Share

Bab 6. Kenangan membara.

Penyair arab pernah berkata :

“Betapa banyak tempat yang pernah di singgahi oleh seorang pemuda, Tapi kerinduannya selalu kepada tempat pertama.”

***

 Tidak banyak yang berubah. Lemari yang dulu Umi gunakan untuk menyimpan berbagai gamisnya kini raib. Abah yang sangat terpukul akan kepergian Umi. Sengaja meniadakan lemari itu. Lemari yang kata Abah Umi idamkan saat hamil aku. Tak hanya Abah, aku juga sangat terpukul. Terlebih tentang al yang barusaja terjadi dengan Istriku. Namun, aku selalu menasehati diri bahwa Umi tak mungkin bahagia melihat keluarga yang ditinggalkannya merana.

 Aku menghela napas. Duduk di sudut ruangan. Memandang layar telepon yang sejak dua hari yang lalu tak ku aktifkan. Ribuan chat Ustad-Ustadzah madrasah diniyah yang mengajak rapat. Banyak pula para penggurus yang minta izin ini itu, banyak para wali santri yang menanyakan perkembangan putranya.

Mataku terbelalak saat melihat Maisya membuat story Watshap. Dia tak seperti sambangan. Apakah dia pulang karena sakit? Aku hendak mengirim pesan padanya, aku ingin tahu kabarnya. Namun ku urungkan, tak pantas pria yang sudah memiliki istri bahkan hampir menjadi seorang ayah bertindak culas seperti ini.

Aku membuka i*******m dan aku kembali terbelalak melihat feed i*******m Maisya. Ternyata dia boyong, dan melanjutkan studynya di STIKES SURYA GLOBAL Yogyakarta. Aku menyukai postingannya.melihat fotonya mengunakan gamis toosca yang senada dengan jilbabnya, dia tersenyum menyilangkan kaminya dan sebagian jilbabnya tertiup angin. Aku tersenyum, dia memang mempunyai energi khusus dalam senyumnya, dia mampu membuat orang yang melihatnya tersenyum juga ikut tersenyum.

Dipercakapan terakhir kita, sebelum aku resmi menikah. Aku masih ingat ingat bagaimana kata-kata yang amat menyesakkan dada, saling menguatkan dan berpamitan. Berdebat tentang siapa yang paling dalam rasanya, aku atau kamu. Kamu dengan keras kepalamu dan aku dengan ego dan harga diriku.

Sebenarnya, aku tak menyesali apa yang dihadirkan keadaan. Aku juga tidak bisa mengubah jalan cerita bila pada akhirnya pergi menjadi pilihan tepat. Sekarang tugasku telah usai Sya. Untuk mengantarmu pada pintu gerbang tujuan barumu. Berbahagialah meski tak bersamaku. Meski akupun tak tahu pasti bisakah aku terus bertahan dalam kondisi setengah bahagia karena tak bersamamu.

“Aku rindu Sya, tapi entah dengan cara apa menyapamu.” Ketika kewarasaanku datang aku menghapus latar belakang layar dan segera membuka chat goup di telegram. Suara handel pintu jati berwarna kecoklatan itu berdecit.

Zulfa mematung melihat keadaanku yang amburadul. Dia diantar oleh ibu mertua dan juga beberapa mbak-mbak santri. Aku segera beranjak dan menyalami ibu mertua, memerintahkan mbak-mbak abdi ndalem untuk menyiapkan wedhang.

Sementara mbak-mbak santri yang bersama Zulfa membawakan barang-barang kerumah.

Rumah kami memang bersebelahan dengan ndalem kesepuhan—rumah pengasuh utama pondok pesantren, Umi Abi.

Rumah kami hanya terhalang Asrama Syafaatul Quran yang sengaja di letakkan di antara rumahku dan ndalem Umi. Asrama yang diperuntukkan santri putri menghafal itu sengaja di beri fasilitas menengah keatas agar para penghuninya nyaman. Juga agar memudahkan para santri untuk berangkat setoran hafalan yang mana waktu itu dibagi tiga kelompok. Kelompok Ziyadah atau tambahan setoran kepada istriku.

Kelompok muroja’ah setoran kepada Umi dan kelompok pasca wisuda setoran kepadaku.

Ibu mertua mengerjapkan mata, menyeruput teh hangat yang telah disuguhkan. Detik berikutnya, ibu mertua menitikkan airmata. Meminta maaf atas ulah putrinya yang kalau saja Zulfa tidak bertingkah seperti anak kecil mungkin bayiku masih terselamatkan.

Ternyata Ibu dan Ayah mertua tak tahu menahu soal penyebab Zulfa keguguran. Dan baru di mobil tadi Zulfa menjelaskan. Aku mengangguk paham. Ayah merrtua sedang kedatangan KH.Zainuddin untuk membicarakan uang Umroh jamaah yang waktu itu terbawa oleh Umi.

“Apapun yang terjadi Bunda titipkan Zulfa nak, Bunda tau. Kalian sama-sama kemunjilan –anak terakhir. Tapi Bunda yakin, kamu mampu membimbing Zulfa hingga Jannah.” Aku tersenyum kaku, meraih tangan Bunda dan menciumnya. Disaat seperti inilah senyum Maisya tak dapat membuatku juga ikut tersenyum. Aku masih berat untuk mengiyakan permintaa ibu mertua. Entahlah apa penyebabnya.

***

“Mas.”

Aku diam.

“Mas?”

Aku mendengarnya, namun aku diam. Mencoba menetralkan hati dan pikiran jahatku.

“Mas? Zulfa buatkan Kopi ya?” aku menoleh, menayakan kenapa Zulfa mau dijodohkan denganku. Aku berpikir, alasanku untuk menikahinya adalah Umi.

Aku takut Zulfa juga sebenarnya terpaksa menerima lamaranku. Walau, beberapa bulan bersamanya. Membuatku sedikit melupakan Maisya dan menerima hadirnya.

“Karena Mas mau menikahiku?” dia bergelanyut manja di dadaku. Laki-laki mana yang tak tergoda dengan Zulfa yang seperti ini? Aku mengecup keningnya berulang ulang.

Kalau di dalam kamar dia tak pernah gamis ataupun baju tebal. Dia selalu memakai piyama bahkan sering memakai linggeri. Kalaupun keadaan suhu bumi sedang dingin-dinginya dia tetap berpakaian seperti itu dan memilih meringkuk di dalam selimut lalu bermanja-manja dalam pelukanku.

Seperti saat ini, dia memakai linggeri warna merah menyala. Senada dengan badcover warna merah tua. Di tambah aroma teraapi yang memenuhi ruangan. Memang baru dua hari yang lalu kami kehilangan bayi kami. Dan Zulfa dalam masa istihadloh. Aku menahan diri untuk tak menyentuhnya. Walau ingin.

“Mas, jangan murung terus-terusan, aku juga bingug.” Aku mengelus kepalanya menggunakan tangan kanan yang juga ia sandari. Meletakkan tangan kiriku meraih kedua tangannya.

“Mas, sebelum bunga mekar kembali. pada tumbuhan memang harus menggugurkan daunnya dulu. Masih ingat alfiyyah bait ke 25 dan 26?” dia bertanya, dan sengaja tak membunyikan nadzomnya karena memakai pakaian yang terbuka.

“Ingat. Farfa’ bidlomma wanshiban fathan waju, kasron kadzikrulloh ‘abdahu yasur, Wajzim bitaskinin wa ghoiruma Dzukir, yanubu nahwujan akhubani namir.” Dia mengangguk. Aku ingat tentang penjelasan itu. Tapi aku ingin istriku yang menjelaskannya. Aku memasang wajah memelas ingin di jelaskan.

“Ah mas mah ahli dalam kitab alfiyyah. Aku mana mumpuni, ku jelaskan ringkas saja. Takut salah nanti dimarahin paduka guru.” Dia tertawa lebar. Aku juga merasakan energi sama saat melihat senyum Maisya. Yaitu mendengar tawa Zulfa yang terbahak.

“Bait itukan menjelaskan tentang tanda I’robkan. Itu bisa dimaknai sebagai poin-poin penting dalam membangun keluarga yang harmonis. Suamin istri haruslah kompak seperti lapad dhamm yang memiliki makna asli berkumpul dan fath terbuka, membuang hal yang menimbulkan perpecahan jurra kasran:seretlah perpecahan,selalu berdoa kepada Allah swt, dan menegukan pendirian dalam istiqomah.”

Aku mengacak rambutnya, lalu berlari keranjang untuk berbaring. Zulfa menyusul sambil berdecak pinggang karena kesal ku acak-acak rambutnya. Aku mengingat, jika maisya yang menjelaskan nadzom tadi mungkin akan lebih jelas dan mudah dipahami. Ia akan menaknai nadzom dan mengartikannya dalam versi indonesia sekaligus contoh menjazemkan dengan sukun atau menjerkan dengan kasroh.dan filosofi nya pun, akan lebih puitis dari pada Zulfa.

Aku tahu, Zulfa sedari awal mondok langsung masuk kelas tahfidz dan tak begitu mendalami alfiyyah seperti Maisya. Namun, Maisya juga seorang tahfidz qur’an. Jika boleh menilai Maisya jauh lebih kompeten dibanding Zulfa. Maisya hanya kalah dari nasab saja. Dia terlahir dari keluarga petani kopi di daerah dieng jawa tengah.

Aku tahu, setiap hal mempunyai masa berakhirnya. Dan seharusnya aku juga memiliki masa berakhir. Tapi untuk Maisya seperti tak kutemukan titik sudah. Zulfa tiba-tiba memelukku dari belakang. Aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya.

Namun, pikiranku yang kacau sebab terkelabat kenangan bersama Maisya tak juga menghadapnya dan memeluknya balik. Dia berbisik tepat di telingaku. “Setelah keadaan membaik berlibur yuk. Anggap refreshing gitu. Zulfa pingin ke Firlandia. Mau liat Aurora. Barang kali kalau kita menginap disana dan menikmati aurora pulangnya bawa baby.” Dia mungkin malu setelah mengatakan itu dan langgung tenggelam di punggungku.

Aku hanya mengatakan InsyaAllah dan berpura-pura memejamkan mata. Dalam hati aku berkata. “Dalam diriku Maisya tinggal, tapi dalam diri Maisya aku adalah hal yang ingin ia penggal.”

Aku berbalik, ketika merasakan Zulfa terlelap. Dia cantik dalam ketabahan, dia memiliki keistimewaan karena berbakti, dia sosok bidadari versi dunia. Aku mengelus pipinya yang lembut dan kenyal. Membayangkan hari dimana aku mengucapkan kalimat sakral menjadikannya istriku. Seharusnya aku mencintainya tanpa tapi. Seharusnya aku menyayanginya setulus hati. Namun, aku akan kembali ke garis start bila melihat senyum Maisya, bila mendapati sesuatu hal tentang Maisya.

Aku mengahpus peluh yang mengalir dari keningnya. Menyalakan AC yang tadi lupa kunyalakan. Menatap wajahnya yang tenag saat tertidur pulas. Kelak akan ku katakan.

“Bahwa ibunya sangat hebat, wanita-wanita di dunia ini hebat. Dan layak untuk di bahagiakan. Seperti ibumu nak, yang selalu berusaha membahagiakan Bapak.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status