[Aku akan terlambat pulang malam ini, Honey. Kau tidurlah lebih dulu. Jangan lupa makan. Aku mencintaimu.]"Hfuuh ..." Gwen hanya bisa menghela napas panjang setelah membaca pesan dari pria yang selama hampir dua bulan ini ada bersamanya. "Dia selalu sibuk di kantornya. Dan aku, hanya berada di tempat ini, menikmati kebosananku," keluhnya seraya menyimpan kembali ponselnya ke atas nakas. Tak terasa sudah satu bulan Gwen dan Nich tinggal di unit mewah ini. Menghabiskan hari-hari mereka layaknya pengantin baru tanpa ada yang mengganggu. Sesekali Olivia datang sekadar melepas rindu. Satu-satunya adik dari Nich itu telah terbiasa dengan kehadiran Gwen. Selalu ingin menghabiskan waktu bersama sang kakak ipar.Mengenai mertuanya? Nich mengatakan jika tidak ada satu pun dari orangtuanya yang tahu alamat tempat tinggal mereka. Olivia bahkan sudah diberi peringatan oleh Nich agar tidak memberitahu Diana—ibunya alamat apartemen ini. Gwen masih dibuat bertanya-tanya dengan hubungan Nich dan ibu
Keesokkannya, Nich terlihat terlelap di atas tempat tidur dengan posisi menelungkup. Selimut warna putih hanya menutupi sebagian punggung lebarnya yang polos. Cahaya matahari yang masuk lewat celah jendela menerpa kulit wajahnya, mengusik lelap sang lelaki menawan itu. Sepasang kelopak mata berbulu lentik itu terlihat bergerak-gerak, sekejap Nich mengernyitkan kening, merasa tidak nyaman dengan cahaya matahari. Menggeliat, lalu membalik tubuhnya menjadi terlentang, dengan kondisi mata yang masih tertutup tangan Nich menggapai-gapai ke sisi kirinya. Dia seperti sedang mencari-cari keberadaan seseorang yang dua bulan ini selalu menemaninya tidur. Nihil! Sadar bila sosok makhluk cantik yang dia cari tidak ada, spontan manik Nich terbuka lebar. Menelengkan kepala, guna memastikan jika Gwen benar-benar tidak ada di sisinya. "Di mana Gwen?" gumam Nich, yang masih berpikir jika perempuan yang semalaman menghangatkan ranjangnya adalah sang istri. "Gwen?" panggilnya seraya terduduk. Nyeri
"Sial!" Nich tak berhenti mengumpat sambil mencengkeram roda kemudinya. Perasaan kesal bercampur dengan penyesalan sedang melingkupinya saat ini. Bagaimana mungkin dia bisa kecolongan dan jatuh dalam perangkap Valerie. "Kau memang bodoh, Nich!" umpatnya yang lantas menambah kecepatan mobilnya. Dia ingin segera menemui Gwen di apartemen.Pikirannya benar-benar tidak bisa berhenti memikirkan Gwen. Nich berusaha menghubungi istrinya itu, tetapi tidak ada jawaban. Sepertinya Gwen memang sengaja tidak menjawab panggilan teleponnya, dan Nich tahu benar apa penyebabnya. Sebelum dia meninggalkan apartemen Valerie, perempuan itu sempat mengatakan jika Nich sebaiknya cepat-cepat pergi menemui Gwen. 'Pergilah! Temuin istrimu! Sebelum dia melakukan hal-hal di luar kendali. Dan jangan lupa hubungi aku jika kau sudah berubah pikiran, Nich.' Nich paham dengan maksud perkataan Valerie yang dengan sengaja ingin mengacaukan hubungannya dengan Gwen. Nich tidak bisa terima dan akan membuat perhitunga
Setelah menunggu cukup lama sebab jarak Rumah Sakit dengan lingkungan apartemen yang ditempati Nich cukup jauh, akhirnya dokter tampan bernama Mark itu pun tiba. Dia segera masuk ke unit dengan dikawal Dean yang sudah menunggunya di lobby. "Di sana kamar Tuan Nich." Dean menunjuk pintu kamar yang terbuka lebar. Mark hanya mengangguk, dan bergegas masuk. "I'm sorry, Nich. Jarak rumah sakit ke apartemen ini cukup jauh. Kau jadi harus menunggu lama. Siapa yang sakit?" ucap Mark begitu masuk ke kamar yang ukurannya sangat luas itu. Mendengar suara Mark di kamarnya, perhatian Nich seketika teralihkan. Dia beranjak dari tempat tidur dan mendekati Mark yang telah berdiri di sisi ranjang. "Hffuu ... akhirnya kau tiba juga, Mark. Cepatlah! Kau periksa keadaannya," tunjuknya pada Gwen yang belum juga sadarkan diri.Mark tertegun sesaat, menelisik raut temannya yang nampak frustrasi dan kalut. "Dia ... siapa?" tanyanya penasaran, seraya mendekat ke Gwen.Lantas, Mark mengeluarkan peralatan ya
"Aku tidak mau!" Gwen melengos ketika Nich mencoba membujuknya untuk makan bubur buatan Frank. Beberapa saat yang lalu Olivia datang dengan membawa makanan yang memang diminta khusus oleh Nich untuk Gwen. Namun sudah lebih dari tiga puluh menit makanan bertekstur lembut itu tak kunjung masuk ke mulut orang yang sedang dikuasai amarah itu. "Makanlah sedikit saja, Honey. Supaya kau bisa minum obat," bujuk Nich sekali lagi. "Aku tidak berselera, Nich. Bawa saja pergi bubur itu. Aku merasa mual mencium baunya. Dan kau ...." Manik Gwen memicing ke arah Nich. Sorot kemarahan masih berkilat di sana. "Kau juga pergi, Nich. Aku tidak mau melihatmu untuk sementara waktu. Aku butuh berpikir." Muak sekaligus marah ketika dia kembali mengingat video sialan itu. Hatinya sungguh merasa sakit sebab merasa dibohongi selama ini. Untuk apa Nich mati-matian menjelaskan jika dia tidak bersalah dan pada kenyataannya dirinya dijebak."Aku tidak akan meninggalkanmu." Mangkuk di tangan Nich letakkan kemba
Apa yang ditakutkan dan dikhawatirkan Gwen benar-benar terjadi. Kehamilan yang tidak diinginkan begitu cepat menghampiri. Lebih menyakitkan lagi disaat dirinya ingin sekali pergi dari ikatan ini. Ikatan pernikahan yang bermula dari sebuah keterpaksaan dan kesepakatan. Pernikahan yang tidak pernah dia impikan setelah mengenyam bertubi-tubi luka di masa lalu. Kesakitan atas sebuah kebohongan yang ditorehkan Nich tak hanya membuat hati Gwen terluka dan berdarah lagi. Nich telah memperdayainya, dan bodohnya Gwen mudah sekali jatuh ke dalam lobang yang sama. Gwen membenci dirinya yang lemah yang mudah sekali luluh hanya dengan ucapan manis. Nyatanya, rasa manis yang ditawarkan berubah menjadi kepahitan. Bagaimana bisa dia bebas dari kehidupan Nich jika ada nyawa baru yang sedang tumbuh di rahimnya? Sementara jika terus bersama tak ubah semakin menambah luka. Gwen belum siap dengan kejutan ini. Yang sebagian besar orang justru menganggapnya sebagai anugerah yaitu menjadi seorang ibu. Gwe
"Mau sampai kapan kau seperti itu, Diana? Sudah hampir satu jam kau mengomel dan berjalan mondar-mandir. Aku saja pusing melihatmu seperti itu." Pieter menggelengkan kepala, memijat pangkal hidung guna menyingkirkan rasa pusing yang mendera akibat kelakuan Diana—istrinya. Beberapa hari ini Diana selalu marah-marah tidak jelas. Melampiaskan kekesalan pada orang rumah yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan masalahnya.Pieter sangat yakin penyebab sikap sang istri yang demikian dikarenakan merasa tak terima. Kabar kehamilan Gwen seolah meruntuhkan dunia Diana. Perempuan yang telah melahirkan Nich itu tak henti menggerutu apabila setiap kali ada kesempatan menjelekkan menantunya. Baginya, Gwen tak lebih dari sekadar parasit yang harus segera dia basmi.Meskipun tahu kondisi Gwen yang sedang mengandung calon cucunya, Diana tidak peduli. Bahkan dia pun tidak sudi mengakui jika anak yang dikandung Gwen adalah keturunannya. Kebencian yang sudah mendarah daging seakan telah menutup
Hari ini adalah jadwal pemeriksaan rutin cek kandungan yang sudah menginjak usia lima bulan. Gwen yang didampingi Olivia tengah menunggu di ruangan dokter Obgyn di salah satu rumah sakit ternama yang ada di London. Keduanya tengah menyimak penjelasan dari dokter perempuan setengah baya dengan saksama. Menyimak setiap kata demi kata yang diuntai dengan lugas dan jelas. Pertama kali Gwen tidak didampingi oleh Nich, karena suaminya itu sedang dalam perjalanan kembali setelah tiga hari berada di kota lain. Namun, Nich berjanji akan pulang hari ini sebab sudah rindu pada sang istri dan calon anak mereka.Setelah melakukan pemeriksaan yang berjalan sekitar tiga puluh menit, Gwen dan Olivia memutuskan untuk pulang saja. Tak ingin berlama-lama berada di luar rumah yang hanya akan menyebabkan ibu hamil itu kelelahan. Olivia turut serta ke apartment kakaknya, sambil menunggu dan menjaga Kakak iparnya. Unit yang dihuni oleh beberapa orang saja itu nampak sepi. Maid yang ditugaskan untuk memban