LOGINTekanan itu mencapai puncaknya ketika Yuli menemukan setangkai bunga Hyacinth ungu—bunga permintaan maaf yang pernah disebutkan Karin—tergeletak di depan pintu kontrakannya, tanpa kartu, tanpa penjelasan. Itu adalah pesan. Sebuah pesan yang hanya dia dan Karin yang mengerti. Perang urat saraf itu berhasil; pertahanannya runtuh.
Dia tidak bisa lagi tidur, tidak bisa makan. Setiap bayangan membuatnya terjaga. Keputusan yang sudah matang dalam pikirannya akhirnya diucapkan kepada Lila keesokan harinya di toko.
"Aku akan pergi, Lis," ucap Yuli, suaranya datar namun penuh keyakinan yang putus asa. "Aku butuh cuti panjang. Aku akan pergi ke luar kota, mungkin ke kampung halamanku atau ke suatu tempat yang tenang. Aku butuh... menjernihkan pikiran."
Lila memandangnya dengan sedih. Dia melihat lingkaran hitam yang dalam di mata Yuli dan tubuhnya yang semakin kurus. "Apa ini karena dia? Karin?"
"Ini karena segalanya," jawab Yuli menghindar. "Aku lelah, Lis. Aku merasa terjebak. Aku butuh melepaskan diri dari semua ini, bahkan jika hanya untuk sementara." Dia tidak berani mengakui bahwa pelarian ini juga untuk melindungi Jonas, dan melindungi dirinya sendiri dari godaan untuk semakin dalam terjun dalam hubungan terlarang mereka.
Lila menghela napas. "Baiklah. Aku akan jaga toko. Tapi janji, jangan hilang begitu saja. Kabari aku."
Yuli hanya mengangguk, memeluk sahabatnya erat-erat. Dia merasa bersalah telah meninggalkan Lila, tapi ketakutan akan Karin dan kehancuran dirinya sendiri lebih besar.
***
Sementara itu, di dunia yang lain, Jonas duduk di ruang kerjanya, menatap foto Yuli yang diambil dari akun media sosial toko bunganya. Wajah Yuli yang tersenyum di antara bunga-bunga itu membuatnya sakit. Dia tidak bisa melupakan malam mereka, kerentanan di mata Yuli, dan bagaimana dia akhirnya mengusirnya dengan hancur.
Percakapan mereka yang terputus, ketakutan Yuli yang nyata, dan kunjungan Karin ke toko bunga—semuanya berteriak dalam pikirannya. Dia menyadari bahwa diamnya, keengganannya untuk mengambil keputusan, justru menyakiti Yuli lebih dalam. Dia tidak bisa lagi bersembunyi di balik ketidaknyamanan pernikahannya.
Dengan tekad yang bulat, dia pulang lebih awal malam itu. Saskia sedang duduk di sofa, membaca laporan keuangan.
"Karin, kita perlu bicara," ucap Jonas, suaranya tegas.
Karin menurunkan laporannya, menatapnya dengan tenang. "Tentu. Ada apa?"
Jonas menarik napas dalam. "Aku ingin bercerai."
Ruang keluarga itu mendadak senyap. Saskia tidak terkejut, tidak marah. Ekspresinya tetap datar, seperti baru saja mendengar ramalan cuaca.
"Boleh tahu alasannya?" tanyanya, meletakkan laporannya dengan rapi.
"Kita tidak bahagia, Karin. Kita hanya dua orang asing yang tinggal dalam satu atap. Kamu punya duniamu, aku punya duniaku. Ini bukan pernikahan."
"Jadi, kamu menemukan 'duniamu' yang lain?" sergah Karin halus, matanya mengintip. "Di toko bunga, mungkin?"
Jonas membeku. "Ini bukan tentang orang lain. Ini tentang kita."
"Jangan naif, Jonas," hardik Karin, nada suaranya masih terkendali tapi seperti silet. "Kamu tiba-tiba meminta cerai tanpa alasan yang jelas? Setelah bertahun-tahun kita menjalani ini dengan baik? Ada wanita lain. Dan aku punya firasat siapa dia."
Jonas diam. Dia tidak bisa menyangkal, tapi juga tidak ingin mengakui dan menjadikan Yuli sasaran.
"Pikirkan konsekuensinya, Jonas," kata Karin, berdiri dan berjalan mendekatinya. "Perceraian akan merusak reputasimu di perusahaan. Keluargamu akan kecewa. Dan ingat kontrak pranikah kita. Kamu akan keluar dengan hampir tidak membawa apa-apa." Dia berhenti tepat di depan Jonas. "Apakah dia, siapa pun dia, sepadan dengan semua yang akan kamu korbankan?"
Tanpa menunggu jawaban, Karin berbalik dan meninggalkannya sendirian di ruangan yang tiba-tiba terasa sangat besar dan kosong. Ancaman itu menggantung, nyata dan berbahaya.
***
Kembali di kontrakan Yuli, keputusasaan memacu langkahnya. Dia melemparkan beberapa pakaian dan barang-barang penting ke dalam koper kecil. Dia harus pergi. Sekarang juga. Saat sedang membereskan kamar mandi, matanya tertumbuk pada sebuah kotak kecil di laci yang berdebu. Sebuah tes kehamilan.
Darahnya berhenti mengalir.
Siklus haidnya memang terlambat beberapa hari, tapi dia mengira itu karena stres. Sekarang, sebuah kemungkinan yang mengerikan menghantuinya. Dengan tangan gemetar, dia mengambil dan memasukkan tes itu ke dalam saku jaketnya, berencana untuk menggunakannya di tempat tujuan nanti.
Dia harus segera pergi sebelum ketakutan dan keraguan mengurungnya lagi. Dia memanggil taksi online dan berdiri di depan pintu, menunggu dengan jantung berdebar kencang.
Tiba-tiba, sebuah mobil yang sangat dikenalnya—mobil Jonas—berhenti dengan kasar di depan kontrakannya. Jonas melompat keluar, wajahnya penuh dengan tekad dan kepanikan. Di tangannya, ada sebuah koper kecil.
"Yuli! Jangan pergi!" teriaknya, menghampirinya.
Yuli terpana. "Jonas? Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku memilihmu," ucap Jonas, napasnya tersengal. "Aku sudah bicara pada Saskia. Aku minta cerai."
Dunia Yuli serasa berputar. Ini adalah hal yang paling dia takuti. Konfrontasi langsung. "Apa? Kenapa kau lakukan itu? Aku tidak memintamu untuk melakukannya!"
"Aku melakukannya untuk kita! Untuk masa depan kita!" Jonas memegangi bahunya. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi, Yuli. Kali ini, aku akan berjuang."
Saat mereka berbicara, tas tangan Yuli terbuka, dan kotak tes kehamilan yang disembunyikannya jatuh ke lantai dengan suara keras, mendarat tepat di antara sepatu mereka berdua.
Keduanya membeku, menatap benda kecil itu yang tiba-tiba mengubah segalanya.
***
Waktu seakan berhenti. Kotak kecil berwarna putih dan biru itu terbaring di tanah, bagai bom waktu yang baru saja diaktifkan. Suara bising kota, klakson, dan desir angin seketika lenyap, digantikan oleh deru jantung mereka sendiri yang memekakkan telinga.
Jonas adalah yang pertama bergerak. Dengan gerakan lambat, hampir hormat, ia membungkuk dan mengambil kotak itu. Matanya membelalak, beralih dari benda di tangannya ke wajah Yuli yang pucat pasi.
"Yuli..." gumannya, suaranya serak penuh kekagetan dan sesuatu yang lain... harapan? "Apa... apa ini?"
Yuli ingin menjawab, ingin menyangkal, tapi lidahnya terasa membatu. Air mata sudah mulai menggenang di pelupuk matanya, campuran dari rasa malu, takut, dan kebingungan. Dia mencoba meraih kembali kotak itu. "Bukan urusanmu, Jonas. Itu... itu belum pasti."
Tapi Jonas menarik tangannya, menggenggam kotak tes itu lebih erat. "Belum pasti? Yuli, jika ada kemungkinan... jika ada kemungkinan kamu mengandung anakku..." Napasnya tersendat. "Ini mengubah segalanya."
"TIDAK!" teriak Yuli, suaranya nyaris histeris. "Ini tidak mengubah apa-apa! Justru ini membuat segalanya lebih rumit! Aku tidak ingin anak ini, Jonas! Aku tidak mau dia tumbuh dalam skandal! Aku tidak mau menjadi alasan perceraianmu!"
Kata-katanya melukai, tapi Jonas bisa melihat ketakutan yang mendalam di balik teriakan itu. Dia melangkah mendekat, mencoba menenangkannya. "Dengar aku, Yuli. Ini bukan tentang menjadi alasan. Ini tentang kita. Kita bertiga sekarang. Ini adalah tanda. Kita harus berjuang untuk masa depan kita."
"Berjuang bagaimana?" Yuli menatapnya, matanya penuh keputusasaan. "Dengan bersembunyi? Dengan menjadi rahasia kotor? Atau dengan menghancurkan kehidupan orang lain? Aku tidak kuat, Jonas. Aku tidak sekuat itu."
Dia memutar badan, berusaha masuk kembali ke dalam rumah, tapi Jonas menahan lengannya dengan lembut.
"Jangan lari, Yuli. Tolong. Hadapi ini bersamaku."
"Lepaskan aku, Jonas!" raung Yuli, berusaha melepaskan diri. Pertarungan kecil mereka di depan pintu itu penuh dengan emosi yang meluap-luap. Air mata Yuli akhirnya tumpah, isak tangisnya mengguncang tubuhnya yang kurus. "Aku sudah memutuskan untuk pergi! Biarkan aku pergi!"
Melihatnya hancur seperti itu, tangan Jonas akhirnya melepaskan. Rasanya seperti menyaksikan burung yang terperangkap, dan dia adalah sangkar itu sendiri.
Dengan langkah gontai, Yuli masuk, mengambil kopernya, dan berjalan keluar tanpa menatap Jonas lagi. Sebuah taksi online yang dia pesan sebelumnya sudah menunggu. Dengan hati yang remuk, dia masuk ke dalam taksi, meninggalkan Jonas yang terduduk lemah di depan pintu kontrakannya, masih menggenggam erat tes kehamilan yang belum digunakan itu.
Pintu taksi tertutup. Mobil itu melaju, membawa serta sisa-sisa hati Yuli dan sebuah rahasia yang bisa mengubah hidup mereka selamanya.
Jonas tidak mengejar. Dia hanya duduk di there, di aspal yang dingin, memandangi taksi itu menghilang di ujung jalan. Tangisannya sendiri akhirnya pecah. Seorang pria dewasa, direktur sukses, menangis seperti anak kecil di depan rumah wanita yang dicintainya, merasa telah kehilangan segalanya untuk kedua kalinya.
***
Dari dalam mobilnya yang diparkir agak jauh, di balik kaca film yang gelap, Karin menyaksikan seluruh drama itu dengan mata yang tajam dan dingin. Dia melihat Yuli dengan kopernya. Dia melihat Jonas yang menangis. Dia melihat pertengkaran mereka.
Dia tidak bisa mendengar kata-kata mereka, tapi bahasa tubuh mereka berbicara lebih keras dari kata-kata. Sebuah koper. Air mata. Sebuah kepergian.
Sebuah senyum tipis dan dingin akhirnya mengembang di bibir Karin. Targetnya sedang melarikan diri. Itu adalah pengakuan tanpa kata.
Dia mengambil ponselnya dan menelepon Bima, investigatornya.
"Target sedang pergi," ucapnya, suaranya datar dan penuh kendali. "Pastikan perjalanannya... 'aman'. Dan terus pantau. Aku ingin tahu setiap langkahnya."
Dia menutup telepon, menyalakan mesin mobil, dan melaju perlahan, melewati Jonas yang masih terduduk hancur tanpa memberinya satu pun pandangan.
Perang belum berakhir. Baginya, ini baru saja dimulai. Dan Yuli, dengan pelariannya, baru saja memasuki medan tempur yang bahkan tidak disadarinya.
***
Tiga hari berlalu tanpa kabar dari Jonas.Awalnya, Yuli mengira Jonas hanya sibuk dengan rencana "pembebasannya". Tapi ketika panggilan demi panggilan tidak diangkat, dan pesan singkatnya hanya terbaca tanpa balasan, kecemasan mulai merayap seperti kabut di lembah. Ketenangan kota kecil itu tiba-tiba terasa menyesakkan. Setiap bunyi ponsel membuatnya terkejut, hanya untuk kemudian kecewa karena itu bukan Jonas.Khawatirnya berubah menjadi panik. Pikirannya melayang kepada skenario terburuk: apakah Karin sudah melakukan sesuatu padanya? Apakah Jonas celaka? Atau... yang paling menyakitkan... apakah dia telah berubah pikiran dan memilih untuk mundur, meninggalkannya sekali lagi dalam kesunyian?Yuli: Jonas, tolong jawab. Aku khawatir. Yuli:Apa kamu baik-baik saja? Hanya satu kata saja. Please. Yuli:Jika kamu sudah tidak ingin ini lagi, katakan saja. Aku akan mengerti.Pesan terakhir itu dikirim dengan air mata. Dia merasa dirinya sangat memalukan—seorang wanita yang ditinggalkan, menung
Jaket itu menjadi pengobar kerinduan yang tak terbendung. Selama tiga hari berikutnya, percakapan mereka melalui pesan semakin intens. Jonas tidak lagi meminta lokasinya, tetapi dengan licin menyelipkan pertanyaan-pertanyaan kecil. Tentang udara, tentang pemandangan, tentang bunga apa yang mekar di sana. Yuli, yang hatinya telah lembek, menjawab tanpa curiga."Aku membayangkan kamu di antara hamparan hijau," tulis Jonas suatu malam. "Seperti dulu kita jalan-jalan ke kebun teh di dekat sekolah."Yuli, yang memang baru saja mengunjungi kebun teh, membalas tanpa berpikir panjang. "Di sini lebih indah. Kebun tehnya luas, menghadap langsung ke lembah. Udara nya sejuk dan bau tanahnya menenangkan."Itu adalah kesalahan yang fatal.Dua hari kemudian, pada sebuah Sabtu yang cerah, Yuli sedang menyiram tanaman kecil di pekarangan rumahnya. Bunyi derum mobil mendekat membuatnya mengangkat kepala. Sebuah mobil rental berwarna gelap berhenti persis di depan pagar kayunya.Pintu mobil terbuka. Dan
Kabut pagi masih menyelimuti lembah ketika Yuli membuka jendela rumah kayu tua yang baru disewanya. Udara sejuk dan bau tanah basah menusuk hidungnya, sebuah sensasi yang jauh berbeda dari udara panas dan polusi kota yang telah ditinggalkannya. Di kejauhan, gunung menjulang dengan puncaknya yang tersembunyi di balik awan, diam dan kokoh, seolah menatapnya dengan sikap acuh tak acuh.Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan gemuruh di dadanya. Pelariannya ke kota kecil di lereng gunung ini terasa seperti mimpi sekaligus mimpi buruk. Di satu sisi, ketenangan di sini menyembuhkan. Di sisi lain, kesendirian justru membuat pikirannya semakin berisik, dipenuhi oleh bayangan Jonas, Karin, dan rasa bersalah yang tak kunjung usai.Briiing! Briiing!Suara telepon dari dalam saku jaketnya membuatnya nyaris melompat. Jantungnya berdebar kencang. Seperti biasa, nama "Jonas" terus-menerus muncul di layar. Sejak kepergiannya tiga hari lalu, ini sudah menjadi ritual. Dia mengabaikan panggi
Tekanan itu mencapai puncaknya ketika Yuli menemukan setangkai bunga Hyacinth ungu—bunga permintaan maaf yang pernah disebutkan Karin—tergeletak di depan pintu kontrakannya, tanpa kartu, tanpa penjelasan. Itu adalah pesan. Sebuah pesan yang hanya dia dan Karin yang mengerti. Perang urat saraf itu berhasil; pertahanannya runtuh.Dia tidak bisa lagi tidur, tidak bisa makan. Setiap bayangan membuatnya terjaga. Keputusan yang sudah matang dalam pikirannya akhirnya diucapkan kepada Lila keesokan harinya di toko."Aku akan pergi, Lis," ucap Yuli, suaranya datar namun penuh keyakinan yang putus asa. "Aku butuh cuti panjang. Aku akan pergi ke luar kota, mungkin ke kampung halamanku atau ke suatu tempat yang tenang. Aku butuh... menjernihkan pikiran."Lila memandangnya dengan sedih. Dia melihat lingkaran hitam yang dalam di mata Yuli dan tubuhnya yang semakin kurus. "Apa ini karena dia? Karin?""Ini karena segalanya," jawab Yuli menghindar. "Aku lelah, Lis. Aku merasa terjebak. Aku butuh melep
Keesokan harinya, Yuli memaksakan diri untuk membuka toko. Berlindung di balik rutinitas terasa lebih aman daripada terus-menerus mengurung diri di rumah yang kini terasa seperti sangkar kaca. Dia membereskan rak-rak bunga dengan tangan gemetar, setiap kali bel pintu berbunyi, jantungnya serasa mau copot.Lila, yang sudah mendengar kegelisahan Yuli, mencoba bersikap normal. "Santai aja, mungkin cuma kebetulan," bisiknya sambil merangkai bunga, meski tatapannya juga terus mengawasi pintu.Tepat pukul sepuluh pagi, ketika toko mulai ramai dengan pelanggan, bel pintu berbunyi lagi. Dan di sana, berdiri seorang wanita.Dia tidak perlu memperkenalkan diri. Elegan. Dingin. Seperti es yang dibungkus sutra. Gaun linen putihnya sederhana tapi mematikan, dan tas tangan yang digenggamnya cukup untuk membayar sewa toko Yuli setahun. Wanita itu adalah personifikasi dari segala ketakutan Yuli."Selamat pagi," ucap wanita itu dengan senyum tipis yang tidak sampai ke matanya. "Saya Karin. Apakah saya
Cahaya pagi yang kejam menyusup melalui celah tirai, menyinari debu-debu yang berputar dansa di udara. Sinar itu pula yang membangunkan Yuli dari tidurnya yang gelisah. Untuk sesaat, kebingungan menyergapnya. Kehangatan tubuh di sampingnya, aroma Jonas yang familiar bercampur dengan seprai yang berantakan... lalu, kenangan semalam menghantamnya bagai gelombang pasang.Ciuman di depan pintu. Paksaan masuk. Gendongan. Dan... kelembutan sekaligus keganasan yang mengikutinya di atas kasur ini. Mereka sekali lagi tenggelam dalam lautan kenangan, mabuk bukan oleh alkohol, tetapi oleh ilusi masa lalu dan keputusasaan yang mereka rasakan di masa kini.Rasa bersalah yang tajam langsung menusuk dada Yuli, lebih menyakitkan daripada sinar matahari yang menyilaukannya. Dengan gerakan pelan-pelan, seperti mencuri, dia melepaskan diri dari pelukan Jonas yang masih terlelap. Wajahnya dalam tidur tampak begitu tenang, begitu damai, sebuah kontras yang menyiksa bagi Yuli yang hancur.Dia mengambil gau







