Aku sudah bersiap untuk pulang ketiga sebuah notifikasi chat muncul di layar ponselku. Sambil berjalan menuju parkiran, kubuka chat dari nomor yang belum tersimpan.62 xxx - xxxx - xxxxPulang kantor bisa ketemu sebentar, Mbak? Aku Ulfa.Aku memandang layar ponselku cukup lama. Tiba-tiba jantungku seperti berhenti berdetak. Gundah juga tiba-tiba menggelayuti pikiranku. Ada apa gerangan sampai Ulfa mengajakku bertemu. Dan kenapa bukan Haidar yang mengirimkan pesan itu?Setelah menerima pesan dimana kami akan bertemu, aku segera bergegas menuju tempat makan yang berada di salah satu Mall dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi otakku.Tidak lebih dari seperempat jam aku sudah sampai di tempat yang ditentukan Ulfa. Aku sedikit terkejut ketika melihat Ulfa hanya berdua dengan ibunya yang juga ibu Haidar. Perasaanku mendadak tidak enak. Firasatku mengatakan ada hal tidak baik yang akan terjadi.Setelah memesan makanan, Ulfa mulai bertanya dengan hati-hati. "
Seorang santri dalem mempersilakan kami duduk di ruang tamu. Meskipun lesehan, ada sofa lantai panjang yang ditata saling berhadapan untuk tempat duduk, sementara berbagai macam suguhan, kue kering maupun kue basah diletakkan ditengah ruangan. Santri dalem tersebut mempersilakan kami duduk diatas sofa lalu ia pun berpamitan. Sudah ada wali santri yang juga menunggu Abah Yai. Tidak berapa lama datang tiga orang santri, salah satunya duduk mendekat pada wali santri yang sebelumnya sudah menunggu. Kurang lebih lima menit sejak kami duduk pintu tengah dibuka. Datang seorang santri dalem yang lain dengan membawa minuman untuk para tamu, menyuguhkan lalu kembali masuk. Beberapa menit kemudian pintu ruang yang menghubungkan ruang tamu dengan ruang tengah terbuka. Muncullah wajah teduh Abah Yai yang langsung memberikan senyuman pada kami lalu bersalaman dengan Gus Sami dan wali santri tersebut."Sudah lama, Gus?""Baru saja, Yai."Sepersekian detik kemud
Suara dua lelaki yang tidak asing ditelingaku itu membawaku kembali kedunia nyata meninggalkan alam mimpi. Kurasakan guncangan ditubuhku dan tetesan air pada wajahku."Ayo, Mah. Kita renang. Mah, bangun."Aku membuka mata dan kudapati wajah basah Nabhan diatasku. "Hem, Mamah masih ngantuk." Aku kembali menutup mata. Namun Nabhan seolah tidak terima, ia terus menggoyangkan tubuhku."Biarin Mamah tidur, Gus," teriak Gus Sami dari luar bungalow, yang mungkin tepatnya dipinggir kolam renang.Bungalow tempat kami menginap tepat berada disamping kolam renang. Dan saat ini aku tertidur di ruang tamu bungalow usai sholat Subuh tadi. Hampir semalaman kami begadang, tidur sebentar lalu bangun sholat Subuh. Usai sholat Subuh aku melanjutkan tidur, sedangkan dua lelaki itu entah berkelana kemana. Cukup heran aku dibuatnya karena sepertinya mereka tidak dihinggapi rasa kantuk."Ayo, Mah. Bangun.""Iya, iya. Mamah bangun, tapi jangan paksa untuk be
Hampir seluruh persiapan untuk pameran batik di Beijing sudah aku cek. Saatnya sedikit meregangkan persendianku sambil menikmati lagu-lagunya Maher Zain dari salah satu channel youtube, sesekali mulutku pun ikut bersenandung.Ketukan di pintu menginterupsi aktivitasku. "Masuk."Sepersekian detik kemudian sesosok lelaki dengan berpakaian Khaky muncul dari balik pintu yang didorong dari luar. Sedikit kaget, aku segera bangkit dari tempat dudukku dan mempersilakannya duduk di sofa."Mas Haidar nggak ngajar?""Sudah nggak ada kelas, makanya aku kesini. Tadinya ke kantormu, tapi satpam bilang kalau kamu hari ini sedang ambil cuti.""Ya, aku ambil cuti sehari untuk ngecek persiapan pameran batik di Beijing minggu depan. Masih cukup lama memang, tapi aku harus memastikan semuanya perfect," jawabku sambil meletakkan teh botol dingin yang baru saja aku ambil dari lemari pendingin."Silakan, Mas.""Terima kasih." Haidar mengambil teh botol dan meneguknya sedikit, lalu mengembalikan ketempatnya
Aku baru saja memasukilobbyhotel saat terlihat banyak antrian dimeja resepsionis. Diujung ruang tunggu. kulihat Icha sedang duduk sambil asyik memainkan ponselnya. Aku bisa menebak jika mereka adalah teman-teman kantor Icha yang akan mengadakan acara selama dua hari di hotelku.Aku tersenyum bahagia meskipun untuk acara ini hotelku memberikan potongan besar-besaran, minimal selama dua hari ini aku bisa berada ditempat yang sama dengan Icha, menghirup udara yang sama dan jika beruntung aku bisa berbincang dengannya dari hati kehati menyelesaikan persoalan tujuh tahun silam yang masih tersisa.Aku melanjutkan langkahku menuju ruang kerjaku yang juga dilengkapi fasilitas kamar. Aku ingin beristirahat sebentar sebelum menyapa Icha. Cukup capek seminggu ini beberapa kali bolak balik Kudus - Jogja.
Perawat yang mendorong kursi roda Icha langsung membawa masuk ke ruang periksa poli kandungan setelah membuka kedua daun pintu ruang poli. Sementara aku mengekorinya dari belakang. Pikiranku sudah tidak tenang sejak perawat bilang harus periksa di dokter kandungan. Entahlah, banyak hal yang mampir dalam pikiranku.Karena Icha pasien rawat inap jadi ia mendapatkan prioritas untuk diperiksa lebih dulu tanpa harus duduk di bangku antrian.Perawat ruangan memberikan map rekam medis Icha pada perawat poli, lalu membantu Icha naik kekasur pasien."Ibu haid terakhir kapan?"Pertanyaan dokter yang sekarang menatap layar mesin USG itu menyentak dadaku. Seperti de Javu duabelas tahun lalu saat memeriksakan Icha pada dokter ka
Melihat ekspresi frustasi dari Gus Sami sebenarnya ada rasa tidak tega. Tapi rujuk lagi dengannya sangat jauh dari ekspektasiku. Lima tahun menjalani pernikahan dengannya meninggalkan trauma yang cukup dalam.Jujur, Aku tidak tahan melihatnya bersedih. Hatiku rasanya miris. Aku memang sering marah padanya, tapi selalu saja tidak berlangsung lama. Bahkan jika tujuh tahun silam Gus Sami bersikap semanis saat ini, aku tidak yakin mampu meninggalkannya meskipun tiap hari merasakan sakit karena penghinaan dari orang tuanya.Hari ini ia tidak banyak bicara, namun tetap merawatku dengan baik, tetap memberikan senyum terbaiknya."Cha. Aku tinggal rapat nggak apa-apa 'kan?""Ya, nggak apa-apa."
"Kami sangat senang kalau Gus Sami mau rujuk kembali."Mataku seketika melotot kearah Mas Royan. Beruntung tidak ada barang apapun didekatku yang bisa kulemparkan kemukanya."Bagaimana, Cha. Restu udah turun."Senyuman Gus Sami yang oleh sebagian besar perempuan diluar sana sangat dipuja itu kurasa seperti seringai penuh kemenangan yang menjengkelkan sekaligus membuat kepalaku pusing dan napasku.Aku melorotkan badan dan menarik selimut, "Aku ngantuk, mau tidur. Mengganti tidur siangku yang terlewat.""Eh. Eh. Eh. Jam berapa ini, Cha. Udah mau Maghrib nggak boleh tidur." Gus Sami menarik selimutku kebawah dan menggoyang-goyangkan pundakku.