Di hari pernikahan suaminya, Burhani. Diana bangun lebih awal dan langsung membangunkan kedua putranya. Dia juga langsung meminta Bik Rani yang baru datang bekerja pertama kali untuk membantu Fahri dan Faiz bersiap.Diana ingin suaminya itu merasakan penyesalan karena telah menelantarkan kedua putranya demi anak-anak orang lain. Dia sudah menyiapkannya jauh-jauh hari untuk membalaskan rasa sakit yang diterima anak-anaknya."Mas sama Abang ikut Bunda Salwa dulu, ya,? pinta Diana kepada kedua putranya. Alhamdulillah, mereka tidak bertanya lebih lanjut. Justru malah terlihat semakin mengerti."Waktu di restoran itu sebenarnya Mas lihat Papa," ujar Fahri membuat Diana kaget."Tapi Mas sengaja tidak bilang, Mas tidak mau Mama melihatnya dan menangis," lanjutnya sambil mencium pipi Diana.Diana terdiam sejenak. Ternyata sifat anak-anaknya sudah dewasa padahal usianya masih balita."Apa Mas marah sama Papa?" ujar Diana. Matanya memanas membayangkan sang melihat Papanya makan bersama dengan a
Ketika pulang, rumah terasa sangat hening. Kupikir anak-anak sedang diluar, jadi aku bersikap biasa, lalu memilih untuk membersihkan diri dan beristirahat sejenak.Tapi sepertinya ada yang aneh. Karena suara anak-anak ataupun Diana sama sekali tidak terdengar. Hanya keheningan yang kurasakan. Awalnya aku berniat untuk memberikan kejutan sama anak-anak dan bermain bersama. Tapi beberapa kali aku memanggil, mereka tidak kunjung terlihat.Sampai Bik Rani yang baru bekerja hari ini menghampiriku dan memberikan sebuah amplop. Katanya surat dari Diana. Ah, apa-apaan ini.Surat tidak penting.Kembali aku memanggil anak-anak, tapi tidak juga ada jawaban. Hatiku mulai risau. Kemana mereka, ini sudah mau malam?!"Sebaiknya Tuan segera membuka surat itu," lagi-lagi Bik Rani menyarankan agar aku membuka surat ini. Kenapa begitu harus membuka surat ini? Apa begitu penting?!Dengan malas, aku kembali memutar tubuh kembali ke kamar. Mencari posisi yang nyaman untuk duduk dan membaca surat ini. Kukel
Di kota lain, Diana mendaftarkan Fahri masuk TK terbaik di tempatnya. Diana tidak ingin anak sulungnya itu selalu dirumah. Meskipun Fahri mengatakan tidak akan rindu pada Papanya. Tapi Diana cukup faham kalau hati Fahri bisa saja mengatakan yang sebaliknya.Sedewasa apapun perkataan anak-anak, hati dan pikirannya tetaplah anak balita. Diana tidak ingin menjadi seorang Ibu yang egois. Cukup dokter Burhani tidak memikirkan perasaan dan hati anak-anaknya sendiri, tapi dirinya jangan. Karena dia tidak ingin Fahri dah Faiz merasa sendiri."Apa perlu saya memberikan pelajaran kepada dokter Burhani, Bu?" tanya asisten Kevin. Dia adalah orang yang ditempatkan orangtua Diana untuk selalu berada di sisinya. Tanpa sepengetahuan dokter Burhani dan keluarga besarnya.Mereka hanya tahu Diana orang kampung dan anak seorang petani. Padahal tanpa mereka duga, Diana bukan orang sembarangan yang bisa mereka sentuh."Itu tidak perlu. Saya tidak ingin membuat anak-anak sedih karena terjadi sesuatu pada Pa
Semenjak kepergian anak-anak, hidupku terasa hampa. Biasa pulang kerja disambut mereka, kini hanya ada angin. Sepi dan hampa. Tidak ada yang perhatian apalagi cerewet. Kemana aku harus mencari anak-anak? 'Mas, Bang, Papa rindu kalian.Semenjak itu juga, Dion semakin menjauh dariku. Entah apa yang membuatnya berubah seperti ini. Padahal biasanya apapun kondisiku, dia akan selalu ada untukku. Tapi kini, dia seperti menjadi orang asing."Dokter bisa langsung istirahat, karena masih belum ada pasien lagi," ucap asistenku memberitahukan.Aku hanya mengangguk diam dalam sepi.Benar. Akun sosial media Diana. Sepertinya masih sama. Tiba-tiba saja aku teringat untuk menghubungi Diana lewat sosial medianya. Karena nomor handphonenya sudah tidak bisa dihubungi. Sepertinya dia langsung mengganti kartu SIM-nya untuk menghindariku supaya tidak ada celah untuk bertemu anak-anak.Dasar licik.Belum sempat aku membuka aplikasi biru, ada beberapa pesan masuk ke aplikasi hijau. Ternyata dari Milla.[Ap
Aku tertegun mendengar perkataan Papa. Benar, anak-anakku berbeda. Mereka spesial. Itulah kenapa aku lebih menghawatirkan Radit dan anak-anaknya daripada Fahri dan Faiz. Tapi kenapa tidak ada yang faham dengan kondisiku? Termasuk Dion, dia malah semakin menjaga jarak denganku."Fahri dan Faiz anak hebat, Pa. Cara berpikir mereka tidak seperti anak-anak pada usianya. Itu salah satu alasan yang membuatku tidak terlalu mengkhawatirkan mereka," jelasku bangga. Papa dan Mama menatapku nyalang."Mereka memang anak-anak yang hebat. Tapi bukan karena kau! Mereka hebat karena terlahir dari wanita yang hebat," teriak Papa murka."Tentu saja karena gen dariku. Diana hanyalah anak kampung. Tepatnya anak seorang petani." ucapku menggebu. Tapi aku hanya bisa mengatakannya dalam hati. Bisa-bisa Papa tambah ngamuk jika aku mengatakannya langsung.Bagaimana bisa gen anak-anak dari Diana, pasti dariku. Tidak salah lagiAku sadar kesalahanku. Tapi juga tidak suka ketika mendengar siapapun menjelek-jelek
Setelah beberapa hari dari Fahri dan Faiz yang melihat Papanya menjemput anak orang kain membuat mereka tidak pernah menanyakan perihal papanya lagi. Biasanya tiap siang atau malam, mereka akan menanyakan beberapa pertanyaan.”Ma, apa Eyang tidak akan sedih ketika mendengar kita pergi?" tanya Faiz. Diana bernapas lega. Untunglah yang ditanyakan adalah eyangnya."Eyang pasti sedih. Tapi tidak akan lama," jelas Diana."Kenapa, Ma?" Faiz menimpali."Karena Eyang sudah tahu bagaimana Papa sekarang." Dengan hati-hati Diana menjelaskan. Meskipun Diana merasakan sakit yang luar biasa ketika anak-anak menyebut nama dokter Burhani, tapi tetap saja dia adalah ayah mereka."Jadi, apa benar kalau Papa sudah tidak sayang lagi sama kita?" tanya Faiz meratap. Lagi-lagi pertanyaan ini yang keluar. Tidak hanya Faiz, tapi Fahri pun demikian. Kembali Diana teringat luka yang setiap saat digoreskan oleh suaminya itu. Meskipun pikiran mereka seperti anak dewasa, tapi tetap saja mereka masih anak-anak yang
Emosiku seketika meluap. Beraninya Alena mengatakan wanita ul*r. Sepertinya selama ini aku terlalu baik padanya. Milla bukan wanita sembarangan, aku sudah mengenalnya jauh sebelum menikah dengan Diana.”Alena benar. Aku akan coba memberikan bukti di depan matamu siapa itu Karmila Pratama!" desis Dion yang saat ini menatapku penuh dengan kebencian.”Itu tidak perlu! Siapa kau berani-beraninya mencurigai istriku?" Aku pun menatap matanya dengan sinis. ”Aku berani melakukan ini karena hatimu sudah tertutup Burhani! Andai saja kau pintar sedikit saja, maka kau sudah bisa melihat semuanya," ucapnya berapi-api."Ini rumah sakit! Perhatikan tingkahmu!" ucapku memperingatkan Dion. Sebentar lagi masuk waktu kerja, aku pun tidak ingin membuang-buang waktu dengan omong kosongnya."Aku mengingatkan karena aku masih peduli padamu," lirihnya yang terdengar sebelum aku meninggalkannya sendiri.Para pasien pasti sudah bersiap untuk diperiksa."Belum ada pasien?" Aku bertanya pada asistenku. Biasanya
Meksipun aku bisa mengeceknya sendiri, tetapi aku lebih memilih untuk membangunkan Mas Arif lebih dulu. Biar kita keluar berdua nanti. "Mas, sudah jam empat." Mas Arif hanya menggeliat. Matanya sempat terbuka sedikit, tetapi kembali tertidur. "Mas, ada orang yang berteriak di luar sambil menggedor-gedor pintu. Aku takut kalau keluar sendiri," bisikku di telinganya. Mas Arif kembali membuka mata. Kali ini langsung bangun dan duduk. Kelemahan Mas Arif memang kalau aku mengatakan takut. Karena semenjak gadis dan menjadi istrinya, aku memang mempunyai sikap yang penakut. Jangankan pergi ke warung, ke kamar mandi saja aku harus diantar, dan Mas Arif adalah orang yang selalu setia menemaniku. "Siapa kira-kira yang ada di luar?" tanyanya sambil mencoba untuk duduk. "Tidak tahu, Mas. Apa mungkin hantu?" tanyaku pura-pura takut. "Mana ada hantu jam empat begini, bentar lagi juga magrib. Mereka pasti langsung berlari ketika adzan subuh berkumandang," ucapnya tertawa kecil. "Kamu kan sel