Benar, Fera dan Ayra tengah menyaksikan Rendra dan Reti tengah berbisik dan saling menatap mesra. Itu sudah cukup membuat hati Ayra panas bahkan berkobar. Ayra menggertakkan gigi hingga rahangnya mengeras. Dia berjalan menjauhi area parkir sebelum Rendra menyadari keberadaannya. “Ayra, mau ke mana?” Gadis berambut panjang itu tidak mengindahkan suara sahabatnya. Dia ingin menyingkir sejenak dari pandangan lelaki yang baru saja membuat luka hatinya. “Ayra, mau ke mana?” tanya Fera lagi. Dia terus mengikuti ke mana Ayra berjalan. Mereka kini berhenti di sebuah koridor yang sunyi. Suasana hati Ayra menjadi lebih buruk karena pemandangan beberapa detik yang lalu. Otak dan hatinya berperang di balik mulutnya yang terdiam. Dia masih mengabaikan Fera yang berusaha mengajaknya berkomunikasi. “Ayra!” tegas Fera merasa kesal. Dia menarik pundak Ayra agar berhadapan dengannya. Ayra tersadar dari lamunannya. Dia menatap bola mata Fera tetapi masih enggan bersuara. Tak hanya Ayra yang meras
Begitu melihat foto kekasihnya tengah clubbing bersama gadis lain yang mengenakan pakaian terbuka, Ayra langsung menghubungi Fera. “Udah liat ‘kan fotonya?” sahut Fera dari seberang sana. Langsung menanyakan objek yang menjadi pembicaraan mereka. “Udah. Kamu dapet dari mana?” “Darah salah satu bodyguard aku. Aku menyuruhnya buat buntutin Rendra karena aku liat Rendra keluar dari rumah. Maaf kalau kesannya aku jadi mata-mata. Ini demi kamu.” Seperti yang diketahui, Fera merupakan anak dari orang berada dan memiliki bodyguard. Jadi, bisa menyuruh bodyguard-nya melakukan apapun yang Fera mau. Sejak awal juga Ayra sudah lumayan paham bagaimana Rendra. Ternyata sampai sekarang tidak berubah? Masih menginginkan hal seperti dulu. Bodohnya, Ayra sempat menjadi orang lain demi menarik kembali atensi seorang Rendra. Dia melempar tatapan ke hamparan langit yang mulai menggelap di luar sana. Ayra terdiam sejenak sembari memejamkan mata. “Fer. Udahlah. Kamu nggak usah ikut campur urusanku s
Ayra menghentikan kunyahannya. Menatap Attar dengan lekat. Jarak di antara mereka begitu dekat. “Pak Attar ... jangan banyak bercanda.” Ayra menyahut pelan. Kemudian gadis itu mulai mengunyah lagi makanan yang berada di dalam rongga mulut. Dia dapat melihat bagaimana reaksi lelaki di depannya yang mengubah ekspresi wajah begitu cepat menjadi datar. Attar segera memundurkan diri dan kembali pada posisi seperti semula. “Kamu makan saja dulu. Aku ada urusan sebentar,” ujar lelaki pemilik kaki jenjang itu lalu pergi dari hadapan Ayra. Attar dibuat hampir kehilangan akal ketika menatap wajah gadis yang masih bersekolah tadi. Oleh karenanya, menghindar adalah opsi terbaik yang dia lakukan daripada harus melakukan hal yang tidak diinginkan terhadap Ayra. “Gadis itu benar-benar bahaya sekarang,” batin Attar sembari mengingat betapa cantik dan menariknya seorang Ayra baginya, terutama aura wajah gadis itu meskipun tanpa make-up. “Dih, orang aneh. Udah ngajak makan sampai ngirimin gambar,
Lelaki berhidung mancung itu masih berada di tempat yang sama. Duduk di tepi ranjang milik Ayra yang tengah terlelap sejak setengah jam yang lalu. Attar mengamati wajah Ayra yang tersorot lampu tidur. Perlahan dia mendekat untuk lebih jelas melihat wajah Ayra yang lembab. “Ayra, kamu nangis?” Attar bertanya di dalam hatinya. Tangannya menyentuh pipi Ayra dan merasakan memang benar, itu adalah air mata yang tersisa. Wajah Attar semakin mendekat. Mengamati dan menerka apa yang menjadi penyebab Ayra menangis selama tidur. Benarkah gadis itu sudah tertidur? Tidur Ayra terusik karena jemari seseorang menyentuh kulit wajahnya. Dia menarik napas panjang sembari menggeliat dan membuat Attar menjauhkan diri dari Ayra. Tak lama kemudian, Ayra mengganti posisi, membelakangi lelaki dewasa itu. Sementara, Attar masih bertanya-tanya pada diri sendiri mengenai Ayra. Tumben sekali gadis itu tidur lebih awal bahkan ini belum waktunya untuk tidur malam. Attar tak ingin memikirkan lebih meskipun r
Ayra tidak menjawab ataupun menyahut. Dia kembali pada posisinya, yakni membaringkan kepala di atas lengan yang menekuk, membelakangi Rendra. Seolah tidak menganggap Rendra ada, ataupun menganggap bahwa Rendra bukanlah siapa-siapa dan sudah tidak penting lagi di dalam hidupnya. Dahi Rendra masih mengernyit. Lelaki itu memicingkan mata menatap Ayra dengan perasaaan tidak menyangka. “Ra, ini aku, pacar kamu. Yakin, kamu nyuekin aku?” Gadis yang dipanggil namanya itu masih enggan menyahut. Ayra lebih tertarik memejamkan mata secara terus-menerus. Kali ini, wajahnya dapat disaksikan oleh Fera. Rendra masih berdiri di sebelah Ayra dan menunggu gadis itu merespon dirinya. Siapa tahu Ayra sedang melakukan prank kepadanya? “Ra, bangun, Sayang. Aku mau bicara lagi sama kamu. Kita ke rooftop bentar, yuk. Masih lima belas menit lagi sebelum masuk,” ajak Rendra menepuk bahu Ayra dengan pelan. Tetap saja tidak ada sahutan. Lama-lama Fera jengah menyaksikan itu. Dia melihat Rendra dengan sinis.
“Non? Non Ayra kenapa?” Mbok Inah terkejut saat melihat Ayra pulang dari sekolah, wajah gadis itu penuh dengan air mata. Ayra tidak menjawab pertanyaan Mbok Inah. Dia melewati wanita paruh baya tersebut begitu saja. Berjalan menuju kamar dengan cepat. Ayra tidak dapat menahan rasa sakit hati selama berada di perjalanan menuju pulang ke rumah. Sementara, Mbok Inah melihat punggung Ayra dengan rasa penasaran sekaligus kasihan. Dia pun segera menghubungi Attar. “Halo, Mbok. Ada apa? Di rumah baik-baik saja?” “Tuan, saya baru saja melihat Non Ayra pulang dari sekolah. Tapi dia menangis sampai nggak mau bicara. Saya tanya pun dia nggak jawab apa-apa. Langsung pergi begitu saja ke kamar,” beber Mbok Inah dengan jelas. “Saya takut dia kenapa-kenapa,” lanjutnya. “Oke. Sebentar lagi saya akan pulang, Mbok. Tolong jaga Ayra, jangan sampai dia keluar rumah, ya, Mbok?” “Siap, Tuan.” “Pintu utama tolong dikunci, Mbok. Saya takut Ayra akan pergi ke club atau semacamnya.” “Baik, Tuan.” Sesu
“Pak Attar ... beneran mau menikah?” tanya Ayra lirih. Hatinya mendadak sakit setelah mendengar kabar itu dari mulut pria di hadapannya. Attar mengangguk pelan, tidak ada gurat bercanda ataupun berbohong. “Kamu lagi belajar?” Pandangan mata Attar menerobos masuk ke tempat belajar yang biasa Ayra gunakan. Benar, di sana lampu belajar sudah menyala dan beberapa buku terbentang di atas meja. “Ya, sudah. Lanjutkan saja,” ujar Attar kemudian segera pergi dari sana. Ayra langsung menutup dan mengunci pintu kamar. Tidak terasa air matanya telah mengalir. Dia menggigit bibir menahan perih di hatinya yang semakin terasa dan menyiksa. Ayra sendiri bingung mengapa merasakannya. Apakah karena lelaki itu adalah orang yang selama ini sudah menjadi orang yang berpengaruh besar terhadap hidupnya, yakni menjadi pengganti orang tuanya. Dan sebentar lagi akan menikah. Usai menikah nanti pasti akan lebih fokus pada sang istri dan keluarganya, bukan? Perhatian Attar padanya akan berkurang, ‘kan? Atau
“Saya nggak apa-apa, Pak. Saya mau berangkat sekarang.” “Tunggu.” Attar menangkap pergelangan tangan Ayra yang baru saja berdiri. Dia melihat mata gadis itu yang berkaca-kaca. Attar berdiri dan mendekati Ayra tanpa melepaskan tangan gadis tersebut. Matanya menatap wajah gadis itu yang memaling ke samping. Kemudian Attar membungkukkan badan hingga wajahnya sejajar dengan wajah Ayra. “Ay, kamu pasti ada masalah, ‘kan?” Ayra menggigit bibirnya sebagai pelampiasan apa yang tengah dia rasakan. Dia menghapus air mata yang baru saja turun. Sekarang dirinya harus melewati hari-hari suram menjelang hari ujian kelulusan. Ayra harus sanggup melawannya seorang diri. “Ay, kenapa diam saja? Kamu kenapa?” Attar beralih menangkup pundak Ayra lalu mengguncangkan tubuh gadis itu. Berharap Ayra akan menatapnya dan menyahut. “Rendra?” ceplos Attar tidak ingin lagi menutupi kalau dirinya sudah tahu akar permasalahan gadis yang berusaha dia jaga. Namun, jawaban yang Ayra berikan bukan seperti yang dia