Happy Reading*****Anjani menggelengkan kepala dengan cepat."Lalu, kenapa pertanyaan Mama seolah-olah sudah mengenal Mutia?""Entahlah. Mama merasa familier dengan wajahnya ini," jelas Anjani. "Selamat malam, Bu," sapa Mutia. Punggungnya sedikit membungkuk ketika menyapa perempuan yang telah melahirkan Bagas.Mutia tidak menyangka jika eyangnya Fardan masih terlihat muda walau rambutnya sudah mulai beruban. Bagas tersenyum melihat tingkah Mutia yang begitu ramah dengan kesopanan tingkat tinggi."Ma, kenalkan. Dia, Mutia. Guru di sekolah milik keluarga Fikri," kata Bagas memperkenalkan wanitanya. Sementara itu, si sopir membawa Fardan ke kamar yang biasa digunakan olehnya. Matanya masih tertutup rapat, sama sekali tidak mengetahui keberadaan eyangnya."Malam, Tia. Aku mamanya Bagas, Anjani." Perempuan paruh baya itu mengulurkan tangan untuk berjabatan dengan si ibu guru."Ma, karena sudah malam dan aku capek banget. Mama sebaiknya pulang. Aku pengen istirahat.""Kamu ngusir Mama, G
Happy Reading*****Mendengar suara keras yang berasal dari Nazar, Arham keluar dari mobil. Begitu juga dengan Jannah, setengah berlari perempuan sepuh itu menghampiri cucunya dan ketika melihat Nazar, kemarahan itu muncul."Mau apa lagi kamu kemari, Zar?" tanya Jannah penuh emosi. "Apa belum cukup kamu menyakiti Mutia?""Bukan begitu, Nek. Aku ...," kata Nazar. Lelaki itu berusaha memegang tangan Jannah untuk mendapatkan maaf. Namun, si nenek dengan cepat menepis."Apa yang kamu lakukan, Zar?" bentak Gladys. Tidak suka melihat tunangannya yang merendah pada orang lain. "Nggak usah ikut campur, Dys. Niatku datang ke sini, memang untuk meminta maaf pada Nenek." Nazar menatap Gladys tajam bahkan tangannya sedikit mendorong perempuan itu supaya menjauh. "Bagus jika kamu memiliki rasa bersalah, tapi perasaan bersalah itu kurang tepat jika kamu tujukan pada Nenek. Harusnya, kamu katakan itu pada Mutia. Dia adalah orang yang paling menderita akibat semua ulahmua," kata Jannah."Aku sama s
Happy Reading*****Sebenarnya, Mutia tidak mengerti dengan perbincangan antara Bagas dan Yunita. Dari percakapan tersebut, Mutia menangkap ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Oleh karena itulah si ibu guru juga ingin mengetahui siapa papa kandung Nazar yang katanya kaya itu. "Jadi, selama kamu pacaran sama Nazar, belum dikenalin ke papanya?" tanya Arham sengaja memancing reaksi Yunita selanjutnya."Sudah tahu dari awal hubunganmu dengan dia tidak akan pernah naik ke jenjang pernikahan. Kenapa masih bisa bertahan hingga bertahun-tahun?" tambah Bagas. Tadi, Jannah sengaja meninggalkan Yunita, masuk lebih dulu ke rumah. Entah mengapa, perempuan sepuh itu malas untuk berbincang dengan perempuan yang pernah menjadi calon besannya. Mutia menunduk, memeri kebersamaan dengan Nazar terlintas begitu saja di depan mata. Bagaimana lelaki itu selalu beralasan ketika dirinya meminta dikenalkan dengan orang tua lelaki yang katanya ditemukan. Memang ada sedikit kejanggalan, tetapi Mutia tidak p
Happy Reading*****Bagas menatap putranya lekat. Tak terasa air mata itu jatuh di pipinya. Mutia sendiri langsung berlari masuk untuk mengambil kotak P3K."Kenapa kamu mengatakan Papa pengecut?" tanya lelaki dengan kulit kuning Langsat yang kini pipinya memerah karena amarah dan terpaan sinar mentari."Gimana nggak pengecut kalau Papa cuma bisa menyakiti diri sendiri karena nggak bisa menentang Eyang Kakung," cibir si kecil. Fardan membalas tatapan papanya, meremehkan. Bagas langsung melirik Arham. Cuma dia satu-satunya yang bisa menceritakan kejadian di rumah Pak RT tadi pada putranya. "Nggak usah kek gitu lihatnya. Aku cuma pengen Fardan tahu aja. Suatu hari, dia pasti akan bertanya juga mengenai masalah ini. Kita nggak bisa terus membohonginya," jelas Arham. Begitu santai, sama sekali tidak ada rasa takut maupun emosi saat menjelaskan mengapa menceritakan kejadian tadi pada si kecil."Kamu tidak punya hak," kata Bagas keras. Dari arah rumah, tergopoh Mutia berlari mendekati Ba
Happy Reading*****Tubuh Arham menegang, tetapi dengan cepat dia bisa menguasai keadaan. "Kenapa saya nggak boleh ada di tempat seperti ini. Ingat, Om, saya ini asistennya Bagas, jadi wajar jika saya mengikuti ke mana pun dia pergi," sahut Arham."Lho, kalian saling mengenal?" tanya seorang lelaki berperut buncit dengan peci hitam dan baju batuk."Kebetulan kami tetanggaan di kota, Pak," jawab Bagas seenaknya tanpa meminta ijin pada dua pasangan yang tadi menyapanya. "Oh, begitu," sahut si Pak RT. "Jadi, ada keperluan apa kalian berdua ke sini?""Kami cuma mau melapor bahwa kamu tamu yang menginap di rumah Nenek Jannah," sahut Arham. Dia sengaja menyela perkataan si bos yang terlihat menahan amarah melihat pasangan di depannya."Oh, begitu. Apa hubungan kalian dengan Nenek Jannah?" Lelaki itu mempersilakan Bagas dan Arham untuk duduk, tetapi keduanya menolak. "Kami teman kerja cucu, Pak," jawab Bagas cepat supaya dia segera meninggalkan rumah tersebut. Berada satu udara dengan pasa
Happy Reading*****Mutia terdiam cukup lama. Terbayang perkataan Bagas beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa Nazar adalah seorang bajingan sehingga menyebabkan persahabatan mereka terputus dan berubah menjadi musuh. "Apakah karena ini?" tanya Mutia dalam hati."Ya, sudah. Saya tak pulang dulu, Nek. Kalau terus ngobrol, nanti nggak jadi masak," katanya. Jannah cuma menganggukkan kepala sebagai jawaban. Lalu, menoleh ke arah Mutia yang terlihat diam dan melamun. Perempuan sepuh itu menyentuh lengan cucunya, mengembalika kesadaran si ibu guru. "Nggak usah dipikir. Nenek bersyukur kamu nggak jadi menikah dengan Nazar yang ternyata keluarganya memiliki latar belakang demikian," ucap Jannah, "Nenek yakin, apa yang menjadi takdirmu nggak akan pernah menjauh bahkan pergi darimu. Tapi, jika memang bukan takdirmu, ya, seperti sekarang ini. Jangan sedih dan disesali.""Aku nggak menyesal, Nek. Malah bersyukur, sudah dijauhkan dari orang-orang seperti itu," shut Mutia. "Sudah, Nek. Nggak u