Share

Bab 3

“Saya nggak mau menikah sama om-om,” ketus Ayra dan langsung mendapatkan tatapan terkejut dari Attar.

Lelaki itu justru semakin memberanikan diri mendekatkan wajahnya hingga gadis tersebut mampu merasakan deru napasnya. “Suatu saat kamu akan jatuh cinta denganku. Ingat, jangan pernah bermain dewasa di luar. Biar aku yang akan mengajarimu.”

Attar segera pergi dari hadapan Ayra. Meninggalkan gadis di sana yang saat ini dipenuhi perasaan terkejut bukan main. Dia berpikir tidak akan pernah terjadi yang namanya hubungan khusus antara gadis sekolah dengan lelaki yang jauh lebih dewasa. Namun, Attar baru saja menawarkan sebuah pernikahan. Bukan tawaran, lebih tepatnya permintaan. Apalagi lelaki itu baru saja mengubah bahasa menjadi ‘aku dan kamu’.

Perlahan Ayra melepaskan jas yang masih menyampir di pundaknya lalu dia letakkan di atas sofa ruang tamu. Kakinya bergetar karena perkataan Attar yang terus terngiang. Gadis itu berjalan gontai lalu masuk ke kamar dengan perasaan bercampur tidak jelas. Antara kaget, senang, aneh, dan tentu saja takut. Menikah, katanya? Sekolah saja masih kurang beberapa bulan untuk bisa tamat. Lagipula dia belum menghadapi ujian kelulusan.

Kedua tangan Ayra mengepal kuat. Jantungnya masih memompa cepat semenjak kalimat nikah diucapkan oleh lelaki yang menempati kamar lumayan jauh dari kamarnya. Gadis itu menatap dirinya pada pantulan cermin. Melihati wajah sendiri dengan mata melebar kemudian memejamkan mata sejenak. Mengingat bagaimana wajah Attar terukir kuat tepat di depan wajahnya.

“Ganteng juga Pak Attar. Sudah kaya, jabatannya CEO, tampan maksimal. Kenapa masih belum menikah?” gumam Ayra menyadari dan segera membuka mata. “Tapi ... apa dia serius sama kata-katanya?” Gurat keraguan terukir begitu saja di wajah Ayra. Dia menimang kembali apa yang lelaki dewasa itu ucapkan.

“Kayaknya nggak mungkin, deh. Lagian aku nggak suka sama dia, kan?”

Setelah sempat sibuk memikirkan perihal Attar, Ayra menepis jauh-jauh dari dalam otaknya. Dia segera mengganti baju dan harus memasak untuk makan malam. Asisten rumah tangga di sana hanya bekerja pada waktu pagi sampai jam tujuh malam.

Sesudah mengganti dengan pakaian yang lebih tertutup seperti kebiasaannya, Ayra mulai mengawali kegiatan memasak di dapur. Mengambil beberapa sayuran dari dalam lemari pendingin beserta bahan masak lainnya.

Sebelum orang tuanya meninggal akibat kecelakaan, Ayra terbiasa melakukan kegiatan ini sebab sering berada di rumah sendirian. Ayah dan ibunya bekerja sejak pagi hingga malam di perusahaan tempat Attar bekerja.

Bukan Attar yang menabrak orang tua Ayra. Mereka sedang berada dalam perjalanan bisnis ke luar kota atas perintah Attar. Nahas, mereka mengalami kecelakaan hingga meninggal.

Menyadari bahwa Ayra tinggal di rumah sendirian dan jauh dari saudara, Attar memutuskan untuk mengajak gadis itu supaya tinggal bersamanya. Serta akan memenuhi semua kebutuhan Ayra.

Sebagai gadis yang masih diambang kebingungan, Ayra tidak menolak ajakan baik seseorang. Lagipula dia sangat percaya terhadap lelaki yang tampak sebagai orang baik-baik dan mau bertanggung jawab.

Pada saat Ayra mencuci sayuran di wastafel, mendadak ada dua lengan tangan yang mengulur dan memagari tubuhnya. Orang tersebut turut mencuci tangan di atas sayuran. Degupan jantung Ayra seketika merasa tidak normal. Dia menghentikan aktivitasnya. Perlahan menoleh ke arah seseorang yang berada tepat di belakangnya.

Ayra memandang wajah Attar yang begitu dekat. Lelaki itu masih fokus dengan kegiatan mencuci tangan. Lalu ikut menoleh ke arah Ayra. Menatap gadis itu dengan tatapan datar, tetapi sukses membuat Ayra berkelebat dan segera melempar pandangannya ke depan.

“Biar kubantu masak,” kata Attar sambil pergi dari belakang gadis di depannya. Kemudian mulai mengiris bawang dan sebagainya.

“Nggak usah, Pak. Bapak pasti capek.” Ayra meletakkan sayuran yang telah dicuci ke atas saringan di wastafel.

“Kamu duduk saja, Ay. Selama ini kamu sudah menunjukkan sikap cara menjadi istri yang baik saat di dapur.”

Setelah melontarkan kalimat itu, Attar meraih pundak Ayra dan menuntun gadis berkulit putih pucat tersebut untuk duduk di kursi makan yang memiliki jarak tak jauh dari kitchen bar.

Sementara, Ayra tak mampu menolak saat mendapatkan perlakuan seperti ini. Selain dirinya merasa masih bocah yang harus selalu menurut apa kata orang yang lebih tua, dia juga tidak punya tenaga untuk menolak. “Tapi, Pak.”

“Suutt. Bisa nurut?”

Akhirnya Ayra mengangguk dengan perasaan gugup menyelimuti hatinya. Dia terdiam mematung melihat kelihaian Attar yang sedang memasak. Belum pernah dia saksikkan selama enam bulan mereka tinggal bersama. Pasalnya, Attar belum pernah terlihat memasak di dapur.

“Jadi ... gimana, Ay?” Attar menoleh ke arah gadis yang sedang terpaku memandanginya tanpa berkedip.

Di satu sisi, Ayra sedikit tersentak ketika kedua matanya bertemu pandang dengan Attar yang tiba-tiba melontarkan pertanyaan tersebut serta menoleh ke arahnya. “Um? Gimana apanya, Pak?”

“Mau menikah denganku?”

Rasanya berat sekali hanya untuk sekadar menelan saliva. Ayra juga syok atas pertanyaan yang tentu saja tidak main-main. Mengingat usia Attar telah dewasa. “Saya … belum siap menikah, Pak.”

“Kalau begitu jangan ulangi lagi. Belajarlah yang benar, jadi anak yang pintar.”

“Lagipula Bapak sudah tua,” lanjut gadis itu tanpa merasa tak enak hati. Tidak peduli apakah kalimatnya akan melukai lelaki di sana atau tidak.

“Apa kamu bilang? Tua?” Attar justru tertawa kecil. Dia bisa memaklumi anak SMA.

Ayra hanya mengangguk tanpa merasa bersalah.

“Suatu saat kamu akan merindukanku, Ay. Sebentar lagi kamu akan kukuliahkan ke luar negeri. Aku juga akan membeli apartemen.”

“Huh? Memangnya ini rumah siapa, Pak? Kenapa harus beli apartemen?”

“Rumah kakakku yang sudah meninggal. Dress yang kamu pakai itu punya kakakku.”

Tiba-tiba Ayra bergidik ngeri setelah sadar akan hal itu. Dia juga pastinya merasa bersalah karena selama ini tidak pernah mencari tahu tentang kondisi keluarga di sini. Pasal keduanya selama ini selalu disibukkan dengan kegiatan masing-masing.

“Sa-saya nggak tahu, Pak. Maafkan saya,” sesal Ayra. Dia terdiam sejenak sebelum kalimat Attar yang sebelumnya kembali terngiang. “Bapak bilang, saya akan dikuliahkan ke luar negeri, Pak?”

“Eum. Gimana? Mau?”

Suara gorengan bawang mulai terdengar hingga menciptakan aroma wangi. Attar terus melanjutkan kegiatannya di depan kompor.

“Mau banget, Pak!” seru gadis itu penuh semangat. Di luar negeri mana pun, asalkan bukan berada di Indonesia. Dengan begitu, dia bisa bebas untuk menjadi diri sendiri. Siapa tahu, keadaan di sana akan jauh lebih baik daripada di sini.

“Masih minat dengan dunia pendidikan juga? Aku kira kamu bakal memikirkan dunia dewasa.”

“Justru di sana saya akan mengenal dunia dewasa dengan sendirinya, Pak. Tanpa ada yang memaksa dan tanpa ada yang menghalangi.”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status