Sepatu kets putih yang sudah kusam dan berubah warna melangkah, beberapa kali melompat menghindari genangan air sisa hujan pagi tadi.
Raut lelah juga terpancar dari wajah gadis cantik berkulit pucat dengan tas kresek yang dijinjing tinggi agar tidak terciprat air.
Tiga bungkus nasi goreng. Ia sudah tersenyum membayangkan betapa indah senyum adik-adiknya nanti.
Sambil membayangkan itu, akhirnya langkahnya berhenti di depan pintu kayu dengan alas lantai tak berkarpet. Dua anak lelaki yang sangat rukun bermain dengan sebuah kertas dan sebuah pensil yang mereka gunakan bergantian.
"Mana langit?" tanya gadis cantik dengan wajah kucal tak terurus ini. Matanya sibuk mencari sosok yang paling muda diantara ketiga adiknya.
"Awan? Mana langit?" tanya gadis ini sambil membujuk adik tertuanya yang berusia 6 tahun untuk menjawab.
"Bintang? Langit dimana?" tanya gadis ini kepada salah satunya lagi, adik kedua yang berusia 5 tahun sebab sang kakak tak menjawab.
Namun, hanya kebisuan yang didapat alih-alih jawaban. Keduanya bisu. Gadis cantik ini bernama Bulan. Seperti namanya, ia bersinar pada waktunya dan ia redup pada waktunya, tapi sejatinya ia selalu ada meski tak terlihat.
Bulan bernafas murung. Ia menatap kedua adiknya bergantian. "Dia juga bagian dari kita, jangan kucilkan dia, Awan, Bintang," ucap Bulan dengan suara lembutnya.
Sebenarnya itu kalimat yang selalu ia tujukan kepada dirinya. Kalimat itu sejatinya bukan ditujukan untuk anak lelaki berusia 6 tahun dan 5 tahun yang ada di depannya, melainkan untuk dirinya sendiri.
"Langit?" panggilnya perlahan sambil menyusur rumah kecil yang hanya terbagi menjadi beberapa ruang.
Di sudut ruangan yang mereka pakai untuk makan dan tidur ada seorang anak lelaki berusia 4 tahun sedang duduk sambil memintal telinga boneka kelinci.
"Langit?"
"Ka Uyan?"
"Nah itu dia Langit, ayo keluar, Kakak bawa nasi goreng kesukaan Langit!"
Berderap dengan cepat anak lelaki itu, suaranya masih susah dimengerti bagi kebanyakan orang, tapi Bulan paham apapun yang Langit katakan.
Langit. Langit adalah nama yang Bulan berikan kepada anak lelaki tampan itu. Awalnya ia hanya orang asing. Anak lelaki tanpa nama yang ditinggalkan ayahnya di depan pintu rumah 3 tahun yang lalu. Entah siapa ibu dari anak malang ini, Bulan tak pernah tahu. Bahkan ayah mereka tak mengucap sepatah katapun selain meninggalkan amplop berisi lima lembar uang seratus ribu diatas tubuh Langit.
Sejak ibu Bulan, Awan dan Bintang meninggal, ayah jarang pulang. Semenjak itu Bulan mengambil alih tugas rumah tangga meski umurnya masih belia. Tepat saat itu tengah hujan, juga mati lampu. Bulan bahagia mendengar suara motor ayahnya yang sudah lama sekali tak pulang.
Dengan susah payah ia meraba segala hal untuk sampai ke pintu, tapi ia terlambat, hanya punggung ayahnya yang ia lihat malam itu, padahal ia sangat rindu dengan ayahnya. Bahkan tangisnya tak bisa mengetuk hati sang ayah untuk menghentikan motor yang sudah melaju. Sedang tangis bayi di depan pintu sangat mencekam dan mengerikan di telinga Bulan.
Kali itu, terakhir pertemuan Bulan dengan ayahnya. Kini, yang tersisa dari bekas rindu yang menggunung itu hanyalah benci. Sebanyak ia rindu, sebanyak itulah rasa bencinya kepada ayahnya. Sangat jahat dirinya, sebab ia berharap ayahnya tak pernah menjadi ayahnya.
***
"Awan, Bintang, dengarkan Kak Bulan." Bulan mulai membuka suara saat ia sudah menyajikan nasi goreng di masing-masing piring adiknya. Dimana Awan dan Bintang mendapat porsi penuh sedangkan Langit mendapat porsi setengah yang ia bagi dengan dirinya.
"Seminggu lagi Kak Bulan kan harus masuk SMA, jadi Kak Bulan harap Langit bisa dijagain sama Awan dan Bintang. Bukannya Awan ingin jadi polisi? Tugas polisi harus melindungi, kan? Dan juga bukannya Bintang ingin jadi guru? Seorang guru harus mengajari yang baik, benar kan?"
Keduanya menatap mata hangat Bulan kemudian mengangguk patuh. Akhirnya bulan tersenyum sambil mengelus rambut kedua adik kandungnya yang belum lama ini ia pangkas sendiri menjadi botak.
"Kakak, tapi ... Langit kan bukan adik Bintang," ucap Bintang.
Bulan menatap sebentar kepada Langit yang sedang makan, mungkin sebab umurnya yang masih bayi ia tak paham, tapi sebenarnya Bulan tahu bahwa Langit juga bisa merasakan kesedihan sebab tak dapat kasih sayang yang layak.
"Lho? Memangnya guru di sekolah Bintang itu I.. bu Bintang? Enggak juga, kan? Seorang guru gak boleh pilih-pilih murid, Tang!"
Bintang mengangguk meski malas.
"Awan juga sama, pak polisi gak pernah milih-milih mau jagain orang, siapapun yang butuh pertolongan pak polisi selalu nolong, kan?"
"Emangnya Awan bilang apa?" tanya Awan ketus. Awan memang sudah mengerti percakapan karena umurnya sudah 6 tahun.
"Iya, Awan udah pinter gak usah diajarin Kak Bulan lagi, deh!" goda Bulan kepada adiknya yang berlagak sok dewasa padahal sebenarnya masih sangat bayi bagi Bulan.
Kini tatapan Bulan teralih pada Langit, seberat apapun beban hidupnya, rasanya tidak mungkin bagi seorang Bulan meninggalkan ketiganya, meski salah satunya hanya orang asing baginya.
“Langit, besok kalo Kak Bulan udah masuk SMA kan gak bisa main bareng Langit lagi, Langit mainnya sama Bang Awan dan Bang Bintang, ya? Gak boleh nakal, dengerin kata-kata Abang ya?”
Langit mengangguk meski dia tak seratus persen paham dengan perkataan Bulan.
***
Gelap malam sudah nampak setelah senja berpamit untuk kembali esok hari. Ketiga jagoan yang selalu Bulan kasihi itu juga terlelap. Lucu sekali hingga Bulan selalu tersenyum melihat bagaimana ketiganya tidur dengan cara yang beragam.
Setelah mencuci pakaian yang digunakan adik-adiknya hari ini dan menjemurnya di belakang rumah, ia mulai merangkak pelan ke atas kasur tipis berumur lebih tua dari Awan, sang adik tertua. Sesekali ia melenguh di dalam tidurnya. Rasa sakit mulai menghantam tubuh kecil yang terpaksa ia gunakan untuk bekerja kasar.
“Bertahan sampai minggu depan aja, Lan,” ucapnya pelan sambil menatap langit-langit rumah yang rendah dan kemungkinan bocor jika ada hujan besar. “Setelah seminggu kamu gak perlu ngangkat barang lagi, kamu naik pangkat jadi pengantar barangnya.”
Bulan saat ini bekerja di gudang gula jawa milik Mbok Intan, bibi jauhnya, untuk menghidupi dirinya dan ketiga adiknya. Meski pekerjaan yang ditawarkan oleh Mbok Intan adalah umumnya adalah pekerjaan lelaki tapi Bulan sama sekali tak protes. Selama lebih dari tiga tahun ia bekerja mengangkat berkilo-kilo gula merah. Tapi tidak sampai seminggu Mbok Intan berjanji akan menjadikan ia pengantar sebab pegawai yang dulu sudah menikah dan merantau.
Tak terasa malam itu menjadi malam panjang untuk dihabiskan. Tanpa diperintah buliran bening mengalir dengan alami keluar dari wadahnya. Segera Bulan menghapus air mata itu dengan punggung tangannya. Kadang, hatinya memang tak bisa menerima semua ini, tapi dirinya tak punya pilihan lain. Semesta tak memberinya pilihan lain.
Sampai tangan mungil memeluk lehernya, Bulan mendekap bibirnya rapat agar tangisnya tak pecah malam itu.
“Terima kasih, Langit,” gemingnya pelan lalu memeluk adik kecil itu dengan hangat.
Suasana canggung hidup di tengah-tengah kegiatan ini. Banyak hal yang harus disiapkan untuk kegiatan bulan bahasa. Anggota OSIS yang bekerja pun memerlukan bantuan hingga mereka membuat pengumuman bahwa setiap kelas wajib mengeluarkan tiga siswa sebagai sukarelawan dalam membantu pekerjaan OSIS yang lumayan banyak. Dari banyaknya anggota OSIS yang menyebar ke kelas-kelas untuk mengambil siswa, kenapa harus Ghandara yang mendapat tugas untuk datang ke kelas Bulan. Dan tatapan mata Ghandara saat masuk ke kelas Bulan, pertama kali adalah langsung tertuju kepada Bulan. Sebanyak apapun Bulan menghindari tatapan mata Ghandara ia tak bisa lari. Lelaki itu menatapnya terlalu intens. "Kalian sudah denger pengumumannya, kan?" tanya Ghandara berdiri di depan papan seperti guru biasanya. "Jadi siapa yang mau jadi sukarelawan?" tanya Ghandara lagi tapi matanya hanya menatap satu orang. "Kamu!!" Tunjuknya langsung tanpa memberi luang bagi yang lain mengan
Pintu ruang kesenian terbuka secara tiba-tiba. Bulan yang memang cepat terkejut pun terlonjak dari kursi dan hampir jatuh jika tidak ada tangan Ghandara yang menangkap tangannya.Malangnya, kejadian itu disebabkan oleh seorang yang tidak seharusnya melihat hal ini.Tasya kaku di depan pintu. Menatap tepat ke dalam kornea mata Bulan. Secara cepat Bulan melepaskan tangan Ghandara."Kalau kamu mau mesra-mesraan setidaknya lakuin tugas dan tanggung jawab kamu dulu!" Tasya langsung membentak.Mengapa Bulan ada di sini? Sepertinya ia akan terkena masalah jika tetap berada diantara pasangan yang sedang terikat masalah ini.Dengan mengendap-endap, Bulan memundurkan kursi kemudian hendak bangkit sampai ia terkejut tangannya ditahan oleh tangan dingin dan sialnya tangan itu milik Ghandara."Kamu punya hutang latihan seminggu yang harus kamu bayar lunas hari ini."Bulan terkejut, ia sangat takut akan terlibat diantara mereka. Sedikit ia melirik
Hari ke-tujuh sekarang. Sudah tujuh hari lamanya Bulan tak masuk sekolah. Hari ini Bintang sudah diijinkan pulang. Hal yang paling Bulan bingungkan adalah saat ini. Saat dia berdiri di depan meja administrasi, melihat nominal angka yang terdapat di selembar kertas yang tertulis nama adiknya.Nominal yang katanya tidak besar itu, bagi Bulan sangat besar, butuh waktu dua bulan lamanya bekerja untuk mendapat uang itu. Tapi mau bagaimana lagi, Bulan tidak punya pilihan selain mengambil uang tabungan yang hendak ia gunakan untuk sekolah adik-adiknya."Kak Bulan hari ini sekolah, kan?" tanya Bintang. Ia resah juga karena Bulan sudah seminggu lamanya tak masuk sekolah, ia khawatir kakaknya akan tertinggal pelajaran. Meski ia menyuruh kakaknya untuk pergi sekolah, Bulan tetap ingin tinggal."Iya, Tang, Kak Bulan hari ini sekolah setelah
Rambut panjang yang tidak diikat, sepatu usang dan baju kaos kusut menjadi penampilan gadis bermata indah pada siang ini. Matanya cukup bengak, setelah mengakhiri panggilan dari Ghandara ia kembali masuk ke dalam bilik. Saat ini ia berada di ruang gawat darurat.Dilihatnya adiknya terkapar diatas ranjang. Kenapa ia baru menyadari betapa kurus adiknya yang divonis terkena tipes. Ia benar-benar merasa sangat bersalah melihat adiknya itu.Melihat kakaknya yang menyalahkan diri sendiri, Awan yang menganggandeng Langit menyentuh tangan Bulan dan mengelusnya dengan lembut. "Bintang akan baik-baik aja, Kak, gak usah khawatir, ya?"Bulan mengangguk meski hatinya tak benar-benar setuju dengan pernyataan Langit. Tapi saat ini ia ingin meyakini bahwa Bintang akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja.
Firasat buruk selalu menjadi nyata. Setidaknya Bulan yakin itu sekarang. Ia berjanji tidak akan pernah berpikir hal negatif lagi.Malam itu, selepas Bulan menjemput adik-adiknya di rumah Mbok Intan, Bulan langsung panik. Bintang benar-benar terkena demam. Musim hujan memang menjadi yang Bulan khawatirkan. Pasalnya Bintang sangat sensitif terhadap air hujan."Wan, jaga Langit di rumah ya! Kak Bulan mau bawa Bintang ke puskesmas dulu! Tolong ambilkan kartu kesehatan Bintang di laci kamar!" perintah Bulan yang menggendong Bintang dan Awan dengan sigap bergerak menjalankan perintah kakaknya setelah menurunkan Langit dari gendongannya."Terima kasih, Wan, jaga Langit ya!!"Bulan dan Bintang pergi ke puskesmas, hari yang hampir menurunkan hujan. Langit malam tidak berbintang dan hanya gelap gulita tak berhias cahaya di atas sana. Bulan dengan kaki mungilnya berderap cepat menggendong Bintang di punggungnya lantaran sepeda gayung miliknya rusak dan sepeda Sari s
Minggu pagi. Tak di sangka bahwa setelah bersekolah di sekolah formal, Bulan menjadi sanat amat sibuk. Pagi tadi ia pergi ke rumah Mbok Intan, bukan untuk bekerja tapi untuk menghaturkan permohonan maaf karena harus ijin untuk tidak kerja hari ini.Klub musik mengadakan latihan di aula kota, jadi mau tidak mau Bulan yang sudah menjadi anggota dari klub itu juga harus hadir. Ia tidak mau di cap menjadi orang egois yang tidak menghargai kepentingan kelompok.Untungnya Mbok Intan bisa berbaik hati untuk memberinya hari libur untuk hari ini. Sebenarnya hari minggu adalah hari tersibuk Bulan karena ia harus bekerja ekstra di hari minggu sebab tak bisa bekerja maksimal di hari masuk sekolah.“Makasih ya, Mbok,” ucap Bulan, ia juga meminjam sepeda gayung Sari, anak Mbok Intan yang kuliah di luar kota. Karena ia jarang bekerja, jadi mau tidak mau ia harus menghemat uangnya pula. Naik sepeda adalah pilihan terbaik.“Nanti kalau pulangnya sa