Share

Makan Apa?

"Buk. Kita nggak makan?" tanya Mail. Ia melihat Atika ibunya sedari siang terus benggong.

"Ibu marah ya?" sambung Dimas lagi.

"Nggak, ibu nggak marah kok. Ngapain ibu marah? ini bukan salah kalian, seandainya saja dulu ibu nggak mengizinkan bapak kalian merantau, mungkin nasip kita nggak seburuk ini. Dan kalau hanya untuk makan saja pasti bisa." Atika menghela napasnya.

Ia merasa berdosa, karna tidak bisa menyekolahkan kedua anaknya. Hidupnya begitu susah. Ditambah lagi orang-orang disekitarnya tidak ada yang perduli. Jangankan untuk menolong, melihat kehidupan Atika yang sulit saja mereka jijik.

"Maafkan Dimas ya Buk. Dimas sudah menuntut untuk sekolah, padahal kita susah," ucap Dimas sembari memeluk tubuh Atika.

"Nggak apa-apa Nak, setiap anak memang berhak untuk sekolah. Hanya saja keadaan kita tidak seberuntung yang lain."

Sementara itu Atika terus kepikiran gimana ari-ari yang ia ganti. Apa Ningsih tidak mengetahuinya sama sekali. Dan siapa orang yang telah mengintipnya malam itu.

"Kamu yakin mau kamu bongkar?" tanya Inem wanita tua, yaitu ibunya Ningsih.

"Iya Buk, lagian dekat saja anakku selalu nangis-nagis. apa karna Atika terlalu dalam menguburnya ya?"

Anak Ningsih beberapa malam ini selalu menangis kejer. Kadang-kadang matanya sampai melihat keatas-atas seperti ada, yang mengganggunya.

Ningsih mulai menggali liang berukuran miini itu. Diatasnya Masih ada sebuah lampu minyak yang digunakan untuk menerangi ari-ari bayinya.

Tidak ada curiga sama sekali, meskipun baru semalam tanah itu digali lagi oleh Atika. Namun penciuman Ningsih berasa aneh, saat ia mengangkat ari yang dibungkus Kain dan diberi wadah baskom kecil itu.

"Kok baunya aneh ya buk?" ujar Ningsih sembari menguatkan Indra penciumannya.

" Iya bau nya aneh, sepertinya ibu pernah mencium bau ini," jawab Inem.

Dibukanya balutan kain itu dan dilihatnya ari itu masih sangat segar. Sedangkan sudah beberapa malam dikubur.

"Kok arinya aneh ya buk? warnanya juga sangat kilat. Aku pernah dulu liat ari anaknya Atika sewaktu ia lahiran nggak gini," hardik Ningsih sedikit heran.

"Ibu nggak begitu paham sama bentuk ari. Dulu juga bapak kalian yang menguburkannya. Tapi kalau baunya ini seperti pernah ibu cium tapi bau apa ya?" Inem berfikir.

"Kebetulan saja kali bukl. Sudahlah, mungkin tiap anak beda-beda kali ya." Ningsih memotong pembicaraan.

Namun Inem masih saja berfikir, dan mengingat-ngingat serta mencerna aroma yang tidak asing itu.

Ningsih segera memasukan ari itu kedalam guci tanah. Karna mereka akan pindah rumah besok. Sementara anaknya terus menangis, sampai kadang-kadang 2 jam baru berhenti.

" Duhh, diem dong nak! jangan nangis terus, ibu capek ndiamkan kamu." Ningsih kualahan mendiamkan anaknya karna terus menangis.

Sementara dirumahnya Atika masi memikirkan akan makan apa Ia malam ini. Didapurnya hanya tinggal beras saja dan bumbu dapur.

"Ibu buat nasi goreng saja ya!" ujar Atika.

"Yah nasi goreng lagi! baru kemarin. Ibu kan tau perut Dimas panas kalau makan nasi goreng," jawab Dimas.

"Terus masak apa? kalian ngertiin dong posisi ibu!" suara Atika meninggi lagi.

"Sudahlah bang, kita makan nasi goreng saja lagi. Kasian ibuk." tambah Mail.

Dimas menghela nafasnya, bukanya menjawab malah pergi berlari masuk kedalam kamarnya.

Sebagai seorang ibu, tentu Atika merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Semenjak ada anak-anaknya belum pernah sekalipun ia membahagiakan anaknya.

"Ibu mau kemana?" tanya Mail Saat melihat ibunya berjalan keluar rumah.

"Mau keluar sebentar, Kamu tunggu dirumah saja. Temani abangmu," ujar Atika.

Hari sudah hampir petang, sedangkan ia tidak tau harus berbuat apa. Sebenarnya bukanya anaknya tidak pernah bersyukur, namun Dimas memang mempunyai riwayat lambung, jadi setiap makan nasi goreng perutnya panas. Padahal tidak pakai cabe sama sekali.

Saat ia sedang berjalan pelan menelusuri jalan yang tidak tau arah, Seseorang memanggilnya.

"Mau kemana Ti?" tanya seseorang dari arah lain.

" Eh, mbok Karsem? ini cuma cari angin saja." sahut Atika.

"Cari angin malam-malam? ada-ada saja kamu," wanita yang usianya sekitar 60 tahunan itu tersenyum.

"Mbok sendiri mau kemana?"

"Ini, dikampung sebelah ada yang lahiran. Dan Mbok mau membantunya," ucap Mbok Karsem.

"Lahiran?" tanya Atika, lagi.

"Iya, lahiran. Disana kan banyak tuh yang lagi hamil tua Dan setiap ada yang lahiran pasti Mbok dipanggil." jelas Karsem lagi.

Sejenak Atika terbengong dan seperti memikirkan sesuatu.

"Kok benggong? nduk?" tanya Karsem. Sembari menepuk pudak Atika.

"Ohh, iya ya Mbok. Saya nggak begitu tau, karna saya nggak pernah kesana," jawab Atika terbata.

"Yasudah, sudah malam. Mbok mau kesana dulu takut ditungguin." Karsem segera berjalan kearah persimpangan yang memang jalan menuju kampung sebelah.

Ntah angin apa yang membisikan ditelinga Atika. Sampai ia mengikuti langkah Karsem dari belakang.

"Malam ini kalian akan makan enak, anak-anakku," gumam Atika. Senyumnya sangat semeringai, dan tidak dapat digambarkan.

Sesampainya didesa itu, Karsem segera masuk kesalah satu rumah sederhana. Yang hanya beratap daun, dan berdinding tepas bambu.

"Sukurlah, Mbok sudah datang," ucap pemilik rumah itu yang usianya sebaya dengan Atika. Perutnya buncit sepertinya ia yang akan lahiran. Karna dilihat dari raut wajahnya tampak Ia sedang menyengir kesakitan.

"Sudah pecah ketuban ya?" tanya Karsem.

" Sudah Mbok. Tapi sepertinya masih agak lama soalnya sakitanya belum seberapa," jawab wanita itu.

Sementara Atika masih mengintip dari balik dinding rumah itu. Tidak ada yang mengetahui keberadaanya karna memang rumah disana jauh-jauh jaraknya.

"Berarti Aku harus menunggu," gumamnya pelan.

Sementara itu, kedua anaknya terus menunggu Atika sembari memegangi perut mereka.

"Kemana ibu ya?" tanya Dimas.

"Abang sih! buat ibu marah. Kasian ibuk, kan!" gerutu Mail

"Abang bukanya nggak bersyukur dek, kan kamu tau Abang nggak bisa makan nasi goreng," ujar Dimas lagi.

"Tapi kan hari ini saja bang! besok mana tau ada rezki kita bisa makan enak," jawa Mail.

"Seandainya saja bapak kirim uang, pasti hidup kita nggak gini. Pasti bapak disana lagi makan enak", ucap Dimas kesal.

"Sudah Bang, jangan gitu. Nanti pasti bapak pulang." Mail memberi pengertian kepada abangnya.

Sementara Atika terus menunggu, sampai seluruh badannya dikerumuni nyamuk. Karna sudah gelap.

" Mbok sakit sekali! Aku sudah tidak kuat." rintih wanita itu.

"Suamimu kemana? kok nggak nampak?" tanya Karsem.

"Lagi kerumah ibunya Mbok nyusul mertuaku," jawab wanita yang bernama Dewi itu. Sepertinya bayinya sebentar lagi akan segera keluar.

"Ayo tidak usah menunggu. Keluarkan saja bayimu." ucap Mbok Karsem.

Setelah 2 jam lebih menunggu dengan perut keroncongan, akhirnya bayi yang ditunggu-tunggu lahir juga.

Atika sangat senang karna sebentar lagi. Yang ditunggu-tunggunya akan didapatkannya.

Setelah Ari-Ari keluar, Mbok Karsem segera meletakan, ari itu didalam baskom dan menaruhnya dimeja dekat kamar mandi.

Namun naas.

bukan kucing yang datang. Melainkan Atika mengambilnya serta membawa ari itu kabur saat Mbok Karsem memandikan sang Bayi munggil.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status