Share

Bab 5

last update Last Updated: 2025-10-26 13:16:13

Cahaya pagi yang kejam menyusup melalui celah tirai, menyinari debu-debu yang berputar dansa di udara. Sinar itu pula yang membangunkan Yuli dari tidurnya yang gelisah. Untuk sesaat, kebingungan menyergapnya. Kehangatan tubuh di sampingnya, aroma Jonas yang familiar bercampur dengan seprai yang berantakan... lalu, kenangan semalam menghantamnya bagai gelombang pasang.

Ciuman di depan pintu. Paksaan masuk. Gendongan. Dan... kelembutan sekaligus keganasan yang mengikutinya di atas kasur ini. Mereka sekali lagi tenggelam dalam lautan kenangan, mabuk bukan oleh alkohol, tetapi oleh ilusi masa lalu dan keputusasaan yang mereka rasakan di masa kini.

Rasa bersalah yang tajam langsung menusuk dada Yuli, lebih menyakitkan daripada sinar matahari yang menyilaukannya. Dengan gerakan pelan-pelan, seperti mencuri, dia melepaskan diri dari pelukan Jonas yang masih terlelap. Wajahnya dalam tidur tampak begitu tenang, begitu damai, sebuah kontras yang menyiksa bagi Yuli yang hancur.

Dia mengambil gaun tidur sutranya yang tergantung di belakang pintu dan mengenakannya, berusaha menyelubungi tubuhnya yang masih membekas kenangan sentuhan Jonas. Rasanya seperti mengenakan sebuah topeng, mencoba menutupi semua yang terjadi.

Dia tidak bisa kembali ke kasur. Tidak bisa menatap wajah Jonas yang tidur itu. Dia melangkah keluar dari kamar, menuju kursi berlengan di ruang tamu kecilnya. Tanpa pikir panjang, dia mengambil sisa anggur merah dari botol yang sempat mereka minum semalam dan menuangkannya ke dalam gelas yang belum dicuci. Dia meneguknya dalam sekali hirup, berharap cairan itu bisa membakar rasa malu dan penyesalan yang menggerogoti dirinya.

Anggur itu terasa pahit di lidahnya.

"Apa yang sudah kulakukan?" bisik hatinya yang remuk redam. "Dia adalah suami orang. Sebuah kesalahan pertama bisa dimaklumi karena mabuk dan emosi. Tapi ini... ini adalah pilihan yang sadar."

Dia memandang ke arah kamar tidur, di mana bayangan tubuh Jonas masih terbaring. Jonas yang mengatakan mereka jatuh cinta untuk kedua kalinya. Kata-kata itu, yang semalam terasa seperti mantra ajaib, kini terasa seperti jerat. Apakah ini cinta? Atau hanya dua orang yang tersesat, saling berpegangan dalam badai kehidupan mereka masing-masing?

Dia adalah pelakunya. Dia yang akhirnya menyerah. Dia yang membiarkan pintu itu terkunci dari dalam dan membiarkan kenangan mengambil alih akal sehat.

Dengan gelas anggur yang masih menggenggam di tangannya, Yuli menatap kosong ke dinding. Dia membiarkan air matanya mengalir, tanpa suara. Setiap tetesnya adalah penyesalan untuk dirinya sendiri, untuk Jonas, dan untuk wanita yang tak pernah dia kenal, yang mungkin saat ini sedang menyiapkan sarapan untuk suaminya di sebuah rumah yang sepi.

Dia terjebak. Terjebak antara cinta yang tak pernah benar-benar padam dan dosa yang terus menggunung. Dan di ujung sana, bayangan tes kehamilan yang belum dia lakukan seolah menari-nari dengan nada mengejek, mengancam akan mengubah hidupnya—dan hidup semua orang—untuk selamanya.

***

Cahaya pagi menyapu sisa-sisa kegelapan dengan kejam, menerangi setiap sudut ruang tamu Yuli yang sempit. Jonas mengerang pelan, matanya terbuka perlahan. Kekosongan di sampingnya membuatnya langsung sadar. Dia membalikkan badan, dan di sana, di balik pintu kamar yang terbuka, dia melihat siluet Yuli terduduk lesu di kursi berlengan.

Dia bangkit, tubuhnya masih berat oleh rasa puas dan sisa alkohol. Dengan langkah hati-hati, dia mendekati wanita yang tampak begitu kecil dan rapuh dalam gaun tidur sutranya. Yuli tidak bergerak, tatapannya kosong menatap dinding, seolah bisa menembusnya dan melihat masa depan yang suram. Di tangannya, gelas anggur kosong tergenggam erat.

"Yuli?" suara Jonas serak.

Yuli menoleh, matanya merah dan bengkak. Tidak ada kemarahan di sana, hanya kelelahan dan penyesalan yang begitu dalam hingga membuat Jonas sesak.

"Kau harus pergi, Jonas," bisiknya, suaranya parau. "Sekarang."

"Tunggu, kita harus bicara." Jonas berlutut di hadapannya, mencoba menangkap tangannya, tapi Yuli menariknya kembali.

"Bicara tentang apa? Tentang bagaimana kita mengulangi kesalahan yang sama? Atau tentang janji-janji kosongmu?" Yuli menggeleng, air mata baru menggenang di pelupuk matanya. "Aku tidak kuat lagi, Jonas. Siklus ini... dosa, lalu penyesalan, lalu kita terlena lagi... ini menghancurkan aku."

"Aku tahu. Aku mengerti." Jonas menarik napas dalam. "Tapi kali ini berbeda. Aku serius, Yuli. Aku akan menyelesaikan ini. Beri aku waktu. Aku akan bicara pada Saskia."

"Beri kamu waktu?" Yuli terkekek pahit. "Waktu untuk apa, Jonas? Untuk menghancurkan pernikahanmu secara perlahan? Atau untuk membuatku semakin tergantung dan tidak bisa move on? Aku sudah bukan gadis belia yang bisa menunggu kekasihnya dengan naif."

"Kau tidak memahami posisiku—"

"Dan kau tidak memahami posisiku!" potong Yuli, suaranya meninggi untuk pertama kalinya. "Aku adalah wanita lajang yang diam-diam berselingkuh dengan suami orang! Setiap tatapan orang nantinya akan seperti menghakimi. Setiap bisikan akan seperti tuduhan. Aku tidak ingin hidup seperti itu."

Jonas terdiam. Argumennya habis. Dia tahu Yuli benar. Keegoisannya untuk mempertahankan cahaya dalam hidupnya yang suram justru akan membakar habis kehidupan Yuli.

"Dengar," katanya, mencoba pendekatan lain. "Aku akan pergi sekarang. Tapi tolong, jangan tutup teleponmu. Biarkan kita... tetap terhubung."

Yuli tidak menjawab. Dia hanya memandangnya dengan tatapan hampa, seolah semua perasaan telah terkikis oleh penyesalan.

Dengan berat hati, Jonas akhirnya berbalik. Dia memungut kemejanya yang masih berserakan di lantai, mengenakannya dengan gerakan kaku. Satu pandangan terakhir pada Yuli yang masih terduduk seperti patung kesedihan, lalu dia membuka pintu dan melangkah keluar, meninggalkan aroma nya dan segudang janji yang terasa semakin hampa.

***

Pintu terkunci. Yuli menarik napas dalam-dalam, tapi dadanya tetap sesak. Dia berjalan pelan ke kamar, berharap bisa tertidur dan melupakan segalanya. Saat membereskan seprai, sesuatu yang dingin menyentuh tangannya.

Sebuah kalung rantai perak dengan liontin huruf "J" kecil. Milik Jonas. Pasti tertinggal semalam.

Dia menggenggam kalung itu erat-erat. Logam itu terasa menusuk di telapak tangannya. Benda ini adalah pengingat nyata tentang semua yang terjadi. Sebuah belenggu yang indah namun mematikan, mengikatnya pada Jonas dan dosa yang mereka bagi.

Dia hampir saja melemparkannya ke tempat sampah, tapi jarinya terhenti. Kenangan tentang Jonas yang dulu—bukan Jonas yang sudah menikah ini, tapi pemuda yang dulu memberinya kalung serupa dengan malu-malu—menghantuinya.

Saat dia masih terbelah antara menyimpan atau membuang, teleponnya berdering. Nama "Lila" berkedip di layar.

Dia menyeka air matanya dan berusaha menyembunyikan kesedihannya. "Halo, Lis?"

"Yuli! Akhirnya diangkat. Kamu baik-baik saja? Suaramu aneh."

"Aku... baik. Kurang enak badan sedikit."

"Oalah, pantas saja. Tadi pagi ada wanita datang ke toko cari kamu. Aku bilang kamu belum datang."

Yuli membeku. Jantungnya berdebar kencang. "Wanita? Siapa?"

"Gak kenal. Tapi dia elegan banget, pake tas branded. Bilangnya mau pesan bunga untuk acara besar. Tapi... aura-nya agak mendebarkan, gitu. Kayak lagi observasi." Lila berhenti sebentar. "Yuli... ada apa? Kok tiba-tiba ada orang seperti itu cari kamu?"

Yuli tidak bisa menjawab. Tubuhnya gemetar. Tangannya yang masih menggenggam kalung Jonas berkeringat dingin.

Wanita itu pasti Saskia.

Dan pertemuan itu bukan kebetulan. Itu adalah pesan. Sebuah peringatan.

Dia pelan-pelan menjauh dari tempat tidur, seperti ruangan itu tiba-tiba dipasang kamera. Rasanya setiap sudut rumahnya kini memiliki mata dan telinga.

"Yuli? Kamu masih di sana?" suara Lila terdengar khawatir.

"Aku... aku di sini," jawab Yuli finally, suaranya bergetar. "Lila, tolong... lain kali wanita itu datang, bilang saja aku sedang keluar kota. Untuk waktu yang lama."

"Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Yuli menatap kalung di tangannya. Logam itu kini terasa seperti bara api.

"Aku tidak tahu, Lis," bisiknya, ketakutan. "Tapi aku punya firasat buruk. Pertemuan kita dengan masa lalu... harganya mungkin lebih mahal dari yang bisa kita bayar."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Godaan Liar Suami Orang   Bab 10

    Tiga hari berlalu tanpa kabar dari Jonas.Awalnya, Yuli mengira Jonas hanya sibuk dengan rencana "pembebasannya". Tapi ketika panggilan demi panggilan tidak diangkat, dan pesan singkatnya hanya terbaca tanpa balasan, kecemasan mulai merayap seperti kabut di lembah. Ketenangan kota kecil itu tiba-tiba terasa menyesakkan. Setiap bunyi ponsel membuatnya terkejut, hanya untuk kemudian kecewa karena itu bukan Jonas.Khawatirnya berubah menjadi panik. Pikirannya melayang kepada skenario terburuk: apakah Karin sudah melakukan sesuatu padanya? Apakah Jonas celaka? Atau... yang paling menyakitkan... apakah dia telah berubah pikiran dan memilih untuk mundur, meninggalkannya sekali lagi dalam kesunyian?Yuli: Jonas, tolong jawab. Aku khawatir. Yuli:Apa kamu baik-baik saja? Hanya satu kata saja. Please. Yuli:Jika kamu sudah tidak ingin ini lagi, katakan saja. Aku akan mengerti.Pesan terakhir itu dikirim dengan air mata. Dia merasa dirinya sangat memalukan—seorang wanita yang ditinggalkan, menung

  • Godaan Liar Suami Orang   Bab 9

    Jaket itu menjadi pengobar kerinduan yang tak terbendung. Selama tiga hari berikutnya, percakapan mereka melalui pesan semakin intens. Jonas tidak lagi meminta lokasinya, tetapi dengan licin menyelipkan pertanyaan-pertanyaan kecil. Tentang udara, tentang pemandangan, tentang bunga apa yang mekar di sana. Yuli, yang hatinya telah lembek, menjawab tanpa curiga."Aku membayangkan kamu di antara hamparan hijau," tulis Jonas suatu malam. "Seperti dulu kita jalan-jalan ke kebun teh di dekat sekolah."Yuli, yang memang baru saja mengunjungi kebun teh, membalas tanpa berpikir panjang. "Di sini lebih indah. Kebun tehnya luas, menghadap langsung ke lembah. Udara nya sejuk dan bau tanahnya menenangkan."Itu adalah kesalahan yang fatal.Dua hari kemudian, pada sebuah Sabtu yang cerah, Yuli sedang menyiram tanaman kecil di pekarangan rumahnya. Bunyi derum mobil mendekat membuatnya mengangkat kepala. Sebuah mobil rental berwarna gelap berhenti persis di depan pagar kayunya.Pintu mobil terbuka. Dan

  • Godaan Liar Suami Orang   Bab 8

    Kabut pagi masih menyelimuti lembah ketika Yuli membuka jendela rumah kayu tua yang baru disewanya. Udara sejuk dan bau tanah basah menusuk hidungnya, sebuah sensasi yang jauh berbeda dari udara panas dan polusi kota yang telah ditinggalkannya. Di kejauhan, gunung menjulang dengan puncaknya yang tersembunyi di balik awan, diam dan kokoh, seolah menatapnya dengan sikap acuh tak acuh.Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan gemuruh di dadanya. Pelariannya ke kota kecil di lereng gunung ini terasa seperti mimpi sekaligus mimpi buruk. Di satu sisi, ketenangan di sini menyembuhkan. Di sisi lain, kesendirian justru membuat pikirannya semakin berisik, dipenuhi oleh bayangan Jonas, Karin, dan rasa bersalah yang tak kunjung usai.Briiing! Briiing!Suara telepon dari dalam saku jaketnya membuatnya nyaris melompat. Jantungnya berdebar kencang. Seperti biasa, nama "Jonas" terus-menerus muncul di layar. Sejak kepergiannya tiga hari lalu, ini sudah menjadi ritual. Dia mengabaikan panggi

  • Godaan Liar Suami Orang   Bab 7

    Tekanan itu mencapai puncaknya ketika Yuli menemukan setangkai bunga Hyacinth ungu—bunga permintaan maaf yang pernah disebutkan Karin—tergeletak di depan pintu kontrakannya, tanpa kartu, tanpa penjelasan. Itu adalah pesan. Sebuah pesan yang hanya dia dan Karin yang mengerti. Perang urat saraf itu berhasil; pertahanannya runtuh.Dia tidak bisa lagi tidur, tidak bisa makan. Setiap bayangan membuatnya terjaga. Keputusan yang sudah matang dalam pikirannya akhirnya diucapkan kepada Lila keesokan harinya di toko."Aku akan pergi, Lis," ucap Yuli, suaranya datar namun penuh keyakinan yang putus asa. "Aku butuh cuti panjang. Aku akan pergi ke luar kota, mungkin ke kampung halamanku atau ke suatu tempat yang tenang. Aku butuh... menjernihkan pikiran."Lila memandangnya dengan sedih. Dia melihat lingkaran hitam yang dalam di mata Yuli dan tubuhnya yang semakin kurus. "Apa ini karena dia? Karin?""Ini karena segalanya," jawab Yuli menghindar. "Aku lelah, Lis. Aku merasa terjebak. Aku butuh melep

  • Godaan Liar Suami Orang   Bab 6

    Keesokan harinya, Yuli memaksakan diri untuk membuka toko. Berlindung di balik rutinitas terasa lebih aman daripada terus-menerus mengurung diri di rumah yang kini terasa seperti sangkar kaca. Dia membereskan rak-rak bunga dengan tangan gemetar, setiap kali bel pintu berbunyi, jantungnya serasa mau copot.Lila, yang sudah mendengar kegelisahan Yuli, mencoba bersikap normal. "Santai aja, mungkin cuma kebetulan," bisiknya sambil merangkai bunga, meski tatapannya juga terus mengawasi pintu.Tepat pukul sepuluh pagi, ketika toko mulai ramai dengan pelanggan, bel pintu berbunyi lagi. Dan di sana, berdiri seorang wanita.Dia tidak perlu memperkenalkan diri. Elegan. Dingin. Seperti es yang dibungkus sutra. Gaun linen putihnya sederhana tapi mematikan, dan tas tangan yang digenggamnya cukup untuk membayar sewa toko Yuli setahun. Wanita itu adalah personifikasi dari segala ketakutan Yuli."Selamat pagi," ucap wanita itu dengan senyum tipis yang tidak sampai ke matanya. "Saya Karin. Apakah saya

  • Godaan Liar Suami Orang   Bab 5

    Cahaya pagi yang kejam menyusup melalui celah tirai, menyinari debu-debu yang berputar dansa di udara. Sinar itu pula yang membangunkan Yuli dari tidurnya yang gelisah. Untuk sesaat, kebingungan menyergapnya. Kehangatan tubuh di sampingnya, aroma Jonas yang familiar bercampur dengan seprai yang berantakan... lalu, kenangan semalam menghantamnya bagai gelombang pasang.Ciuman di depan pintu. Paksaan masuk. Gendongan. Dan... kelembutan sekaligus keganasan yang mengikutinya di atas kasur ini. Mereka sekali lagi tenggelam dalam lautan kenangan, mabuk bukan oleh alkohol, tetapi oleh ilusi masa lalu dan keputusasaan yang mereka rasakan di masa kini.Rasa bersalah yang tajam langsung menusuk dada Yuli, lebih menyakitkan daripada sinar matahari yang menyilaukannya. Dengan gerakan pelan-pelan, seperti mencuri, dia melepaskan diri dari pelukan Jonas yang masih terlelap. Wajahnya dalam tidur tampak begitu tenang, begitu damai, sebuah kontras yang menyiksa bagi Yuli yang hancur.Dia mengambil gau

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status