LOGINAku mengatur napas sebaik mungkin, setelah lari terbirit-birit ke dalam kamar. Bagaimana jika Mama Jessica melihat milikku barusan?!
'Tok! Tok! Tok!' Belum selesai aku menata pikiran, dentuman ketukan tiba-tiba memukul pintu kamarku. "Radit, udah pake bajunya? Kita sarapan sekarang, yuk? Mama udah laper banget, nih." Aku bergegas mengenakan kaos dan celana jeans. Tidak lupa juga ikat pinggang ku eratkan sekuat mungkin. Berharap agar kejantananku terkunci rapat di dalam sana. "Iya Ma, ini udah mau siap." Aku menghampiri Mama Jessica yang sudah menanti di ruang makan. "Loh, Radit? Mau kemana kamu?" Mama Jessica memiringkan kepala, matanya menelusuri penampilanku dari atas sampai bawah. "Sarapan kan, Ma?" "Iya, Mama tau. Tapi, ngapain pake jeans segala? Masa iya sarapan rapi banget kayak gitu?" "Gak apa-apa, Ma. Biar lebih seger aja, hehe." Mama Jessica tersenyum sambil menggeleng pelan. Entah ia tahu maksud di balik celana jeans yang kupakai, aku tidak tahu. Ia lalu menyiapkan piring untukku, meletakkannya tepat di depanku dengan gerakan lembut. Jujur saja, aku merasa cukup tersanjung melihat perhatiannya itu. "Gak usah repot-repot, Ma. Biar aku aja," kataku sambil mengangkat tangan, mencoba menghentikannya. Tapi ia hanya tersenyum kecil. Ia mendorong pelan piring itu ke arahku, lalu merapikan ujung rambutnya yang jatuh di bahu. "Gak repot kok, Dit," ucapnya sambil mencondongkan tubuh sedikit, suaranya terdengar hangat di telingaku. "Malah Mama seneng. Kita jadi akrab kayak gini." Memang ada benarnya apa yang ia katakan. Aku memang jarang berinteraksi dengannya. Rasa gugupku di hadapan wanita cantik tampaknya juga berlaku pada ibu tiriku sendiri. Baru semalam kedekatan kami terjalin, saat ia dengan senang hati menemaniku ke kamar mandi. Tidak ada percakapan lebih lanjut. Kami segera menyantap hidangan lezat pagi ini. Nasi goreng seafood spesial, terlihat begitu menggoda perutku yang sudah keroncongan. "Dit, Mama boleh nanya sesuatu gak ke kamu?" Aku mengangkat kepala perlahan. "Boleh kok, Ma. Emang soal apaan?" Mama Jessica menatap piringnya beberapa detik sebelum bicara lagi. "Kenapa semenjak Mama nikah sama Papa, kamu jarang banget mau ngobrol sama Mama? Perasaan, kamu kayak menjauh dari Mama." Aku tidak langsung menjawab. Kubiarkan jeda sejenak, berusaha menelan makanan yang tiba-tiba terasa begitu berat di tenggorokan. "Kenapa nanya gitu, Ma?" tanyaku pelan. "Jawab aja, Dit. Mama cuma pingin tahu." Nada suaranya tidak marah, hanya cemas—dan entah kenapa itu justru membuatku makin kikuk. "Gak gitu kok, Ma. Cuma perasaan Mama aja kali. Lagian, semalam kan ada kita ngobrol, waktu aku kebelet buang air kecil." Mama Jessica menghembuskan napas. Tangannya meremas tisu tanpa sadar. "Ya itu kan mungkin karena kamu kepepet, makanya mau ngobrol sama Mama." Ia berhenti, matanya bergerak gelisah. "Apa jangan-jangan..." ucapnya tertahan. Aku menegakkan punggung, jantungku langsung berdebar lebih cepat. "Kamu gak setuju ya Mama nikah sama Papa?" lanjutnya kembali yang seketika membuat jantungku seakan berhenti berdetak. "Mama kok mikirnya gitu?" suaraku keluar lebih cepat dari pikiranku. "Ya, emang apa lagi? Soalnya kamu sering cuek sama Mama. Jangankan buat ngobrol, ngeliat Mama aja kamu kayak enggan gitu." Wajahnya menegang, seperti takut sudah mengatakannya. "Gak ada gitu kok, Ma. Itu cuma perasaan Mama aja. Aku gak kayak yang Mama pikirin kok." Tanganku meremas celanaku di bawah meja, berusaha terlihat setenang mungkin. "Beneran?" "Iya, Ma. Mungkin karena aku baru-baru kenal Mama. Jadi wajar kan kalau masih canggung?" Mama Jessica mengangguk pelan, meski sorot matanya masih penuh ragu. "Iya juga, sih. Tapi Mama harap ke depannya kamu bisa lebih akrab sama Mama, ya? Mama gak mau dianggap orang asing di rumah ini sama kamu." "Eum... iya, Ma." Aku menelan ludah, entah kenapa terasa bersalah meski tak yakin salahnya apa. *** Sore harinya, saat aku keluar dari kamar, kulihat Mama Jessica sedang berdiri di atas tangga di ruang tengah. "Lagi ngapain, Ma?" tanyaku pelan. "Lagi mancing! Masa kamu gak liat nih Mama lagi mau ganti bola lampu?" Aku tidak menjawab, hanya bisa menelan ludah saat mataku terfokus ke satu titik. Mama Jessica mengenakan daster tanpa lengan, memperlihatkan tubuhnya yang berkeringat. "Mama mau ganti bola lampunya dengan yang model cas," jelasnya sambil mengangkat lampu baru dari kantong plastik di sampingnya. "Takutnya ntar malem listrik mati lagi, jadi lampunya tetap bisa nyala." Ia lalu menggeser sedikit kakinya, membuat tangga bergoyang pelan. Ia menarik napas pendek, tampak gugup. "Tolong bantu pegangin tangganya, Dit. Mama takut jatuh." Aku langsung mendekat dan memegang sisi tangga dengan kedua tangan, memastikan posisinya stabil. "Eum, iya Ma," ujarku pelan, berusaha menyembunyikan gugupku sendiri. Aku segera mendekat dan memegangi tangga itu. Namun setelah beberapa saat, tidak ada tanda-tanda darinya bahwa lampu telah terpasang. Hal itu membuatku perlahan menengadahkan kepala untuk mengeceknya. Tapi yang pertama terlihat bukanlah bohlam, melainkan kain putih segitiga berenda. Deg! Tanpa dapat kutahan, celanaku tiba-tiba begitu sesak. Aku merasa tegangannya begitu kuat. Keindahan di dalam dasternya itu cukup menggoda. Aku tidak akan melewatkan kesempatan berlian ini. Bahkan jika harus menengadah satu jam pun, aku sanggup melakukannya. Namun sayang, durasi tidak berlangsung lama, sepertinya Mama Jessica bersiap turun dari tangga. Aku cepat-cepat membenarkan posisi kepala ke semula. Berusaha bersikap normal bahwa sedari tadi aku tidak memperhatikan apa-apa. "Udah ya, Ma?" tanyaku pelan saat melihat Mama Jessica menuruni tangga sambil memegang pegangan erat-erat. Ia langsung berhenti di anak tangga ketiga dari atas. Kepalanya miring sedikit, menatapku dari atas. "Belum. Gak nyampe, Dit," jawabnya lirih tapi agak kesal. "Emangnya dari tadi kamu gak liat kalau Mama kesusahan masang bola lampunya?" Aku menggaruk tengkuk. "Enggak, Ma... gak berani." Alisnya terangkat. Ia menuruni satu langkah lagi, kini wajahnya lebih jelas terlihat dari bawah. "Gak berani? Gak berani kenapa, emangnya?" "Eh... enggak, Ma. Gak ada apa-apa." Aku buru-buru menghindari tatapannya, tapi justru melihat ia tersenyum kecil. Mama Jessica menyilangkan tangan di dada, tubuhnya masih condong sedikit karena posisinya di tangga. "Beneran kamu gak liat apa-apa tadi waktu Mama di atas?" "I-iya, Ma. Aku beneran gak liat apa-apa. Tadi cuma... nunduk aja," jawabku kaku. Ia menurunkan satu langkah lagi, kini hanya berjarak beberapa anak tangga dariku. Tatapannya tajam tapi menggoda. "Ah, yang bener? Mama gak percaya kalau kamu cuma nunduk doang." Aku keringat dingin dibuatnya. Bagaimana mungkin ia menanyakan hal yang tadi memang begitu kunikmati? "Kok badanmu gemeteran, Dit?" Aku menelan ludah, "Laper, Ma. Mungkin karena laper." "Gak mungkin, tadi kamu kan udah makan banyak. Pasti kamu ada merhatiin sesuatu, kan? Makanya tuh badan nyampe geter gitu," ujarnya sambil tersenyum manja, kemudian mengedipkan matanya. Tubuhku semakin gemetaran, sementara pandangan mataku terseret ke area yang seharusnya tidak kutatap lama-lama. Aku melayang sejenak, membayangkan betapa indahnya jika wajahku tenggelam di sana. Walau mungkin akan sulit bernapas, tapi aku yakin aroma bukit kembarnya itu terasa begitu harum. Ugh! Tubuhku bereaksi duluan sebelum otakku sempat memerintah berhenti. Ada dorongan naluriah yang meronta-ronta, meminta dilepaskan dari ketegangan yang tiba-tiba muncul. Aku berdiri gugup sambil memperhatikan Mama Jessica yang lanjut menuruni tangga. Tiba-tiba saja dia terpeleset saat menginjak pijakan terakhir. Membuat ia kehilangan keseimbangannya hingga hampir jatuh. "Aaa—!" jeritnya kaget. Refleks, aku segera menangkapnya sebelum ia kehilangan keseimbangan sepenuhnya. Dan baru kusadari kemudian, ternyata tanganku mendarat tepat di lekukan indah bagian atas tubuhnya!'Ting... Tong...' Bel rumah berbunyi, Mama Jessica bergegas bangkit menuju pintu untuk membukanya. Akhirnya aku terlepas dari keadaan yang sebenarnya cukup sulit untuk dikendalikan. "Eh, Papa udah pulang rupanya. Gimana kerjaannya, lancar?" Mama Jessica membantu melepaskan jasnya Ayah. "Lancar, seperti biasanya. Sekarang mau istirahat dulu. Hari ini lelah sekali rasanya." Percakapan mereka berdua terdengar jelas, masuk begitu saja ke telingaku. Aku masih duduk di sofa ruang keluarga, pura-pura sibuk memainkan ponsel meski pikiranku ke mana-mana. Ketika Ayah berjalan menuju kamarnya, langkahnya terhenti tiba-tiba. Ia menatapku, ekspresinya langsung berubah terkejut. Tanpa pikir panjang, ia membalikkan arah dan menghampiriku, seolah rasa penasarannya mengalahkan segala kelelahan setelah bekerja seharian. "Radit? Kamu kenapa?" tanya Ayah, panik. "Maksud Papa?" "Itu, lututmu kenapa diperban?" Aku menunduk sejenak, mengikuti arah pandangan Ayah. Benar saja, di lutut k
Setelah Mama Jessica berdiri dengan stabil, aku langsung menarik tanganku cepat-cepat. Jantungku berdebar kacau, wajahku panas bukan main. Tapi Mama Jessica hanya menatapku sambil tersenyum tipis, seakan sentuhan barusan sama sekali bukan masalah baginya. "Yaudah, sekarang coba kamu yang pasang lampunya." Mama Jessica memberikan bohlam itu kepadaku. Aku cukup lega karena terlepas dari ujian yang sebenarnya kuketahui kunci jawabannya. Akan tetapi, ujian berikutnya ternyata justru mengancam nyawaku. Aku menelan ludah, menatap bola lampu yang harus kuganti, lalu melirik ke tangga lipat itu. "Maaf, Ma. Aku gak bisa." "Loh, kenapa?" Aku menggeser langkah mundur setapak, tangan berkeringat. "Aku takut ketinggian soalnya." Mama memelototkan mata kecilnya, setengah tak percaya. "Ih kamu ya, Dit? Serius kamu?" Ia berdiri dengan tangan di pinggang. Aku menghela napas panjang, lalu menatap ke atas sebentar sebelum cepat-cepat kembali melihat lantai. "Iya, Ma. Trauma soalnya. Dulu wa
Aku mengatur napas sebaik mungkin, setelah lari terbirit-birit ke dalam kamar. Bagaimana jika Mama Jessica melihat milikku barusan?! 'Tok! Tok! Tok!' Belum selesai aku menata pikiran, dentuman ketukan tiba-tiba memukul pintu kamarku. "Radit, udah pake bajunya? Kita sarapan sekarang, yuk? Mama udah laper banget, nih." Aku bergegas mengenakan kaos dan celana jeans. Tidak lupa juga ikat pinggang ku eratkan sekuat mungkin. Berharap agar kejantananku terkunci rapat di dalam sana. "Iya Ma, ini udah mau siap." Aku menghampiri Mama Jessica yang sudah menanti di ruang makan. "Loh, Radit? Mau kemana kamu?" Mama Jessica memiringkan kepala, matanya menelusuri penampilanku dari atas sampai bawah. "Sarapan kan, Ma?" "Iya, Mama tau. Tapi, ngapain pake jeans segala? Masa iya sarapan rapi banget kayak gitu?" "Gak apa-apa, Ma. Biar lebih seger aja, hehe." Mama Jessica tersenyum sambil menggeleng pelan. Entah ia tahu maksud di balik celana jeans yang kupakai, aku tidak tahu. Ia l
Aku cukup tercengang. Walaupun sebenarnya hati ini ingin mengiyakannya, tapi entah kenapa aku seakan harus menolaknya. "Nggak usah, Ma. Aku sendiri aja. Mungkin sebentar lagi juga udah nyala lampunya." "Yaudah kalau gitu. Mama balik ke kamar dulu, ya." "Eum, iya Ma." "Huft..." Aku menghela napas, tidak tahu apa yang akan terjadi jika mengiyakan tawarannya itu. "Yaelah Dit, mikir apaan, sih?" batinku bicara, tersenyum sambil menggelengkan kepala. Namun demikian, aku tidak boleh menyimpan hasrat terhadapnya. Itu adalah ibuku, walau hanya ibu tiri, tapi dia adalah istri sah dari Ayahku. Tiga bulan lalu Ayah menikahinya. Usia Ayah sebenarnya sudah tidak muda lagi, sedangkan Mama Jessica jauh lebih muda darinya. Perbedaan usia mereka cukup mencolok, hingga tak jarang orang di sekitar kami sempat berbisik heran, mempertanyakan alasan di balik pernikahan mereka. Aku pun tidak tahu pasti kenapa Mama Jessica mau menikah dengan Ayah. Kadang aku berpikir, mungkin karena cinta, atau bisa
"Ahh... Ahh... Ahh..." Langkahku terhenti saat mendengar suara kenikmatan. Tepat berada di depan pintu kamar ibuku. Aku yang terbangun tengah malam karena merasa ingin buang air kecil, mengurungkan niatku sejenak untuk mendengar lebih jelas. Perlahan, aku mendekatkan telinga ke pintu. Ternyata benar, suara itu memang berasal dari dalam kamar Mama Jessica, ibu tiriku. Rasa buang air kecil yang tadinya nyaris tak tertahankan, menghilang seketika. Aku mengatur napas sebaik mungkin, sembari mencoba berpikir apa yang sedang berlangsung di dalam sana. Bagaimana mungkin? Tidak, ini tidak mungkin! Batinku bergejolak, pikiranku melayang-layang. Apa mungkin ibu tiriku memasukkan pria lain ke dalam kamar? Atau jangan-jangan... Pikiranku semakin beterbangan, membayangkan apa yang dapat memicu munculnya suara desahan itu. Ayah belum pulang karena lembur malam ini. Jadi, tidak mungkin desahan itu muncul dengan sendirinya. "Loh, Radit? Ngapain di sini?" tanya Mama Jessica yang tiba-tiba s







