Jantungku terasa berhenti, ada rasa aneh menggelitik diri. Rasa sakit yang tiba-tiba hadir, aku berusaha tenang menyembunyikan segalanya. Ruang makan seolah bertambah dingin, sedingin rasa menyelimuti, aku melepas satu kancing kemeja bagian atas yang aku kenakan. Melonggarkan leher yang tercekat seketika.
"Sepertinya kamu sangat dekat dengan dia akhir-akhir ini," telisik Nayla yang masih mengunyah makanannya. "Em, Re, Kenzo nggak ngapa-ngapain kamu, kan. Dia nggak melakukan hal yang aneh-aneh?" tanyaku sangsi. "Tidak Bang, Abang Ken orangnya baik kok, tapi tadi dia menyatakan perasaannya pada saya dan mengajak saya menikah," tutur Rere. "Nikah?!" pekikku dan Nayla bersamaan. Aku dan adikku langsug saling pandang dan terkekeh merasa lucu.Diri ini semakin remuk, terpuruk, dalam kubangan kesedihan yang tidak aku tahu sebelumnya. "Seorang Kenzo Julian, anak dari salah satu orang terkaya di kota ini melamar kamu, Re," tukasku terkekeh, tidak percaya. Aku sekuat tenaga menyembunyikan rasa gelisah. Aku meneguk air putih untuk melegakan tenggorokan. "Ini pertama kalinya aku melihat dia serius sama cewek, sampai mengajak menikah," lanjutku takjub. Aku tertawa di atas kepedihan sendiri.
"Ih! Abang malah tertawa," keluh Rere memanyunkan bibirnya. "Terus kamu jawab apa Re?" Nayla penasaran. "Kalau untuk pacaran aku terima, kalau untuk menikah Rere, kan masih kuliah semester awal. Jadi Rere belum kepikiran sampai sana dulu," jelas gadis manis tersebut. "Jawaban kamu tepat," kataku membenarkan, mengacungkan jempol. "Tapi Re, setahu aku Bang Ken orangnya...." Nayla tidak meneruskan ucapan. "Paling penting kamu menjaga diri baik-baik Re, jika Ken berbuat sesuatu yang nggak baik sama kamu. Kamu kasih tahu Bang Edzard saja langsung. Ok," saranku kembali tersenyum kuat ke arah Rere. "Iya benar Re, aku bahagia kalau kamu bahagia. Tapi jangan sampai...." Nayla tak lagi melanjutkan ucapannya. Rere memutar bola matanya untuk kemudian menatap tajam Nayla. "Rere masih perawan sampai sekarang Nay, jadi jangan salah paham selalu, otak kamu treveling terlalu jauh, deh. Kalian tenang, Rere akan coba jaga sebisa mungkin dengan baik," ucap Rere meyakinkan. Dia melirik ke arah sahabatnya, Nayla terlihat meringis nyengir. Usai makan malam, kami bertiga bersenda gurau, menyaksikan tv di kamar Rere. Hingga akhirnya Nayla dan Rere tertidur pulas. Aku menghela napas berat. Aku bangkit menarik selimut, menyelimuti keduanya. Kemudian melangkah ke depan, mematikan saluran tv, dan bergegas keluar kamar menuruni tangga. Aku berhenti di sofa ruang tengah, merebahkan tubuh penat di sofa tersebut. Memandangi langit-langit bercat putih bersih, untuk kesekian kalinya aku menemani Nayla menginap di rumah Rere semenjak nenek sang punya rumah ke luar masuk rumah sakit. Aku melirik jam tangan, telah menunjukkan pukul dua belas malam. Tanganku merogoh, mengambil ponsel di saku celana, dan menghubungi nomor yang aku tuju. "Hay Zard, tumben malam-malam telfon, kenapa?" Terdengar nada kantuk, suara Kenzo dari balik ponsel. "Aku sedang menginap di rumah pacar kamu," kataku pamer, memanas-manasi, sembari tersenyum lebar. "Apa! Ya ampun, jangan-jangan," tutur Kenzo terkejut. "Iya aku sedang tidur di rumah Rere," lanjut ucapanku semakin terkekeh. "Kurang asam, awas saja, aku hampiri kamu sekarang," kata Kenzo dengan nada tinggi, ia mematikan telefonnya. "Halo Ken," panggilku memastikan sekali lagi. "Dimatikan," lanjutku sambil terbahak. "Ok, aku tunggu kawan, mari bergadang bersama malam ini," imbuhku, tersenyum penuh kemenangan.Setengah jam kemudian, terdengar suara pintu digedor dengan keras, aku segera bangkit dari duduk membuka pintu, Kenzo langsung saja ngeloyor masuk kedalam. Dia memandangku tajam, tangannya mengepal. Tak pernah aku lihat dia semarah ini sebelumnya.
"Dimana Rere," pekik Kenzo mencengkeram kerah kemejaku. "Dia di kamarnya, lantai atas nomer tiga dari kiri," jawabku. Ingin aku tertawa melihat kepanikannya tapi aku redam. Jika sampai aku menertawakannya, maka habislah sudah, dia pasti tidak akan tinggal diam. Kenzo mengerutkan kening, masih menebak-nebak, dia kemudian berjalan menaiki tangga dengan cepat dan menuju kamar yang aku tunjukkan. Aku menyilangkan tangan, cukup lama berdiri di tempat yang sama. Terdengar suara langkah sepatu, cukup keras dan cepat menuruni tangga menghampiri. "Kurang asam kamu Zard," cecarnya, dia menghadiahkan pukulan di pundak kiriku. Aku tertawa tak henti-hentinya melihat kekesalan Kenzo. "Kok bisa kamu sama Nayla tidur di sini?" "Nenek Rere masuk rumah sakit, pembantu dan sopirnya bergiliran dengan Rere untuk menjaga. Nayla juga sering menemani Rere di rumah sakit juga. Nah, kebetulan malam ini giliran Rere istirahat di rumah, neneknya khawatir sehingga menyuruh kami menemani." Aku menjelaskan. "Kenapa Rere tidak mengatakannya padaku," keluh Edzard. "Harusnya kamu yang lebih peka Ken" cibirku. "Benar apa yang kamu bilang, harusnya tadi aku tidak mengantarnya pulang. Lebih baik menginap di rumahku saja," selorohnya. "Ngak takut kepergok janda sama wanita-wanita kamu yang lain," cecarku. "Sial, kau! Aku sedang memperbaiki diri untuk menjadi calon suami yang baik untuk Rere Zard," sanggah Kenzo, dia berkata dengan serius yang sebenarnya tidak cocok dengan dirinya, dan itu membuat diriku terusik anehnya. "Aku berharap begitu, awas saja kalau sampai kamu melebihi batas Ken, dia masih terlalu muda untuk kamu hancurkan," ancamku dengan nada bercanda. "Tenang Zard, aku pasti akan menjaganya. Aku tak akan menggaulinya kecuali dia yang meminta," ujarnya denga wajah tanpa dosa. Bletak! Puas aku menimpuk kepalanya agar tersadar. Aku melengos memandang dingin ke arah lain. "Sakit Edzard," pekik Kenzo, "kamu gila ya," imbuhnya. "Kamu yang gilanya nggak ketulungan," sungutku. "Aku hanya bercanda, asal kamu tahu, aku benar-benar jatuh cinta pada Rere, Zard. Dari lubuk hati ini seperti ada alarm," terangnya menyentuh dada. Aku merinding melihat tingkah asing Kenzo. "Aku ingin menjaganya, aku tidak tega menyentuhnya melebihi batas," lanjutnya membuat aku takjub sebagai pendengar. Aku terbengong mendengar penjelasan tidak masuk akal, tapi nyata terdengar. Seolah ucapannya tersebut ngawur tapi aku tahu kali ini Kenzo benar-benar serius jatuh cinta. Ada rasa aneh menjalar tubuh, sejak pengakuan Rere saat makan malam tadi. Dan bahkan ketika kudengar pernyataan Kenzo, rasa bergejolak menyesakkan dada muncul kembali. Aku tersenyum pahit, terlambat aku memahami perasaan konyolku. Bagaimana bisa aku menyukai gadis yang sama dengan Kenzo? Miris. Aku tak berharap lebih, aku hanya mendo'akan kebahagiaan mereka. Semoga rasa suka ini tidak tumbuh terlalu mendalam. Aku takut, takut kehilangan segalanya. Selama ini aku sudah terbiasa mengalah, dan semoga kali ini aku masih sama. "Ken, aku tidur dulu," ucapku memalingkan pandang. Aku berjalan masuk ke dalam salah satu kamar yang sering aku gunakan ketika menginap. Aku berhenti di ambang pintu menoleh. "Oh iya, kamu bisa tidur di kamar sebelahku, atau kamu mau tidur sekamar dengan aku." Aku mengangkat-angkat alis, berseloroh. "Astaga! Otak kamu tidak geser, kan, Edzard," ucap Kenzo terlihat geli, dia melempar bantal, dan aku menghalau dengan menutup pintu. Bak! Suara bantal menimpuk pintu terdengar. Aku nyengir, merasa bodoh, "Sepertinya malam ini akan menjadi malam yang panjang," keluhku sambil berbaring.Angin yang berembus memaparkan rasa dingin menyentuh tulang. Langit gelap gulita namun, bintang dengan setia menemani sang rembulan. Angin seraya menyapa pepohonan yang berdiri kokoh menjulang. Terdengar dedaunan yang terseok, bergemerisik. Rere tertidur dengan pulas bersama Nayla. Belaian mimpi menghantarkan lelapnya hingga mereka tidak menyadari, derik pintu terbuka. Menyembullah sesosok lelaki dari balik pintu, mengendap-endap masuk. Mendekat ke arah Rere, lelaki tersebut berjongkok di samping ranjang. Netranya menatap dalam seorang gadis yang tertidur. Wajah mendamaikan yang terpejam itu membuat ingin membelai. Malu-malu tangan nakal tersebut membelai halus pipi Rere. Tangan dingin yang menyentuh, membuat Rere mulai terusik. Mata Rere perlahan terbuka, dia terkejut, jantung berdebar seperti ingin melompat dari tempatnya. Rere hendak berteriak tapi sebuah tangan berotot membekapnya. Lebih mengejutkan lagi Rere seperti melihat Kenzo. Mata gadis te
Perlahan aku membuka pintu kamar yang bukan milikku. Aku berencana ke dapur mengambil air minum. Akan tetapi niatku terhenti ketika aku melihat adegan yang seharusnya tidak aku lihat. Wajah dan telingaku memanas, rasanya aku malu, kudengar rintihan lirih bersautan dari keduanya. Saking paniknya aku langsung kembali lagi ke dalam kamar. "Kenapa mereka harus bermesraan di ruang tengah," keluhku. Rintihan Rere masih menggema di pikiran sampai membuat adik kecilku hampir terbangun. Aku berjalan menuju kamar mandi, melucuti semua paksian. Membasahi seluruh badanku, dengan air yang mengalir dari shower, berharap bayangan itu segera menghilang. Aku kemudian mengambil air wudhu. Bergegas keluar kamar mandi mengambil tas ransel di atas meja kecil dekat tempat tidur. Tas itu memang sengaja aku bawa untuk menaruh pakaian ganti milikku dan Nayla. Sekuat tenaga berusaha khusuk menjalankan sholat sunah tersebut. Kupejamkan mata ketika berdziki
Rapat kali ini membahas tentang pembangunan cabang hotel dan rumah makan di tempat yang sama. Di salah satu objek wisata pegunungan teh. Dimana konsep pilihan kami adalah happy holiday. Mengedepankan fasilitas itu sudah pasti, tapi juga mengutamakan keamanan, kenyaman dan menyenangkan bagi pengunjung. Akan ada taman bermain yang ramah untuk anak-anak. Rencananya akan dibangun gedung berlantai lima sebagai awal permulaan dan menunggu respon dari para pengunjung. Jika responnya baik kedepannya lagi, tidak menutup kemungkinan akan dibangun fasilitas yang lebih lengkap lagi. Respon dari para rekan kerja sangat baik. Aku sangat bersyukur dan beruntung. Pemilihan tempat yang tepat sangatlah tidak mudah. Aku dan para anak buahku langsung turun kelapangan melihat langsung lokasi. Yah, perjuangan yang benar-benar melelahkan namun juga berbuah manis. Aku tersenyum bangga pada ketiga anak buahku. Seorang wanita paruh baya dengan gaya rambut bob,
Alunan musik terdengar indah, dengan suara merdu seorang penyanyi wanita yang menyanyikan lagu Tentang Rasa by Astrid. Suaranya indah menggema di dalam sebuah kafe yang berada di lantai bawah gedung perusahaan berlantai tiga milik keluarga Edzard tersebut. Lelaki itu duduk bersenda gurau menikmati makanan yang mereka pesan. "Setelah ini, anda mau kemana?" tanya Edzard menatap wanita cantik dengan rambut panjang bergelombang itu. "Jangan panggil anda, panggil saya Angel saja," kata sang wanita yang duduk di hadapannya. Dia mengelap mulut dengan tisue. Mengambil gelas jus melon dan menyeruput lewat sedotan. "Aku akan pergi ke kantor saja, anda mau mengantar saya?" tanyanya. "Baiklah," jawab Edzard terkekeh. Dia berdiri untuk kudian mengulurkan tangan ke arah Angel. Wanita itu dengan senang hati meraih tangan tersebut da
Entah siapa yang memulai terlebih dahulu, yang pasti keduanya kini saling berciuman. Edzard ibarat binatang kelaparan, dia terlihat bringas memangut bibir sensual Angel dengan penuh gairah. Melumat habis, lidahnya menari-nari, menyeruak masuk ke dalam mulut Angel. Saling bertukar saliva masing-masing. Angel membalas dengan tidak kalah panas, menyambut dan ikut membalut bibir lawannya. Kecapan demi kecapan menggema, mereka dengan rakus membalas, menyesap bibir. Hingga kadar oksigen yang mereka hirup menipis. Keduanya menarik kepala, saling melempar senyum. Gurat kebahagiaan nampak tersungging di senyuman manis Angel. Mereka kemudian berpelukan cukup lama. Lelaki itu merasa bimbang dengan hatinya kini. Dalam hatinya masih tertulis nama Rere. Nama gadis yang tidak seharusnya bersemayan. "Mungkinkah dengan aku membuka hati untuk Angel. Semua akan baik-baik saja. Aku telah menciumnya, astaga. Aku
Tatapan penuh intimidasi membuat mereka berdua hilang nyali, serempak menundukkan kepala. Edzard memejamkan mata, menghela napas menahan emosi. Cukup lama mereka saling diam tiada kata. Angel, wanita tersebut lebih memilih mengamati dari jauh. Dia ragu untuk mendekat, meski sebenarnya ada rasa penasaran. "Katakanlah," ujar Edzard memecah kebekuan. Dia membuka mata, menatap sayu sang adik. Dia tahu benar Nayla tidak akan pernah menyukai Kenzo, gadis cantik itu telah dijodohkan kedua orang tuanya dengan salah seorang rekan bisnis. Seorang lelaki yang berkepribadian baik nan santun. Sesuai selera Nayla, tanggapan baik juga telah diutarakan Nayla, yang menerima rencana keluarga dengan tangan terbuka dan sumringah. Pertunangan keduanya telah di depan mata. Akan diselenggarakan beberapa bulan saat libur kuliah. Namun, melihat apa yang terlihat di depan mata membuatnya sangsi. Pikiran negatif menyergap di benak Edzar
Mengingat masa lalu, kala untuk pertama kalinya Kenzo bertemu Nayla. Si brengsek yang hobi mengoleksi perempuan sebagai pajangan dan pelipur kesepiannya. Dia akan selalu terpikat dengan wanita cantik, tak jauh berbeda ketika Kenzo bersua Nayla. Dasar playboy, dia terpikat akan pesona gadis tersebut. Berparas ayu, manis, berkulit putih mulus, hidung mancung, rambutnya panjang terurai, dengan poni menyamping rapi. Versi wanita dari sosok Edzard, hanya saja gadis muda itu lebih pendek sedikit. Rayuan demi rayuan tidak pernah mempan pada gadis bermata tajam tersebut. Jika Edzard membangun dinding besi menyelimuti hati bagi para wanita penggoda. Maka Nayla adalah mawar indah merekah nan berduri yang tidak mampu Kenzo sentuh meski dengan sejuta pesonanya. Yang tidak mudah digapai meaki banyak uluran tangan meraihnya. Edzard ikut menjaga bunga mawar indah itu agar tetap indah merekah. Balutan kasih sayang yang tidak terkira dari
Kenzo menghentikan laju mobil tepat di pelataran rumah sederhana keluarga Devan. Lelaki itu menoleh ke arah Nayla yang tengah terlelap dalam buaian mimpi. Wajah mulus itu nampak cantik dengan make up tipisnya. Bibir yang selalu mengucap kata pedas tersebut mengatup rapat dan terlihat menggiurkan bagi Kenzo. Tanpa sadar wajah lelaki itu mendekat, ciuman ringan mendarat di bibir sang gadis. Kenzo yang segera tersadar segera menarik wajahnya. Dia menghela napas panjang dan mengembuskan berat."Astaga, apa yang telah aku lakukan, dasar gila," umpat Kenzo dalam benaknya. Lelaki itu kemudian menepuk pelan pipi Nayla. "Nay bangun, sudah sampai," ujarnya. Nayla tidak menjawab. Ia masih terlelap. Karena kasihan, Kenzo akhirnya memutuskan untuk membopong tubuhnya. Lelaki itu keluar mobil berjalan mengitari menuju seberang. Ia membuka pintu mobil pelan, melepas sabuk pengaman yang dikenakan Nayla. Kenzo mengan