”Papa minta maaf ya, Mas, Bang," lirihku sambil kembali mencium mereka bergantian.
”Mas sudah tidak terlalu ingin bertemu dengan Papa," ucap Fahri tajam. Ah, aku lupa kalau selama ini anak sulungku sangat peka terhadap keadaan."Mas ’gak boleh bicara seperti itu. Walau bagaimanapun Papa adalah Papa kalian," Diana ikut bicara. Aku tidak tahu terbuat dari apa hatinya itu. Dia sama sekali tidak marah, bahkan malah memberikan pengertian untuk anak-anak."Maafkan Mas, Ana," lirihku pelan. Kugenggam kedua tangannya dan menciumnya berkali-kali. Semoga dia bisa memaafkanku."Abang masih kangen, kok, sama Papa,” sahut Faiz. Dia beranjak turun dari duduknya dan berjalan ke arahku.Ketika aku merentangkan kedua tangan, Faiz malah melewatiku dan memeluk tangan Diana."Meskipun Abang tidak mengerti apa yang dibicarakan orang-orang ketika di rumah sakit, tapi Abang tahu kalau itu adalah hal yang tidak baik. Karena Mama sampai menangis,” ucapnya yang sudah seperti anak dewasa."Maafkan aku, Diana." lagi-lagi hanya kata maaf yang bisa aku ucapkan. Tidak ada hal yang lain. Dia memang wanita yang baik, tapi aku masih belum mencintainya. Bahkan hati kecilku masih berharap kalau Milla juga bisa menjadi istriku dan membuat hatiku kembali tahu apa itu arti bahagia."Sudahlah, Mas. Aku tahu kau tidak bisa memilih. Lakukanlah akad nikah dengan Milla segera. Walau bagaimanapun tidak baik bersama tanpa ikatan," ucapnya yang terdengar tegar. Seolah-olah Diana juga tidak mempunyai perasaan padaku.Kutatap anak-anak bergantian, mereka tetap santai. Seperti anak dewasa yang sudah faham akan situasinya seperti apa. Tapi hatiku jelas merindukan sikap mereka seperti anak-anak lainnya. Tapi tidak bisa kudapatkan."Aku akan memberikan pengertian pada anak-anak," lanjutnya sambil menggendong Faiz yang memeluk leher Diana erat. Kutatap Fahri, tapi dia sama sekali tidak peduli. Sekarang dia terkesan cuek dan sibuk dengan dunianya sendiri. Seperti orang dewasa."Terimakasih, Ana," ucapku sambil mengecup kening Faiz dan mendekat ke arah Fahri."Papa pergi kerja dulu, ya," kukecup keningnya. Fahri hanya mengangguk. Biasanya anak-anak dan Diana akan mengantar sampai ke depan gerbang, mengatakan hati-hati secara bersamaan, dan terus melambaikan tangan sampai mobilku menghilang dari pandangan mereka.Tapi kini .... Aku berjalan sendiri keluar, tanpa kata hati-hati. Bahkan aku membuka gerbang dan menutupnya sendiri. Tidak ada yang melambaikan tangannya padaku.*Dengan lesu, aku meminum kopi yang sudah tersedia di meja. Biasanya tidak pernah kuminum sampai jam pulang. Karena biasanya aku minum kopi di rumah. Tapi pagi ini, jangankan kopi. Diana bahkan tidak menghentikan langkahku untuk mengingatkan sarapan."Kenapa? Tumben!" Dion terpaku melihat gelas kopi di mejaku yang sudah tandas."Aku belum sarapan."”Wow, seorang Burhani yang istrinya sangat perhatian tiba-tiba tidak sarapan?" Dion membelalakkan matanya. Seolah tidak percaya aku mengatakan hal itu."Anak-anak kemarin ke sini?" tanyaku padanya. Tubuh Dion langsung terkulai lemas dan mendaratkan pantatnya di sofa."Jika aku menjadi Diana, mungkin aku akan memilih pergi daripada menerima penghinaan seperti itu," ucapnya bergetar.Aku sangat aneh dengan sikap teman kerja jombloku ini. Sebelumnya dia tidak pernah bersikap begini.Tapi pikiranku kembali fokus dengan perkataannya, "Apa itu adalah hal berat?" tanyaku sambil ikut duduk di sampingnya."Apa kau tahu beberapa hari ini ada gosip apa?" tanyanya balik dan aku hanya menggeleng."Semenjak kamu mengambil libur, orang-orang membicarakan kalau orang yang kau cintai adalah Milla dan Diana adalah perusak hubungan kalian," jelasnya. Napasku seketika memburu. Bagaimana bisa mereka begitu tega dan siapa yang menyebarkan informasi tidak berguna ini."Awalnya Diana akan pergi, tapi hujatan orang-orang mengatakan kalau Diana adalah pelakor dan mungkin saja kalau anak pertamanya Fahri adalah anak hasil hubungan gelap," lanjutnya yang membuatku semakin Faham alasan Fahri menghindariku. Padahal usianya baru menginjak empat tahun, yang biasanya lebih cenderung dekat dengan ayahnya."Aku tidak tahu hal seperti ini terjadi," lirihku tidak percaya."Itu karena kau tidak ada di sini. Di saat anak-anak dan istrimu dihina dan tersudut, kau malah menemani anak-anak yang bukan darah dagingmu!" ucap Dion menggebu.Kenapa dia jadi marah? Bukankah aku juga sedang menolong orang lain. Terlebih lagi dia adalah anak-anak yang kucintai."Apa kau menyesali perbuatanmu kemarin?" Dion menatapku lekat. Sangat dekat. Jika ada yang melihatnya mungkin akan menyangka kalau aku dan dia memiliki hubungan yang spesial."Tentu saja, tidak."Jawabanku yang seharusnya bukan masalah malah membuat raut wajahnya terlihat marah."Ayolah, Dion. Aku juga di sana membantu anak-anak yang sedang kesusahan itu. Apalagi mereka belum pernah merasakan kasih sayang dari seorang ayah," jelasku padanya. Menurutku hal yang kulakukan tidaklah salah. Anak-anakku punya segalanya. Mereka juga punya Diana yang selalu berada di dekat mereka dan memberikan apapun yang diinginkannya.Aku tidak perlu khawatir akan hal ini.Tapi anak-anaknya Milla, mereka terlantar dan segala apapun yang mereka inginkan, harus mereka dapatkan dengan bekerja keras. Tanpa kasih sayang seorang ayah dan juga sangat tidak terurus."Membantu kau bilang? Apa kau pikir membantu itu harus dengan menikahi? Apa harus dengan menelantarkan anak-anakmu?" Dion menatapku tajam. Ada apa den
Dengan setengah berlari, aku memasuki perumahan sederhana yang kuberikan untuk Milla dan anak-anaknya. Dengan cepat aku membuka pintu rumah dan menyapu keberadaan Azka.Semua ruangan ruangan yang ada di rumah ini aku buka. Sampai terlihat Azka yang terdiam di pojokan dengan kedua lutut ditekuknya."Azka!" panggilku sambil mendekat ke arahnya."Om Doktel." Dia menyahut dengan mata berbinar. Azka memang tidak selancar Faiz yang sudah lancar melapalkan huruf 'r' diusia satu tahun.Aku langsung mendekat dan membawanya ke dalam pelukanku. "Azka kenapa?"tanyaku pada bocah yang menatapku nanar itu.Sementara Milla, dia hanya menatap kami dengan mata yang sembab. Sepertinya dia baru habis menangis. Andai saja aku tidak datang, mungkin ini akan menjadi pertanda yang tidak baik. Bisa saja akan mengganggu psikologis Azka, ataupun Milla."Azka kangen Papa, Om.""Aku minta maaf, Mas," ucap Milla tidak enak hati."Sudahlah, Mil. Lagian kita juga akan segera menikah. Kamu tidak perlu sungkan," ucapk
"Sudahlah, Bang. Ini tempat umum. Abang ingat apa yang dulu Mama ajarkan?" Diana mencoba untuk membujuk Faiz. Tapi dia tetap bergeming."Abang ingat. Tapi Mama sudah bohong sama Abang. Mama bilang Papa akan datang karena Papa sayang sama Abang. Tapi mana buktinya? Papa tidak datang!" teriaknya. Rasa kesal jelas terlihat dalam wajah Faiz.Baru saja aku hendak melangkah ke arah mereka, Milla mencekal tanganku."Sebaiknya kamu jangan ikut campur, Mas. Itu masalah mereka. Apalagi anaknya terlihat emosian," ucap Milla. Tampak pada wajahnya kekhawatiran."Emosian?" Aku mengulang perkataan Milla yang mengatakan Faiz emosian. Selama ini, aku belum pernah melihatnya seperti ini. Tentu saja penilaian Milla salah. Tapi aku tidak peduli.Aku tetap melangkah untuk mendekati mereka. Namun, langkahku langsung terhenti ketika melihat seseorang yang sangat kukenal lebih dulu mendekati mereka."Hei, Faiz. Anak jagoan. Sedang apa? Kok wajahnya ketus banget," goda lelaki itu dengan ramah.Tapi Faiz, dia
Besok adalah hari pernikahanku dengan Milla. Tapi hari ini aku masih masuk bekerja. Setelah berbohong pada Diana beberapa hari lalu, pikiranku tidak bisa tenang. Apalagi ketika melihat Diana dan anak-anak ketika di restoran, sangat dekat dengan lelaki itu.Bagaimana tidak, dia lelaki yang sudah lama menyendiri. Bisa saja dia menaruh hati pada Diana dan mendekat lewat anak-anak.Ahhh, aku mengacak rambut frustasi."Bagaimana kejutan untuk Faiznya, sukses?" Dokter Alena memasuki ruanganku."Itu, em, itu..." Aku benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Bahkan aku melupakan untuk memberikan hadiah padanya. Padahal kemarin aku membelikan Radit, Sifa, dan Azka mainan baru juga mahal.Bagaimana aku bisa melupakan Faiz."Kenapa? Apa ada masalah?" Dokter Alena menatapku lekat."Em, tidak ada," ucapku mengelak."Lancar sekali, ya, kau bilang tidak ada," sahut Dion yang tiba-tiba datang ke ruanganku. Darimana dia mendengar percakapanku dengan dokter Alena?"Apa maksudnya, Dok?" Dokter Alena me
Setelah mendengar perkataan Dion ketika menceritakan dirinya, aku memiliki perasaan takut Fahri dan Faiz juga akan mengalami itu. Sebenarnya aku sudah tahu apa yang terjadi dengan Dion, tapi tetap saja ketika dia cerita, seperti yang baru mendengarnya.Aku sedang berada di fase bingung. Jika pernikahanku dan Milla dibatalkan, entah apa yang akan terjadi pada anak-anaknya. Aku juga sudah menyuruh pak penghulu dan tetangga perumahan Milla untuk datang.Berat rasanya bagiku untuk bangun pagi ini, tapi aku tidak ingin melihat Milla cemburu. Bukankah aku sangat mencintainya, kenapa hatiku malah terasa bimbang?!Kuedarkan pandangan, menyapu ruangan kamar ini. Tapi mataku tidak melihat Diana. Dengan malas aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju anak-anak. Kosong.Dimana mereka? Aku ingin minta maaf atas kesalahanku.”Ana!!" panggilku pada Diana sambil menuruni tangga."Ana!!" kini aku dengan cemas memanggilnya karena dia tidak kunjung muncul.Mataku menangkap sosok seorang wanita t
Di hari pernikahan suaminya, Burhani. Diana bangun lebih awal dan langsung membangunkan kedua putranya. Dia juga langsung meminta Bik Rani yang baru datang bekerja pertama kali untuk membantu Fahri dan Faiz bersiap.Diana ingin suaminya itu merasakan penyesalan karena telah menelantarkan kedua putranya demi anak-anak orang lain. Dia sudah menyiapkannya jauh-jauh hari untuk membalaskan rasa sakit yang diterima anak-anaknya."Mas sama Abang ikut Bunda Salwa dulu, ya,? pinta Diana kepada kedua putranya. Alhamdulillah, mereka tidak bertanya lebih lanjut. Justru malah terlihat semakin mengerti."Waktu di restoran itu sebenarnya Mas lihat Papa," ujar Fahri membuat Diana kaget."Tapi Mas sengaja tidak bilang, Mas tidak mau Mama melihatnya dan menangis," lanjutnya sambil mencium pipi Diana.Diana terdiam sejenak. Ternyata sifat anak-anaknya sudah dewasa padahal usianya masih balita."Apa Mas marah sama Papa?" ujar Diana. Matanya memanas membayangkan sang melihat Papanya makan bersama dengan a
Ketika pulang, rumah terasa sangat hening. Kupikir anak-anak sedang diluar, jadi aku bersikap biasa, lalu memilih untuk membersihkan diri dan beristirahat sejenak.Tapi sepertinya ada yang aneh. Karena suara anak-anak ataupun Diana sama sekali tidak terdengar. Hanya keheningan yang kurasakan. Awalnya aku berniat untuk memberikan kejutan sama anak-anak dan bermain bersama. Tapi beberapa kali aku memanggil, mereka tidak kunjung terlihat.Sampai Bik Rani yang baru bekerja hari ini menghampiriku dan memberikan sebuah amplop. Katanya surat dari Diana. Ah, apa-apaan ini.Surat tidak penting.Kembali aku memanggil anak-anak, tapi tidak juga ada jawaban. Hatiku mulai risau. Kemana mereka, ini sudah mau malam?!"Sebaiknya Tuan segera membuka surat itu," lagi-lagi Bik Rani menyarankan agar aku membuka surat ini. Kenapa begitu harus membuka surat ini? Apa begitu penting?!Dengan malas, aku kembali memutar tubuh kembali ke kamar. Mencari posisi yang nyaman untuk duduk dan membaca surat ini. Kukel
Di kota lain, Diana mendaftarkan Fahri masuk TK terbaik di tempatnya. Diana tidak ingin anak sulungnya itu selalu dirumah. Meskipun Fahri mengatakan tidak akan rindu pada Papanya. Tapi Diana cukup faham kalau hati Fahri bisa saja mengatakan yang sebaliknya.Sedewasa apapun perkataan anak-anak, hati dan pikirannya tetaplah anak balita. Diana tidak ingin menjadi seorang Ibu yang egois. Cukup dokter Burhani tidak memikirkan perasaan dan hati anak-anaknya sendiri, tapi dirinya jangan. Karena dia tidak ingin Fahri dah Faiz merasa sendiri."Apa perlu saya memberikan pelajaran kepada dokter Burhani, Bu?" tanya asisten Kevin. Dia adalah orang yang ditempatkan orangtua Diana untuk selalu berada di sisinya. Tanpa sepengetahuan dokter Burhani dan keluarga besarnya.Mereka hanya tahu Diana orang kampung dan anak seorang petani. Padahal tanpa mereka duga, Diana bukan orang sembarangan yang bisa mereka sentuh."Itu tidak perlu. Saya tidak ingin membuat anak-anak sedih karena terjadi sesuatu pada Pa