"Apa kau menyesali perbuatanmu kemarin?" Dion menatapku lekat. Sangat dekat. Jika ada yang melihatnya mungkin akan menyangka kalau aku dan dia memiliki hubungan yang spesial.
"Tentu saja, tidak."Jawabanku yang seharusnya bukan masalah malah membuat raut wajahnya terlihat marah."Ayolah, Dion. Aku juga di sana membantu anak-anak yang sedang kesusahan itu. Apalagi mereka belum pernah merasakan kasih sayang dari seorang ayah," jelasku padanya. Menurutku hal yang kulakukan tidaklah salah. Anak-anakku punya segalanya. Mereka juga punya Diana yang selalu berada di dekat mereka dan memberikan apapun yang diinginkannya.Aku tidak perlu khawatir akan hal ini.Tapi anak-anaknya Milla, mereka terlantar dan segala apapun yang mereka inginkan, harus mereka dapatkan dengan bekerja keras. Tanpa kasih sayang seorang ayah dan juga sangat tidak terurus."Membantu kau bilang? Apa kau pikir membantu itu harus dengan menikahi? Apa harus dengan menelantarkan anak-anakmu?" Dion menatapku tajam. Ada apa dengannya, kenapa jadi emosi seperti ini?”Aku yakin kau akan menyesal. Kau memberikan kasih sayang pada anak-anak lelaki lain dari hasil kau merebut kasih sayang untuk anak-anakmu? Sepertinya kau sakit,” lanjutnya semakin emosi.Semakin kesini, perkataan Dion semakin jauh. Tentu aku tidak pernah menelantarkan anak-anakku. Bahkan tadi pagi saja aku sudah memberikan perhatian pada mereka."Semua itu tidak benar, Dion. Meskipun aku memperhatikan anak-anaknya Milla, aku juga tetap mengontrol anakku," ucapku mencoba menjelaskan."Terserah. Aku sudah menyerah. Sekeras apapun aku berusaha untuk memberikanmu pengertian, kau pasti tidak akan faham. Aku benar-benar meragukan ijazah kedokteranmu," ucapnya tajam dan penuh penekanan. Tanpa berkata lagi, dia melangkah keluar."Dok, ada beberapa pasien yang tinggal diperiksa," ucap asistenku memberitahukan."Baiklah. Suruh masuk saja!"Aku memijit pelipis yang terasa sangat berat. Sepertinya akhir-akhir ini aku seringkali merasa pusing.Hati ini orang sakit berkurang. Aku tidak memeriksa lebih dari dua puluh orang. Ini benar-benar membuatku lega.Baru saja aku mengambil gawai, ternyata ada pesan singkat dari Diana.[Mas kalau pulang cepat, langsung pulang ke rumah, ya. Aku mau kita berdua memberikan kejutan untuk Faiz. Hari ini dia genap berusia dua tahun.]Bunyi pesan Diana membuat hatiku menghangat. Tapi ternyata ada pesan lain yang belum kubuka. Milla. Dia mengirimkan pesan singkat.[Mas, Azka terus merengek ingin bertemu ayahnya. Aku bingung. Tidak mungkin bagiku menghubungi ayahnya. Sekarang dia sedang menangis.] bunyi pesan Milla dengan disertai sebuah foto Azka yang sedang terisak di pojokan.Hatiku terenyuh melihatnya. Aku bingung akan memilih yang mana. Jika ikut dengan Diana memberikan kejutan untuk Faiz, maka aku akan melukai Azka dan Milla. Aku tidak ingin membuat Milla berada di posisi yang sulit.Dengan cepat, aku mengetik balasan untuk Diana.[Maaf, hari ini Mas ada urusan mendadak. Kita bisa merayakan kejutan untuk Faiz nanti.] kutunggu balasan dari Diana. Satu menit, dua menit. Bahkan sampai tiga puluh menit, tapi masih belum ada balasan.Merasa lelah menunggu, aku buru-buru membalas pesan Milla.[Aku akan datang. Tunggu aku!]Bergegas aku pergi meninggalkan ruang kantor."Wah dokter Burhani sepertinya buru-buru." sapa Dokter Alena. Dia sama seperti Dion, seorang dokter anak."Iya, Dok. Aku ada urusan penting." jawabku cepat dengan sedikit melemparkan senyuman."Aku tahu. Segeralah berkumpul dengan keluarga dan berikan kejutan yang istimewa untuk putramu hingga dia mengingatnya sampai dewasa," ucapnya yang membuatku terkaget. Kenapa Alena mengetahui kalau hari ini Faiz ulang tahun?"Jangan kaget karena aku mengetahuinya. Kemarin aku melihat anak-anakmu akan menangis karena menanti Papanya yang tidak kunjung datang. Mereka tambah sesenggukan ketika rumor buruk tentang Mamanya mulai menyebar. Merasa tidak tahan, aku mendekat ke arah mereka." jelasnya.Ada rasa ngilu dalam hatiku. Apa benar kata Dion kalau aku sudah menelantarkan anak-anak? Ah, tidak. Aku tidak melakukan sesuatu yang buruk."Disela isakannya, Faiz mengatakan hari ini dia berusia tepat dua tahu. Dia berharap Papa dan Mamanya memberikan kejutan yang spesial," lanjutnya. Tapi aku tidak begitu fokus. Mataku tertuju pada pesan baru yang dikirimkan Milla.[Mas, Azka mengamuk.]"Maaf ya, Dok, sepertinya saya harus segera pergi," pamitku padanya.Dia tersenyum hangat."Pergilah! Aku tahu posisimu."Aku langsung berlari kecil menuju parkiran dan mengemudikan mobil dengan kecepatan sedikit tinggi ke rumah Milla.Tenangkah Azka. Sebentar lagi, aku akan menjadi Papamu.Dengan setengah berlari, aku memasuki perumahan sederhana yang kuberikan untuk Milla dan anak-anaknya. Dengan cepat aku membuka pintu rumah dan menyapu keberadaan Azka.Semua ruangan ruangan yang ada di rumah ini aku buka. Sampai terlihat Azka yang terdiam di pojokan dengan kedua lutut ditekuknya."Azka!" panggilku sambil mendekat ke arahnya."Om Doktel." Dia menyahut dengan mata berbinar. Azka memang tidak selancar Faiz yang sudah lancar melapalkan huruf 'r' diusia satu tahun.Aku langsung mendekat dan membawanya ke dalam pelukanku. "Azka kenapa?"tanyaku pada bocah yang menatapku nanar itu.Sementara Milla, dia hanya menatap kami dengan mata yang sembab. Sepertinya dia baru habis menangis. Andai saja aku tidak datang, mungkin ini akan menjadi pertanda yang tidak baik. Bisa saja akan mengganggu psikologis Azka, ataupun Milla."Azka kangen Papa, Om.""Aku minta maaf, Mas," ucap Milla tidak enak hati."Sudahlah, Mil. Lagian kita juga akan segera menikah. Kamu tidak perlu sungkan," ucapk
"Sudahlah, Bang. Ini tempat umum. Abang ingat apa yang dulu Mama ajarkan?" Diana mencoba untuk membujuk Faiz. Tapi dia tetap bergeming."Abang ingat. Tapi Mama sudah bohong sama Abang. Mama bilang Papa akan datang karena Papa sayang sama Abang. Tapi mana buktinya? Papa tidak datang!" teriaknya. Rasa kesal jelas terlihat dalam wajah Faiz.Baru saja aku hendak melangkah ke arah mereka, Milla mencekal tanganku."Sebaiknya kamu jangan ikut campur, Mas. Itu masalah mereka. Apalagi anaknya terlihat emosian," ucap Milla. Tampak pada wajahnya kekhawatiran."Emosian?" Aku mengulang perkataan Milla yang mengatakan Faiz emosian. Selama ini, aku belum pernah melihatnya seperti ini. Tentu saja penilaian Milla salah. Tapi aku tidak peduli.Aku tetap melangkah untuk mendekati mereka. Namun, langkahku langsung terhenti ketika melihat seseorang yang sangat kukenal lebih dulu mendekati mereka."Hei, Faiz. Anak jagoan. Sedang apa? Kok wajahnya ketus banget," goda lelaki itu dengan ramah.Tapi Faiz, dia
Besok adalah hari pernikahanku dengan Milla. Tapi hari ini aku masih masuk bekerja. Setelah berbohong pada Diana beberapa hari lalu, pikiranku tidak bisa tenang. Apalagi ketika melihat Diana dan anak-anak ketika di restoran, sangat dekat dengan lelaki itu.Bagaimana tidak, dia lelaki yang sudah lama menyendiri. Bisa saja dia menaruh hati pada Diana dan mendekat lewat anak-anak.Ahhh, aku mengacak rambut frustasi."Bagaimana kejutan untuk Faiznya, sukses?" Dokter Alena memasuki ruanganku."Itu, em, itu..." Aku benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Bahkan aku melupakan untuk memberikan hadiah padanya. Padahal kemarin aku membelikan Radit, Sifa, dan Azka mainan baru juga mahal.Bagaimana aku bisa melupakan Faiz."Kenapa? Apa ada masalah?" Dokter Alena menatapku lekat."Em, tidak ada," ucapku mengelak."Lancar sekali, ya, kau bilang tidak ada," sahut Dion yang tiba-tiba datang ke ruanganku. Darimana dia mendengar percakapanku dengan dokter Alena?"Apa maksudnya, Dok?" Dokter Alena me
Setelah mendengar perkataan Dion ketika menceritakan dirinya, aku memiliki perasaan takut Fahri dan Faiz juga akan mengalami itu. Sebenarnya aku sudah tahu apa yang terjadi dengan Dion, tapi tetap saja ketika dia cerita, seperti yang baru mendengarnya.Aku sedang berada di fase bingung. Jika pernikahanku dan Milla dibatalkan, entah apa yang akan terjadi pada anak-anaknya. Aku juga sudah menyuruh pak penghulu dan tetangga perumahan Milla untuk datang.Berat rasanya bagiku untuk bangun pagi ini, tapi aku tidak ingin melihat Milla cemburu. Bukankah aku sangat mencintainya, kenapa hatiku malah terasa bimbang?!Kuedarkan pandangan, menyapu ruangan kamar ini. Tapi mataku tidak melihat Diana. Dengan malas aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju anak-anak. Kosong.Dimana mereka? Aku ingin minta maaf atas kesalahanku.”Ana!!" panggilku pada Diana sambil menuruni tangga."Ana!!" kini aku dengan cemas memanggilnya karena dia tidak kunjung muncul.Mataku menangkap sosok seorang wanita t
Di hari pernikahan suaminya, Burhani. Diana bangun lebih awal dan langsung membangunkan kedua putranya. Dia juga langsung meminta Bik Rani yang baru datang bekerja pertama kali untuk membantu Fahri dan Faiz bersiap.Diana ingin suaminya itu merasakan penyesalan karena telah menelantarkan kedua putranya demi anak-anak orang lain. Dia sudah menyiapkannya jauh-jauh hari untuk membalaskan rasa sakit yang diterima anak-anaknya."Mas sama Abang ikut Bunda Salwa dulu, ya,? pinta Diana kepada kedua putranya. Alhamdulillah, mereka tidak bertanya lebih lanjut. Justru malah terlihat semakin mengerti."Waktu di restoran itu sebenarnya Mas lihat Papa," ujar Fahri membuat Diana kaget."Tapi Mas sengaja tidak bilang, Mas tidak mau Mama melihatnya dan menangis," lanjutnya sambil mencium pipi Diana.Diana terdiam sejenak. Ternyata sifat anak-anaknya sudah dewasa padahal usianya masih balita."Apa Mas marah sama Papa?" ujar Diana. Matanya memanas membayangkan sang melihat Papanya makan bersama dengan a
Ketika pulang, rumah terasa sangat hening. Kupikir anak-anak sedang diluar, jadi aku bersikap biasa, lalu memilih untuk membersihkan diri dan beristirahat sejenak.Tapi sepertinya ada yang aneh. Karena suara anak-anak ataupun Diana sama sekali tidak terdengar. Hanya keheningan yang kurasakan. Awalnya aku berniat untuk memberikan kejutan sama anak-anak dan bermain bersama. Tapi beberapa kali aku memanggil, mereka tidak kunjung terlihat.Sampai Bik Rani yang baru bekerja hari ini menghampiriku dan memberikan sebuah amplop. Katanya surat dari Diana. Ah, apa-apaan ini.Surat tidak penting.Kembali aku memanggil anak-anak, tapi tidak juga ada jawaban. Hatiku mulai risau. Kemana mereka, ini sudah mau malam?!"Sebaiknya Tuan segera membuka surat itu," lagi-lagi Bik Rani menyarankan agar aku membuka surat ini. Kenapa begitu harus membuka surat ini? Apa begitu penting?!Dengan malas, aku kembali memutar tubuh kembali ke kamar. Mencari posisi yang nyaman untuk duduk dan membaca surat ini. Kukel
Di kota lain, Diana mendaftarkan Fahri masuk TK terbaik di tempatnya. Diana tidak ingin anak sulungnya itu selalu dirumah. Meskipun Fahri mengatakan tidak akan rindu pada Papanya. Tapi Diana cukup faham kalau hati Fahri bisa saja mengatakan yang sebaliknya.Sedewasa apapun perkataan anak-anak, hati dan pikirannya tetaplah anak balita. Diana tidak ingin menjadi seorang Ibu yang egois. Cukup dokter Burhani tidak memikirkan perasaan dan hati anak-anaknya sendiri, tapi dirinya jangan. Karena dia tidak ingin Fahri dah Faiz merasa sendiri."Apa perlu saya memberikan pelajaran kepada dokter Burhani, Bu?" tanya asisten Kevin. Dia adalah orang yang ditempatkan orangtua Diana untuk selalu berada di sisinya. Tanpa sepengetahuan dokter Burhani dan keluarga besarnya.Mereka hanya tahu Diana orang kampung dan anak seorang petani. Padahal tanpa mereka duga, Diana bukan orang sembarangan yang bisa mereka sentuh."Itu tidak perlu. Saya tidak ingin membuat anak-anak sedih karena terjadi sesuatu pada Pa
Semenjak kepergian anak-anak, hidupku terasa hampa. Biasa pulang kerja disambut mereka, kini hanya ada angin. Sepi dan hampa. Tidak ada yang perhatian apalagi cerewet. Kemana aku harus mencari anak-anak? 'Mas, Bang, Papa rindu kalian.Semenjak itu juga, Dion semakin menjauh dariku. Entah apa yang membuatnya berubah seperti ini. Padahal biasanya apapun kondisiku, dia akan selalu ada untukku. Tapi kini, dia seperti menjadi orang asing."Dokter bisa langsung istirahat, karena masih belum ada pasien lagi," ucap asistenku memberitahukan.Aku hanya mengangguk diam dalam sepi.Benar. Akun sosial media Diana. Sepertinya masih sama. Tiba-tiba saja aku teringat untuk menghubungi Diana lewat sosial medianya. Karena nomor handphonenya sudah tidak bisa dihubungi. Sepertinya dia langsung mengganti kartu SIM-nya untuk menghindariku supaya tidak ada celah untuk bertemu anak-anak.Dasar licik.Belum sempat aku membuka aplikasi biru, ada beberapa pesan masuk ke aplikasi hijau. Ternyata dari Milla.[Ap