Happy Reading
***** "Saya nggak pernah mengingkari janji." Mutia tanpa ragu, membuka pintu mobil yang ditumpanginya bersama Bagas. Secara bersamaan, lelaki itu mengikuti apa yang Mutia lakukan. Mendengar suara dentum pintu mobil, reflek Nazar menoleh ke sumber suara dan saat itulah terlihat sosok perempuan yang dicarinya. "Sayang," panggil Nazar disertai lirikan pada Bagas. Mutia terpaksa menghentikan langkah dan menatap lelaki berkemeja hitam tersebut penuh pertanyaan dan kemarahan. Apalagi ketika mengingat semua chat dan foto yang dikirimkan sahabat dekatnya semalam. "Maaf, aku sudah terlambat. Permisi," kata Mutia begitu acuh. "Sayang, semalaman aku nyariin kamu. Kenapa nggak mau balas dan angkat telponku?" Nazar berusaha memegang pergelangan Mutia supaya perempuan itu tidak melanjutkan langkahnya. Namun, Mutia malah bersikap sebaliknya. Sang guru cantik malah mengibaskan tangannya dan menatap Nazar tajam. "Nggak usah nyari perhatian. Ini lembaga pendidikan tempatku mengajar. Jangan sampai anak didikku berpikiran negatif dengan tingkah laku kita." Nazar menarik tangannya, menjauhi perempuan yang beberapa tahun belakangan telah menjadi kekasihnya. Lalu, dia melirik Bagas dan mendekatinya. "Kenapa kamu bisa bareng sama dia? Apa kalian punya hubungan khusus?" Bagas mencebik, tersenyum seperti mengejek Nazar. Lalu, tanpa kata lelaki berjas hitam tersebut membuka pintu mobil tanpa menjelaskan apa pun. Namun, sebelum meninggalkan kekasih Mutia, Bagas menoleh untuk yang terakhir kalinya. "Rasanya, aku nggak perlu menjelaskan apa pun," ucap si anak pejabat yang tengah berkuasa di kota tersebut. Nazar diam mematung sambil memandang kendaraan roda empat yang ditumpangi Bagas menjauh dari lembaga pendidikan tempat Mutia mengajar. "Sepertinya, ada yang tidak beres dengan mereka berdua. Apa mungkin Mutia memang memiliki hubungan khusus dengan Bagas?" gumam Nazar. Tanpa keduanya ketahui, sejak tadi ada sepasang mata yang terus memperhatikan tingkah mereka. Seseorang itu kemudian mengambil ponsel dan mulai menelpon. "Target ternyata masih sehat. Sepertinya, dia di bawah pengawasan Pak Bagas. Apa langkah selanjutnya?" ucap seseorang itu di teleponnya. "Buat dia seperti rencana semula. Perkara Bagas, biar aku yang kan menyelesaikannya." ***** Masuk ruang guru, wajah sahabat karibnya sudah terlihat. Novita mengamati tampilan Mutia dari atas sampai bawah yang tidak seperti biasanya. "Mut, bajumu baru?" tanya Novita. "Baru gimana, sih?" Mutia memutar bola mata, kemudian memajukan bibirnya. "Pasti kebanyakan ngerjain rapor anak-anak. Jadinya, buram. Baju udah lama dibilang baru." "Masak, sih." Novita berdiri, mendekati sahabatnya dan menarik sesuatu dari ujung kemeja yang dikenakan Mutia. "Ini bukti kalau bajumu baru," ucap istri sang pengacara sambil menunjukkan label harga yang masih melekat di baju sahabatnya. Mutia jadi salah tingkah. Mengapa dia sampai lupa memeriksa dan mencopot label harga harga yang masih melekat di baju tersebut. "Dih, masih nggak mau ngaku," cibir Novita. "Wah, harganya mantap, tuh. Pasti Nazar yang beliin. Seketika kerongkongan Mutia mengering, tatapannya berubah aneh pada sang sahabat. "Kok, ngomongnya begitu?" tanyanya. "Lah, memangnya kenapa? Wajar, dong, kamu kan pacarnya Nazar. Jadi, kalau dia beliin kamu baju semahal ini, ya, nggak masalah." Novita menggerakkan kedua bahunya sambil mencebik. "Suamimu nggak cerita?" tanya Mutia. Menaruh tas dan mendaratkan bokongnya ke meja tempatnya bekerja. "Cerita apa?" Menatap Mutia penuh selidik, tidak biasanya Alfian yang notabene seorang suami yang tidak bisa menyimpan rahasia apa pun, belum bercerita perkara Nazar dan sahabatnya. "Nggak usah pura-pura, deh. Nggak mungkin kalau suamimu itu belum menceritakan masalah pesta yang dihadirinya semalam." Mutia berdiri setelah mengambil semua rapor anak didiknya yang siap dibagikan. "Males, ah. Aku mau ke kelas dulu. Sudah ditunggu anak-anak," ucapnya. "Mut, tunggu." Novita memegang pergelagan tangan sang sahabat karena masih penasaran dengan ucapan Mutia tadi. "Aku beneran nggak tahu apa yang kamu maksud. Semalam, aku tidur duluan, jadi aku nggak tahu pas Alfian datang. Pagi ini, kami juga nggak sempat ngobrol karena dia harus ketemu sama kliennya." Mutia terpaksa mengembuskan napas panjang. "Aku malas untuk membahas masalah ini, Nov. Kamu tanya sama suamimu saja." "Ih, kok, gitu?" "Aku nggak mau bahas tentang Nazar untuk saat ini." Mutia melanjutkan langkahnya, tetapi baru berjalan sekitar dua langkah, salah satu satpam memanggilnya. "Bu, ada paket," kata satpam tersebut. "Dari siapa, Pak?" tanya Mutia dan Novita berbarengan. "Kurang tahu, orangnya sudah pergi. Pas ditanya nama, dia bilang Bu Mutia pasti mengetahui dari siapa paket itu," jelas sang satpam. Lelaki berseragam keamanan itu segera meninggalkan Mutia dan Novita setelah menyerahkan paket tersebut. "Aneh, nggak biasanya kamu nerima paket di sekolah. Apa mungkin dari Nazar yang pengen ngasih kamu kejutan," ucap Novita disertai alisnya yang bergerak naik turun. Mutia memutar bola mata malas. Dia malah curiga jika benda di dalam kotak kardus tersebut dari Bagaskara. "Eh ... eh. Kok, gitu?" kata Novita. "Daripada penasaran. Sebaiknya, kita buka saja biar tahu isinya apa." Istri sang pengacara tersebut langsung mengambil kotak kardus di tangan sahabatnya. "Eh, jangan dibuka," protes Mutia. Namun, tangan Novita sudah terlanjur membuka kotak kardus tersebut. "Astagfirullah," teriak keduanya bersamaan.Happy Reading*****Tak berbeda jauh dengan keadaan Mutia yang kacau, kondisi Bagas pun lebih menyedihkan lagi. Setelah meninggalkan klinik Satya karena kecewa dan kesal dengan hasil pemeriksaan Mutia, lelaki itu segera datang ke kantor. Rapat penting yang membahas proyek besar bernilai fantastis, dia batalkan. Entah mengapa hatinya begitu sakit ketika mengetahui dirinya bukanlah lelaki pertama yang berhubungan intim dengan Mutia. "Kamu beneran sudah gila, Gas. Cuma karena suasana hatimu buruk, kamu bisa membatalkan meeting penting kali ini. Ada apa sebenarnya? Nggak biasanya kamu linglung begini. Apa ini menyangkut Fardan?" tanya Arham di ruang kerja Bagas. Lelaki itu terpaksa menghubungi klien mereka yang akan bekerja sama untuk membatalkan pertemuan. Alhasil, rekanan itu marah dan membatalkan kontrak kerja sama yang akan mereka jalani. Pihak rekanan menganggap jika perusahaan yang dipimpin Bagas, hanya main-main dengan proyek yang sedang berlangsung. Bagas tak menyahut, malah m
Happy Reading*****"Mengapa kamu berbohong, Tia!" bentak Bagas, tangannya masih mencengkeram kuat leher wanita di sebelahnya padahal Satya sudah berusaha menyingkirkan tangan itu."Hentikan, Gas! Atau aku akan memanggil polisi," bentak Satya, "Ingat, kamu sedang berada di klinikku sekarang. Nggak usah nyari gara-gara." Bagas melepaskan cengkeraman tangannya dari leher Mutia, tetapi tatapannya masih saja menakutkan. "Kamu mengatakan tidak pernah berhubungan dengan Nazar, tapi apa ini?" teriak Bagas, meluapkan semua kekecewaannya pada perempuan yang semalam sudah membuatnya terbang berkali-kali ke nirwana. Kini, lelaki itu kembali mencengkeram leher wanitanya walau tidak sekuat tadi. Mutia terbatuk-batuk, tenggorokannya sakit hingga tidak bisa menjawab pertanyaan lelaki yang sudah menolongnya itu. Dia sama sekali tidak memahami mengapa Bagas marah sampai lepas kendali seperti tadi. Mutia semakin takut dan mempertanyakan pendapatnya sendiri yang mengatakan bahwa Bagas adalah lelaki
Happy Reading*****Bagas segera melangkah keluar ketika percakapannya dengan seseorang ditelepon sudah terputus. Sementara Mutia masih berendam di bak mandi air hangat yang sudah disiapkan lelaki itu. Aroma lavender yang berasal dari lilin di sebelahnya memberikan sensasi menenangkan, perempuan itu tanpa terasa memejamkan mata kembali.Entah berapa lama dia tertidur di bak tersebut, saat terasa sentuhan di kulitnya yang halus, Mutia membuka mata."Sudah berendamnya, ya." Bagas segera mengangkat tubuh perempuannya tanpa meminta persetujuan Mutia."Pak," jerit Mutia ketika lelaki itu menggendongnya. Merapatkan kedua paha agar pusat intinya tidak terlihat oleh Bagas. Tadi, Mutia tidak mengenakan pakaian sehelai benang pun saat berendam."Malu?" tanya Bagas sambil terkekeh. "Aku sudah melihat semuanya semalam.""Iya, tapi kan," protes Mutia sambil menyembunyikan wajahnya di ceruk leher si lelaki."Sudahlah." Bagas menurunkan Mutia di kursi meja kerjanya. Lalu, mengambilkan jubah mandi un
Happy Reading*****"Aaah," ucap Bagas merasakan geli ketika bibir Mutia menyentuh area lehernya. Rasanya pusat inti sang lelaki makin terbangun saat ini. "Selesaikan makannya dulu!" Lelaki itu menyuapkan kembali makanan ke mulut wanitanya. Setelahnya memasukkan makanan ke mulutnya sendiri dengan menggunakan sendok sama seperti yang dipakai untuk menyuapi Mutia. Bagas perlu mengisi energinya sebelum kegiatannya dengan Mutia dimulai. Sejak sarapan tadi, lelaki itu belum mengisi perutnya kembali dengan makanan.Selesai menghabiskan makanan yang ada di piringnya, Bagas membopong Mutia."Bi," paggil sang pemilik rumah pada pembantunya. Perempuan paruh baya yang membantu Mutia di dapur tadi, tergopoh mendekati majikannya. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat adegan romantis yang belum pernah dia lihat."Aduh, mata Ibu ternoda, Mas," kata Bi Siti, menggoda majikannya yang sejak beberapa tahun lalu seperti antipati terhadapa wanita. Namun, anehnya nama Bagas sebagai don juan begitu me
Happy Reading*****Mutia berjingkat, lalu menatap dua lelaki berbeda generasi itu dengan tatapan heran."Batasan apa yang kamu maksud? Apa yang kita lakukan nggak jauh beda," cibir Fardan, enteng bahkan tak ada permintaan maaf yang keluar dari bocah itu."Dan," panggil Arham sambil menggelengkan kepala. Jelas sekali lelaki itu meminta supaya si kecil tidak melanjutkan perdebatannya dengan Bagas."Ham, bawa anak ini keluar kalau perlu kurung dia supaya sadar kesalahannya," perintah Bagas pada asistennya."Gas, ingat. Dia masih kecil," protes Arham yang langsung mendapat pelototan dari Bagas."Masih kecil saja sudah jadi pembangkang. Bagaimana besarnya nanti?""Bukankah kelakuan kita sama. Kamu masih kecil juga sering membangkang dan nggak mematuhi omongan Eyang Kakung," cibir Fardan.Braak ....Tangan Bagas memukul meja dengan keras."Enyahkan di dari hadapanku! Kurung dia di kamarnya," bentak Bagas pada Arham."Tapi, Gas," tolak Arham.Entah kekuatan dari mana, Mutia tanpa sadar meme
Happy Reading*****Tatapan lelaki itu begitu menakutkan bagi Mutia, tetapi Fardan sama sekali tak gentar. Si kecil malah melotot mendengar perkataan Bagas yang menghentikan ucapannya tadi."Aku punya hak memilih siapa perempuan yang akan menjadi istrimu. Jika aku nggak setuju dengan perempuan itu. Maka, kamu nggak boleh menikahinya," kata Fardan keras. Arham dengan cepat menutup mulut si kecil karena melihat tatapan mengerikan dari Bagas.Sang asisten bahkan sudah memindahkan tubuh mungil yang sejak tadi menaruh tangannya di pinggang ke dalam gendongannya. Arham terlihat seperti melerai pertengkaran yang terjadi dengan lawan yang tidak seimbang."Kalian ini kenapa sebenarnya?" tanya Mutia, "Apa hubungan kalian berdua? Pak Bagas aneh. Omongan anak kecil masih saja diladeni.""Diam!!" bentak Bagas dan juga Fardan secara bersamaan."Eh." Mutia langsung memundurkan langkah ketika mendengar suara keras tersebut."Sebaiknya, kamu siapkan makanan untuk kami," perintah Bagas dengan tatapan m