Share

Bab 4

”Papa minta maaf ya, Mas, Bang," lirihku sambil kembali mencium mereka bergantian.

”Mas sudah tidak terlalu ingin bertemu dengan Papa," ucap Fahri tajam. Ah, aku lupa kalau selama ini anak sulungku sangat peka terhadap keadaan.

"Mas ’gak boleh bicara seperti itu. Walau bagaimanapun Papa adalah Papa kalian," Diana ikut bicara. Aku tidak tahu terbuat dari apa hatinya itu. Dia sama sekali tidak marah, bahkan malah memberikan pengertian untuk anak-anak.

"Maafkan Mas, Ana," lirihku pelan. Kugenggam kedua tangannya dan menciumnya berkali-kali. Semoga dia bisa memaafkanku.

"Abang masih kangen, kok, sama Papa,” sahut Faiz. Dia beranjak turun dari duduknya dan berjalan ke arahku.

Ketika aku merentangkan kedua tangan, Faiz malah melewatiku dan memeluk tangan Diana.

"Meskipun Abang tidak mengerti apa yang dibicarakan orang-orang ketika di rumah sakit, tapi Abang tahu kalau itu adalah hal yang tidak baik. Karena Mama sampai menangis,” ucapnya yang sudah seperti anak dewasa.

"Maafkan aku, Diana." lagi-lagi hanya kata maaf yang bisa aku ucapkan. Tidak ada hal yang lain. Dia memang wanita yang baik, tapi aku masih belum mencintainya. Bahkan hati kecilku masih berharap kalau Milla juga bisa menjadi istriku dan membuat hatiku kembali tahu apa itu arti bahagia.

"Sudahlah, Mas. Aku tahu kau tidak bisa memilih. Lakukanlah akad nikah dengan Milla segera. Walau bagaimanapun tidak baik bersama tanpa ikatan," ucapnya yang terdengar tegar. Seolah-olah Diana juga tidak mempunyai perasaan padaku.

Kutatap anak-anak bergantian, mereka tetap santai. Seperti anak dewasa yang sudah faham akan situasinya seperti apa. Tapi hatiku jelas merindukan sikap mereka seperti anak-anak lainnya. Tapi tidak bisa kudapatkan.

"Aku akan memberikan pengertian pada anak-anak," lanjutnya sambil menggendong Faiz yang memeluk leher Diana erat. Kutatap Fahri, tapi dia sama sekali tidak peduli. Sekarang dia terkesan cuek dan sibuk dengan dunianya sendiri. Seperti orang dewasa.

"Terimakasih, Ana," ucapku sambil mengecup kening Faiz dan mendekat ke arah Fahri.

"Papa pergi kerja dulu, ya," kukecup keningnya. Fahri hanya mengangguk. Biasanya anak-anak dan Diana akan mengantar sampai ke depan gerbang, mengatakan hati-hati secara bersamaan, dan terus melambaikan tangan sampai mobilku menghilang dari pandangan mereka.

Tapi kini .... Aku berjalan sendiri keluar, tanpa kata hati-hati. Bahkan aku membuka gerbang dan menutupnya sendiri. Tidak ada yang melambaikan tangannya padaku.

*

Dengan lesu, aku meminum kopi yang sudah tersedia di meja. Biasanya tidak pernah kuminum sampai jam pulang. Karena biasanya aku minum kopi di rumah. Tapi pagi ini, jangankan kopi. Diana bahkan tidak menghentikan langkahku untuk mengingatkan sarapan.

"Kenapa? Tumben!" Dion terpaku melihat gelas kopi di mejaku yang sudah tandas.

"Aku belum sarapan."

”Wow, seorang Burhani yang istrinya sangat perhatian tiba-tiba tidak sarapan?" Dion membelalakkan matanya. Seolah tidak percaya aku mengatakan hal itu.

"Anak-anak kemarin ke sini?" tanyaku padanya. Tubuh Dion langsung terkulai lemas dan mendaratkan pantatnya di sofa.

"Jika aku menjadi Diana, mungkin aku akan memilih pergi daripada menerima penghinaan seperti itu," ucapnya bergetar.

Aku sangat aneh dengan sikap teman kerja jombloku ini. Sebelumnya dia tidak pernah bersikap begini.

Tapi pikiranku kembali fokus dengan perkataannya, "Apa itu adalah hal berat?" tanyaku sambil ikut duduk di sampingnya.

"Apa kau tahu beberapa hari ini ada gosip apa?" tanyanya balik dan aku hanya menggeleng.

"Semenjak kamu mengambil libur, orang-orang membicarakan kalau orang yang kau cintai adalah Milla dan Diana adalah perusak hubungan kalian," jelasnya. Napasku seketika memburu. Bagaimana bisa mereka begitu tega dan siapa yang menyebarkan informasi tidak berguna ini.

"Awalnya Diana akan pergi, tapi hujatan orang-orang mengatakan kalau Diana adalah pelakor dan mungkin saja kalau anak pertamanya Fahri adalah anak hasil hubungan gelap," lanjutnya yang membuatku semakin Faham alasan Fahri menghindariku. Padahal usianya baru menginjak empat tahun, yang biasanya lebih cenderung dekat dengan ayahnya.

"Aku tidak tahu hal seperti ini terjadi," lirihku tidak percaya.

"Itu karena kau tidak ada di sini. Di saat anak-anak dan istrimu dihina dan tersudut, kau malah menemani anak-anak yang bukan darah dagingmu!" ucap Dion menggebu.

Kenapa dia jadi marah? Bukankah aku juga sedang menolong orang lain. Terlebih lagi dia adalah anak-anak yang kucintai.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
good diana ambil sikap
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status