Share

Bab 5

"Apa kau menyesali perbuatanmu kemarin?" Dion menatapku lekat. Sangat dekat. Jika ada yang melihatnya mungkin akan menyangka kalau aku dan dia memiliki hubungan yang spesial.

"Tentu saja, tidak."

Jawabanku yang seharusnya bukan masalah malah membuat raut wajahnya terlihat marah.

"Ayolah, Dion. Aku juga di sana membantu anak-anak yang sedang kesusahan itu. Apalagi mereka belum pernah merasakan kasih sayang dari seorang ayah," jelasku padanya. Menurutku hal yang kulakukan tidaklah salah. Anak-anakku punya segalanya. Mereka juga punya Diana yang selalu berada di dekat mereka dan memberikan apapun yang diinginkannya.

Aku tidak perlu khawatir akan hal ini.

Tapi anak-anaknya Milla, mereka terlantar dan segala apapun yang mereka inginkan, harus mereka dapatkan dengan bekerja keras. Tanpa kasih sayang seorang ayah dan juga sangat tidak terurus.

"Membantu kau bilang? Apa kau pikir membantu itu harus dengan menikahi? Apa harus dengan menelantarkan anak-anakmu?" Dion menatapku tajam. Ada apa dengannya, kenapa jadi emosi seperti ini?

”Aku yakin kau akan menyesal. Kau memberikan kasih sayang pada anak-anak lelaki lain dari hasil kau merebut kasih sayang untuk anak-anakmu? Sepertinya kau sakit,” lanjutnya semakin emosi.

Semakin kesini, perkataan Dion semakin jauh. Tentu aku tidak pernah menelantarkan anak-anakku. Bahkan tadi pagi saja aku sudah memberikan perhatian pada mereka.

"Semua itu tidak benar, Dion. Meskipun aku memperhatikan anak-anaknya Milla, aku juga tetap mengontrol anakku," ucapku mencoba menjelaskan.

"Terserah. Aku sudah menyerah. Sekeras apapun aku berusaha untuk memberikanmu pengertian, kau pasti tidak akan faham. Aku benar-benar meragukan ijazah kedokteranmu," ucapnya tajam dan penuh penekanan. Tanpa berkata lagi, dia melangkah keluar.

"Dok, ada beberapa pasien yang tinggal diperiksa," ucap asistenku memberitahukan.

"Baiklah. Suruh masuk saja!"

Aku memijit pelipis yang terasa sangat berat. Sepertinya akhir-akhir ini aku seringkali merasa pusing.

Hati ini orang sakit berkurang. Aku tidak memeriksa lebih dari dua puluh orang. Ini benar-benar membuatku lega.

Baru saja aku mengambil gawai, ternyata ada pesan singkat dari Diana.

[Mas kalau pulang cepat, langsung pulang ke rumah, ya. Aku mau kita berdua memberikan kejutan untuk Faiz. Hari ini dia genap berusia dua tahun.]

Bunyi pesan Diana membuat hatiku menghangat. Tapi ternyata ada pesan lain yang belum kubuka. Milla. Dia mengirimkan pesan singkat.

[Mas, Azka terus merengek ingin bertemu ayahnya. Aku bingung. Tidak mungkin bagiku menghubungi ayahnya. Sekarang dia sedang menangis.] bunyi pesan Milla dengan disertai sebuah foto Azka yang sedang terisak di pojokan.

Hatiku terenyuh melihatnya. Aku bingung akan memilih yang mana. Jika ikut dengan Diana memberikan kejutan untuk Faiz, maka aku akan melukai Azka dan Milla. Aku tidak ingin membuat Milla berada di posisi yang sulit.

Dengan cepat, aku mengetik balasan untuk Diana.

[Maaf, hari ini Mas ada urusan mendadak. Kita bisa merayakan kejutan untuk Faiz nanti.] kutunggu balasan dari Diana. Satu menit, dua menit. Bahkan sampai tiga puluh menit, tapi masih belum ada balasan.

Merasa lelah menunggu, aku buru-buru membalas pesan Milla.

[Aku akan datang. Tunggu aku!]

Bergegas aku pergi meninggalkan ruang kantor.

"Wah dokter Burhani sepertinya buru-buru." sapa Dokter Alena. Dia sama seperti Dion, seorang dokter anak.

"Iya, Dok. Aku ada urusan penting." jawabku cepat dengan sedikit melemparkan senyuman.

"Aku tahu. Segeralah berkumpul dengan keluarga dan berikan kejutan yang istimewa untuk putramu hingga dia mengingatnya sampai dewasa," ucapnya yang membuatku terkaget. Kenapa Alena mengetahui kalau hari ini Faiz ulang tahun?

"Jangan kaget karena aku mengetahuinya. Kemarin aku melihat anak-anakmu akan menangis karena menanti Papanya yang tidak kunjung datang. Mereka tambah sesenggukan ketika rumor buruk tentang Mamanya mulai menyebar. Merasa tidak tahan, aku mendekat ke arah mereka." jelasnya.

Ada rasa ngilu dalam hatiku. Apa benar kata Dion kalau aku sudah menelantarkan anak-anak? Ah, tidak. Aku tidak melakukan sesuatu yang buruk.

"Disela isakannya, Faiz mengatakan hari ini dia berusia tepat dua tahu. Dia berharap Papa dan Mamanya memberikan kejutan yang spesial," lanjutnya. Tapi aku tidak begitu fokus. Mataku tertuju pada pesan baru yang dikirimkan Milla.

[Mas, Azka mengamuk.]

"Maaf ya, Dok, sepertinya saya harus segera pergi," pamitku padanya.

Dia tersenyum hangat."Pergilah! Aku tahu posisimu."

Aku langsung berlari kecil menuju parkiran dan mengemudikan mobil dengan kecepatan sedikit tinggi ke rumah Milla.

Tenangkah Azka. Sebentar lagi, aku akan menjadi Papamu.

Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
trus aja dusta ntar klu diana dan anak mu pergi menjauh susah di jangksu baru nyesek kelak ancur terbongkar sekandak di keluarin dari dokter
goodnovel comment avatar
Restoe Boemi
semoga diana dan anak2 nya diberi kesabaran...untuk burhani tunggu karma yg akan menghampirimu...karma tak pernah salah alamat
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status