Happy Reading*****Tawa Fikri meledak ketika melihat ekspresi Bagas yang lucu. Ingin sekali mengatakan kata-kata ejekan pada sahabatnya itu. Namun, dia urungkan karena Mutia sudah membuka suara lagi."Kenapa teriak-teriak? Memangnya ini hutan?" sahut Mutia. Rupanya, perempuan itu benar-benar geram melihat Bagas yang selalu semena-mena. "Sayang, jangan gitu, dong. Aku lapar, lho. Dari pagi belum kemasukan makanan sedikitpun," kata Bagas berusaha merayu sang kekasih."Terus, aku suruh nyuapi Bapak, gitu?" Mutia melipat kedua tangannya, angkuh sambil membuang muka. "Tidak begitu, Sayang." Bagas memegang kedua pundak Mutia, berusaha meminta perempuan itu agar mau duduk di sofa dan berbicara dengan tenang."Nggak usah pengang-pegang," bentak Mutia. Fikri kembali mengeluarkan tawanya. Kali ini, cukup lirih hingga dua insan yang sedang bermusuhan itu tidak mendengar tawanya. Sang kepala sekolah bahkan merekam momen keduanya dengan melakukan panggilan video pada para sahabat Bagas.Arham
Happy Reading*****Mutia mengikuti arah pandang si kurir. "Dih, bisanya ngaku-ngaku," ucapnya. Si ibu guru mengambil buket mawar dari tangan muridnya, lalu menyerahkannya kembali pada si kurir. "Tolong katakan sama beliau, Pak. Saya nggak butuh buket," kata Mutia.Si kurir, melongo ketika Mutia berkata demikian. "Ibu saja yang ngembalikan langsung. Saya nggak berani," ucapnya. Menyodorkan kembali buket yang dibawanya ke hadapan Mutia. Setelahnya, si kurir berbalik dan melangkah pergi dengan cepat. "Hei, Pak. Tunggu," teriak Mutia. Namun, si kurir tak lagi mendengarkan semua teriakan si ibu guru.Mutia mengembuskan napas panjang. Berbalik dan saat itu juga suara teriakan para muridnya terdengar."Cie ... cie. Bu Mut dapat buket dari ayangnya," celetuk salah satu dari muridnya yang terkenal nakal."Diam," kata Mutia sedikit keras. Semua muridnya terdiam karena baru kali ini perempuan itu bernada tinggi. Biasanya si ibu guru tidak pernah demikian walau anak didiknya lumayan bandel."
Happy Reading*****"Nggak usah menghujat jelek. Aku emang belum punya seseorang yang bisa menarik perhatianku. Tapi, bukan berarti aku nggak bisa jatuh cinta, ya. Aku cuma menjaga hati untuk dia yang benar-benar menjadi istri," jelas Arham."Hilih. Cepet sana panggil Ratna," perintah Bagas."Kamu itu sebenarnya mau ke mana? Kenapa gelisah banget?""Nanti, aku jelaskan selesai meeting.""Oke, aku tunggu ceritamu." Arham segera memutus panggilannya dengan si bos.Bagas tersenyum setelah memutuskan sambungannya dengan sang asisten. Walau tak lama sesudahnya sang sekretaris datang membawakan berkas materi yang akan mereka bahas di pertemuan, sang pemimpin masih saja menunjukkan senyum tersebut seperti orang kesurupan saja. "Selamat pagi, Pak. Ini berkas yang Bapak minta," kata Ratna sambil menyodorkan map warna hitam ke hadapan sang pemilik ruangan. Namun, si bos masih saja tersenyum sambil menatap ponselnya. "Pak ... Pak," panggilnya sekali lagi."Eh, iya. Bagaimana?" Bagas menatap ke
Happy Reading***** Mutia bersiap menutup pintu rumahnya lagi ketika melihat wajah Bagas. Namun, gerakan lelaki itu jauh lebih cepat untuk mencegah niatan si perempuan. "Sayang, Mas mau ngomong penting," ucap Bagas. Mutia menatap lelaki di depannya dengan malas. "Nggak ada yang perlu kita omongin lagi. Pergi sana," usir si ibu guru. Dia kembali akan menutup pintu, tetapi tangannya Bagas jauh lebih cepat menarik pinggang perempuan itu sehingga bibir keduanya menempel satu sama lain.Bagas malah dengan sengaja melumatnya sebentar membuat Mutia meronta-ronta dan saat itulah, si kecil Fardan memanggil keduanya."Mama sama Papa ngapain, sih? Kalau mau mesra-mesraan di dalam saja, deh. Malu kalau di luar gitu. Dilihat tetangga juga nggak enak," ucap si kecil. Mutia tak menjawab, melangkah pergi meninggalkan keduanya. Setelah jaraknya cukup jauh, perempuan itu menoleh dan berkata. "Suruh dia pergi, Sayang. Kita harus segera berangkat sekolah," suruhnya pada si kecil.Fardan menyilangkan
Happy Reading*****Mutia benar-benar menghentikan langkahnya. Dia berbalik menatap Surya dan Bagas bergantian. Sementara Bagas, dia terpaku. Ucapan Surya membuatnya mematung. "Jadi, Papa sudah mengetahui semua ini?" tanya Bagas. Sempat tak percaya jika orang yang membelanya saat ini adalah Surya.Surya menoleh pada putra dan istri sahnya. "Maaf, jika selama ini Papa terkesan selalu membela Nazar," ucapnya.Mutia mendengkus. "Jadi, beginilah kelakuan semua keluarga Anda. Salah satu anggota keluarga melakukan tindak kriminal, tapi Anda malah melindunginya. Maaf, jika saya semakin yakin untuk membawa Fardan pergi dari sini." Perempuan yang berprofesi sebagai guru itu kembali melanjutkan langkahnya sambil menggandeng tangan si kecil yang sejak tadi sama sekali belum membuka suara."Tia, tunggu!" teriak Bagas. Akan tetapi, orang yang dia panggil makin mempercepat langkahnya."Gas, biarkan saja. Beri kesempatan pada Mutia untuk bersama Fardan dulu," nasihat Anjani yang ikut mengejar langk
Happy Reading*****"Nggak mungkin, ini sangat nggak mungkin," ucap Mutia berkali-kali, air matanya sudah menganak sungai di pipi."Sayang, kenapa?" Bagas mengguncang kedua bahu perempuan yang sudah menguasai seluruh hatinya itu.Surya langsung merebut selembar kertas di tangan Mutia. Lalu, membaca isi yang tertera di sana. Sebagaimana reaksi si ibu guru, lelaki paruh baya itupun cukup terkejut ketika membacanya."Pa, ada apa?" tanya Anjani. Perempuan itu merebut kertas di tangan suaminya. "Lho," ucapnya tak percaya."Itulah kenyataannya," kata Fardan, "semula, aku juga berharap bahwa Mama adalah orang yang melahirkanku, tapi kenyataannya nggak sesuai harapan. Padahal dari foto ini, aku sudah berharap banyak."Si kecil menyerahkan dua lembar foto berbeda tempat, tetapi pakaian yang digunakan si bayi sama.Bagas menyambar foto yang disodorkan si kecil. Lalu, dia mencermati kedua foto tersebut. "Bukankah ini fotomu ketika Mama baru pertama kali melihatmu di rumah sakitnya Satya waktu it