Share

Bab 5. Hati yang terkoyak.

“Memang terasa menyakitkan. Namun benar, guru terbaik dalam kehidupan adalah adalah kekecewaan,kekalahan,dan kegagalan.”

 

***

 

Seorang perempuan jika belum menikah adalah tanggung jawab ayah dan kakak laki-lakinya. Kewajibannya pun berbakti kepada mereka tepat setelah berbakti kepada Allah sang pencipta. Tapi setelah menikah, seorang perempuan adalah laki-laki yang menikahinya. Suaminya. Kewajiban berbakti kepada orang tua pun tergantikan untuk berbakti kepada suaminya. Dan berbakti kepada orang tua berada tepat setelah berbakti kepada suami.

 

“Bunda, bayiku bun.” Zulfa memeluk ibu mertuaku. Ibu mertuaku juga berderaian air mata. Dalam kedaan sseperti ini tak hanya aku maupun Zulfa yang merana. Dua keluarga juga akan merasakan kesedihan yang sama. Aku tertunduk tak berdaya. 

 

Ayah mertua merangkulku dari belakang. Membisikkan kata terimakasih karena aku telah mengambil tindakan tepat untuk putrinya. Berbeda dengan ibu mertua yang seolah menyalahkanku karena tak menjaga Zulfa.

 

Aku diam, merenung dan berkali-kali menghembuskan napas kasar. Sebenarnya Zulfa adalah wanita baik dalam arti sesungguhnya. Dia melayaniku dengan tulus dan sangat berbakti kepadaku. Hanya sesekali dia ngambek dan aku mampu meredakannya. Entah kenapa, ngambeknya yang kemarin aku gagal meredakannya dan malah mendatangkan bencana. 

 

Untuk pertama kalinya aku merasa terpenjara.

Disaat aku mencoba ikhlas. Kang Fadil sopir pondok sekaligus teman sekelas diniyahku dulu berlarian kearahku. Aku yang masih tak enak hati hanya menatapnya berlari. Dia sekarang tepat di depanku, bersimbuh lalu mencium tanganku. Kang Fadil ini ummurnya sangat jauh dariku,namun otaknya yang cerdas membuatnya bisa sekelas denganku.

 

“Pangapunten Gus.” Dia menjeda kalimatnya. Mengatur napas yang ngos-ngosan.

 

“Umi tilar dunyo.” Aku terbelalak.

 

Mengibaskan tangannya dari tanganku. Dia masih bersimpuh, aku berdiri dan lagi-lagi tak kuasa menahan air mata. Umi, satu-satunya alasan untuk membuatku menikahi Zulfa.

 

Pantas saja sedari semalam aku mencoba meminta bantuan Umi,Abah atau Mas Fauzan tak menjawab. Bahkan pagi inipun mereka tak datang.

Ayah mertua merangkulku lagi. Memperbolehkanku menangis dipundaknya kalau aku mau. Aku melepas rangkulannya. Aku berjalan menuju ranjang rawat Zulfa. Menciumi seluuruh wajahnya. Meminta maaf untuk tak menemaninya. Zulfa yang pengertian mengangguk dan menitip salam pada Abah dan seluruh keluarga dirumah. Sebenarnya Zulfa ingin ikut. 

 

Tapi aku melarangnya. Memberikan pengertian, bahwa dirinya tebih baik disini.

Zulfa menangis namun membersihkan air mataku. Berbisik lirih di dekat telingaku.

 

“Kalau kamu sedih, nangis. Siapa yang bikin aku kuat mas?” sekali lagi aku bersyukur menikahi Zulfa. Bidadari dunia yang insyaAllah jadi bidadari surga kelak. Ibu mertua mencibir keromantisanku, namun ayah mertua memberi kode untuk segera pilang. 

 

Akupun langsung berpamitan,mencium tangan keduanya dan langsung pulang bersama kang Fadil. Tak ada percakapan apapun antara aku ataupun kang Fadil. Aku yang lelah memilih memejamkan mata sebentar, saat berada di lampu merah pertigaan dekat pondok. 

 

Ku terbangun dan tanpa sengaja menjatuhkan kotak coklat yang berada di dasbor mobil.

Aku tercengang. Ada banyak foto Maisya disana. Kang Fadil dengan cepat membereskan semua foto dan kertas-kertas yang berserakan. Suasana berubah menjadoi canggung. Kang Fadil meminta maaf padaku. Mungkin dia tau, dulu aku adalah kekasih wanita yang ia simpan fotonya.

 

“Dia sudah bukan kekasih saya kang. Hak samean untuk mencintainya.”

 

“Ngapunten Gus, Saya hanya mengaguminya dalam diam.” Jawabnya. Seketika aku bungkam. Senyum maisya tiba-tiba berkelebat. 

 

Dia memang cantik, manis dan pandai. Saat dia tidur didalam kelaspun dia mampu menjawab pertanyaanku. Apakah dia sudah move on dariku? Lamunanku terbuyarkan oleh bendera hijau berlafad innalillahi wa innailaihi rojiun yang terpasang di depan ndalem kesepuhan. Sedari pendopo pondok pesantren di penuhi banyak orang. Aku di rangkul mas Fauzan saat turun dari mobil.

 

Aku menangis sesenggukan, melihat tubuh umi terbalut kain kafan. Aku melihat Abi yang meringkuk di pojok ruangan menangis dalam diam. Umi adalah ruh di rumah dan pesantren kami. Wanita hebat yang mendidik karakterku, mas Fauzan juga seluruh santri disini. Tak hanya kami yang menangis. Para warga sekitarpun menangisi kepergian Umi. Membuktikan bahwa Umi adalah sosok yang dicintai banyak orang.

 

Berita kepergian Umi terdengar dari berbagai penjuru. Kulihat banyak para Kyai dan Bunyai ikut mengiring Jenazah Umi dengan doa. Aku sangat terpukul. Hari ini benar-benar melelahkan. Benar-benar membuatku kehabisan energi. Aku pingsan di depan keranda Umi saat hendak di maqomkan. Aku menyesal tak ikut mengantar Umi ke rumah barunya. Aku juga menyesal tak puas melihat wajah Umi atau menghirup aroma tubuhnya yang menenangkan.

 

“Sampun siuaman Gus.” Kang Fadil dan beberapa orang tinggal di ndalem tak ikut mengantar jenazah Umi. Aku meneguk air yang kang Fadil suguhkan. Aku memandangi foto pernikahan Umi dan Abi yang di panjang di ruang tamu. Dari arah kamar Umi memang sangat terlihat jelas, karena letak kamarnya tepat di sebalh ruang tamu.

 

“Gus, yang sabar njih yang kuat.” Kang Fadil mengatakan itu sambil bergetar. Kuperhatikan matanya sembab, juga memerah. Barangkali dia juga merasa kehilangan sosok Umi.

 

“Saya juga telah lama di tinggalkan orang tua Gus. Saya berjuang sendiri, waktu itu umur saya sembilan tahun Gus. Tak ada sanak keluarga. Saya ngamen, buruh nyuci piring, bahkan sampai mengemis Gus. Saya hilang dan orang tua saya tak kunjung mencari saya. Hingga saya menemukan keduanya, namun mereka meninggalkan saya lagi untuk bertemu yang Maha kuasa.” 

 

Kang fadil menyeka air matanya dengan lengan. Aku meraih tanganya. Merasakan kepedihan yang ia rasakan.

Kang Fadil menatapku. “Ingatkah njenengan dengan Rohman Gus?”

 

Aku mengerutkan kening tak mengerti kang Rohman mana yang ia maksud. Dia menggeleng, lalu mencium tanganku dengan hormat. Berpamitan untuk membersihkan piring-piring di dapur karena kasihan oleh Kang Kaffa dan kang Aji yang pasti kuwalahan karena banyaknya tamu yang berdatangan. Aku mengangguk.

 

Bebrapa menit kemudian, aku menemukan secarik kertas yang di tulis oleh kang Fadil barusan. Dia menggunakan tinta biru pekat. Menulis sebuah kata yang membuatku mampu menerima segala keadaan yang menimpaku hari ini.

 

“Memang terasa menyakitkan. Namun benar, guru terbaik dalam kehidupan adalah adalah kekecewaan,kekalahan,dan kegagalan. Dari Fadilaturrohman.”

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status