LOGIN“Semua mata tertuju padamu,” bisik Damian di telinga Joanna ketika mereka tiba di sebuah ballroom hotel tempat di mana pesta dilangsungkan.
Joanna berdiri di samping Damian, tubuhnya terbalut gaun hitam elegan yang jatuh sempurna mengikuti lekuk tubuhnya.
Rambutnya digelung rapi, hanya beberapa helai dibiarkan terurai untuk membingkai wajahnya. Riasannya sederhana, namun cukup untuk memancarkan aura memikat.
Para tamu menoleh. Beberapa bahkan berbisik di belakang punggungnya. Ada kekaguman yang jelas terpancar dari mata mereka.
Joanna bisa merasakan sorot itu—sorot yang dulu tak pernah ia dapatkan ketika masih bersama Thomas.
‘Jangan terjebak. Ingat, ini hanya sandiwara,’ batinnya menegur diri sendiri.
“Aku harus menemui temanku dulu. Makan atau minumlah yang kau inginkan, Joanna,” ucap Damian sebelum melangkah meninggalkan Joanna yang berdiri terpaku di sana.
Baru saja Joanna hendak mengambil minuman, suara langkah kaki menghentak datang menghampirinya.
Thomas dan Angel.
Kedua orang itu berdiri tak jauh, dengan setelan abu-abu yang pas di tubuhnya. Di sampingnya, Angel—sahabat yang pernah dia percaya sepenuh hati—tampak menawan dalam gaun merah menyala.
Tatapan mereka bertemu, dan sekejap dunia Joanna runtuh lagi. Thomas tampak terkejut, tapi Angel justru tersenyum miring, penuh kesombongan.
“Oh, lihat siapa yang datang,” suara Angel terdengar jelas meski mereka berjarak beberapa langkah.
Dia sengaja menaikkan volume bicaranya agar tamu sekitar ikut mendengar. “Joanna, kau terlihat berbeda. Aku hampir tak mengenalimu. Ternyata kau bisa juga tampil seperti manusia kelas atas, ya?”
Beberapa tamu menahan tawa kecil mendengarnya. Sementara Joanna menegang dan jemarinya menggenggam erat clutch di tangannya.
Thomas melirik Joanna sekilas lalu berkata dengan nada datar, “Aku kira setelah semua yang terjadi, kau akan menghilang dari lingkaran ini.”
Angel menyikut Thomas dengan manja. “Oh, biarkan saja dia, Sayang. Mungkin dia sedang mencoba naik kelas lewat jalan pintas.”
Angel menatap Joanna dari atas hingga bawah. “Dengan siapa kau kemari, Joanna? Tidak mungkin kalau bukan dengan pria biasa saja, sementara kau bisa datang kemari,” tanyanya dengan selipan hinaan yang membuat Joanna rasanya ingin menampar wajah Angel.
“Kalau kau tahu dengan siapa aku datang, aku tidak yakin kau masih berdiri di sini dengan anggun, Angel. Bisa jadi kau pingsan!” ucapnya lalu melirik ke arah Damian yang terlihat masuk ke ruang VIP, meninggalkan kerumunan.
Joanna menatap pintu yang baru saja tertutup di belakangnya. Tanpa berpikir panjang, dia pun mengejarnya.
“Hei! Mau ke mana kau? Aku belum selesai bertanya!” pekik Angel merasa kesal oleh Joanna.
“Sial! Dengan siapa datang kemari? Kenapa dia bicara begitu? Apakah pria itu seseorang yang kukenal?” gerutunya kesal.
Sementara Thomas tampak mengepalkan tangannya. Dia tidak menyangka bahwa Joanna sudah menemukan tambatan hati padahal baru beberapa hari mereka berpisah.
**
Pintu VIP terbuka tanpa permisi. Joanna masuk dengan napas tersengal. Damian berdiri di dekat meja lalu menuang anggur ke dalam gelas kristal.
Dia lalu menoleh dengan alis sedikit terangkat. “Kau tampak marah,” ujarnya tenang, seolah bisa membaca perasaannya.
Joanna menghela napas kasar. “Mereka … mereka menghinaku. Di depan semua orang. Angel—sahabatku sendiri—berani bicara seperti itu. Dan Thomas, dia bahkan tidak merasa bersalah sedikit pun!”
Damian mengamati wajah Joanna yang memerah karena amarah. Ia tidak menimpali, hanya menyerahkan gelas anggur padanya.
Joanna menepis. “Aku tidak butuh itu!” serunya. “Aku butuh jawaban, Damian. Kenapa semua ini harus menimpaku?!”
Damian meletakkan gelasnya di meja, lalu berjalan mendekat. “Mungkin karena mereka tahu kau rapuh. Dan rapuh selalu mudah diinjak.”
Kalimat itu membuat Joanna terdiam. Matanya membara dan bibirnya bergetar. “Jadi menurutmu aku lemah?”
Damian berdiri tepat di hadapannya hingga jarak di antara mereka nyaris hilang.
“Bukan. Aku tahu kau kuat. Tapi kau membiarkan luka itu membuatmu goyah. Kau ingin melawan mereka? Maka berhenti menangis dan gunakan amarahmu.”
Joanna mendengkus kesal. “Aku benci mereka,” bisiknya lirih. “Aku benci Thomas, aku benci Angel, dan aku ....” Dia terhenti lalu menatap Damian dengan tatapan penuh konflik. “Aku bahkan benci diriku sendiri.”
Damian mengangkat tangannya dan ibu jarinya mengusapi sisian wajah Joanna dengan lembut.
“Kalau kau butuh tempat melampiaskan semua kebencian itu, padaku saja. Aku siap menjadi tamengmu, Joanna.”
Joanna membeku dan hanya menelan ludahnya. Sentuhan itu mengirimkan kejutan listrik ke seluruh tubuhnya.
Ia tahu harus menjauh, harus menolak. Tapi rasa sakit yang membuncah membuatnya ingin hancur di pelukan seseorang.
Tanpa sadar, dia menarik kerah jas Damian dan menghantamkan bibirnya.
Ciuman itu kasar, penuh emosi—amarah, sakit hati, sekaligus hasrat yang tak terbendung.
Damian merespons dengan segera. Dia menggenggam pinggangnya dan menarik tubuh Joanna lebih dekat.
“Kau ingin mengulangi kejadian malam itu lagi, Baby Girl?” bisik Damian di sela ciuman panas itu.
Kafe di pusat kota itu tampak ramai sore itu, dihiasi cahaya hangat dari lampu gantung berwarna keemasan.Di salah satu sudutnya, Angel duduk dengan kaki bersilang anggun, segelas cappuccino di depannya masih mengepul lembut.Ia mengenakan gaun berwarna merah tua yang mencolok—kontras dengan ekspresi dingin di wajahnya.Di hadapannya, Thomas duduk dengan pandangan gelisah, menatap layar ponselnya yang baru saja menerima beberapa foto dari Angel.“Lihatlah itu,” ucap Angel pelan namun tajam, suaranya menembus keramaian kafe.Thomas menatap layar ponselnya lebih dekat.Foto-foto itu menampilkan Joanna tengah duduk bersama seorang pria di kafe lain. Dalam salah satu foto, pria itu tampak condong mendekat, sementara Joanna terlihat tersenyum kecil.Angel melipat tangannya di dada. “Kau tahu siapa pria itu? Aku tidak tahu, tapi yang jelas mereka tampak dekat.”Thomas menarik napas panjang. “Bisa saja itu urusan pekerjaan,” ucapnya menjawab dengan datar.Angel terkekeh pelan, seolah tidak p
Langit sore tampak redup, dibalut warna jingga keemasan yang mulai memudar di balik gedung-gedung tinggi.Di dalam mobil hitam yang berhenti di seberang jalan, Angel duduk diam dengan kacamata hitam menutupi sebagian wajahnya.Tangannya memegang kamera kecil, sementara tatapannya tajam mengarah ke sebuah kafe modern yang tak begitu ramai.Sudah hampir satu jam ia di sana, menunggu seseorang.Dan akhirnya, sosok itu muncul.Joanna—dengan balutan blus putih dan celana kain krem yang sederhana namun elegan.Rambutnya terurai rapi, dan senyum kecil tampak di wajahnya saat ia melangkah masuk ke kafe. Angel menggenggam kameranya lebih erat.“Jadi ini tempatmu bersantai sore-sore, Joanna,” gumamnya dingin. “Mari kita lihat, siapa yang akan datang menemuimu.”Beberapa menit kemudian, seorang pria berjas navy datang menghampiri Joanna.Mereka saling berjabat tangan dengan sopan, lalu duduk di sudut ruangan. Angel menurunkan kacamatanya sedikit, menajamkan pandangan.Pria itu tampak muda, mungk
Ruangan itu lengang, hanya suara derit lembut pendingin udara yang mengisi keheningan.Angel duduk di sofa dengan satu kaki tersilang, wajahnya tegang.Di depannya, seorang pria berpakaian hitam bernama Jonny berdiri menunduk, tangan terlipat di depan tubuhnya. Dari gesturnya saja sudah jelas—ia sedang ketakutan.“Jadi, kau tidak menemukan siapa pun?” suara Angel terdengar datar, tapi tajam seperti pisau.Jonny menelan ludah sebelum menjawab, “Tidak ada, Nona. Tuan Damian tidak terlihat dekat dengan siapa pun akhir-akhir ini. Bahkan siang tadi, beliau hanya makan bersama asisten pribadinya, Anthony.”Angel mendengkus pelan, matanya berputar ke arah jendela besar yang menampakkan langit senja.“Anthony?” gumamnya pelan, lalu tertawa sinis. “Kalau begitu, kau ingin bilang Papaku tidak punya kehidupan pribadi? Tidak mungkin. Dia terlalu tenang untuk seorang laki-laki yang katanya sedang jatuh cinta.”Jonny hanya diam. Ia tahu tidak ada gunanya membantah.Angel mencondongkan tubuh ke depa
Damian menyerang bibir Joanna dengan ciuman yang membara. Wajah wanita itu semakin memerah dan matanya masih membola.Bagaimana mungkin Damian memintanya untuk bercinta di sana. Meski mereka ada di ruang VIP, namun bukan berarti mereka bisa bermain gila di sana.“Damian!” ucap Joanna sembari mengatur napasnya yang terengah-engah. Matanya berkilat tajam menatap Damian yang tengah mengusap ujung bibirnya sendiri.“Kau benar-benar ingin bercinta di sini? Apa kau gila?” seru Joanna masih tidak percaya bahwa ucapan Damian tadi hampir terlaksana.“Memangnya kenapa? Ruangan ini kedap suara, dan bukan hanya kita saja yang melakukan itu di sini, Joanna.”“Tetap saja aku tidak setuju. Masih banyak tempat yang lebih layak—”“Layak atau tidak, itu bukan hal yang harus kau pikirkan, Sayang.” Damian memotong ucapan kekasihnya itu.Joanna mendengkus pelan seraya menatap Damian yang tampaknya memang tidak bercanda akan bercinta di sana.Tangan Damian kembali membuka blouse Joanna dengan mata menatap
Restoran itu terletak di lantai paling atas gedung tempat kantor Damian berdiri—restoran dengan pencahayaan hangat, aroma lembut kayu dan rempah Italia yang samar-samar memenuhi udara.Di ruang VIP, hanya ada dua orang: Damian dan Joanna.Pelayan baru saja meninggalkan mereka setelah menata dua piring spagheti carbonara di atas meja, segelas jus jeruk untuk Joanna, dan anggur merah untuk Damian.Suara lembut musik klasik mengalun pelan, menjadi satu-satunya yang terdengar selain detak jam dinding yang berjalan lambat.Joanna duduk berhadapan dengan Damian. Jari-jarinya menggenggam garpu dengan ragu, pikirannya tidak sepenuhnya pada makanan.Ia menatap Damian yang tampak santai, membuka jasnya, menggulung lengan kemeja hingga ke siku, dan menikmati aroma anggurnya seolah dunia di luar ruangan itu tidak ada.“Jadi,” kata Joanna akhirnya, memecah kesunyian. “Angel datang ke kantor kemarin, dia menanyakan apa?”Damian menurunkan gelasnya perlahan, lalu menatap Joanna. “Kau ingin tahu?”“T
Pagi di kantor Damian terasa berbeda dari biasanya. Suasana tenang yang biasanya menyelimuti ruangan kerjanya mendadak berubah begitu pintu ruangannya terbuka dengan keras. Angel, dengan wajah penuh emosi dan langkah tergesa, masuk tanpa mengetuk.Ayahnya yang tengah duduk di balik meja kerja, menandatangani beberapa dokumen penting, mengangkat wajahnya perlahan. Alis Damian sedikit terangkat, tapi suaranya tetap tenang seperti biasa.“Ada apa, Angel?” tanyanya datar.Angel melangkah cepat mendekati meja. “Aku ingin tahu sesuatu,” katanya ketus. “Tentang wanita itu.”Damian menyandarkan punggungnya di kursi kulit hitamnya. “Wanita itu?” ulangnya, seolah tak mengerti. “Wanita yang mana, Angel?”“Jangan berpura-pura tidak tahu, Pa!” Angel menatapnya tajam dan kedua tangannya terkepal di depan dada.“Semalam, di gala dinner, kau mengumumkan di depan semua orang kalau kau sudah punya tambatan hati. Siapa dia? Kenapa aku tidak tahu apa-apa tentangnya?”Damian menghela napas pelan. Ia memut







