LOGINAku cukup tercengang. Walaupun sebenarnya hati ini ingin mengiyakannya, tapi entah kenapa aku seakan harus menolaknya.
"Nggak usah, Ma. Aku sendiri aja. Mungkin sebentar lagi juga udah nyala lampunya." "Yaudah kalau gitu. Mama balik ke kamar dulu, ya." "Eum, iya Ma." "Huft..." Aku menghela napas, tidak tahu apa yang akan terjadi jika mengiyakan tawarannya itu. "Yaelah Dit, mikir apaan, sih?" batinku bicara, tersenyum sambil menggelengkan kepala. Namun demikian, aku tidak boleh menyimpan hasrat terhadapnya. Itu adalah ibuku, walau hanya ibu tiri, tapi dia adalah istri sah dari Ayahku. Tiga bulan lalu Ayah menikahinya. Usia Ayah sebenarnya sudah tidak muda lagi, sedangkan Mama Jessica jauh lebih muda darinya. Perbedaan usia mereka cukup mencolok, hingga tak jarang orang di sekitar kami sempat berbisik heran, mempertanyakan alasan di balik pernikahan mereka. Aku pun tidak tahu pasti kenapa Mama Jessica mau menikah dengan Ayah. Kadang aku berpikir, mungkin karena cinta, atau bisa jadi karena rasa kasihan, atau mungkin ada alasan lain yang tidak pernah diceritakan padaku. Sekarang, di usianya yang tiga puluh tahun, Mama Jessica terlihat jauh lebih muda dari kebanyakan perempuan seusianya. Usiaku sendiri sudah dua puluh tiga tahun. Selisih kami tidak begitu jauh. Dalam beberapa momen, orang yang belum mengenal kami sering salah sangka. Mengira kami kakak beradik, bukan ibu dan anak tiri. Mungkin itu juga sebabnya, perasaanku padanya sering terasa rumit. Ada jarak yang seharusnya dijaga, tapi kadang batas itu seolah memudar begitu saja. Sejauh ini, belum ada sejarah yang tercatat dalam buku riwayat hidupku tentang percintaan. Mulai dari aku masih berbentuk janin hingga sekarang, aku belum pernah merasakan yang namanya pacaran. Bukan karena tidak ingin mencintai atau memiliki seorang kekasih. Hanya saja, setiap kali berhadapan dengan wanita cantik, jantungku selalu berdetak tak karuan. *** Pagi harinya, aku bangun dengan rambut yang masih acak-acakan. Tidurku tidak nyenyak, bayangan suara desahan semalam masih bergema di kepalaku. "Udah bangun rupanya. Gimana, semalem nyenyak tidurnya?" sapa Mama Jessica yang sedang mempersiapkan sarapan di atas meja. "Kurang nyenyak sih, Ma," kataku sambil mengucek mata, masih terasa berat bangun tidur. "Makanya kan udah Mama bilang, Mama temenin tidur, tapi kamu-nya nggak mau." "Mama becanda, ya?" Ia menggeleng pelan, senyumnya hilang berganti tatapan yang serius. "Enggak, Mama serius. Emang kenapa?" Aku menelan ludah, mengalihkan pandangan ke lantai. "Gak kenapa-napa, sih. Cuma... gak mungkin dong ditemenin. Masa iya Papa tidurnya sendirian." Ia menghela napas sambil merapikan rambut yang menutupi pundaknya. "Papa kalau lembur pulangnya pasti langsung ngorok. Jadi tidurnya bisa cepet. Mama gak ada maksud apa-apa. Cuma kasian aja sama kamu." Aku mengangguk pelan, menggaruk tengkuk yang tiba-tiba terasa gatal. "Gak apa-apa kok, Ma. Aku udah gede, bukan anak kecil lagi. Soal ditemenin semalem ke kamar mandi juga sebenernya agak aneh." Mama Jessica tersenyum lembut, lalu menyentuh pundakku sekilas sebelum menarik tangannya kembali. "Nggak aneh kok, Dit. Cuma kamu nya aja yang masih canggung sama Mama. Karena Mama baru gabung di keluarga ini." "Eum, mungkin Ma." Aku mencoba tersenyum kecil, meskipun hati terasa campur aduk. "Yaudah, sekarang kamu mandi dulu gih sana. Mama udah siapin semuanya. Biar kita sarapan bareng-bareng." Aku memperhatikan sekeliling ruangan, menyadari tak ada suara atau tanda-tanda kehadiran Ayah. "Papa udah berangkat kerja ya, Ma?" "Iya," jawabnya sambil menuang air ke gelas, suaranya sedikit menurun. "Katanya ada meeting dadakan pagi ini. Jadi harus berangkat cepet. Kasian Papa, udah lembur semalem, sekarang juga harus berangkat pagi-pagi." "Oh... Yaudah, kalau gitu aku mandi dulu, ya." "Eum..." Mama Jessica menebar senyum manis ke arahku, dan jujur saja aku nyaris meleleh menatapnya. Senyuman itu terasa berbeda, bukan seperti senyum seorang ibu pada anaknya, melainkan seperti senyum seorang kekasih. Begitu masuk ke kamar mandi, aku tidak langsung mandi. Pandanganku tertuju pada beberapa potong kain yang tergantung di rak jemuran kecil di sudut ruangan. Mataku terpaku pada sehelai kain biru muda yang bentuknya menyerupai kacamata—bra milik Mama Jessica. Sebenarnya, hal seperti ini mungkin saja wajar bagi seorang ibu yang menjemur pakaian dalam di tempat umum. Akan tetapi, mengingat usianya yang masih muda dan kenyataan bahwa aku belum lama mengenalnya, semua itu terasa agak canggung dan tidak sepenuhnya wajar bagiku. Tanpa sadar, aku sudah berada di dekat kacamata itu. Dengan jarak yang berkisar sepuluh sentimeter saja. Entah kenapa ini kulakukan, aku tidak tahu. Yang jelas, ada reaksi dari bawah perutku. Terutama, ketika hidungku tertempel di sana. Selesai mandi, aku kesulitan mengikat handuk di pinggang. Selain ukurannya yang terlalu kecil, milikku yang sulit dikendalikan membuat handuk itu semakin susah untuk kukencangkan. Setelah beberapa sugesti yang kuberikan terhadap bagian tubuhku itu, akhirnya ia mau diam dan menenangkan diri. Aku keluar sambil menatap layar ponsel, membalas W******p yang masuk dari salah satu temanku. Begitu aku mendekati pintu kamar, aku melihat Mama Jessica dari belakang. Cara tubuhnya sedikit membungkuk saat merapikan meja makan, dengan rambutnya tergerai mengikuti setiap gerak, membuatku tanpa sadar menahan napas. Aku mematung sejenak, memperhatikan betapa aduhai body yang ia miliki. Dengan setelan daster di atas lutut, membuat bokong indahnya tercetak sempurna. Tiba-tiba saja ketegangan kembali menyelimuti bagian tubuh di atara kedua pahaku, hingga tanpa sadar membuat handuk yang melilit pinggangku terlepas jatuh ke lantai. Aku segera meraihnya cepat-cepat. Namun begitu kembali berdiri, pandanganku langsung bertemu dengan Mama Jessica yang sudah menghadap ke arahku. "Mampus!"'Ting... Tong...' Bel rumah berbunyi, Mama Jessica bergegas bangkit menuju pintu untuk membukanya. Akhirnya aku terlepas dari keadaan yang sebenarnya cukup sulit untuk dikendalikan. "Eh, Papa udah pulang rupanya. Gimana kerjaannya, lancar?" Mama Jessica membantu melepaskan jasnya Ayah. "Lancar, seperti biasanya. Sekarang mau istirahat dulu. Hari ini lelah sekali rasanya." Percakapan mereka berdua terdengar jelas, masuk begitu saja ke telingaku. Aku masih duduk di sofa ruang keluarga, pura-pura sibuk memainkan ponsel meski pikiranku ke mana-mana. Ketika Ayah berjalan menuju kamarnya, langkahnya terhenti tiba-tiba. Ia menatapku, ekspresinya langsung berubah terkejut. Tanpa pikir panjang, ia membalikkan arah dan menghampiriku, seolah rasa penasarannya mengalahkan segala kelelahan setelah bekerja seharian. "Radit? Kamu kenapa?" tanya Ayah, panik. "Maksud Papa?" "Itu, lututmu kenapa diperban?" Aku menunduk sejenak, mengikuti arah pandangan Ayah. Benar saja, di lutut k
Setelah Mama Jessica berdiri dengan stabil, aku langsung menarik tanganku cepat-cepat. Jantungku berdebar kacau, wajahku panas bukan main. Tapi Mama Jessica hanya menatapku sambil tersenyum tipis, seakan sentuhan barusan sama sekali bukan masalah baginya. "Yaudah, sekarang coba kamu yang pasang lampunya." Mama Jessica memberikan bohlam itu kepadaku. Aku cukup lega karena terlepas dari ujian yang sebenarnya kuketahui kunci jawabannya. Akan tetapi, ujian berikutnya ternyata justru mengancam nyawaku. Aku menelan ludah, menatap bola lampu yang harus kuganti, lalu melirik ke tangga lipat itu. "Maaf, Ma. Aku gak bisa." "Loh, kenapa?" Aku menggeser langkah mundur setapak, tangan berkeringat. "Aku takut ketinggian soalnya." Mama memelototkan mata kecilnya, setengah tak percaya. "Ih kamu ya, Dit? Serius kamu?" Ia berdiri dengan tangan di pinggang. Aku menghela napas panjang, lalu menatap ke atas sebentar sebelum cepat-cepat kembali melihat lantai. "Iya, Ma. Trauma soalnya. Dulu wa
Aku mengatur napas sebaik mungkin, setelah lari terbirit-birit ke dalam kamar. Bagaimana jika Mama Jessica melihat milikku barusan?! 'Tok! Tok! Tok!' Belum selesai aku menata pikiran, dentuman ketukan tiba-tiba memukul pintu kamarku. "Radit, udah pake bajunya? Kita sarapan sekarang, yuk? Mama udah laper banget, nih." Aku bergegas mengenakan kaos dan celana jeans. Tidak lupa juga ikat pinggang ku eratkan sekuat mungkin. Berharap agar kejantananku terkunci rapat di dalam sana. "Iya Ma, ini udah mau siap." Aku menghampiri Mama Jessica yang sudah menanti di ruang makan. "Loh, Radit? Mau kemana kamu?" Mama Jessica memiringkan kepala, matanya menelusuri penampilanku dari atas sampai bawah. "Sarapan kan, Ma?" "Iya, Mama tau. Tapi, ngapain pake jeans segala? Masa iya sarapan rapi banget kayak gitu?" "Gak apa-apa, Ma. Biar lebih seger aja, hehe." Mama Jessica tersenyum sambil menggeleng pelan. Entah ia tahu maksud di balik celana jeans yang kupakai, aku tidak tahu. Ia l
Aku cukup tercengang. Walaupun sebenarnya hati ini ingin mengiyakannya, tapi entah kenapa aku seakan harus menolaknya. "Nggak usah, Ma. Aku sendiri aja. Mungkin sebentar lagi juga udah nyala lampunya." "Yaudah kalau gitu. Mama balik ke kamar dulu, ya." "Eum, iya Ma." "Huft..." Aku menghela napas, tidak tahu apa yang akan terjadi jika mengiyakan tawarannya itu. "Yaelah Dit, mikir apaan, sih?" batinku bicara, tersenyum sambil menggelengkan kepala. Namun demikian, aku tidak boleh menyimpan hasrat terhadapnya. Itu adalah ibuku, walau hanya ibu tiri, tapi dia adalah istri sah dari Ayahku. Tiga bulan lalu Ayah menikahinya. Usia Ayah sebenarnya sudah tidak muda lagi, sedangkan Mama Jessica jauh lebih muda darinya. Perbedaan usia mereka cukup mencolok, hingga tak jarang orang di sekitar kami sempat berbisik heran, mempertanyakan alasan di balik pernikahan mereka. Aku pun tidak tahu pasti kenapa Mama Jessica mau menikah dengan Ayah. Kadang aku berpikir, mungkin karena cinta, atau bisa
"Ahh... Ahh... Ahh..." Langkahku terhenti saat mendengar suara kenikmatan. Tepat berada di depan pintu kamar ibuku. Aku yang terbangun tengah malam karena merasa ingin buang air kecil, mengurungkan niatku sejenak untuk mendengar lebih jelas. Perlahan, aku mendekatkan telinga ke pintu. Ternyata benar, suara itu memang berasal dari dalam kamar Mama Jessica, ibu tiriku. Rasa buang air kecil yang tadinya nyaris tak tertahankan, menghilang seketika. Aku mengatur napas sebaik mungkin, sembari mencoba berpikir apa yang sedang berlangsung di dalam sana. Bagaimana mungkin? Tidak, ini tidak mungkin! Batinku bergejolak, pikiranku melayang-layang. Apa mungkin ibu tiriku memasukkan pria lain ke dalam kamar? Atau jangan-jangan... Pikiranku semakin beterbangan, membayangkan apa yang dapat memicu munculnya suara desahan itu. Ayah belum pulang karena lembur malam ini. Jadi, tidak mungkin desahan itu muncul dengan sendirinya. "Loh, Radit? Ngapain di sini?" tanya Mama Jessica yang tiba-tiba s







