LOGINAcara reuni itu membangunkan kisah lama Jonas dan Yuli yang pernah kandas. Yuli tidak pernah menyangka dalam hidupnya akan berhubungan kembali dengan mantan kekasih yang telah hilang hampir satu dekade, namun sekarang sudah menjadi suami orang.
View MoreSuasana restoran bergaya industrial itu riuh rendah oleh gelak tawa dan cerita lama. Lampu temaram dan dentuman musik 90-an menciptakan atmosfer nostalgia yang kental. Di sudut ruangan, Yuli memutar-mutar gelas wine-nya, matanya tanpa sadar mengikuti gerak Jonas yang sedang terlibat obrolan seru dengan beberapa teman lama di dekat bar.
"Jonas Blake. Tetap sesempurna dulu, ya? Dulu ranking satu, ketua OSIS, sekarang jadi Manajer Senior di perusahaan fintech. Beberapa orang memang ditakdirkan untuk sukses," gumam Clara, teman sekelas mereka dulu, sambil menyandar di kursi sebelah Yuli.
Yuli menarik napas dalam. "Dia memang selalu tahu apa yang dia inginkan." Ucapannya terdengar datar, menyembunyikan gejolak di dalam dada. Dari seberang ruangan, Jonas menangkap pandangan Yuli. Dia membalas dengan anggukan halus dan senyum kecil yang cepat sebelum kembali pada percakapannya. Meski hubungan mereka setelah putus tetap sopan dan baik-baik saja, selalu ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka, sebuah bab dalam buku hidup yang belum sepenuhnya bisa ditutup. Seiring berjalannya malam, acara mulai berakhir. Bir dan whiskey telah melunakkan kendali banyak orang. Beberapa orang sudah mulai berjalan sempoyongan, termasuk Jonas yang biasanya selalu tampak paling terkendali. Yuli sendiri kepalanya terasa berkabut, tapi kesadarannya masih cukup utuh. "Kamu okay?" tanya Jonas tiba-tiba sudah berdiri di samping mejanya, wajahnya memerah dan napasnya mengandung aroma whiskey yang tajam. "Masih bisa berjalan lurus, setidaknya untuk saat ini," jawab Yuli, berusaha terdengar ringan. "Mana... istrimu?" "Dia ada acara lain. Dan... dia bukan tipe yang menikmati reuni seperti ini," ucap Jonas, dan Yuli bisa mendeteksi sebuah kedipan rasa jengah di matanya sebelum cepat-cepat dihilangkan. "Kamu butuh tumpangan? Aku pesan taksi," tawar Yuli saat melihat Jonas kesulitan menjaga keseimbangan. Jonas mengangguk, terlihat sedikit malu. "Thanks, Yuli. Aku rasa aku meremehkan kadar alkohol tadi." Di dalam taksi yang sepi, mereka duduk dengan jarak sopan. Suara mesin dan desir angin malam memenuhi keheningan yang canggung di antara mereka. "Kamu masih tinggal di apartemen yang dekat dengan taman itu?" tanya Jonas, memecah kesunyian. "Masih. Rasanya nyaman. Tidak sebesar rumah di suburbs milikmu, tapi cukup untuk seorang diri," jawab Yuli, menatap pemandangan kota yang berlalu di luar jendela. "Yuli..." suara Jonas terdengar serak, lebih dalam dari biasanya. "Aku... Pernahkah kamu membayangkan, bagaimana jadinya kita jika dulu aku tidak..." "Dulu adalah dulu, Jonas. Kamu sudah berkomitmen pada seseorang else. Sebuah pernikahan, bagaimanapun awalnya, tetaplah sebuah ikrar," potong Yuli dengan lembut tapi tegas. Dadanya berdebar kencang, membayangkan jalan percakapan yang berbahaya ini. Jonas menghela napas panjang, menatap kosong ke depan. "Ikrarr. Ya. Tapi ikrar untuk apa? Kami hidup seperti dua orang asing yang berbagi alamat yang sama. Dia... dia tidak menginginkan anak, Yuli. Itu sudah jelas sejak awal. Katanya, itu akan mengganggu gaya hidup dan kariernya. Dan aku... aku merasa seperti hanya menjalani sebuah skenario hidup yang sudah ditulis orang lain, tanpa ada bab tentang kebahagiaan yang sebenarnya." Yuli terdiam, hancur oleh keterbukaan yang tiba-tiba ini. Dia selalu membayangkan Jonas menjalani kehidupan yang sempurna dan mapan. "Kamu tidak bisa memaksanya, Jonas. Itu adalah pilihan tubuh dan hidupnya." "Lalu di mana pilihanku?" desisnya, suaranya pecah dan penuh keputusasaan. "Tunggu, sopir. Tolong berhenti di hotel itu saja," perintah Jonas tiba-tiba, menunjuk sebuah hotel bisnis yang sederhana tapi bersih. "Jonas, ini bukan arah rumahmu." "Aku tahu. Aku cuma... butuh waktu untuk menenangkan pikiran sebelum pulang. Temani aku sebentar? Hanya untuk minum kopi. Please," pinta Jonas. Matanya, yang dulu selalu penuh keyakinan, kini memandangnya dengan kerentanan yang dalam. Hati Yuli luluh. Dibawah alasan ingin memastikan Jonas tidak sendirian dalam keadaan seperti ini, dia mengangguk dan mengikutinya keluar dari taksi. --- Kamar hotel itu standar, fungsional, dan sunyi. Jonas duduk lesu di tepi tempat tidur, memegangi kepalanya. "Dulu, kamu selalu bilang ingin punya keluarga yang hangat. Dengan dapur yang selalu beraroma kue dan anak-anak yang berlarian," ucap Jonas tiba-tiba, suaranya terdengar sayu. Yuli tercekat, lalu duduk di kursi kerja dekat meja. "Kamu masih mengingat hal-hal seperti itu?" "Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya? Mimpi-mimpi sederhanamu itulah yang... yang membuatku merasa hidup itu nyata. Sekarang, semuanya terasa seperti sebuah permainan peran. Aku memainkannya dengan baik, tapi jiwaku tidak ada di dalamnya." "Ini hanya efek alkohol, Jonas. Besok pagi kau akan bangun dan menyadari bahwa kata-katamu malam ini terlalu berlebihan." "Tidak!" bantahnya dengan semangat yang tiba-tiba muncul. "Justru karena mabuk inilah aku punya nyali untuk jujur. Aku menyesal melepasmu, Yuli. Aku menyesal telah membiarkan harapan orang lain mengalahkan suara hatiku sendiri." "Jonas, jangan..." "Tidak bisakah kita mencuri satu malam saja? Lupakan semua gelar dan status kita. Lupakan 'Manajer Senior' dan 'istri'. Anggap saja kita kembali ke masa itu, di perpustakaan sekolah, di mana satu-satunya hal yang penting adalah ujian besok dan senyummu." Kata-katanya menggantung di udara, merobek setiap pertahanan yang Yuli bangun sepanjang malam. Perasaannya yang lama terpendam bangkit, membanjiri akal sehatnya. "Tapi kita bukan lagi anak sekolah, Jonas. Aku adalah Yuli, seorang wanita yang harus menjaga hatinya. Dan kamu adalah Jonas, seorang suami." Jonas berjalan mendekat, lalu berlutut di hadapannya. Dia tidak menyentuhnya, tapi kedekatan itu terasa menyengat. "Kalau begitu, untuk malam ini, jadilah Yuli-ku yang dulu. Yang percaya pada cinta dan masa depan. Dan biarkan aku menjadi Jonas-mu yang dulu. Yang yakin bahwa dunia ada di genggamannya asal kamu ada di sampingnya. Izinkan kita... untuk tersesat satu malam saja, dalam kenangan yang kita tinggalkan." "Jonas, kau sudah mabuk berat. Omonganmu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Tidur saja, aku akan pergi," kata Yuli tak ingin tergoda. "Aku serius, Yuli. Meskipun aku habis minum, aku benar-benar sadar. Nih aku bisa hitung jariku..." Jonas menunjukkan sepuluh jarinya di depan wajah, lalu menghitung. "Satu... Dua..." Yuli menghela napas. Pria ini sudah seperti orang gila. "Aku tidak punya waktu untuk meladeni omongan orang mabuk," kata Yuli, meski dia sendiri juga ikut minum, tapi tidak separah Jonas. "Aku pergi!" kesal Yuli. Dia sangat lelah dan mengantuk. Ingin cepat sampai rumah untuk langsung ambruk. Tetapi, tangan Jonas menahan hatinya yang remuk, dengan kata-katanya yang menusuk, "Aku masih mencintaimu." Yuli mematung. Posisinya membelakangi Jonas. "Aku tahu dulu kau mencintaiku," ujarnya berusaha rasional. Pandangannya kini mulai pening, dan dunia seakan berputar ketika Jonas menariknya dari belakang. Sekarang mereka berhadapan. "I'm fucking love you, Yuli." Seketika Jonas meraup bibir Yuli. Yuli membelalakkan matanya dan langsung mendorong dada bidang pria itu sekuat tenaga. Namun Jonas justru menahan tengkuknya, dan memperdalam ciuman itu. Tanpa melepaskan pagutan, Jonas mendorong Yuli hingga mereka terjatuh ke kasur. Yuli terjebak di bawah tubuh besar Jonas, menimbulkan dilema antara cinta dan napsu.Tiga hari berlalu tanpa kabar dari Jonas.Awalnya, Yuli mengira Jonas hanya sibuk dengan rencana "pembebasannya". Tapi ketika panggilan demi panggilan tidak diangkat, dan pesan singkatnya hanya terbaca tanpa balasan, kecemasan mulai merayap seperti kabut di lembah. Ketenangan kota kecil itu tiba-tiba terasa menyesakkan. Setiap bunyi ponsel membuatnya terkejut, hanya untuk kemudian kecewa karena itu bukan Jonas.Khawatirnya berubah menjadi panik. Pikirannya melayang kepada skenario terburuk: apakah Karin sudah melakukan sesuatu padanya? Apakah Jonas celaka? Atau... yang paling menyakitkan... apakah dia telah berubah pikiran dan memilih untuk mundur, meninggalkannya sekali lagi dalam kesunyian?Yuli: Jonas, tolong jawab. Aku khawatir. Yuli:Apa kamu baik-baik saja? Hanya satu kata saja. Please. Yuli:Jika kamu sudah tidak ingin ini lagi, katakan saja. Aku akan mengerti.Pesan terakhir itu dikirim dengan air mata. Dia merasa dirinya sangat memalukan—seorang wanita yang ditinggalkan, menung
Jaket itu menjadi pengobar kerinduan yang tak terbendung. Selama tiga hari berikutnya, percakapan mereka melalui pesan semakin intens. Jonas tidak lagi meminta lokasinya, tetapi dengan licin menyelipkan pertanyaan-pertanyaan kecil. Tentang udara, tentang pemandangan, tentang bunga apa yang mekar di sana. Yuli, yang hatinya telah lembek, menjawab tanpa curiga."Aku membayangkan kamu di antara hamparan hijau," tulis Jonas suatu malam. "Seperti dulu kita jalan-jalan ke kebun teh di dekat sekolah."Yuli, yang memang baru saja mengunjungi kebun teh, membalas tanpa berpikir panjang. "Di sini lebih indah. Kebun tehnya luas, menghadap langsung ke lembah. Udara nya sejuk dan bau tanahnya menenangkan."Itu adalah kesalahan yang fatal.Dua hari kemudian, pada sebuah Sabtu yang cerah, Yuli sedang menyiram tanaman kecil di pekarangan rumahnya. Bunyi derum mobil mendekat membuatnya mengangkat kepala. Sebuah mobil rental berwarna gelap berhenti persis di depan pagar kayunya.Pintu mobil terbuka. Dan
Kabut pagi masih menyelimuti lembah ketika Yuli membuka jendela rumah kayu tua yang baru disewanya. Udara sejuk dan bau tanah basah menusuk hidungnya, sebuah sensasi yang jauh berbeda dari udara panas dan polusi kota yang telah ditinggalkannya. Di kejauhan, gunung menjulang dengan puncaknya yang tersembunyi di balik awan, diam dan kokoh, seolah menatapnya dengan sikap acuh tak acuh.Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan gemuruh di dadanya. Pelariannya ke kota kecil di lereng gunung ini terasa seperti mimpi sekaligus mimpi buruk. Di satu sisi, ketenangan di sini menyembuhkan. Di sisi lain, kesendirian justru membuat pikirannya semakin berisik, dipenuhi oleh bayangan Jonas, Karin, dan rasa bersalah yang tak kunjung usai.Briiing! Briiing!Suara telepon dari dalam saku jaketnya membuatnya nyaris melompat. Jantungnya berdebar kencang. Seperti biasa, nama "Jonas" terus-menerus muncul di layar. Sejak kepergiannya tiga hari lalu, ini sudah menjadi ritual. Dia mengabaikan panggi
Tekanan itu mencapai puncaknya ketika Yuli menemukan setangkai bunga Hyacinth ungu—bunga permintaan maaf yang pernah disebutkan Karin—tergeletak di depan pintu kontrakannya, tanpa kartu, tanpa penjelasan. Itu adalah pesan. Sebuah pesan yang hanya dia dan Karin yang mengerti. Perang urat saraf itu berhasil; pertahanannya runtuh.Dia tidak bisa lagi tidur, tidak bisa makan. Setiap bayangan membuatnya terjaga. Keputusan yang sudah matang dalam pikirannya akhirnya diucapkan kepada Lila keesokan harinya di toko."Aku akan pergi, Lis," ucap Yuli, suaranya datar namun penuh keyakinan yang putus asa. "Aku butuh cuti panjang. Aku akan pergi ke luar kota, mungkin ke kampung halamanku atau ke suatu tempat yang tenang. Aku butuh... menjernihkan pikiran."Lila memandangnya dengan sedih. Dia melihat lingkaran hitam yang dalam di mata Yuli dan tubuhnya yang semakin kurus. "Apa ini karena dia? Karin?""Ini karena segalanya," jawab Yuli menghindar. "Aku lelah, Lis. Aku merasa terjebak. Aku butuh melep
Keesokan harinya, Yuli memaksakan diri untuk membuka toko. Berlindung di balik rutinitas terasa lebih aman daripada terus-menerus mengurung diri di rumah yang kini terasa seperti sangkar kaca. Dia membereskan rak-rak bunga dengan tangan gemetar, setiap kali bel pintu berbunyi, jantungnya serasa mau copot.Lila, yang sudah mendengar kegelisahan Yuli, mencoba bersikap normal. "Santai aja, mungkin cuma kebetulan," bisiknya sambil merangkai bunga, meski tatapannya juga terus mengawasi pintu.Tepat pukul sepuluh pagi, ketika toko mulai ramai dengan pelanggan, bel pintu berbunyi lagi. Dan di sana, berdiri seorang wanita.Dia tidak perlu memperkenalkan diri. Elegan. Dingin. Seperti es yang dibungkus sutra. Gaun linen putihnya sederhana tapi mematikan, dan tas tangan yang digenggamnya cukup untuk membayar sewa toko Yuli setahun. Wanita itu adalah personifikasi dari segala ketakutan Yuli."Selamat pagi," ucap wanita itu dengan senyum tipis yang tidak sampai ke matanya. "Saya Karin. Apakah saya
Cahaya pagi yang kejam menyusup melalui celah tirai, menyinari debu-debu yang berputar dansa di udara. Sinar itu pula yang membangunkan Yuli dari tidurnya yang gelisah. Untuk sesaat, kebingungan menyergapnya. Kehangatan tubuh di sampingnya, aroma Jonas yang familiar bercampur dengan seprai yang berantakan... lalu, kenangan semalam menghantamnya bagai gelombang pasang.Ciuman di depan pintu. Paksaan masuk. Gendongan. Dan... kelembutan sekaligus keganasan yang mengikutinya di atas kasur ini. Mereka sekali lagi tenggelam dalam lautan kenangan, mabuk bukan oleh alkohol, tetapi oleh ilusi masa lalu dan keputusasaan yang mereka rasakan di masa kini.Rasa bersalah yang tajam langsung menusuk dada Yuli, lebih menyakitkan daripada sinar matahari yang menyilaukannya. Dengan gerakan pelan-pelan, seperti mencuri, dia melepaskan diri dari pelukan Jonas yang masih terlelap. Wajahnya dalam tidur tampak begitu tenang, begitu damai, sebuah kontras yang menyiksa bagi Yuli yang hancur.Dia mengambil gau






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments