Share

6.Perasaan Edzard

    Jantungku terasa berhenti, ada rasa aneh menggelitik diri. Rasa sakit yang tiba-tiba hadir, aku berusaha tenang menyembunyikan segalanya. Ruang makan seolah bertambah dingin, sedingin rasa menyelimuti, aku melepas satu kancing kemeja bagian atas yang aku kenakan. Melonggarkan leher yang tercekat seketika.

    "Sepertinya kamu sangat dekat dengan dia akhir-akhir ini," telisik Nayla yang masih mengunyah makanannya.

    "Em, Re, Kenzo nggak ngapa-ngapain kamu, kan. Dia nggak melakukan hal yang aneh-aneh?" tanyaku sangsi.

    "Tidak Bang, Abang Ken orangnya baik kok, tapi tadi dia menyatakan perasaannya pada saya dan mengajak saya menikah," tutur Rere.

    "Nikah?!" pekikku dan Nayla bersamaan. Aku dan adikku langsug saling pandang dan terkekeh merasa lucu.

    Diri ini semakin remuk, terpuruk, dalam kubangan kesedihan yang tidak aku tahu sebelumnya. "Seorang Kenzo Julian, anak dari salah satu orang terkaya di kota ini melamar kamu, Re," tukasku terkekeh, tidak percaya. Aku sekuat tenaga menyembunyikan rasa gelisah. Aku meneguk air putih untuk melegakan tenggorokan. "Ini pertama kalinya aku melihat dia serius sama cewek, sampai mengajak menikah," lanjutku takjub. Aku tertawa di atas kepedihan sendiri.

    "Ih! Abang malah tertawa," keluh Rere memanyunkan bibirnya.

   "Terus kamu jawab apa Re?" Nayla penasaran.

    "Kalau untuk pacaran aku terima, kalau untuk menikah Rere, kan masih kuliah semester awal. Jadi Rere belum kepikiran sampai sana dulu," jelas gadis manis tersebut.

   "Jawaban kamu tepat," kataku membenarkan, mengacungkan jempol.

   "Tapi Re, setahu aku Bang Ken orangnya...." Nayla tidak meneruskan ucapan.

    "Paling penting kamu menjaga diri baik-baik Re, jika Ken berbuat sesuatu yang nggak baik sama kamu. Kamu kasih tahu Bang Edzard saja langsung. Ok," saranku kembali tersenyum kuat ke arah Rere.

    "Iya benar Re, aku bahagia kalau kamu bahagia. Tapi jangan sampai...." Nayla tak lagi melanjutkan ucapannya.

    Rere memutar bola matanya untuk kemudian menatap tajam Nayla. "Rere masih perawan sampai sekarang Nay, jadi jangan salah paham selalu, otak kamu treveling terlalu jauh, deh. Kalian tenang, Rere akan coba jaga sebisa mungkin dengan baik," ucap Rere meyakinkan. Dia melirik ke arah sahabatnya, Nayla terlihat meringis nyengir.

     Usai makan malam, kami bertiga bersenda gurau, menyaksikan tv di kamar Rere. Hingga akhirnya Nayla dan Rere tertidur pulas. Aku menghela napas berat. Aku bangkit menarik selimut, menyelimuti keduanya. Kemudian melangkah ke depan, mematikan saluran tv, dan bergegas keluar kamar menuruni tangga. Aku berhenti di sofa ruang tengah, merebahkan tubuh penat di sofa tersebut. Memandangi langit-langit bercat putih bersih, untuk kesekian kalinya aku menemani Nayla menginap di rumah Rere semenjak nenek sang punya rumah ke luar masuk rumah sakit. Aku melirik jam tangan, telah menunjukkan pukul dua belas malam. Tanganku merogoh, mengambil ponsel di saku celana, dan menghubungi nomor yang aku tuju.

    "Hay Zard, tumben malam-malam telfon, kenapa?" Terdengar nada kantuk, suara Kenzo dari balik ponsel.

    "Aku sedang menginap di rumah pacar kamu," kataku pamer, memanas-manasi, sembari tersenyum lebar.

    "Apa! Ya ampun, jangan-jangan," tutur Kenzo terkejut.

    "Iya aku sedang tidur di rumah Rere," lanjut ucapanku semakin terkekeh.

    "Kurang asam, awas saja, aku hampiri kamu sekarang," kata Kenzo dengan nada tinggi, ia mematikan telefonnya.

   "Halo Ken," panggilku memastikan sekali lagi. "Dimatikan," lanjutku sambil terbahak. "Ok, aku tunggu kawan, mari bergadang bersama malam ini," imbuhku, tersenyum penuh kemenangan.

   Setengah jam kemudian, terdengar suara pintu digedor dengan keras, aku segera bangkit dari duduk membuka pintu, Kenzo langsung saja ngeloyor masuk kedalam. Dia memandangku tajam, tangannya mengepal. Tak pernah aku lihat dia semarah ini sebelumnya.

    "Dimana Rere," pekik Kenzo mencengkeram kerah kemejaku.

   "Dia di kamarnya, lantai atas nomer tiga dari kiri," jawabku. Ingin aku tertawa melihat kepanikannya tapi aku redam. Jika sampai aku menertawakannya, maka habislah sudah, dia pasti tidak akan tinggal diam.

    Kenzo mengerutkan kening, masih menebak-nebak, dia kemudian berjalan menaiki tangga dengan cepat dan menuju kamar yang aku tunjukkan. Aku menyilangkan tangan, cukup lama berdiri di tempat yang sama. Terdengar suara langkah sepatu, cukup keras dan cepat menuruni tangga menghampiri.

    "Kurang asam kamu Zard," cecarnya, dia menghadiahkan pukulan di pundak kiriku. Aku tertawa tak henti-hentinya melihat kekesalan Kenzo.

    "Kok bisa kamu sama Nayla tidur di sini?"

    "Nenek Rere masuk rumah sakit, pembantu dan sopirnya bergiliran dengan Rere untuk menjaga. Nayla juga sering menemani Rere di rumah sakit juga. Nah, kebetulan malam ini giliran Rere istirahat di rumah, neneknya khawatir sehingga menyuruh kami menemani." Aku menjelaskan.

    "Kenapa Rere tidak mengatakannya padaku," keluh Edzard.

    "Harusnya kamu yang lebih peka Ken" cibirku.

    "Benar apa yang kamu bilang, harusnya tadi aku tidak mengantarnya pulang. Lebih baik menginap di rumahku saja," selorohnya.

    "Ngak takut kepergok janda sama wanita-wanita kamu yang lain," cecarku.

    "Sial, kau! Aku sedang memperbaiki diri untuk menjadi calon suami yang baik untuk Rere Zard," sanggah Kenzo, dia berkata dengan serius yang sebenarnya tidak cocok dengan dirinya, dan itu membuat diriku terusik anehnya.

    "Aku berharap begitu, awas saja kalau sampai kamu melebihi batas Ken, dia masih terlalu muda untuk kamu hancurkan," ancamku dengan nada bercanda.

    "Tenang Zard, aku pasti akan menjaganya. Aku tak akan menggaulinya kecuali dia yang meminta," ujarnya denga wajah tanpa dosa.

    Bletak! Puas aku menimpuk kepalanya agar tersadar. Aku melengos memandang dingin ke arah lain.

    "Sakit Edzard," pekik Kenzo, "kamu gila ya," imbuhnya.

    "Kamu yang gilanya nggak ketulungan," sungutku.

    "Aku hanya bercanda, asal kamu tahu, aku benar-benar jatuh cinta pada Rere, Zard. Dari lubuk hati ini seperti ada alarm," terangnya menyentuh dada. Aku merinding melihat tingkah asing Kenzo. "Aku ingin menjaganya, aku tidak tega menyentuhnya melebihi batas," lanjutnya membuat aku takjub sebagai pendengar.

    Aku terbengong mendengar penjelasan tidak masuk akal, tapi nyata terdengar. Seolah ucapannya tersebut ngawur tapi aku tahu kali ini Kenzo benar-benar serius jatuh cinta. Ada rasa aneh menjalar tubuh, sejak pengakuan Rere saat makan malam tadi. Dan bahkan ketika kudengar pernyataan Kenzo, rasa bergejolak menyesakkan dada muncul kembali. Aku tersenyum pahit, terlambat aku memahami perasaan konyolku. Bagaimana bisa aku menyukai gadis yang sama dengan Kenzo? Miris.

   Aku tak berharap lebih, aku hanya mendo'akan kebahagiaan mereka. Semoga rasa suka ini tidak tumbuh terlalu mendalam. Aku takut, takut kehilangan segalanya. Selama ini aku sudah terbiasa mengalah, dan semoga kali ini aku masih sama.

    "Ken, aku tidur dulu," ucapku memalingkan pandang. Aku berjalan masuk ke dalam salah satu kamar yang sering aku gunakan ketika menginap. Aku berhenti di ambang pintu menoleh. "Oh iya, kamu bisa tidur di kamar sebelahku, atau kamu mau tidur sekamar dengan aku." Aku mengangkat-angkat alis, berseloroh.

    "Astaga! Otak kamu tidak geser, kan, Edzard," ucap Kenzo terlihat geli, dia melempar bantal, dan aku menghalau dengan menutup pintu. Bak! Suara bantal menimpuk pintu terdengar.

     Aku nyengir, merasa bodoh, "Sepertinya malam ini akan menjadi malam yang panjang," keluhku sambil berbaring.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nazwatalita
Keren ceritanya thorr
goodnovel comment avatar
Mama fia
kasihan edzard, tapi dia keren, menerima dgn lapang dada. bagus ceritanya ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status