Share

Bab 6

Dengan setengah berlari, aku memasuki perumahan sederhana yang kuberikan untuk Milla dan anak-anaknya. Dengan cepat aku membuka pintu rumah dan menyapu keberadaan Azka.

Semua ruangan ruangan yang ada di rumah ini aku buka. Sampai terlihat Azka yang terdiam di pojokan dengan kedua lutut ditekuknya.

"Azka!" panggilku sambil mendekat ke arahnya.

"Om Doktel." Dia menyahut dengan mata berbinar. Azka memang tidak selancar Faiz yang sudah lancar melapalkan huruf 'r' diusia satu tahun.

Aku langsung mendekat dan membawanya ke dalam pelukanku. "Azka kenapa?"tanyaku pada bocah yang menatapku nanar itu.

Sementara Milla, dia hanya menatap kami dengan mata yang sembab. Sepertinya dia baru habis menangis. Andai saja aku tidak datang, mungkin ini akan menjadi pertanda yang tidak baik. Bisa saja akan mengganggu psikologis Azka, ataupun Milla.

"Azka kangen Papa, Om."

"Aku minta maaf, Mas," ucap Milla tidak enak hati.

"Sudahlah, Mil. Lagian kita juga akan segera menikah. Kamu tidak perlu sungkan," ucapku sambil menggendong Azka. Sekarang dia sudah lebih tenang.

"Menikah?" Azka tercengang mendengar kata 'menikah'.

Aku memilih duduk di samping Milla dengan Azka yang kududukan di paha.

"Iya. Mamamu dan Om dokter akan menikah. Jadi nanti Azka jangan panggil Om dengan Om dokter lagi. Tapi Papa," jelasku pelan. Aku ingin melihat Azka tersenyum dan bahagia seperti Faiz. Mereka hanya berbeda bulan, tapi putra keduaku sangat pintar. Aku juga berharap denganku menjadi Papanya, dia akan menjadi pintar.

"Papa?" tanyanya tidak percaya. Mata polos itu menatapku lekat.

"Iya, panggil Om menjadi Papa. Karena beberapa hari lagi, Om akan menjadi Papa Azka." Aku kembali menjelaskan lalu mengecup pipih chubby itu.

"Papa!" panggilnya dan tangan mungilnya memelukku erat.

"Apa anak-anak sudah makan siang?" tanyaku pada Milla yang sedari tadi hanya diam.

"Belum, Mas. Radit dan Sifa belum pulang. Paling sebentar lagi. Ya sudah, biar aku masak untuk makan siang dulu, ya, Mas," ucapnya dan akan pergi beranjak.

Tanganku memegang pergelangan tangannya, "Tidak perlu, hari ini kita makan diluar saja. Kebetulan aku juga belum makan siang." ajakku padanya dan Milla hanya tertunduk malu.

Ah, manisnya.

"Hore!" Azka tertawa gembira. Tentu saja membuat hatiku menghangat.

"Ayo kita jemput anak-anak!" ajakku.

Aku menggendong Azka dan Milla tepat berada di sampingku. Kita pergi menjemput anak-anak ke sekolahnya dan pergi ke sebuah restoran ternama.

"Apa tidak apa, kalau kita makan di sini Om?" tanya Radit ketika baru turun dari mobil.

"Tentu saja. Hari ini Om traktir kalian. Jadi pesanlah apapun yang kalian inginkan," ucapku sambil mengelus puncak kepalanya. Radit sudah akan berusia sepuluh tahun. Tapi sikapnya masih sangat kekanak-kanakan, bahkan sangat jauh dari sikap dewasa Fahri yang baru saja empat tahun.

Kami memilih tempat duduk untuk keluarga. Anak-anak mulai memesan makanan dan minuman. Sementara aku dan Milla hanya saling diam.

"Kamu pesan apa Mill?" tanyaku pada Milla yang terhenyak. Dia sepertinya melamun.

"Apa saja."

Aku memesan dua menu yang sama. Kami melihat anak-anak makan dengan lahap.

"Terimakasih, Mas," Milla menatapku haru.

"Tidak perlu berterimakasih. Ini sudah seharusnya. Lagian dalam beberapa hari lagi, ini akan menjadi tanggung jawabku," jelasku. Milla semakin menatapku dalam. Sampai suara piring pecah terdengar, membuat kami kembali memakan makanan yang terhidang. Dadaku berpacu sangat cepat ketika Milla menatapku.

Ah, ternyata cinta pertama itu sangat berkesan.

"Abang sudah bilang tidak mau makan kalau tanpa Papa!" teriak seorang anak kecil.

Tunggu, aku sepertinya tidak asing dengan suara anak ini.

"Abang tidak boleh gitu, Mama sudah melakukan semua yang terbaik untuk memberikan semuanya sama Abang." seorang anak kecil berusaha untuk menenangkan.

"Adek 'gak boleh gitu. Kasihan Mamanya," para pegawai restoran ikut menasehati.

Mataku tertarik untuk melihat kegaduhan itu, untuk menghilangkan rasa penasaranku dengan suaranya yang sangat familiar.

"Abang!" beberapa kali aku mengerjapkan mata.

Aku melihat Dania yang tengah berjongkok di depan Faiz yang sedang mengamuk.

Kenapa anak ini menjadi sangat pemarah?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status