Share

Bab 2. Hakikat kehilangan 2.

“Ketika menatapmu ada dua hal yang aku rasakan.

Pertama sebuah ketentraaman. Dan yang kedua sebuah kekecewaan.

Karena aku tahu, kita tak bisa bersama lagi.”

***

“Sya, mbk Mala sakit tiba-tiba. Awakmu kan juga ayu.... Sana jadi Terima tamu di depan.”

Mbak Kom menyarankan.

Apa ini? Menjadi Terima tamu dalam pernikahan orang yang kau cinta? Mungkin kemarin saat ijab kabul nya aku masih bisa berlari dan menutup telinga, karena aku mendapat tugas kontrol prasmanan.

Lalu sekarang? Apa aku akan kuat melihat orang yang ku cinta lengan nya di amit wanita lain? Apa aku kuat melihat nya bergaun senada hilir mudik menyalami tamu dengan rona bahagia? Apa aku kuat melihatnya memandang istrinya nanti? Ya Allah apa yang harus kulakukan.

“Ndang wes, pakai cilak. Bedak e di tebelin.”

“Kene tak gincu ni.”

“Sya, jangan pakai sandal itu. Kelihatan kucel, ini pakai sandalku.” Teman-teman ku berantusias membantuku agar pernikahan Gus nya berjalan lancar.

“Sya!”

“Eh Fin, sahabat-mu mundak wayu yo lek di rumat.” Mbak Kom memujiku. Tapi aku justru meraung-raung.

“Hm...,jangan Maisya mbak.”

“Lah nyapo? Wong Maisya ayu, pantes lek dadi penerima tamu.” Aku tau, Fina ingin menyelamatkanku dari duka yang kini merambat.

Aku terus menatap Fina dengan mimik meminta tolong agar dibantu keluar dari situasi yang amat menyakitkan ini.

“Thala’al badru alayna....” Sholawatpun gemuruh di lantunkan. Sholawat ini di lantunkan saat menyambut pengantin menuju singgasananya. Ya Allah kondisikan gemuruh di dadaku.

“Fina tolong aku.”

“Nah wes gek cepetan Sya.” Mbak Kom mendorongku agar cepat keluar. Fina melihatku sedih. Kenapa mbak Kom tak kunjung Peka? Perempuan mana yang rela menjadi tim sukses pernikahan kekasihnya? Perempuan mana yang bertahan di dalam situasi dimana orang yang amat ia cintai begitu bahagia di atas penderitaannya?

"Loh Sya? Kamu?" Kang Ahmadi bingung. Aku ada disini. Menjadi penerima tamu dalam pernikahan kekasihku sendiri. Aku tersenyum, lalu pergi menyalami para tamu dan membagi Snack saat tamu masuk dan souvenir saat tamu pulang.

"Sya, aku harap kamu kuat." Ina mengelus pundakku. Sikap Ina inilah yang melemahkanku. Bantu aku ya Robb.

 Sedari tadi aku mengalihkan pandangan dari pengantin. Menyibuk kan diri dengan souvenir dan snak-snak. Entah kuhitung lagi entah ku tata kembali. Aku hanya ingin mengalihkan pandanganku dari pengantin yang sedang berbahagia itu.

"Sya, kata ning Silma kamu ke dapur aja. Biar Ning Silma disini." Aku tersenyum dan segera bergegas. Tapi, ku pikir Allah menyelamatkan ku. Ternyata aku menambrak Gus Fahmi.

"Aduh Gus ngapunten." Aku tertunduk berusaha keras menahan air mata agar tak tumpah. Aku begitu sebrono sampai menabraknya pula.

"Loh nduk, samian.... "

Biar saja, kutinggalkan beliau dengan ucapan nya. Aku hanya ingin resepsi ini segera SELESAI! Aku juga tak menghiraukan para tamu undangan yang sempat tercengang mendapatiku menabrak pengantin pria. Aku tahu... Aku harus khidmat dan takdzim. Apa daya, hati ku memberontak.

"Mbak pondok!" Umik memanggilku.

"Njiiihh Um," jawabku lengkap dengan gestur santri kepada bu Nyai.

"Loh ternyata mbak Maisya, minta tolong samian isi capcay nya lagi. Wah kok wes habis ini di sini. Padahal belum selesai acara ne jek akeh tamu sing rung teko. Bagian prasmanan kemana semua ini kok ngilang."

Umi mengenalku karena aku penggurus asrama. Aku mngangguk tanda paham. Saat aku berbalik menutup pintu dapur utama. Aku mendengar seseorang menyebut-nyebut namaku.

"Kang, aqua ne santri putra suruh bawa barat gerbang." Mbak Kom. Ketua pondok berbicara dengan salah satu kang dari balik tembok.

"Oke mbak, eh tolong lihatkan Maisya ada di dapur apa di Terima tamu?"

"Walah kang iki, yo ndek Terima tamu to, piye to samian iki."

"Eh, Ning Silma uwis tak mintain tolong jaga Terima tamu. Gantiin Maisya."

"Lah, malah mbahas Maisya. Cepetan aqua nya"

Deg.

Hatiku ngilu. Siapa kang santri yang menyelamatkan ku itu? Kang Ahmadi kah? Aku segera berlari menyiapkan perintah Umi tadi.

"Gus, ada laki laki yang menyelamatkanku."Bisikku dalam hati.

***

Pengantin baru selalu di limpahi gelora, hasrat membara, kecupan, dan dekapan. Kekasihku mungkin sedang mencecap cinta suci dalam ikatan pernikahan, dua orang berselimut kasih sayang. Sedang aku berselimut duka di bawah purnama.

Menangis sesenggukan menghadapi beribu kenangan bersamanya. Andai ada senjata membunuh kenangan. Aku ingin membelinya berapun harganya. Walau bagaimana pun aku tak ingin kekasih ku itu mengingatku lagi, dia harus mencintai istrinya. Biar aku saja yang masih mencintainya sudah cukup.

"Sya."

"Fina." Menangis di pelukannya adalah kebiasaanku. Kami bersahabat sejak menjadi santri baru. Kami juga sering bertukar makanan. Bahkan saling meminjami uang jika salah satu membutuhkan.

"Wih bulan purnama, kalau kata simbah sih saat bulan purnama para raja hanya akan tidur di kamar permaisurinya. Lalu lahirlah putra mahkota."

"Fina... Jangan buat aku tambah sedih dong." Dia tertawa. Sahabat macam apa yang tertawa saat sahabatnya menangis sendu.

"Sya, Gus Fahmi masih di tempat acara. Ning Zulfa aja yang udah masuk kamar. "

Cukup! Ning Zulfa menunggu, lalu Gus Fahmi masuk dan tersenyum, menutup pintu dengan rapat. Aku merasakan hatiku makin tersayat membayangkan hal itu.

"Sya, Gus fahmi titip surat sama kamu." Fina menyodorkan secarik kertas, di bawah sinar rembulan, di dekat mangga di dekat aula barat. Aku menyeka air mataku, meraih secarik kertas itu dengan hati gusar dan tubuh bergetar. Pasalnya ini baru pertama kalinya dia mengirimiku surat setelah statusnya menjadi seorang suami.

'cah ayu njaluk tulung jangan bermata sembab di depanku, tersenyumlah. Aku tidak akan menyentuh istriku dengan terburu. Aku ingin melihatmu melepasku dengan ikhlas'

Aku menangis…. Ternyata bukan hanya aku yang tersiksa tapi Gus Fahmi Ning Zulfa juga. Sangat sulit memang menerima kenyataan pahit ini. Aku kembali menginhgat saat aku menjadi penerima tamu tadi. Dia terlihat sangat rapi dan menawan. Aku merasakan ketentraman memandangnya.

Namun aku juga di liputi kekecewaan yang mungkin, Ning Zulfa rasakan. Tak mendapat kehangat di malam –malam pengantin barunya. “Maafkan saya Ning.” Ucapku lirih sambil melipat kertas itu lagi.

"Maaf ya Sya, aku tadi hanya ingin bercanda."

"Fin, aku janji akan menganti malam pengantin mereka ini dengan malam pengantin yang lebih indah, aku jahat Fin…. Ning zulfa merasakan kesunyian hanya karna air mataku."

***

"Mas, mboten kerso seblak ta?"

"Loh pagi pagi" Gus Fahmi mengangkat cangkir kopinya.

"Pengen mas"

Kayak orang ngidam aja" Lalu meletakkan kopinya "Apa jangan jangan."

Gus Fa, menelisik rona wajah Ning Zulfa. Aku berlari. Aku tahu aku salah, salah telah lancang mencuri dengar percakapan Gus dan Ning ku. Aku juga salah telah percaya diri bahwa aku tidak akan sakit mendengarnya. Aku naif.

Kenapa pula mereka romantis-romantisan di teras? Tidak malukah mereka banyak santri yang berlalu lalang? Oh ya, aku lupa. Mereka pasangan halal. Andai Indonesia melindungi kaum jomblo yang terus meronta melihat keuwuan semacam ini.

Sekarang aku sadar, cinta yang dulu milikku sudah seutuhnya menjadi milik Ning Zulfa. Buktinya Gus Fa meninggalkan benihnya dengan suka rela? Buktinya Gus Fa memandang Ning Zulfa dengan penuh cinta? Sudah ku bilang. Aku harus segera keluar dari bayangan kenangan cinta Gus Fa. Aku harus bisa.

Gus Fa berbohong, dengan berjanji tak menyentuh istrinya sebelum aku melepasnya secara ikhlas. Dia berbohong. Han aku sangat muak kali ini. Mengapa aku mudah jatuh hati dan mudah pula di manipulasi?

"Ya Allah rek kabar bahagia." Aku mendekati Ima, begitupun yang lainnya. Mungkin ngaji di liburkan atau hm.. Ada kunjungan calon bupati?

"Aku sueneng rek, Ning idolaku hamil. Ning Zulfa. Baper parah,tadi lewat depan ndalem ngeliat ning zulfa ngasih kado ke Gus Fa isinya testpack positif. Gus Fa langsung ngelus-ngelus perut Ning Zulfa,sambil bacain doa." Seloroh Ima dengan antusias. Aku mundur duduk di kursi yangg agak jauh dari tempat mereka berbincang.

"Mosok? Beh nyesel aku berangkat awal. Gak ngeliat keuwuan."

"Iyolo, aku pengen tau Gus Fa...." Fina menatapku dan mengantungkan kalimatnya. Atifah,Ima juga merasa keceplosan di depanku.

"Wih semoga bayinya sehat yo, Umik kan pengen punya cucu dari Gus Fa. Semoga cowok ya biar ganteng kayak abinya kayak." Aku pura-pura cengengesan. Padahal hatiku berantakan.

"Sya…." Fina terlihat gusar.

"Sya, maaf ya.”

"Iya Sya." Disusul yang lain nya.

"Kenapa minta maaf. Wajar dong semua santri baper sama penganten baru, xixixixi"

"Sya, aku gak sadar kalok…. "

"Udah Ima, aku tau!!" Kataku lalu meninggalkan mereka begitu saja. Dan tiba tiba.

Deg… gelap!

***

"Fin!"

"Ya Sya."

"Ning Zulfa hamil" Aku menangis di pundak Fina. Entah sedih atau bahagia. Aku hanya ingin menangis saat ini.

"Sya, inget waktu malam pertama gus Fa. Kamu janji apa? "

"Inget Fin. Tapi kan gak secepat itu Ning Zulfa hamil, Gus Fa janji kan nggak nyentuh istrinya sebelum aku melepasnya dengan ikhlas?" Aku berderai air mata. Jilbabku basah kuyup.

"Yah gimana lagi, Ning Zulfa subur atau Gus Fa nya yang hebat. Lagian, mereka juga saling mencintai Sya, mana mungkin tahan tak saling menghangatkan." Fina tertawa geli. Aku cemberut.

"Walah Nduk, ancen loro jangan berangkat ngaji kitab Uqudul Ijen." Mbak Kom tiba tiba masuk. Aku baru sadar, ternyata aku berada di balai Kesehatan santri.

"Hayo... . Jangan alasan habis ngeblak terus izin pulang."

Aku mengangguk.

Kata pulang? Ha ah.. Aku ingin pulang saja, luka ku makin mengangga. Entah sampai kapan aku bertahan. Terlebih nanti saat bayi itu lahir, tumbuh besar lalu menganggu kang-kang roan kebersihan, membuat mbak-mbak Abdi ndalem kuwalahan. Atau saat dia memanggil Gus Fa dengan sebutan ayah?

"Di jaga kesehatane, kurang seminggu lagi samian lomba mukhafadzoh alfiyyah. Yowes tak tinggal."

Fina sok manis. Aku tersenyum sekilas. Fina memang musuh bebuyutan mbak Kom. Mbak Kom kan ketua pondok, suka merintah dan Fina tipikal orang yang harus ada kata 'tolong' bukan di perintah. Sering Fina ngomel-ngomel kalau di perintah mbak Kom nyapu depan asrama atau menguras kamar mandi.

"Eh Fin…,kamu drama apa di depan mbak Kom, kok tumben mbak Kom perhatian sama aku." Tanyaku dengan nada penuh curiga.

"Hahahaha..., bilang kamu giat hafalan alfiyyah demi mengharumkan nama asrama Nuruddarojah mangkanya pingsan kecapekan." Dia nyengir.

"Oh sontoloyo, kok giat…. Megang alfiyyah aja jarang!!!" Kami tertawa bersama.

***

"Huwek" Ning Zulfa muntah-muntah di depan bagasi mobil. Aku yang sedang di bopang Fina melirik.

"Muntah di sini sayang." Gus Fa berlari menyerahkan tangannya.

"Em…. " Ning Zulfa menggeleng tapi sudah tak bisa di tahan dan akhirnya....

"Samian mboten jijik tah?"

"Gaklah sayang, tapi di gaji dulu dong aku dengan ciuman."

"Malu mas banyak santri lalu lalang." Jawab Ning Zulfa malu-malu.

"Yaudah nanti aja di dalam mobil." Sergah Gus Fa. Ning cantinya mengangguk sambil tersenyum malu. Gus Fa membersihkan tangannya yang penuh dengan muntahan istri tercintanya.

Fina membopangku kembali ke asrama, berbisik lirih tepat di dekat telingaku.

"Rasakan apa yang harus dirasakan. Rasakan saja apa yang hatimu ingin kamu rasakan. Tapi jangan lupa menyertakan akal dan Allah di setiap perasaan yang kamu rasakan.”

Aku mendengus kesal, Fina selalu begitu. Seolah tak mendukung tindakanku tapi juga tak ‘kan menyalahkanku. Wataknya memang seperti itu. Aku membuang pandangan pada dedaunan rimbun di dekat asrama al-inaroh. Lalu, mengajak Fina duduk di batu tepian taman al-inaroh. Tempat inilah yang paling ditakuti. Kono, ditempat ini dulunya menjadi taman yang rindang dan menjadi tempat favorit para santri untuk jagongan atau rehat ketika pulang mengaji.

Namun, empat tahun lalu. Salah satu penghuni asrama al-inaroh yang menjadikan taman ini becamp tempatnya bersantai di sela-sela kepenatan mengaji. Meninggal saat sedang menangis tengah malam di balik dedaunan rimbun. Banyak yang bilang, dia menangis karena ayah dan ibunya bercerai.

“Mandiri banget ya kamu Sya.”

“Apanya?” tanyaku sambil menyandarkan tubuh di dahan kayu.”

“Ya mandiri, jatuh cinta aja sendiri. Hahahaha.” Dia mengodaku lagi. Aku terus mengerucutkan bibir. “Biar gak tegang aja lah Sya. Jangan baper.”

“Kamu sih Fin. Suka jail.”

“Aku belajar dari kisahmu Sya. Bahwa tidak ada orang memiliki kehidupan yang sempurna. Jujur, dulu aku saat itu iri padamu Sya. Iri dengan limpahan kasih sayang Gus Fa padamu. Tapi, situasi ini memberi kita pelajaran berharga Sya. Pelajaran bagaimana Ikhlas, bagaimana tak menyimpan rasa iri atas keadaan yang lainnya.”

Demi Allah, aku menitik ‘kan air mata haru. Baru kali ini Fina sukses membuatku tertampar akan nasehatnya. Memanglah yang paham materi akan kalah dengan mereka yang telah mengalami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status