Happy Reading*****Bagas melempar kunci mobil pada Arham. "Balik kantor bareng aja. Aku lagi males nyetir sendiri," katanya yang secara tak langsung memerintah Arham. "Terus mobilku gimana?" Walau sedikit keberatan, tetapi Arham tetap menangkap kunci mobil tersebut. "Seperti biasanya aja. Kenapa masih tanya." Bagas masuk mobil lebih dulu, duduk di sebelah kemudi. Mulai menyandarkan punggung serta kepala. Baru tadi pagi, dia membahas dan berdebat dengan kedua orang tuanya karena Nazar. Saat ini, Bagas malah bertemu langsung sehingga membuat suasana hatinya makin berantakan. Lelaki itu memejamkan mata sebentar untuk menetralkan mood-nya yang tak karuan. Membayangkan jika ada Mutia saat ini, dia pasti akan langsung menerkam perempuan itu untuk mengembalikan keceriaan dan kebahagiaannya seperti tadi pagi. Ketika Arham sudah menyelesaikan panggilannya yang meminta salah satu sopir membawa mobilnya ke kantor, dia melihat senyum Bagas ketika sudah duduk di depan kemudi. "Eh, kamu masih
Happy Reading*****Mengendari kendaraannya dengan kecepatan yang cukup tinggi karena kekesalan hati dan juga waktu yang semakin mepet, Bagas menerobos lampu merah. Suasana hatinya berantakan sejak perdebatan dengan kedua orang tuanya tadi. Padahal, sebelum kedatangan kedua orang tuanya, mood Bagas benar-benar bagus karena mendapat asupan vitamin dari wanitanya. Fokus menyetir Bagas harus terbagi ketika ponselnya berdering dengan suara nyaring. Lelaki itu melirik sebentar sang menelpon dan dengan cepat memasang earphone ketika nama Arham terlihat. "Tunggu sebentar. Aku sudah hampir sampai. Lelang tendernya belum mulai, kan?""Lima menit lagi akan dimulai. Nggak biasanya kamu teledor dan telat kayak gini padahal jelas-jelas tahu kalau tender ini sangat penting untuk reputasi perusahaan kita.""Cerewet, sebentar lagi aku sudah sampai. Oh, ya, segera bayar tilang kalau ada yang mengirimkan surat tilang ke kantor.""Lah, kamu melanggar lalin?""Yup, kelamaan kalau nunggu lampu hijau, jad
Happy Reading*****Bocah kecil yang sedari tadi mendengarkan percakapan sang nenek dengan cucunya itu mulai penasaran. Benarkah Mutia pernah melahirkan seperti diagnosa dokter."Bagaimana jika Mama memang punya seorang anak? Apa mungkin dia masih mau peduli dan menyayangiku?" tanya Fardan, berjalan menjauhi gazebo menuju rumah. Sesampainya di rumah, Fardan segera menuju dapur dan mencari air putih. Rasa sesak membayangkan jika dia akan kehilangan kasih sayang dan perhatian begitu menyakitinya. Dia baru saja merasakan cinta dari seorang perempuan yang bergelar ibu, tetapi harus kehilangan lagi jika Mutia benar-benar memilik anak.Satu gelas berukuran sedang berisi air putih sudah tandas masuk kerongkongan Fardan. Si kecil merogoh saku celana pendeknya, mengeluarkan benda pipih pintar miliknya dan mulai mencari kontak Satya. Dia harus memastikan percakapan tersebut pada sahabat papanya. "Ya, Boy. Tumben nelpon, Om. Ada apa?" tanya Satya ketika suara sapaan dari seberang sana terdenga
Happy Reading*****"Kamu memang anak tidak berbakti. Sudah tahu mamamu tidak suka jika kamu menyebut kata itu, tapi kamu malah sengaja mengucapkannya," kata Surya.Bagas tidak menggubris perkataan lelaki paruh baya tersebut. Mempercepat jalannya menjauhi kedua orang tuanya yang datang tanpa diundang ke rumahnya. Jika di rumahnya bagas sedang kedatangan orang tuanya dengan segala perdebatan yang ada. Saat ini Mutia sedang menginterogasi neneknya. Cucu dan nenek itu sedang duduk santai di gazebo pekarangan rumah. Fardan dan si sopir sedang bermain sepak bola. Tadi, Jannah membelikan bola di pasar untuk dipakai si kecil bermain selama berada di rumahnya."Nek," panggil Mutia, "aku boleh tanya suatu hal yang menyangkut diriku."Si guru bergelayut manja di lengan Jannah sambil meletakkan kepalanya, bersandar pada lengan yang terlihat begitu ringkih, tetapi nyatanya lengan itu masih begitu kokoh, menjadi tempat bersandar Mutia.Jannah membelai mahkota kepala cucu satu-satunya yang selalu
Happy Reading*****Bagas ingin sekali tertawa keras ketika melihat kekecewaan serta ketakutan di wajah Mutia. Namun, lelaki itu juga kasihan karena wanitanya tidak berhasil mencapai puncak."Pak, matikan dulu HP-nya. Saya mau buka pintu kamar supaya Fardan nggak banyak tanya dan curiga.""Iya, tapi sebelum itu betulkan pakaianmu. Fardan itu tipe anak yang cukup teliti."Mutia mengangguk, mulai merapikan rambut dan pakaiannya yang sempat acak-acakan akibat video call mesra dengan Bagas."Mama baik-baik saja kan di dalam?" tanya si kecil sekali lagi karena Mutia tak kunjung membalas pertanyaan sebelumnya."Iya, Sayang. Tunggu sebentar, Mama masih ganti baju," sahut Mutia sedikit keras supaya si kecil mendengarnya."Ya, sudah. Aku matikan, ya. Aku juga mau mandi. Sebenarnya, aku pengen mandi bareng," goda Bagas disertai kerlingan mata."Nggak usah aneh-aneh." Mutia menunjukkan wajah marah karena godaan dari lelaki itu. Tawa Bagas menggema sebelum panggilannya terputus.Lemas, Mutia berj
Happy Reading*****Mutia menepuk keningnya sendiri. Sementara Bagas, wajahnya mulai memerah. "Kenapa kamu terbangun, Sayang?" tanya Mutia mengalihkan kemarahan yang tampak jelas di wajah Bagas."Aku dengar Mama ngobrol sama seseorang. Nggak tahunya, Mama lagi video call sama Papa. Ya, sudah. teruskan saja. Aku mau tidur lagi dan nggak akan mengganggu, kok," kata si kecil. Matanya kembali terpejam, posisi tidurnya membelakangi Mutia. "Dia tidur bareng kamu?" tanya Bagas dengan suara mengintimidasi dan sedikit bernada cemburu."Ya, gimana, Pak. Kamar di rumah Nenek cuma ada dua. Rumah kami itu nggak sebesar rumah Pak Bagas. Kalau nyuruh Fardan tidur di kursi ruang tengah, kasihan. Lagian, sudah ada Pak sopir yang tidur di sana," terang Mutia panjang lebar supaya Bagas mau mengerti posisinya."Hmm. Aku iri banget sama anak itu. Dia selalu mendapat perhatianmu bahkan sekarang tidur bareng, sedangkan aku di sini kesepian tanpa pelukanmu," ucap Bagas kembali melontarkan kata rayuan yang