Kemudian lelaki di depan Ayra menoleh dan membalikkan badan. Menatap Ayra penuh kesal.
“Pak Attar?” Ayra sangat terkejut saat menyadari ternyata lelaki yang mengajaknya keluar adalah orang yang selama enam bulan ini telah hidup bersamanya. Untuk apa lelaki itu sampai melakukan hal ini? Padahal mereka tidaklah dekat.“Kamu ngapain di sini, Ay?! Kamu itu masih anak sekolah! Nggak seharusnya keluyuran malam-malam apalagi ke tempat seperti ini,” ucap Attar sembari melepaskan jas miliknya. Dia masih memakai setelan jas karena baru pulang dari kantor. Kemudian langsung pergi ke sana setelah mendengar jawaban dari asisten rumah tangganya.“Ngapain Bapak ikut campur urusan saya?” Mulanya gadis itu merasa senang karena yang menyelamatkan dirinya tak lain adalah Attar. Lelaki dewasa yang tiba-tiba harus bertanggung jawab terhadap seluruh kehidupannya. Akan tetapi, rasa senang itu luntur seketika saat mendengar perkataan ‘masih anak sekolah dan nggak seharusnya keluyuran’, itu merupakan perkataan yang baginya sama saja dengan teman sekolahnya. Menganggap dirinya masih kecil dan tidak pantas mengenal dunia luar. Tidak salah memang. Hanya saja hati Ayra tersinggung.“Ya jelas saya ikut campur! Kamu itu tanggung jawab saya!” tegas Attar sambil menutupi pundak Ayra menggunakan jas yang telah dilepas.“Memang sudah seharusnya Bapak bertanggung jawab terhadap hidup saya karena sudah membuat orang tua saya meninggal!” kesal Ayra.“Makanya saya melarangmu!” lantang lelaki berusia dua puluh delapan tahun itu dengan penuh penekanan.“Kalau yang ini, Bapak nggak bisa melarang saya. Ini kehidupan pribadi saya, Pak.” Gadis itu tidak kalah meninggikan suaranya hingga membuat Attar merasa risi saat mulai menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar mereka.“Jangan banyak bicara. Masuk ke mobil! Biarkan motor kamu diderek.”“Nggak! Saya sedang menikmati dunia dewasa,” bantah Ayra. Hendak masuk kembali ke dalam klub meskipun sebenarnya hatinya menolak. Dia tidak suka cara Attar melarang. Kenapa harus mengatakan kalimat menyakitkan seperti itu?“Masuk!” Tangan Attar lebih dulu meraih lalu menarik tangan Ayra dengan kuat hingga tubuh gadis tersebut berbalik dan menabrak dada bidangnya."Akk!" pekik Ayra, tetapi Attar tidak berkata-kata lagi.
Attar sangat malu jika adu mulut di depan orang-orang. Maka dari itu, dia memutuskan untuk membawa Ayra pulang ke rumah dengan paksa. Mereka berdua saling adu mulut kembali setelah sampai di rumah. Padahal sepanjang perjalanan pulang ke rumah tadi, keduanya hanya saling terdiam di dalam mobil.“Ayra dengar, ya? Kamu itu masih kecil! Jangan berani mencoba hal yang berbau dewasa,” peringat Attar di depan wajah Ayra dengan jarak dua kepal orang dewasa.“Saya sudah dewasa, Pak. Sebentar lagi usia saya 18 tahun! Bapak siapanya saya berani mengganggu urusan pribadi saya?!” Ayra mendorong tubuh Attar lalu berjalan masuk ke rumah.“Apa yang kamu inginkan, Ayra?” Lelaki itu menarik tangan Ayra hingga menghadapnya kembali. Tatapan Attar sudah ingin sekali menguasai gadis di depannya sejak beberapa detik yang lalu. Namun, tampaknya Ayra tidak merasakan hal tersebut.“Saya selalu diputus oleh kekasih saya karena masih tampak lugu. Saya nggak suka hidup seperti ini, Pak. Tapi saya juga nggak nyaman melakukan ini. Memangnya ada yang salah dengan diri saya? Memangnya salah kalau saya menjadi diri sendiri tanpa harus mengikuti mereka? Lama-lama saya ingin mengubah diri. Pokoknya saya mau mengenal dunia dewasa, titik.” Hati dan otak Ayra sibuk berdebat. Saling bertentangan.“Dunia yang seperti apa?” Kini Attar memajukan wajahnya. Menatap lekat gadis di depannya yang tiba-tiba membuat dirinya menjadi gila karena pesona cantik itu.“Pak Attar … ngapain?” Tentu saja Ayra mendadak merasa ada sesuatu yang berbeda dengan sikap lelaki yang selama ini telah menggantikan kedua orang tuanya karena kesalahan lelaki itu sendiri.“Katakan, dunia seperti apa yang kamu mau?”“A-a-aku ….” Ayra tergugup saat wajah Attar semakin mendekat. Tidak menyangka jika debaran itu menyerang dirinya. Entah Karena takut atau karena pesona Attar yang tampak begitu tampan saat baru dia sadari. Lelaki pemilik hidung mancung, bibir tidak begitu tipis, tatapan mematikan, dan surai legam indah menghias kepalanya.Selama ini, Ayra hanya menganggap lelaki di depannya sebagai sosok pengganti orang tuanya meskipun umur mereka terpaut hanya sepuluh tahun. Usia Attar memang sudah hampir berkepala tiga, tetapi aura mudanya masih sangat terlihat.“Menikahlah,” ucap Attar dengan nada lembut. Sorot manik mata legamnya tidak lepas dari bola mata Ayra.“Maksud Bapak?” Kedua alis Ayra terangkat. Kelopak matanya melebar.“Menikahlah denganku jika ingin mengenal dunia dewasa,” kata Attar membuat Ayra mematung seketika.***Bunyi bel rumah membuat Ayra berjalan cepat menuju ke pintu untuk segera membukakannya. “Iya sebentar!” teriaknya sembari menuruni tangga. “Siapa sih, pagi-pagi gini udah ada yang datang? Kalau itu tamu kurang sopan, sih. Tapi kalau Mbok Inah nggak mungkin datang sepagi ini,” gumamnya dengan heran. Pasalnya, tidak biasanya ada orang yang datang ke rumahnya saat hari masih begitu pagi. Langit pun baru terlihat sedikit terang. Ayra meninggalkan Attar yang tadi masih rebahan di kasur. Dia meraih gagang pintu lalu membukanya. Betapa terkejut Ayra saat dia mendapati wajah seorang wanita yang berdiri di depan pintu dengan penampilan lebih menarik dibanding dirinya. Melihat wajah wanita itu, Ayra langsung menahan amarahnya yang seketika menggebu. Ada urusan apa lagi dengan wanita itu? Kendati demikian, Ayra harus belajar untuk bersabar. Dia terpaksa memasang wajah senyum. “Mbak Sania? Ada apa?” Ayra sadar bahwa semenjak mendengar kabar Sania dirawat di rumah sakit, kini sudah berlalu sel
“Coba jelasin.”“Kok kamu keliatan nggak suka gitu, Mas? Harusnya senang?”“Bu-bukannya aku nggak suka. Tapi aku kaget aja.”“Loh, kaget kenapa, Mas?” Ayra menuntut penjelasan atas reaksi suaminya yang terlihat membingungkan setelah dia menyatakan kalau Attar akan menjadi calon ayah. Seharusnya lelaki manapun akan merasa senang dan bangga mengetahui istrinya yang tengah hamil.“Maksud dari perkataanmu tadi ... kamu hamil?” tanya Attar untuk memastikan kembali.Kepala Ayra mengangguk.“Dari mana kamu tahu?”“Aku udah cek tadi sambil nungguin kamu pulang.”“Loh, tapi ‘kan aku pergi buat beli test pack. Kamu dapat alat itu dari mana?”“Makanya kalau mau apa-apa itu tanya atau bicara dulu sama istrinya. Ya aku masih nyimpen test pack lah! Aku punya stok banyak.” Ayra nyaris dibuat emosi oleh suaminya.“Oh ... jadi ... kamu beneran hamil?” Attar masih saja seperti orang linglung.“Ih! Mas Attar kok gitu reaksinya?!” teriak Ayra sambil memukul dada Attar dengan keras karena benar-benar kesa
“Ay, sampai sekarang aku merasa masih punya hutang sama dia. Aku merasa sangat bersalah. Aku merasa berdosa karena perbuatanku waktu itu. Aku harap kamu ngerti.” Attar menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa gelisah sekaligus cemas. Takut apabila Ayra semakin marah.“Jadi ... kamu diam-diam masih mikirin dia, Mas?” Ayra mengusap air matanya yang menetes lagi, menyapu pori-pori di kulit wajahnya.Hati kecil Attar ingin sekali berteriak. Dia tidak bermaksud seperti itu. Namun dia gagal menyampaikan kepada Ayra dan wanita itu semakin salah paham terhadapnya.“Ay, kenapa kamu mikir sejauh itu?” tanya Attar sembari melangkah, mendekati Ayra. Kemudian perlahan meraih wajah Ayra dan berakhir memeluk tubuh istrinya.Tangis Ayra seketika pecah. Suaranya menggema di ruang tamu, teredam oleh dada Attar. Lelaki itu mempererat pelukannya.“Aku minta maaf. Ini salahku.”“Aku cuma takut kalau kamu diam-diam menjalin hubungan atau punya perasaan dengan wanita lain, Mas. Aku nggak mau sampai itu terjad
“Dari mana aja kamu, Mas?” tanya Ayra dengan nada dingin.Attar baru saja masuk ke rumah. Dia langsung mematung seketika mendapati istrinya berdiri tak jauh dari meja tamu, dengan posisi membelakanginya. Di sana sudah tidak ada kedua orang tuanya. Kemungkinan besar, ayah dan ibunya Attar sudah masuk ke kamar karena hari sudah berganti menjadi malam. Attar pergi selama kurang lebih dua jam.Keberanian Attar menciut. Terlebih lagi, Ayra terus memunggungi dirinya. Dapat disimpulkan bahwa wanita itu sungguh marah padanya.“Ay, aku habis—”“Siapa yang kamu bayarkan di rumah sakit?” Ayra memotong perkataan Attar dan ucapannya itu membuat sang suami menelan saliva dengan berat.Dari mana Ayra bisa tahu?Kini Ayra berbalik badan. Dia tidak mendengar jawaban dari Attar dan rasa kecewa itu terus menyelimuti hatinya hingga membuat napas Ayra terasa sesak.“Ayo jawab, Mas! Ada yang kamu sembunyiin dari aku? Jangan-jangan ada wanita lain yang diam-diam menjalin hubungan sama kamu di belakangku. Ta
“Mas? Kamu pergi? Jangan lama-lama, ya?” Ayra menyahut dari kejauhan sana.“Iya, Sayang. Nggak akan lama kok.”“Oke. Aku tunggu di rumah. Setengah jam lagi harus nyampe rumah. Daah.” Ayra mematikan panggilan secara sepihak.Sedang Attar menggigit bibir bawahnya. Perjalanan dia menuju rumah sakit terdekat saja memakan waktu sekitar dua puluh menit. Belum lagi dia harus menggunakan waktunya lagi untuk membeli makanan yang Ayra inginkan. Perjalanan pulang juga kembali memakan waktu.“Aku harus mencari cara supaya Ayra nggak marah. Atau aku harus mencari cara supaya bisa mencari alasan yang masuk akal kenapa aku bisa lama.” Attar bermonolog dalam hatinya.Attar kembali menoleh ke arah Sania. Wanita itu terlihat begitu malang. Ada apa dengan Sania? Mengapa terlihat rapuh seperti itu? Apakah terjadi sesuatu padanya?Attar mengontrol pikirannya. Itu bukan hak dan urusannya. Hanya saja, dia sedikit penasaran atas apa yang terjadi pada wanita yang ditempatkan di jok belakangnya.Dua puluh meni
“Ayra tidur?” tanya Sarah saat Attar kembali turun ke ruang tamu menemui kedua orang tuanya yang masih duduk di sana.“Iya, Bu. Badannya lagi kurang sehat. Mungkin dia sakit karena kecapekan.” Attar menjawab. Dia mengembuskan napas berat saat mengingat kalau keadaan istrinya saat ini sedang kurang baik meskipun jauh di lubuk hatinya, Attar merasa seperti ada kabar bahagia yang sebentar lagi hadir di rumah tangga mereka.“Jangan-jangan istri kamu nggak enak badan bukan cuma karena perjalanan aja? Gimana kalau ternyata Ayra sedang isi? Coba cek kehamilan,” usul Sarah yang langsung disetujui oleh suaminya.“Aku setuju banget, Bu. Attar, lebih baik sekarang kamu pergi ke apotek terdekat dan beli test pack. Nanti malam coba tes kehamilan. Ayah yakin kalau ini pertanda baik.”Attar mengalihkan perhatiannya ke wajah sang ayah. Dia belum sempat duduk dengan benar, tetapi perkataan ayahnya seakan menggugah hatinya untuk segera pergi ke suatu tempat dan mendapatkan alat kecil yang sedang dibica