Share

Bab 3. Sebuah Revisi

“Cinta bukan hanya kesetiaan. Tapi pengorbanan, pengabdian, dan keikhlasan.”

***

“Cinta kadang tidak bisa kita lihat, cinta kadang tidak bisa kita dengar. Namun, cinta selalu bisa kita rasakan, sekalipun itu dalam bentuk luka.”

Sosok Fina berubah menjadi bijak hari ini. Dia adalah makhluk di dalam pesantren yang amat mengerti kondisiku. Dia tak pernah memperlakukanku subordinat justru dia menganggapku teman dekat. Setahuku, dia adalah putri dari pasangan Desainer ternama. Barang-barang miliknya selalu berkelas. Aku sering merengengek meminjam gamis-gamis ootd nya. Dan dia selalu meminjami.

“Sudah ya Sya. Kamu harus legowo.” Fina mengelus-ngelus pundakku. Aku mengangguk sambil terus menyeka air mata, tak kuhiraukan mbak-mbak santri yang berlalu lalang dan menatapku heran.

Aku tak tahu mengapa aku selemah ini? Dengan gerakan cepat Fina mengenggam tanganku lalu berbisik. “Kamu bias melupakan Gus Fa Sya.”

Setelah tangisku mereda. Fina mengajakku sorogan kitab Kifayatul atqiya’ Wa Minhaj Al Asfiya. Lamat-lamat kulihat bibir Fina membaca basmalah. Aku kembali menahan napas,mencoba mengingat kapan terakhir sahabatku menceritakan tentang perasaannya.

Fina begitu tenang, dan menentramkan setiap hati yang memandang. Darahku berdesir hebat. Saat ingatan dua tahun silam terlintas. Dimana mbak-mbak abdi ndalem mengira Fina adalah aku. Yang saat itu menjadi kekasih Gus Fa.

“Sini Sya.” Fina memberi isyarat dengan gerakan tangannya agar aku duduk di sebelahnya. Kegundahan hatiku berangsur padam. Pengajian mulai memenuhi rongga otakku. Jujur, penyebab utamanya bukanlah mendengarkan penuturan ustadzah.

 Melainkan gadis dengan roman muka peraduan oriental dan timur tengah itu, Fina. Aku baru mengerti atas segala nasehat Fina tadi,bahwa Fina juga memiliki rasa sepertiku untuk Gus Fa. Dan sejatinya, bukan akulah yang tersakiti. Dia, sahabatku yang berhati bajalah yang paling tersakiti.

Sahabat macam apa aku ini? Tak menyadari perasaan sahabatku sendiri. Namun, dari ketegaran Fina menyembunyikan rasa sakit. Aku belajar, bahwa cinta Cinta bukan hanya kesetiaan. Tapi pengorbanan, pengabdian, dan keikhlasan.

***

Aku mengerjapkan mata. Melihat dengan samar-samar Fina mengelar sajadah, mukena bordil berwarna putih membalut tubuhnya. Bibirnya lirih mengucap takbir sambil mengangkat kedua tangan. Sebenarnya aku juga ingin melaksanakan qiyamul lail. Baru saja aku membuka mata dengan sempurna. Fina dalam sujudnya menangis hebat. Pundaknya bergetar.

Aku hendak bangun, namun takut ia berubah menjadi canggung. Ku tunggu ia hingga ,engucap salam, bulu matanya yang lentik basah oleh air mata. Kedua tangannya ia gunakan untuk mengucap deraian air mata. Fina yang selalu ceria ternyata juga bias menangis seperti ini. Dia menengadah melihat langit-langit asrama. Membaca sholawat thibbil qulub sambil menekan dadanya dengan tangan kanan. Aku tak tahu penyebab tumpahnya air mata Fina. Namun, aku berfirasat bahwa ini ada kaitannya denganku juga tentang pernikahan Gus Fa.

“Gak usah pura-pura tidur Sya. Kamu ngelihatin aku dari tadi kan?”

Aku duduk. Membenarkan selimut agar menutupi seluruh tubuhku. Fina menatapku. Matanya merah pekat,sembab. Aku diam bingung hendak apa. Mengawasi tetesan mili air mata yang terus mengalir dari kelopak Fina.

 “Sya.” Dia memanggilku lirih. Aku diam saja, tak menjawab namun sedikit menganggukkan kepala. Fina menyeka air matanya lagi. Mengatur napasnya lalu memelukku dengan erat.

“Aku juga mencintainya Sya. Aku juga sakit. Bahkan lebih sakit darimu Sya.” Seperti di sambar petir. Spontan aku melepas pelukannya. Aku sudah mendunga bahwa Fina juga mencintai Gus Fa, tapi aku tak pernah berpikir bahwa dia akan mengatakan terang-terangan kepadaku.

“Maafkan aku ya Sya. Aku mencintai laki-laki yang juga kamu cintai sebegitu dalamnya.”

Fina menunduk. Benar kata orang, sakit hati karena cinta yang saling mencintai namun tak bisa bersatu tak jauh lebih menyakitkan ketika mencintai dengan sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status