LOGINKeesokan harinya, Yuli memaksakan diri untuk membuka toko. Berlindung di balik rutinitas terasa lebih aman daripada terus-menerus mengurung diri di rumah yang kini terasa seperti sangkar kaca. Dia membereskan rak-rak bunga dengan tangan gemetar, setiap kali bel pintu berbunyi, jantungnya serasa mau copot.
Lila, yang sudah mendengar kegelisahan Yuli, mencoba bersikap normal. "Santai aja, mungkin cuma kebetulan," bisiknya sambil merangkai bunga, meski tatapannya juga terus mengawasi pintu.
Tepat pukul sepuluh pagi, ketika toko mulai ramai dengan pelanggan, bel pintu berbunyi lagi. Dan di sana, berdiri seorang wanita.
Dia tidak perlu memperkenalkan diri. Elegan. Dingin. Seperti es yang dibungkus sutra. Gaun linen putihnya sederhana tapi mematikan, dan tas tangan yang digenggamnya cukup untuk membayar sewa toko Yuli setahun. Wanita itu adalah personifikasi dari segala ketakutan Yuli.
"Selamat pagi," ucap wanita itu dengan senyum tipis yang tidak sampai ke matanya. "Saya Karin. Apakah saya bisa bertemu dengan pemilik toko, Ibu Yuli?"
Yuli merasa seluruh darah di tubuhnya membeku. Dia berusaha tetap tenang, mengusap tangan celananya yang berkeringat. "Saya Yuli. Ada yang bisa saya bantu, Ibu?"
Karin mengamati toko dengan pandangan sekilas, seolah menilai setiap detail. "Saya dengar ini adalah toko bunga terbaik di area sini. Saya ingin memesan dekorasi bunga untuk acara amal perusahaan suami saya. Tentu, budget bukan masalah."
Setiap katanya diucapkan dengan sempurna, namun terasa seperti silet yang dibungkus beludru.
"Saya... senang mendengarnya. Silakan, kita bisa bicara di meja kerja saya," ajak Yuli, berusaha suaranya tidak gemetar.
Mereka duduk berhadapan. Lila, dari kejauhan, mengawasi dengan tatapan waspada.
"Jadi, Ibu Yuli," mulai Karin, jari-jarinya yang halus mengetuk-ngetuk meja dengan ringan. "Sebagai ahli bunga, pasti Ibu tahu arti di balik setiap bunga, ya?"
"Beberapa, Ibu," jawab Yuli singkat.
"Menurut Ibu, bunga apa yang cocok melambangkan... penyesalan?" tanya Saskia, menatap langsung ke mata Yuli. "Atau mungkin, pengampunan?"
Yuli menelan ludah. Pertanyaan itu seperti pukulan langsung ke ulu hatinya. "Bunga Hyacinth biasa melambangkan permintaan maaf. Atau bunga putih seperti Lily yang melambangkan kemurnian... dan pengampunan."
"Hyacinth. Bagus," gumam Karin. "Tapi, bisakah bunga yang sudah dipotong dan diatur dengan indah, benar-benar mewakili penyesalan yang tulus? Atau hanya jadi topeng untuk menutupi sesuatu yang... busuk di dalam vasnya?"
Yuli menarik napas dalam-dalam. Ini bukan lagi percakapan tentang bunga. Ini adalah pertempuran. "Itu tergantung niat si pengirim, Ibu Karin. Bunga hanyalah alat."
"Pandangan yang menarik," sahut Karin, senyumnya semakin tipis. "Suami saya, Jonas, juga suka bunga. Tapi belakangan ini, dia seperti punya ketertarikan baru. Sering pulang larut, sibuk dengan 'proyek' yang tidak pernah dia ceritakan." Dia memandang Yuli. "Sebagai wanita karir, saya memahami kesibukan. Tapi sebagai istri, tentu ada rasa... penasaran."
Yuli berkeringat dingin. Dia merasa seperti sedang diinterogasi tanpa bisa melarikan diri. "Mungkin... mungkin Ibu harus berbicara langsung dengan suami Ibu."
"Oh, tentu. Komunikasi adalah kunci, bukan?" Saskia mengangguk pura-pura bijak. Tiba-tiba, dia berdiri. "Terima kasih atas waktunya, Ibu Yuli. Saya akan mempertimbangkan pesanan ini. Tapi, izinkan saya memberi Anda sahabat kecil."
Dia membuka dompet kulitnya yang mewah. Sebuah foto kecil terjatuh dengan sengaja, mendarat tepat di depan Yuli.
Foto itu menunjukkan Karin, Jonas, dan seorang anak kecil perempuan yang cantik—keponakan Jonas yang sering dia rawat. Mereka tersenyum bahagia, gambar keluarga yang sempurna.
Karin memungutnya dengan lambat, seolah memberi Yuli waktu untuk mencerna setiap detail kebahagiaan yang terpampang di sana.
"Keluarga adalah segalanya, bukan, Ibu Yuli?" ucapnya, suaranya lembut tapi mematikan. "Segala sesuatu yang kita bangun, segala pengorbanan... semuanya untuk melindungi gambaran utuh ini. Saya yakin Anda mengerti."
Tanpa menunggu jawaban, Karin berbalik dan berjalan keluar toko, meninggalkan aroma parfum mahal dan rasa takut yang membeku di udara.
Yuli terduduk lunglai, tubuhnya lemas. Tangannya menggenggam tepi meja hingga keputihan.
Lila segera menghampiri. "Yuli? Apa-apaan itu? Siapa dia?"
Yuli memandangi pintu yang sudah tertutup, seolah masih bisa melihat bayangan Saskia di sana.
"Itu dia, Lis," bisik Yuli, suaranya nyaris tak terdengar. "Itu adalah istri Jonas."
Dia menarik napas tersendat.
"Dan itu bukan sekadar kunjungan. Itu adalah peringatan terakhir."
Paranoia mulai menggerogoti Yuli seperti penyakit yang tak kunjung sembuh. Semenjak kunjungan Karin, setiap bel pintu yang berbunyi membuatnya tersentak. Setiap pelanggan baru yang sedikit banyak bertanya membuat jantungnya berdebar kencang. Sebuah mobil sedan hitam yang dua kali terparkir di seberang jalan toko menjadi fiksasi barunya; dia yakin itu adalah mobil para pengawas yang disewa Karin.
"Yuli, kamu harus tenang," tegur Lila suatu sore saat melihat Yuli hampir menjatuhkan vas bunga mahal karena terkejut oleh suara klakson. "Dia cuma datang sekali. Mungkin memang hanya kebetulan."
"Itu bukan kebetulan, Lila!" bantah Yuli, suaranya bergetar. "Caranya bicara... pertanyaannya tentang penyesalan... dia tahu sesuatu. Aku bisa merasakannya."
"Tapi dia tidak bilang apa-apa, kan? Dia hanya pesan bunga—yang akhirnya bahkan tidak jadi dipesan. Kamu membayangkan hal-hal yang belum tentu benar."
Persahabatan mereka mulai renggang. Lila lelah dengan ketegangan yang terus-menerus dan merasa ditutupi. Yuli, di sisi lain, merasa Lila tidak mengerti betapa dalam dan berbahayanya ancaman yang dia rasakan.
***
Di sebuah kantor yang minimalist dan mahal, Karin duduk di belakang mejanya, menatap layar laptop. Investigator swasta yang dia sewa—seorang pria bernama Ben yang berpakaian casual—sedang memberikan laporan.
"Target, Yuli Bennett, pemilik toko bunga 'Flora & Stone'. Aktivitasnya biasa saja: rumah-toko, toko-rumah. Tidak ada kehidupan malam yang mencurigakan," lapor Ben.
"Dan dengan suami saya?" tanya Karin tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
Ben menggeleng. "Belum ada bukti pertemuan langsung antara mereka berdua sejak kami mulai pantau. Suami Ibu, Pak Jonas, aktivitasnya normal: kantor, meeting, kadang dinner dengan klien, lalu pulang ke rumah."
Karin menghela napas, sedikit kecewa. Firasatnya mengatakan ada yang tidak beres—sikap Jonas yang belakangan dingin dan sering melamun—tapi dia tidak memiliki bukti.
"Tapi, ada satu hal," lanjut Ben, membuka folder digital. "Beberapa malam yang lalu, kami merekam Pak Jonas mengantar seorang wanita ke kontrakannya. Wanita itu adalah Ibu Yuli."
Karin langsung menegakkan badannya. "Mereka berdua saja?"
"Iya. Tapi mereka tidak terlihat mesra. Sepertinya Pak Jonas hanya mengantarnya pulang. Dia masuk hanya sebentar, sekitar lima menit, lalu keluar lagi dan pulang ke rumah Ibu."
Lima menit. Waktu yang terlalu singkat untuk melakukan sesuatu, tapi cukup panjang untuk sebuah percakapan. Karin berpikir cepat. Mungkin mereka memang hanya teman? Tapi kenapa Jonas tidak pernah bercerita? Kenapa dia harus mengantarnya pulang larut malam?
"Lanjutkan pengawasan," perintah Karin, matanya menyipit. "Khususnya pada wanita itu. Dan carilah tahu lebih dalam tentang latar belakangnya. Siapa tahu ada sesuatu yang bisa menjelaskan... kedekatan mereka."
Ben mengangguk dan keluar ruangan.
Karin berjalan menghampiri jendela, memandang kota di bawahnya. Dia belum tahu mereka berselingkuh. Tapi benih kecurigaan sudah tertanam kuat. Bagi Karin, seorang wanita yang cerdas dan teratur, ketidakpastian adalah musuh. Dan Yuli, dengan toko bunganya yang sederhana dan wajah polosnya, telah menjadi simbol dari ketidakpastian itu.
Dia tidak butuh bukti fisik perselingkuhan. Baginya, fakta bahwa Jonas menyembunyikan pertemanan dengan wanita lain—apalagi sampai mengantarnya pulang malam-malam—sudah cukup merupakan sebuah pengkhianatan.
***
Sementara itu, tekanan pada Yuli semakin menjadi. Suatu pagi, dia menemukan sebuah potongan kertas tanpa nama yang diselipkan di pintu tokonya. Hanya tertulis: "Kebohongan memiliki akar yang pendek."
Dia hampir hysterical. Dia menunjukkan kertas itu pada Lila.
"Ini mungkin hanya iseng orang, Yuli!" coba Lila menenangkan, meski hatinya ragu.
"Tidak! Ini dia! Ini Karin!" teriak Yuli, air mata mulai mengalir. "Dia sedang bermain denganku. Dia ingin aku ketakutan."
"Kalau begitu, laporkan saja! Atau konfrontasi Jonas!"
"Dan bilang apa? Bahwa istrinya mungkin menyewa orang untuk mengawasiku tanpa ada bukti? Aku akan terdengar seperti orang gila!" Yuli menarik napas tak beraturan. "Aku... aku tidak tahan lagi, Lis. Aku merasa seperti sedang berada dalam sangkar, dan seseorang perlahan-lahan menutup kerangkanya."
Dia memandang toko bunganya, yang dulu adalah tempat perlindungannya, kini terasa seperti ruang interogasi.
"Aku butuh pergi dari sini," bisiknya, suaranya penuh keputusasaan. "Aku butuh udara."
Lila memandang sahabatnya yang hancur. Dia akhirnya mengerti bahwa ini bukan lagi paranoia biasa. Ada sesuatu yang memang sedang terjadi, sesuatu yang beracun dan tak terlihat, dan itu sedang menghancurkan Yuli dari dalam.
"Baik," kata Lila akhirnya, memeluk Yuli. "Kita akan carikan solusinya."
Tapi dalam hati, Lila bertanya-tanya: apakah larilah solusinya? Atau justru akan membuat segalanya lebih buruk? Dan yang paling penting, sejauh mana sebenarnya hubungan Yuli dan Jonas, hingga bisa memicu permainan berbahaya seperti ini? Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung, tak terjawab, menambah berat udara yang sudah sesak.
***
Tiga hari berlalu tanpa kabar dari Jonas.Awalnya, Yuli mengira Jonas hanya sibuk dengan rencana "pembebasannya". Tapi ketika panggilan demi panggilan tidak diangkat, dan pesan singkatnya hanya terbaca tanpa balasan, kecemasan mulai merayap seperti kabut di lembah. Ketenangan kota kecil itu tiba-tiba terasa menyesakkan. Setiap bunyi ponsel membuatnya terkejut, hanya untuk kemudian kecewa karena itu bukan Jonas.Khawatirnya berubah menjadi panik. Pikirannya melayang kepada skenario terburuk: apakah Karin sudah melakukan sesuatu padanya? Apakah Jonas celaka? Atau... yang paling menyakitkan... apakah dia telah berubah pikiran dan memilih untuk mundur, meninggalkannya sekali lagi dalam kesunyian?Yuli: Jonas, tolong jawab. Aku khawatir. Yuli:Apa kamu baik-baik saja? Hanya satu kata saja. Please. Yuli:Jika kamu sudah tidak ingin ini lagi, katakan saja. Aku akan mengerti.Pesan terakhir itu dikirim dengan air mata. Dia merasa dirinya sangat memalukan—seorang wanita yang ditinggalkan, menung
Jaket itu menjadi pengobar kerinduan yang tak terbendung. Selama tiga hari berikutnya, percakapan mereka melalui pesan semakin intens. Jonas tidak lagi meminta lokasinya, tetapi dengan licin menyelipkan pertanyaan-pertanyaan kecil. Tentang udara, tentang pemandangan, tentang bunga apa yang mekar di sana. Yuli, yang hatinya telah lembek, menjawab tanpa curiga."Aku membayangkan kamu di antara hamparan hijau," tulis Jonas suatu malam. "Seperti dulu kita jalan-jalan ke kebun teh di dekat sekolah."Yuli, yang memang baru saja mengunjungi kebun teh, membalas tanpa berpikir panjang. "Di sini lebih indah. Kebun tehnya luas, menghadap langsung ke lembah. Udara nya sejuk dan bau tanahnya menenangkan."Itu adalah kesalahan yang fatal.Dua hari kemudian, pada sebuah Sabtu yang cerah, Yuli sedang menyiram tanaman kecil di pekarangan rumahnya. Bunyi derum mobil mendekat membuatnya mengangkat kepala. Sebuah mobil rental berwarna gelap berhenti persis di depan pagar kayunya.Pintu mobil terbuka. Dan
Kabut pagi masih menyelimuti lembah ketika Yuli membuka jendela rumah kayu tua yang baru disewanya. Udara sejuk dan bau tanah basah menusuk hidungnya, sebuah sensasi yang jauh berbeda dari udara panas dan polusi kota yang telah ditinggalkannya. Di kejauhan, gunung menjulang dengan puncaknya yang tersembunyi di balik awan, diam dan kokoh, seolah menatapnya dengan sikap acuh tak acuh.Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan gemuruh di dadanya. Pelariannya ke kota kecil di lereng gunung ini terasa seperti mimpi sekaligus mimpi buruk. Di satu sisi, ketenangan di sini menyembuhkan. Di sisi lain, kesendirian justru membuat pikirannya semakin berisik, dipenuhi oleh bayangan Jonas, Karin, dan rasa bersalah yang tak kunjung usai.Briiing! Briiing!Suara telepon dari dalam saku jaketnya membuatnya nyaris melompat. Jantungnya berdebar kencang. Seperti biasa, nama "Jonas" terus-menerus muncul di layar. Sejak kepergiannya tiga hari lalu, ini sudah menjadi ritual. Dia mengabaikan panggi
Tekanan itu mencapai puncaknya ketika Yuli menemukan setangkai bunga Hyacinth ungu—bunga permintaan maaf yang pernah disebutkan Karin—tergeletak di depan pintu kontrakannya, tanpa kartu, tanpa penjelasan. Itu adalah pesan. Sebuah pesan yang hanya dia dan Karin yang mengerti. Perang urat saraf itu berhasil; pertahanannya runtuh.Dia tidak bisa lagi tidur, tidak bisa makan. Setiap bayangan membuatnya terjaga. Keputusan yang sudah matang dalam pikirannya akhirnya diucapkan kepada Lila keesokan harinya di toko."Aku akan pergi, Lis," ucap Yuli, suaranya datar namun penuh keyakinan yang putus asa. "Aku butuh cuti panjang. Aku akan pergi ke luar kota, mungkin ke kampung halamanku atau ke suatu tempat yang tenang. Aku butuh... menjernihkan pikiran."Lila memandangnya dengan sedih. Dia melihat lingkaran hitam yang dalam di mata Yuli dan tubuhnya yang semakin kurus. "Apa ini karena dia? Karin?""Ini karena segalanya," jawab Yuli menghindar. "Aku lelah, Lis. Aku merasa terjebak. Aku butuh melep
Keesokan harinya, Yuli memaksakan diri untuk membuka toko. Berlindung di balik rutinitas terasa lebih aman daripada terus-menerus mengurung diri di rumah yang kini terasa seperti sangkar kaca. Dia membereskan rak-rak bunga dengan tangan gemetar, setiap kali bel pintu berbunyi, jantungnya serasa mau copot.Lila, yang sudah mendengar kegelisahan Yuli, mencoba bersikap normal. "Santai aja, mungkin cuma kebetulan," bisiknya sambil merangkai bunga, meski tatapannya juga terus mengawasi pintu.Tepat pukul sepuluh pagi, ketika toko mulai ramai dengan pelanggan, bel pintu berbunyi lagi. Dan di sana, berdiri seorang wanita.Dia tidak perlu memperkenalkan diri. Elegan. Dingin. Seperti es yang dibungkus sutra. Gaun linen putihnya sederhana tapi mematikan, dan tas tangan yang digenggamnya cukup untuk membayar sewa toko Yuli setahun. Wanita itu adalah personifikasi dari segala ketakutan Yuli."Selamat pagi," ucap wanita itu dengan senyum tipis yang tidak sampai ke matanya. "Saya Karin. Apakah saya
Cahaya pagi yang kejam menyusup melalui celah tirai, menyinari debu-debu yang berputar dansa di udara. Sinar itu pula yang membangunkan Yuli dari tidurnya yang gelisah. Untuk sesaat, kebingungan menyergapnya. Kehangatan tubuh di sampingnya, aroma Jonas yang familiar bercampur dengan seprai yang berantakan... lalu, kenangan semalam menghantamnya bagai gelombang pasang.Ciuman di depan pintu. Paksaan masuk. Gendongan. Dan... kelembutan sekaligus keganasan yang mengikutinya di atas kasur ini. Mereka sekali lagi tenggelam dalam lautan kenangan, mabuk bukan oleh alkohol, tetapi oleh ilusi masa lalu dan keputusasaan yang mereka rasakan di masa kini.Rasa bersalah yang tajam langsung menusuk dada Yuli, lebih menyakitkan daripada sinar matahari yang menyilaukannya. Dengan gerakan pelan-pelan, seperti mencuri, dia melepaskan diri dari pelukan Jonas yang masih terlelap. Wajahnya dalam tidur tampak begitu tenang, begitu damai, sebuah kontras yang menyiksa bagi Yuli yang hancur.Dia mengambil gau







