Share

Bab 4. Terjerembab.

POV GUS.

“Bukankah dengan ucapan, pernikahan menjadi sah?yang haram mengajdi halal? Dengan ucapan pula, tanggung jawab atas bahagianya menjadi tanggung jawabku spontanitas.”

***

“Maisya sakit, ya Allah sakit apakah dia?” Maafkan mas Zulfa....

“Mas, jadi anter ke klinik?”

“Em.... Iya sayang” Gelapan. Semoga Zulfa tidak menangkap canggung ku barusan.

“Mas Zulfa ganti baju dulu ya.”

“Gak usah, kamu pakai baju apapun tetap cantik. ”

Ku tangkap rona wajahnya begitu malu dan bahagia. Tak mudah untuk ku mencintainya sebenarnya. Tapi dia juga amat sangat ayu, dan mempesona. Aku laki laki normal, darah ku mendidih kala melihatnya keluar kamar mandi hanya memakai sehelai handuk, bergelegar kala tiba-tiba di peluknya dari belakang.

Bukan kah halal aku mencumbunya? Dia istriku. Toh, Maisya selalu sumringah setiap harinya, bukankah dia memberi isyarat telah rela mengikhlaskan ku? Kadang hatiku mengamuk ingin yang menjadi istriku Maisya bukan Zulfa.

“Mas, anak kita laki laki apa perempuan yah?”

“Laki laki aja.”

“Perempuan Mas, biar bisa aku dandanin. Aku beliin gaun pesta, aku udah mbayangin dia cantik kayak princes.”

Aku tahu dia amat senang dengan kehamilan nya ini, akupun senang. Tapi, maafkan mas Zulfa. Masih mencintai Maisya dengan sangat dalam. Sebenarnya aku juga heran. Kenapa aku bisa mencintai dua wanita sekaligus.

“Uminya aja cantik, putrinya juga dong.”

Dia tersenyum. Mengelus perutnya dengan rasa gembira. Pikiranku masih terbayang Maisya yang sakit di papah Fina. Aku slalu berdoa semoga Maisya tidak mendengar percakapan ku dengan Zulfa. Walaupun, aku tahu. Itu adalah hal yang wajar.

‘Jangan suka menceritakan kebahagiaanmu di depan mereka yang sedang sedih, jangan membanggakan di hadapan mereka yang kurang mampu. Semakin dewasa, kita akan mengerti bahwa melindungi orang lain dari patah hati lebih mulia dari pada sekedar mengungkapkan isi hati.’

Seperti terhantam badai besar. Posthingan Fadilaturrohman. Temanku ini membuatku sadar. Aku memang telah mengumbar keromantisan dengan Zulfa di teras rumah. Bukankah dalam keprivasian aku lebih aman?

“Mas, temenin masuk ya.”

“Apa boleh?”

“Boleh Gus, jika istrinya yang meminta.” Aku mengangguk pasrah. Kenapa aku bisa lemah begini jika di hadapkan dengan kondisi Maisya?

“Alhamdulillah usia kandungan memasuki dua minggu, ini sangatlah rentan. Harap mengurangi aktifitas bunda dan meminum vitamin agar janin kuat.”

“Dokter, tapi saya kemarin sempat keluar bercak darah, kadang perut menjadi kram.”

“Benarkah sayang?” Aku khawatir mendengar ucapan Zulfa.

“Kenapa kamu gak cerita?”

“Ya kan sekalian kado ultah mas, aku ngasih taunya kehamilannya.” Dia tersenyum.

Dokter menggeleng melihat perdebatan kecil kami.

“Banyak perempuan menilai bahwa tanda-tanda kehamilan hanya melihat dari satu sisi saja, yaitu terlambat nya datang bulan.

Memang benar, namun terlambat menstruasi juga bisa di sebabkan pola makan, stress, kecapekan, dan gangguan hormonal. Syukur bunda memastikan dengan test pack, atau lebih akuratnya lakukan pregnancy test. Untuk pendarahan dan rasa kram itu tak masalah, hanya atur kegiatan harian. Jangan sampai kelelahan. Selamat menjadi bunda.”

Zulfa menangis mendengar penjelasan dokter. Semoga kamu dan bayi kita baik baik saja Zulfa. Benih-benih kasih kian menyita, memperkuat rasa tuk saling menyangga, melemahkan keputuasaan hingga sirna, menusuk sanubari terdalam jiwa, lalu menerbangkan haluan menjadi bait bait doa.

Air mataku meleleh mendengar denyut jantung dari setiap gerakan bayiku. Zulfa pun berbinar, terharu melihatku. Bukankah wajar seorang lelaki menangis hanya karna akan menjadi ayah? Aku sunggu bahagia.

“Mas, semoga sampai persalinan Allah memberi kemudahan.” Zulfa menarik jemariku yang dari tadi terus mengelus perutnya. Aku hanya mengangguk, lalu membenamkan wajah cantiknya dalam pelukanku.

“Lihatlah dirimu sungguh munafik! Bukankah kau mencintai Maisya? Seharusnya Maisya yang akan melahirkan keturunanmu.”

“Dirimu seorang ayah sekaligus seorang suami. Jika kamu tidak mampu bertahan untuk istrimu, setidaknya bertahanlah demi anakmu. Tanyakan pada hatimu, sebenarnya kau mencintai siapa?”

Aku terperengah dari mimpi buruk itu, ada dua suara yang berbeda. Zulfa bagun, lalu menarikmu agar tidur kembali.

“Mas, kok bangung?”

“Hm, gak papa tadi mimpi buruk.”

“Mangkanya berdoa!” Aku hanya mengangguk. Beberapa menit Zulfa telah terlelap kembali.

Aku ingat kata simbah Damini yang berkediaman didekat pondok. Beliau bisa dibilang sangat kejawen, waktu itu beliau pernah mengagetkan ku saat aku sedang menunggu jemputan mobil setelah mengisi acara pengajian di desa. Beliau bercerita tentang ketegaran Dewi Sawitri ketika menghadapi cobaan kematian suaminya Setiawan.

Aku terpesona mendengar kisahnya. Sampai pada endingnya beliau mengatakan kiat-kiat yang harus dilakukan ketika mimpi buruk. Salah satunya membalik bantal, entahlah aku tak tau keterkaitannya apa. Tapi hari ini aku ingin mencoba. Bismillah....

***

Pagi ini Zulfa tak seceria biasanya. Dia mengerucutkan bibir karena kesal denganku yang menolak permintaanya untuk jalan-jalan. Pasalnya hujan sangat lebat, angin bertiup kencang. Beberapa jam yang lalu TVone mengabarkan kecelakaan karena jalanan yang licin.

Namun, Zulfa yang bosan dirumah terus saja merengek ingin jalan-jalan. Aku mencoba merayunya, mendekatinya lalu mengecup keningnya berulang-ulang. Zulfa tak merespon malah melarikan diri dan duduk di kursi rotan yang sengaja ia letakkan di sisi taman belakang. Aku dengan cepat memegang kedua pipinya.

Lalu mencium bibirnya yang masih cemberut dari tadi, aku memanggutnya berkali-kali namun dia tak kunjung membalasnya. Zulfa malah mendorongku dan berjalan memasuki kamar. Dan Zulfa terpeleset oleh tetesan air hujan yang mengenai teras belakang.

Dia merintis kesakitan, aku yang syok langsung mengendongnya. Membawanya ke sofa depan Tv. Segera aku menelpon Umi untuk meminta bantuan. Zulfa menjerit kesakitan, lalu kakinya mengalir darah banyak sekali. Aku merinding, dan segera membawanya kerumah sakit.

Mendengar percakapan dokter dan perawat. Zulfa menjadi tegang dan semakin erat mengengam tangan ku. Dia terus melafalkan istigfar, meminta maaf sebab bersikap tak baik padaku. Aku hamper saja meneteskan air mata sebab tak tega mendengarnya merintih kesakitan.

“Suami pasien.” Aku menoleh de“Kontraksi otot rahim di mulai dari Cornulum Fundal Dominan. Yaitu kekuatan paling tinggi di utara. Cepat ambilkan air hangat.”

“Dok, bukannya kontraksi persalinan ketika usia kandungan 5 bulan keatas ya?”

“Sudah ambilkan saja!” ngan cepat.

“Bisa kita bicara sebentar?” Ketika aku hendak berdiri Zulfa mengenggam tangan ku lebih erat dan menggeleng.

“Sebentar saja sayang.”

“Sakit mas, jangan kemana-mana.”

“Gak kemana-mana kok sayang, sebentar yah.”

Lalu dengan tega tak tega aku meninggalkan istriku yang tergeletak. Menahan rasa nyeri yang di tanggung nya sendiri. Namun, aku harus menemui dokter .

“Assalamu’alaikum Dok.” Ucap ku lirih. Dokter menyambut hangat dan mempersilahkanku duduk.

“Istri saya kenapa dok?” aku tak sabaran. Ku tatap lekat-lekat wajah wanita yang lebih tua dariku itu. Dokter mengeluarkan maps coklat berlebel labopratorium itu. Seketika suasana menjadi tegang. Suhu ruangan yang dingin menambah kekalutan hatiku.

“Saya harus menjelaskan terlebih dahulu. Kontraksi otot rahim di mulai dari cornulum fundal dominan, yaitu kekuatan paling tinggi di fundus uteri. Dan hal ini biasa terjadi saat usia persalinan memasuki kala I. Sedangkan istri Gus sendiri mengalami kontraksi ini pada usia kehamilan 15 minggu. Pada usia kehamilan di bawah 20 minggu sangat rentan terjadi keguguran Gus. Apalagi, bentuk rahim istri Gus itu sepatu uterus yaitu kelainan bawaan lahir yang memiliki resiko tertinggi keguguran.”

“Cukup!” bentakku tegas. Dokter kaget dan langsung bungkam.

“Dokter hanya ingin mengatakan rahim istri saya lemah? Dan kontraksi ini menyebabkan keguguran?” tebakku dengan mimic wajah takut.

“Benar Gus, jika Gus mengizinkan sebaiknya melakukan dilatasi atau kuretase. Karena Ning Zulfa sudah terlalu banyak mengeluarkan darah namun janin belum luruh juga.”

“Jika janin nya tidak luruh berarti belum keguguran dok!” aku sok tau. Namun, sebenarnya aku hanya ingin Zulfa bisa menimang bayi yang telah ia impikan juga tidak sanggup melihat Zulfa bersedih jika kenyataannya dia keguguran.

“Saya hanya ingin Gus Fahmi memikirkan ini dengan matang. Jika peluruhan janin tidak segera di lakukan, maka janin akan membusuk di rahim dan tentu akan mempengaruhi Ning Zulfa.” Dokter membuka maps coklat lalu mengeluarkan hasil USG. Menjelaskan letak permasalahan pada istriku.

“Saya juga pernah keguguran Gus, saya paham betul istri perasaan Gus dan Ning Zulfa ketika mengetahui hal ini. Semua yang terjadi adalah ketentuan sang pencipta Gus, permisi.”

Dokter bercerita dengan nada lirih. Aku diam. Tak ada bayangan Maisya yang ada hanya bayangan Zulfa yang menahan sakit seorang diri. Saat keluar ruangan. Aku tak langsung menuju kamar rawat Zulfa.

Aku berbelok menuju kamar mandi. Berusaha mengumpulkan tenaga dan kekuatan. Saat aku memegang ganggang pintunya. Suara Zulfa yang bercerita akan mendandani anak perempuan kami tergiang-giang. Aku hancur,apalagi Zulfa? Aku tak sanggup melihat air matanya berderai-derai.

Memang aku sedikit banyak masih memikirkan Maisya. Namun, jauh di dalam lubuk hatiku. Aku sangat menyayangi Zulfa. Kutumpahkan air mata dan derita bersamaan derasnya air wastafel yang ku nyalakan. Semua luruh dalam goncangan hati yang tak bertepi.

Menatap langit-langit kamar mandi yang putih bersih mendadak terlihat suram. Aku melihat wajahku di cermin. Mencoba menasehati diriku sendiri agar lebih tegar dalam menghadapi cobaan. Karena hidup memang rumit, terkadang seperti jurang ataupun jalan terjal. Ini adalah kenyataan yang harus kuhadapi dengan lapang dada.

Langkahku lunglai, hatiku berdebar-debar apa yang harus kulakukan. Jujur atau membohonginya? Namun, melihat Zulfa yang merintih kesakitan membuatku tak tega untuk mengatakan segalanya.

***

Ketikaku membuka mata barisan gunting, kapas, dan cairan yang entah namanya apa sudah berjejer. Dokter dan anggota medis lainnya mulai bekerja. Aku melemparkan pandangan pada wajah Zulfa yang pucat, pipinya yang putih bersih sedari tadi terbasuh air mata. Debaran-debaran ambigu pun ku rasakan. Entah apa yang ku katakan saat Zulfa menanyakan bayinya.

Segumpal daging merah kulihat, tangan dokter di penuhi darah. Bibir Zulfa bergetar, ku eja gerakan bibirnya. Subhanallah dia memanggil-manggil Allah di sela-sela rasa sakitnya, Allah telah memberiku harta paling berharga.

Pandanganku kini tertuju pada janin yang sudah tiada, apalah arti suami jika tak bisa menjaga istrinya? Namun, satu yang dalam kumaknai. Bahwa Allah jauh lebih menyayangi bayiku. Dan memanggilnya terlebih dahulu untuk bertemu.

 “Mas, perih.” Zulfa membuka matanya. Menggenggam tanganku begitu erat. Mungkin efek obat bius itu perlahan memudar. Dengan susah payah aku menyunggingkan senyum.

“Sabar ya sayang.” Ucapku lirih tepat berada di telinganya. Aku tak kuasa menahan teteskan air mata. Mendengar rintihan istriku juga melihat derasnya aliran darah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status