Share

02 - Hari Pertama

Senin. Hari tersibuk Bulan selama 16 tahun ia hidup mengurus tiga adik kecil. Sekarang yang menjadi fokus utamanya adalah karena hari ini adalah hari pertama ia masuk sekolah formal. 

Saat SMP ia bersekolah di yayasan, hanya melakukan beberapa kali pertemuan dengan teman-temannya, waktu belajar lebih banyak ia habiskan untuk bekerja. 

Hari ini akhirnya salah satu keinginannya terwujud. Ia memandangi dirinya dengan panik di depan kaca yang retak dibagian atasnya sebab Bintang melemparkan buku sebulan yang lalu ke arah kaca itu. 

"Wan, gimana? Udah rapi belum?" tanya Bulan was-was dengan mata masih fokus meneliti pantulan dirinya di dalam kaca. 

Awan menghela berat dengan gelas minum berisi air di tangannya. Ia berniat memberi Langit yang kehausan saat bangun tidur tapi berhenti ketika melihat Bulan masih berada di depan kaca dalam waktu hampir setangah jam. 

"Gak akan berubah kali, Kak, tetep aja gitu." 

Kalimat dingin adiknya itu tak membuat hatinya sakit sama sekali. Awan memang nampak dingin di luar, tapi sesungguhnya Bulan tahu bahwa itu hanya bentuk perlindungan diri. Tanggung jawab yang Bulan tekankan kepada Awan adalah kakak laki-laki tertua. 

Selepas kepergian Awan, Bulan sekali lagi mengecek dirinya di dalam cermin. Sesekali ia tersenyum. Ia tidak menyangka bahwa akhirnya ia bisa menggunakan seragam putih abu-abu ini. 

Saat ketua yayasan mengatakan bahwa akan memberi beasiswa full pada Bulan yang sudah putus asa, saat itulah Bulan temukan kembali bahwa semesta masih menganggapnya sebagai penghuni. Ia beeterima kasih untuk itu. 

"Kak Bulan!" 

Teriakan Bintang membawa Bulan mendekat ke asal suara. Betapa terkejut Bulan saat melihat wajah pucat pasi Langit di dalam pelukan Awan. 

"Ya tuhan! Langit!" Secepat kilat ia mengambil alih, memeluk Langit dari Awan dan mengecek suhu tubuh anak lelaki itu. 

Sangat panas. 

***

Padahal sejak tadi malam Bulan sudah wanti-wanti untuk bangun lebih awal supaya tidak terlambat ke sekolah di hari pertama dan juga supaya bisa berjalan kaki saja, menghemat ongkos angkot. 

Namun, semesta berkehendak lain. Kali ini ia diberi dua pilihan. Naik angkot mengeluarkan uang tapi tidak terlambat, atau berlari menguras tenaga tapi menghemat uang. 

Jam di dinding rumah Mbok Intan sudah menuju ke angka tujuh dan dua belas, Bukan benar-benar tak memiliki banyak waktu. Meski dengan angkot ia yakin ia akan tetap terlambat. 

"Awan, makasih ya, Awan jaga Bintang sama Langit, ya? Kakak pamit sekarang." 

Sebenarnya Bulan tidak tega meninggalkan tiga adiknya itu, terlebih Langit demam tiba-tiba meskipun ada Mbok Intan yang menjaga mereka. 

"Kakak berangkat aja. Kita bukan anak kecil lagi. Buruan." 

Bulan bersyukur bahwa Awan tumbuh lebih cepat dari anak seusianya, meski kadang kala ia sakit hati melihat Awan yang masih duduk di kelas satu sudah bisa bertindak layaknya anak yang sudah dewasa. 

"Mbok, Neng titip adik-adik, ya?" 

Setelah perpisahan yang terburu-buru, tanpa berpikir panjang, kaki pendeknya ia bentangkan lebar-lebar berusaha mengurangi jarak secepatnya. Berlomba dengan waktu. Suara klakson kendaraan membuat ia terperanjat beberapa kali, suara bising di jalan menjadi temannya beejuang sampai ke sekolah pagi ini. 

Gerbang putih nampak. Bulan mengatur nafasnya tak jauh dari gerbang itu. Rambut yang disanggul ekor kuda sudah tak karuan bentuk. Bersyukur bahwa gerbang itu masih terbuka. Namun, tak berselang lama gerbang itu kemudian ditutup.

"Pak!!!" Bulan memekik sambil menyeberang jalan menuju gerbang. 

"Telat is telat!" 

Bulan memasang wajah merengek. Dengan nafas yang masih berderu dan kaki lemas yang sempat ia lupakan sebentar namun tiba-tiba menyerangnya hingga ia merasa lumpuh dan jatuh ke aspal. 

"Neng? Gak papa?" 

Satpam membuka gerbang sedikit, seukuran badannya untuk membantu Bulan berdiri. 

"Enggak papak, Pak. Saya murid baru kelas 10, gak boleh terlambat, jadi tolong kasih saya masuk, ya? Sekali aja," mohon Bulan dengan wajah yang ia sedih-sedihkan. 

Memiliki paras menawan, Bulan tahu bahwa suatu hari nanti ia harus menggunakan wajah pemberian ibunya ini untuk sesuatu yang berharga. Salah satu contohnya memohon di depan satpam. 

"Aturan is aturan!" tegas satpam itu kembali. 

Sepertinya Bulan tak bisa menggunakan wajah menawannya ini dengan baik. Ia gagal dalam percobaan pertama. 

"Oh?!!!" Bulan berteriak, menunjuk ke arah gerbang yang terbuka sedikit tadi. 

"Heiii!!! Ghandara!!!!!" Satpam itu terburu masuk, mengejar lelaki yang menerobos secara diam-diam masuk ke dalam gerbang. 

Ini kesempatan emas untuk Bulan. Tak ingin membuang kesempatan ini, ia segera masuk dan berlari ke arah berlawanan dengan pak satpam. Setidaknya ia aman dan sudah masuk ke pekarangan sekolah. 

***

"Kamu artis korea?! Kamu mau manggung dimana?!" 

Sepertinya Bulan tak asing dengan perawakan mencolok lelaki yang tengah dimarahi oleh guru itu. Ia sempat berhenti memperhatikan, tapi ia sadar bahwa ia sedang sembunyi-sembunyi juga untuk masuk ke aula. 

Sebelum ia berbelok, mata mereka sempat bertemu. Menakutkan sekali lelaki itu, pikir Bulan. Baju kaos hitam gambar tengkorak yang sengaja diperlihatkan dengan cara membiarkan baju seragam sekolah tidak terkancing. Telinga yang menggunakan anting hitam, juga yang paling menakutkan adalah tatapan tajam lelaki bermata hitam pekat itu. 

Lebih baik Bulan menghindari lelaki itu selama ada di sini. Berurusan dengan orang seperti itu hanya akan merusak hari-hari masa SMA-nya saja. 

"Kalau saya mau manggung ya saya gak akan ada di sini, Pak!" 

"Nyahut lagi kamu! Gak ada kapoknya ya?!" 

"Kalo bapak gundul saya janji bakal kapok!" 

"Kamu nyuruh saya gundul?!!" 

"Ya kan saya mau balas dendam aja pak, tahun lalu bapak gundulin saya." 

Guru yang membawa tongkat bambu itu merasakan serangan di bagian kepala belakang. Berurusan dengan Ghandara hanya mempersingkat hidup. Yang tidak punya sakit jantung bisa gagal jantung, yang tidak punya sesak nafas bisa asma juga jika berhadapan dengan Ghandara. 

"Udah pak? Saya harus masuk aula ni, kalo telat di aula kan usaha saya nerobos pintu gerbang Pak Kulin jadi sia-sia." 

Guru yang sudah sakit kepala itu mengusir Ghandara dengan isyarat tangan. Kepalanya mau pecah segera. Jika guu BK ini sampai mengundurkan diri tak ada alasan lain. Alasannya pastilah Ghandara. 

Terbebas dari Pak Kulin walau dijewer, terbebas dari guru BK sok galak dan satu lagi yang harus Ghandara lewati. 

"Ghandara." 

Baru saja Ghandara ingin merayakan kemenangan karena masuk ke pintu aula dengan selamat. Suara itu mendorong Ghandara ke jurang. 

Ghandara Ayudhya. Tak takut dengan kepala sekolah bahkan komite sekolah yang katanya petinju kelas kakap. Namun, malah bertekuk lutut pada seorang gadis bersuara lembut dan berwajah teduh.

"Aduhh, By, motor aku bocor! Padahal aku bangunnya pagi, lho. Serius." 

Ghandara ingin memeluk segera gadis mungil yang menatapnya dengan kesal itu, tapi ia sadar sedang ada dimana. Dia sih oke aja mau peluk-pelukan di depan guru juga. Tapi tidak dengan gadis itu. 

"Jangan boong. Riki bilang kamu main game sampe subuh." 

Dalam hati Ghandara ingin mencekik Riki segera. Tapi diluar ia tersenyum semanis gula mencoba merebut hati pacarnya itu. 

"Ya kan karena aku gak bia tidur," akunya.

Tasya namanya. Ketua OSIS. Pacar Ghandara. Satu-satunya orang yang bisa mengendalikan Ghandara di dunia. Hanya Tasya. 

"Ya sudah, sana buruan bantu Eko siapin penampilannya. 

Dengan diakhiri senyum dan menepuk lembut puncak kepala Tasya, Ghandara berlalu pergi ke belakang panggung dan melaksanakan tugas sebagai anggota OSIS yang terpaksa ikutan karena ingin deketan terus sama Tasya. 

Bersenandung ria karena ia berhasil lolos hari ini. Kakinya terhenti tiba-tiba. Satu orang yang menarik perhatiannya. Kemudian secara tidak sengaja, sekali lagi mereka beradu pandang. Meski gadis itu segera mengalihkan tatapannya, tapi Ghandara yakin ia mengenalnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status