nasi yang semalam dia masak.

Setidaknya hari ini nasi yang dia masak terlihat jauh lebih baik ketimbang kemarin-kemarin, Jovi bilang itu lebih mirip bubur ketimbang nasi dan Aksa mengamini hal tersebut.

Yah, Danan sudah berusaha keras untuk mengisi kekosongan tugas yang selama ini menjadi kewajiban mendiang istrinya yang meninggal satu bulan lalu. Dia berusaha untuk memasak setelah sekian lama tidak menyentuh dapur, tidak seperti ketika dia masih melajang dan tinggal sendirian.

Dia bahkan sudah melupakan mana garam mana gula, melupakan juga beberapa resep andalannya dahulu sehingga Gina ibu dari ketiga anaknya itu jatuh cinta padanya. Selama 17 tahun pernikahannya dengan Gina, dia sudah tidak menginjakkan kakinya ke dapur, Gina yang mengambil alih semuanya, wanita itu sangat cekatan dan telaten sehingga Danan percaya semuanya akan berjalan dengan sempurna dan baik-baik saja, selamanya.

Pria itu tanpa sadar menghembuskan napas keras-keras yang membuat dirinya sendiri terkejut akan hal itu, buru-buru dia mengalihkan pikirannya ke tempat lain. Dia harus segera memasak, ketiga anaknya akan meminta sarapan sebelum berangkat ke sekolah.

Selama sebulan terakhir karena kegagalannya membuat nasi, Jovi dan Aksa berakhir sarapan dengan sereal, karena tidak terbiasa mereka selalu mengeluh cepat lapar setelah sampai sekolah.

“Papa,” Suara Jovi tiba-tiba terdengar dari belakang Danan ketika pria itu tengah berjongkok di depan kulkas, menatap isinya sambil berpikir menu yang akan dia masak. Danan buru-buru menoleh dan mendapati bocah berambut pendek itu menatapnya lekat-lekat.

“Selamat pagi Jovi, bagaimana tidurnya?” Danan mengecup pipi Jovi sambil mengelus kepala anak itu yang sekarang tengah menguap lebar.

“Tidurku baik, tapi papa, papa sudah menyiapkan seragam olahraga? Hari ini aku ada olahraga.” Jovi menatap Danan dengan matanya yang bulat dan lebar, Danan mengerjap, menyadari bahwa dia belum sempat menyortir pakaian kotor dan bersih seminggu ini. Dia terlalu disibukkan dengan Laya yang baru saja masuk daycare, cuti berkabung Danan akan berakhir minggu depan itulah mengapa dia mendaftarkan Laya ke daycare karena tidak ada lagi yang bisa menjaga bocah 3 tahun itu selagi dia bekerja.

“Jovi, papa akan melihatnya, tapi papa rasa papa sudah mencucinya kemarin.” Ucap Danan, Jovi menatapnya ragu, namun tidak ada satu katapun terlontar dari bibir mungilnya, dia hanya terdiam kemudian berlalu dari hadapan ayahnya, mendekati si kecil Laya yang sudah menghabiskan susunya.

“Jov, ayo mandi, kita ke sekolah.” Suara Aksa dari dalam kamar mandi terdengar, anak sulung Danan yang berusia sebelas tahun itu memberikan adik kecilnya handuk dan menuntunnya ke kamar mandi.

Danan menatap pemandangan itu dengan pilu, sebulan setelah kepergian Gina dia merasa asing dengan ketiga anaknya. Memang benar, Danan jarang sekali pulang semenjak pekerjaan sebagai seorang host televisi dia lakoni. Jarak yang ditempuh untuk kembali pulang sangatlah jauh, jadi terkadang dia memilih untuk menetap di asrama ketimbang pulang pergi. Mungkin itulah mengapa, anak-anaknya pun merasa asing atas kehadirannya di rumah ini.

“Pa, makan.” Laya berkata dengan suara kecilnya dari atas kursi tinggi, menyadarkan Danan yang kini terburu-buru mengeluarkan telur dan membuat telur mata sapi untuk sarapan ketiga anaknya. Setidaknya kali ini mereka makan nasi sebelum berangkat ke sekolah.

Pukul 7.30 anak-anaknya sudah rapi berpakaian, meskipun sebelumnya Jovi sempat menolak makan telur dengan kecap asin buatan Danan tapi kini semuanya sudah siap. Baju olahraga Jovi sudah ditemukan, tapi sama sekali tidak rapi, dia belum menyetrikanya. Danan menggendong Laya dipelukannya, tangan kanannya menggandeng tangan Jovi dan Aksa yang menutup pintu apartemen.

Keempatnya berjalan beriringan melewati beberapa pintu kamar tetangga. Apartemen yang mereka tempati dalam beberapa tahun terakhir adalah apartemen keluarga, di lantai tempat mereka tinggal banyak sekali anak-anak seumuran Laya maupun Jovi sehingga setiap pagi para ibu maupun pengasuh saling bertemu untuk mengantar anak-anak mereka ke sekolah. Kemudian para ibu-ibu menyapa ayah tiga anak itu, beberapa dari mereka mendekati Danan untuk sekedar mengobrol dan menanyakan keadaannya. Mereka bersama-sama masuk kedalam lift untuk mengantar anak mereka naik bus sekolah di halte bawah.

“Pasti sangat sulit ya pak mengasuh tiga anak sendirian,” Ujar salah satu ibu disamping Danan, kalau tidak salah itu adalah ibu Nita, teman satu sekolah Jovi. Terlihat bocah itu menghampiri Jovi dan menggandeng tangannya.

“Jovi, kau tidak apa-apa? Hari ini menangis lagi tidak?” Pertanyaan Nita membuat Danan dan Aksa menoleh bersamaan menatap Jovi, bocah itu mengerutkan keningnya kearah Nita.

“Eh, Nita, tidak boleh asal bicara,” Ibu Nita menanggapi, menggamit lengan anaknya agar sedikit menjauh dari Jovi setelah melihat reaksi kakak laki-laki dan ayah bocah tersebut.

“Maaf ya pak,” Katanya sambil memasang wajah memohon maaf.

“Tidak apa-apa. Nita, apakah Jovi sering menangis?”

“Aku tidak menangis!” Jovi mendadak menyela jawaban yang hendak dilontarkan oleh Nita, wajahnya memerah menatap Danan.

“Aku tidak menangis!” Pekiknya sekali lagi sambil berlari keluar dari lift menuju bus sekolah dan masuk dengan terburu-buru. Danan menatap kejadian itu dengan bingung, ibu-ibu lain keluar dari lift tanpa berkata apapun. Aksa menatap papanya.

“Papa, aku dan Jovi berangkat dulu.” Ucapnya, berlalu pergi meninggalkan Danan disana.

Danan masih mencerna apa yang terjadi, dia terdiam dan kebingungan menatap wajah putri kecilnya yang memerah, berteriak dengan mata berair padanya.

Jovanka Pramidita atau yang sering mereka panggil Jovi memang tidak terlalu dekat dengan Danan, ketika Jovi lahir Danan baru saja ditawari untuk menjadi host salah satu acara ternama di Jakarta. Jarak adalah alasan satu-satunya yang membuat dia hanya bisa bertemu Jovi sebulan sekali atau dua kali.

Dia tidak pernah menyadari telah melewatkan momen-momen berharga bocah itu selagi dia sibuk bekerja, tidak seperti Aksa dan juga Laya yang masih bisa ia pantau, Jovi sama sekali tidak tersentuh olehnya. Mungkin itulah mengapa, kepergian Gina adalah pukulan terberat untuknya.

“Pa,” Laya menarik pipi Danan, pria itu menatapnya, sedikit tersentak dari lamunan panjangnya, ia mencium kening Laya.

“Maafkan papa ya,” Gumamnya.

Danan berjalan menuju parkiran, mendudukkan Laya di kursi Toddler dan mengantar bocah itu ke daycare. Hari ini, Danan harus berhasil membuat Laya tidak menangis mencarinya di daycare setelah seminggu terakhir usaha itu berakhir sia-sia.

Ponsel Danan kemudian berdering, nama Marva tertera disana, dia tersenyum sebelum menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan video itu.

“Yayaaaaaa! Laya Widhiani!” Suara Marva kemudian menggema di dalam mobil membuat Laya berjingkrak diatas kursi dengan seatbelt terikat cukup kencang dan melambaikan tangan ke arah kaca di hadapannya.

“Paman Mapaaaa!” Pekik Laya riang.

Marva melambaikan tangannya dan tersenyum dengan lebar, dia bisa melihat Laya dari kaca yang memantul dibelakang kursi kemudi Danan.

“Marva, kau sudah sampai?” Tanya Danan sambil tersenyum lebar,

“Iya bang, aku baru saja sampai di bandara. Abang bisa jemput aku gak bang? Atau aku naik taksi saja?”

Marva bertanya, kemudian Danan jadi teringat mengenai Laya yang harus terbiasa ia tinggalkan di daycare.

“Yaya, boleh gak papa jemput paman? Yaya nanti tunggu di daycare sampai papa kembali bersama paman.” Ujarnya, melirik dari arah kaca untuk berinteraksi dengan Laya. Bocah kecil itu mengangguk dengan sangat antusias, tidak sabar bertemu dengan paman kesukaannya.

“Nah! Begitu dong! Jadi anak yang hebat!” Ujar Marva diujung telepon sambil mengangkat jempolnya tinggi-tinggi untuk memuji Laya.

Laya terkekeh karena hal itu.

“Oh iya bang, Keenan juga pulang hari ini dari Brazil mungkin pesawatnya akan sampai sore hari.”

Danan mengerutkan keningnya, dia baru dengar kalau Keenan pulang dari perjalanan jauh demi pekerjaannya. Ini terasa aneh.

“Ada apa? Kenapa kau dan Keenan pulang bersamaan? Tidak seperti biasanya.”

“Ada yang ingin kami bicarakan, eits- jangan tanya dulu, nanti saja ketika Keenan sudah sampai rumah.” Marva langsung memutus sambungan teleponnya sebelum Danan bertanya lebih jauh ada perihal apa adik bungsunya itu pulang.

Marva Saguna dan Keenan Harsa Saguna adalah adik Danan. Meskipun untuk Marva, dia adik tiri Danan. Ibunya menikah lagi dengan seorang duda beranak satu (ayah Marva) ketika usia Danan masih 3 tahun, dan kemudian dua tahun kemudian lahirlah Keenan. Mereka bertiga sangat akrab, mungkin karena ketika ayah tiri Danan datang ke kehidupannya dia masih terlalu kecil untuk protes atau mungkin ayah tirinya itu mampu untuk mengisi kekosongan sosok ayah yang selalu diidamkan si kecil Danan. Namun, semenjak orangtua mereka meninggal kedua adiknya menetap di luar negeri.

Terutama Marva yang kembali ke Amerika karena pekerjaannya sebagai composer musik di sebuah label musik ternama, sedangkan Keenan dia lebih memilih mengelilingi dunia sebagai seorang photographer.

Keduanya jarang sekali pulang, kecuali ketika mengetahui kematian Gina tentu saja. Mereka menetap selama seminggu sebelum akhirnya pergi lagi karena masih memiliki pekerjaan.

Jujur, selama keduanya ada di rumah, Danan sungguh merasa terbantu sekali. Marva yang ‘urakan’ dan ceroboh itu bisa dekat dengan Laya dan mengatasi ulah bocah itu. Keenan juga tidak disangka bisa mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci baju, mencuci piring dan membantu menguncir rambut Jovi -yang tidak pernah Danan penuhi karena dia sama sekali tidak mengerti bagaimana merapikan rambut anak perempuan-.

Danan melirik kaca spion dan menatap Laya dari sana.

Selama ini tidak terpikirkan olehnya bagaimana sulitnya Gina menjalani hari-hari mengasuh ketiga anak ini. Setiap kali Danan telepon hanya ada wajah ceria dari wanita itu, tidak ada tanda-tanda dia merasa lelah menjadi seorang ibu rumah tangga padahal dulu dia adalah seorang penari balet ternama dengan karir yang cemerlang.

Danan tidak pernah tahu mendidik dan menyiapkan perlengkapan anak adalah hal yang sangat berat, dia tidak tahu bahwa menjadi seorang ibu sungguh sangat melelahkan.

Dia merasakan hal ini setelah kepergian Marva dan Keenan. Laya yang menangis, Jovi yang sangat sensitif sehingga terus berteriak pada Aksa dan si sulung yang sesekali mengurung dirinya di kamar. Terlebih lagi, Danan sama sekali tidak mengerti sifat anak-anaknya. Semakin melelahkan, dia tidak bisa mengatur apa yang harus dia kerjakan terlebih dahulu, mana yang terpenting mana yang harus dia kesampingkan dahulu. Semuanya menjadi abu-abu.

Menghela napas.

Danan menghela napas lagi tanpa dia sadari.

Laya tidak menangis hari ini, dia turun dari mobil dan berlari kearah salah satu petugas daycare. Kami menyebutnya, ibu Soraya dan kemudian dengan suara yang penuh antusias dia berkata dia akan bersikap sangat baik hari ini karena paman kesukaannya datang berkunjung.

“Pamanku, orang Amerika, dia akan pulang ke rumah!” Pekiknya, ibu Soraya hanya tersenyum mendengar Laya berbicara dengan aksen Bahasa Indonesia aneh. Ya tentu saja, Laya juga separuh Amerika. Gina pasti banyak berbicara dengan menggunakan Bahasa Inggris ketimbang Bahasa Indonesia pada anak-anak sehingga baru Danan sadari ketiga anaknya memiliki aksen yang aneh ketika berbicara beberapa kata dalam Bahasa Indonesia.

“Mohon bantuannya untuk hari ini,” Ucap Danan, sedikit membungkuk pada bu Soraya yang menggendong Laya.

“Iya pak, saya rasa hari ini akan baik-baik saja, Laya terlihat sangat ceria.”

Danan mengangguk kemudian mendekat kearah Laya dan mencium pipi bocah itu.

“Papa akan kembali, tunggu dengan manis dan bermainlah bersama yang lain.”

Laya mengangguk dengan penuh semangat dan mata yang berbinar.

Danan pergi meninggalkan Laya, melajukan mobilnya dengan tergesa, dia masih penasaran dengan alasan Keenan pulang ke tanah air. Setelah sepeninggalan ibu mereka, Keenan bilang bahwa dia tidak ingin tinggal di Indonesia lagi, tidak ada alasan baginya untuk tetap tinggal meskipun Danan berada disana. Dan kini tiba-tiba dia kembali? Itu hal yang aneh.

ꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷꟷ

Marva melambaikan tangannya dengan senyum lebar dan lesung pipi menyembul keluar. Dia memeluk Danan erat dan masuk ke dalam mobil.

“Aku gak akan ngomong apa-apa sekarang bang, sumpah.” Ujarnya ketika Danan mendesak tentang Keenan yang kembali pulang ke Indonesia.

“Dia melakukan sesuatu disana ‘kan? Brazil? Apa yang dia lakukan?”

Marva tertawa kencang mendengarnya, pemuda itu menatap Danan dengan tidak percaya, “Abang benar-benar berpikir Keenan Harsa Saguna akan melakukan hal-hal seperti itu bang? Kita sedang membicarakan Keenan loh bang!”

“Karena kita membicarakan dia makanya aku berpikir kesana, ingat ketika kita melakukan perjalanan bersama ayah dan ibu ke Eropa? Dia bahkan menghilang dan salah naik bus sampai membuat semuanya khawatir.”

Marva terkekeh, “Yah, dia tidak seburuk aku yang harus kembali ke Indonesia karena kehilangan paspor kan?”

Danan menghela napas, kedua adiknya sangatlah ceroboh. Sewaktu Keenan dan Marva memutuskan untuk pergi dari Indonesia, ada perasaan takut dan was-was dalam diri Danan, dia tidak ingin keduanya pergi jauh namun tidak ada alasan lain untuk membuat mereka tetap tinggal sehingga dengan berat hati dia membiarkan keduanya pergi dan ini sudah tahun kelima. Sejujurnya, Danan tidak tahu darimana kedua adiknya tahu mengenai kematian istrinya, setelah tragedi itu terjadi tiba-tiba keduanya datang, tanpa kata, memeluk Danan bersamaan dan menemaninya menangis.

Dering telepon menginterupsi monolog di kepala Danan, menatap layar ponsel dia bisa melihat ‘Wali Kelas Jovanka’ tertera disana. Danan menggunakan ponsel Gina untuk mengetahui kabar mengenai Aksa dan Jovi di sekolah karena dia sama sekali tidak memiliki kontak teman anak-anaknya, untungnya ponsel Gina tidak hancur parah setelah ikut terjepit di dalam mobil yang remuk. Mengerenyitkan dahi karena tiba-tiba guru Jovi menelepon, dia lantas mengangkatnya, Marva melirik ke arah Danan.

“Ya, ada apa bu?”

“Pak, saya harap bapak bisa datang ke sekolah sekarang.”

Danan terkejut mendengar ucapan guru Jovi, tanpa pikir panjang dia lantas berbalik arah menuju sekolah anaknya. Dalam 15 menit Danan dan Marva tiba di sekolah, keduanya tergopoh-gopoh menuju ruang konseling karena Jovi berada disana. Hati Danan mencelos ketika melihat wajah anak perempuannya penuh dengan luka cakar, mata anak itu sembab karena menangis dan hidungnya memerah, rambutnya acak-acakan.

Jovi menengok ketika Marva memasuki ruangan, anak itu terkejut dan berlari ke arah Marva ketimbang Danan dan memeluknya erat. Menangis.

Danan tidak mengerti.

Ada Nita disana, menangis juga, keadaannya tidak jauh berbeda dengan Jovi. Ibu Nita datang beberapa saat kemudian, tidak dengan wajah marah tapi hanya memandang sedih kepada mereka.

“Ada apa ini?” Danan akhirnya buka suara ketika mereka kini telah duduk bersama, Jovi duduk dipangkuan Marva, menyembunyikan wajahnya di balik dada pamannya itu.

“Jovanka menyerang Nita hari ini, dia menjambak dan mencakar Nita. Mereka berdua terlibat perkelahian.”

“Berkelahi?” Danan mengerenyitkan dahinya dan melirik ke arah Jovi yang terkejut dan kini kembali menenggelamkan wajahnya di dada Marva.

“Pak Danan, saya rasa saya tahu masalahnya.” Ibu Nita kemudian menyela, menatap Danan.

“Saya mengenal Jovanka sejak bocah itu masih kecil, dia anak yang baik dan tidak pernah melakukan kekerasan seperti ini. Saya juga mengenal ibunya dengan baik, saya rasa anak saya melakukan sesuatu sehingga Jovanka menjadi seperti itu.”

Nita terisak, dan beberapa saat kemudian Jovi ikut kembali terisak.

“Ceritakan,” Ujar ibu Nita pada anaknya yang sibuk menghapus airmata.

“Aku ingin meminta maaf pada Jovi, aku hanya ingin Jovi menangis sepuasnya. Maafkan aku Jovi.” Nita berkata, terbata, tidak jelas dan membuat Danan semakin tidak mengerti.

“Ada apa? Kenapa Jovi menangis?” Tanyanya.

Ibu Nita menghela napas, “Pak, apa Jovanka tidak mengatakan apapun setelah kematian ibunya?”

Danan menggeleng pelan.

“Jovanka selalu menangis di jam istirahat, dia bilang pada Nita kalau dia merindukan ibunya, dia bilang rumah tanpa mama seperti rumah yang sangat asing. Dia merasa hanya mengenal Laya dan Taksa, dia merasa tidak nyaman dan canggung untuk tinggal bersama ayahnya.”

Danan terkesiap mendengar hal itu, Danan merasa semuanya baik-baik saja antara dia dan ketiga anaknya. Dia hanya berpikir anak-anaknya tidak merasa nyaman karena kemampuan memasaknya sehingga sering kali mereka harus memesan makanan ketimbang memakan masakan buatan rumah. Dia tidak pernah tahu masalahnya sebesar ini.

“Pak Danan jarang sekali pulang ke rumah, saya selalu mendengar cerita ini dari bu Gina. Bu Gina pernah bicara pada saya dia khawatir mengenai hubungan bapak dengan anak-anak. Anak-anak jauh lebih bersemangat menelepon paman mereka ketimbang ayah mereka.” Guru Jovi berbicara.

Danan kembali terkejut, dia menoleh ke arah Marva, pemuda itu menatapnya dengan tatapan canggung sambil mengelus punggung Jovi yang terisak. Danan mengusap wajahnya dengan kedua tangannya, merasa frustasi.

“Jovi!” Suara Aksa terdengar, anak itu datang dengan nafas terengah masuk kedalam kantor konseling. Jovi bereaksi, dia turun dari pangkuan Marva dan berlari ke arah kakak laki-lakinya.

“Kakak!” Pekiknya dan memeluk Aksa sebelum menangis lebih keras. Aksa terdiam ketika semua mata memandangnya, dia memeluk Jovi dan meminta adiknya berhenti menangis dan menasehatinya untuk tidak menyakiti siapapun.

“Jovi gak boleh memukul orang lain, Nita ‘kan teman Jovi, kata mama, kita tidak boleh memperlakukan orang lain seperti itu.” Aksa berjongkok di depan adiknya, menatap mata Jovi, menghapus bulir-bulir airmata di pipi adiknya. Si sulung sedang berusaha membuat adiknya berhenti menangis.

“Mau ‘kan minta maaf pada Nita?” Tanya Aksa, Jovi mengangguk kecil. Aksa menggandeng tangan adiknya dan berdiri di depan Nita serta ibunya.

“Sana, Jovi harus bilang sendiri.” Ujar Aksa.

Jovi melangkah ke depan, menjulurkan tangan kanannya pada NIta. “Maafkan aku..” Ucapnya pelan. Nita menatapnya dan kembali menangis sebelum akhirnya memeluk Jovi.

“Tidak apa-apa, NIta disini untuk Jovi, Tidak apa-apa.”

Danan terdiam, melihat bagaimana Aksa berbicara pada Jovi dan Jovi dengan cermat mendengarkan semua nasihat dan instruksinya membuat perasaan tidak nyaman muncul. Mengingat bagaimana Jovi bereaksi atas kedatangan Marva ketimbang dirinya, membuat dia merasa terasingkan. Ada yang salah, semuanya salah.

Kini, hanya Danan dan guru Jovi di dalam ruangan.

“Sepertinya, anak-anak tidak menyukai saya.” Danan memulai bicara, menundukkan kepalanya di depan guru konseling.

Ibu guru mengangguk kecil, “Apa yang bapak lakukan selama ini untuk anak-anak?”

“Saya bekerja, dahulu saya hanyalah seorang pembaca berita di sebuah stasiun televisi daerah, kemudian di angkat menjadi pembaca berita di sebuah stasiun televisi nasional ternama sampai akhirnya menikah dan memiliki Taksa. Kemudian setelah kelahiran Jovanka, saya ditawari untuk bekerja sebagai seorang host di sebuah acara televisi. Saya pikir, mendapatkan banyak pekerjaan lebih baik. Anak-anak bisa bersama ibunya sedangkan saya mencari uang untuk mereka.”

Danan mengigit bibir bawahnya, menelan ludah dan menatap lantai putih ruangan konseling. Airmatanya hampir keluar tapi dia berusaha untuk membuat tidak ada satupun yang jatuh.

Ada hening yang cukup panjang sebelum akhirnya ibu guru akhirnya bersuara.

“Pak, mencari uang bukanlah satu-satunya tanggung jawab orangtua. Kedua orangtua harus berimbang untuk mendidik dan mengasuh anak-anak mereka, bu Gina selalu memikirkan hal ini. Dia takut jika ketiga anaknya merasa asing terhadap ayah mereka karena intensitas pertemuan yang sedikit, karena itu ibu Gina selalu rutin menelepon paman-paman mereka. Setidaknya, anak-anak bapak akan merasa nyaman dengan keluarganya sendiri.”

Danan menelan ludah untuk kesekian kalinya sebelum akhirnya pergi dari ruang konseling. Langkahnya terasa berat. Selama ini dia berpikir menjadi terkenal dan mendapatkan banyak pekerjaan serta memberikan semua fasilitas untuk keluarganya adalah satu-satunya tanggung jawab yang harus dia emban. Dia lupa bagaimana ibu dan ayahnya selalu ada untuknya disaat sedih maupun senang. Dia lupa bahwa bukan hanya dia dan kedua adiknya yang selama ini saling menguatkan, tapi juga orangtuanya.

Bagaimana hubungannya dengan ayah tirinya, bagaimana hubungannya dengan adik-adik tirinya, seharusnya Danan ingat dan sadar bahwa kerjasama ibu dan ayahnya lah yang membuat dia tidak pernah merasa asing kepada orang yang bahkan bukan ayah kandungnya.

Marva bersama Aksa dan Jovi ketika Danan sampai di tempat parkir. Ketiganya menatap Danan dengan tatapan terkejut karena wajah pria itu memerah, jelas sekali kalau dia habis menangis. Jovi berada digendongan Marva, menyembunyikan wajahnya, mendekap pamannya dengan erat enggan melihat wajah Danan.

“Bagaimana?”

“Marva, sebenarnya ada apa kau dan Keenan pulang?” Danan langsung bertanya pada Marva yang terlihat terkejut. “Apa yang Gina sampaikan pada kalian?”

Marva menatap Danan, menghela napasnya karena mau tidak mau dia yang harus menjelaskannya pada sang kakak bahkan sebelum Keenan sampai.

“Aku dan Keenan akan tinggal bersamamu dan anak-anak,”

“Kau gila?” Danan menyela perkataan Marva. “Kau pikir aku tidak sanggup merawat anak-anakku?!” Suara Danan meninggi mengejutkan Jovi dan Aksa yang kini semakin menempel pada paman mereka.

“Aku ayah dari ketiga anakku, kenapa kalian ikut campur? Karena kalian merasa dekat dengan anak-anakku? Karena anak-anakku jauh lebih nyaman dengan kalian ketimbang padaku?!”

Danan berteriak, matanya memerah dan airmata menggenang disana. Tempat parkir sangat sepi sehingga suaranya menggema.

Marva menatap Danan, dia tahu kakaknya akan bereaksi seperti itu. Hal lumrah yang sering kakak iparnya katakan ketika Danan nantinya menyadari bahwa kerja kerasnya selama ini hanya membuat keluarganya menjauh dan merasa asing padanya.

“Bang, aku memilih hal ini karena kita keluarga. Kalau bukan aku dan Taehyung, lalu siapa lagi? Kita tidak memiliki saudara disini.”

Danan terdiam mendengar ucapan Marva kemudian tangisnya pecah. Airmata tidak dapat dia bendung lagi. Marva meminta Aksa membawa Jovi yang kini menangis kencang ke dalam mobil, dia mendekat ke arah Danan dan memeluknya. Mengelus punggung pria itu dengan lembut dan membiarkannya menangis.

Danan sudah merasa bahwa ketiga anaknya begitu asing dengannya sejak hari pertama kematian Gina di konfirmasi oleh tim dokter, anak-anaknya tidak berani mendekat, mereka menangis bertiga tanpa Danan. Tapi dia merasa semuanya akan baik-baik saja jika mereka menghabiskan waktu bersama-sama, nyatanya tidak, bagi mereka Danan masih orang asing. Orang asing yang tiba-tiba menggantikan ibu mereka untuk merawat ketiganya.

Marva menceritakan pada Danan bahwa Gina sering melakukan video call padanya dan Keenan. Gina rajin menanyakan kabar keduanya, memperkenalkan mereka pada ketiga anak Danan, Marva juga berkata bahwa dia dan Keenan beberapa kali pulang ke Indonesia dan menemui ketiga anak Danan yang bahkan Danan sendiri tidak tahu menahu mengenai hal ini.

Hidupnya terlalu terfokus pada pekerjaan, selama ini dia hanya berpikir tentang bagaimana bertahan di dunia ini ketimbang memikirkan bagaimana hidup keluarganya. Egois. Danan merasa dirinya terlalu egois. Dia merasa mual berpikir bahwa hal itu membuatnya terpisah dari keluarganya sendiri. Dia harus melakukan sesuatu agar ketiga anaknya, tidak merasa asing lagi padanya. Agar ketiga anaknya tahu bahwa mereka tidak hanya memiliki seorang ibu dan dua orang paman, mereka memiliki seorang ayah juga. Ayah bodoh yang memikirkan bahwa uang cukup untuk membahagiakan mereka. Danan harus melakukan sesuatu, tidak esok, tapi hari ini.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status