Mataku terbelalak begitu membaca pesan yang ternyata berasal dari mas Arka.Apalah maunya orang ini. Setelah berpisah baru bersikap baik. Tumben-tumbenan juga dia bilang kangen anaknya. Baru juga beberapa hari, sedangkan berbulan-bulan saja dia tidak kangen."[Tumben kamu kangen sama Musda?]" balasku."[Musda itu anakku, wajar donk aku kangen padanya? Aku pengen bertemu, dimana sekarang kamu tinggal?]""[Aku sekarang tinggal di rumah papa dan mamaku,]"Lama tidak kunjung dibalasnya pesanku, padahal sudah centang biru. Mungkin dia syok ketika mengetahui aku sudah kembali pada keluargaku. Sebenarnya aku sedikit takut kalau sampai mas Arka beneran berani datang kesini. Bukan apa-apa, hanya saja papa dan mama pasti akan sangat marah. Tapi, biar bagaimanapun mas Arka adalah Ayahnya anakku. Aku tidak mau anakku tumbuh tanpa mengenal sosok ayahnya. Dilema untukku, tapi ini semua demi gadis kecilku itu. "Maaf, Non, ditunggu nyonya untuk sarapan," salah satu asisten rumah tangga mama datang
"Musdaaaa … ya Allah!"Aku langsung menubruk tubuh yang sedang tergolek lemah di atas aspal. Ku peluk erat tubuhnya yang sudah berlumuran darah itu. Aku menangis penuh sesal. Ini semua salahku."Mbak, cepat anaknya dibawa ke rumah sakit. Ntar keburu kehabisan darah itu!" celetuk salah seorang yang mengerubungi kami, membuat kesadaranku seketika kembali."Tolong … tolongin saya!" ucapku sambil mulai mengangkat tubuh kecil itu."Ada apa ini?" Tiba-tiba terdengar suara bariton bertanya di antara kerumunan itu, lalu setelahnya munculah seseorang yang aku kenal."A--aldo …," ucapku terbata ketika melihat."Rada! Apa yang terjadi?" tanyanya."Aldo, tolong!""Ayo cepat masuk ke mobilku," ajaknya sambil mengambil Musda dalam gendongannya.Orang-orang yang mengerubungi kami tadi segera menyingkir, memberikan jalan pada kami menuju mobil yang ternyata berada tidak jauh dari trotoar tempat Musda tergeletak tadi.Aku masuk terlebih dahulu di kursi belakang, lalu Aldo memberikan Musda untuk ku pa
"Tidaaak!" aku berteriak histeris."Ini tidak mungkin! Musdaku! Anakku sayang, maafin Bunda, Nak?" kembali aku meracau tidak jelas."Dokter tolong lakukan semua yang terbaik! Akan saya bayar berapapun biayanya!" Papa mengguncangkan tubuh Dokter itu.Aku menatap wajahnya dengan tatapan memohon, tapi ekspresi wajah Dokter yang masih terlihat tampan meski usianya sudah tidak muda lagi itu justru membuatku sedikit bingung. Bagaimana tidak, jelas terlihat dari raut wajahnya kalau dia seperti orang yang kebingungan."Kenapa? Kenapa Dokter terlihat bingung?!" tanyaku sambil mengusap air mata di pipiku."Saya kan belum selesai bicara, kenapa kalian sudah sangat panik?!""Maaf," ucapku.Aku menyadari kesalahpahaman ini dan menunduk malu karena sudah bereaksi berlebihan tadi."Jadi begini Pak, Bu, saya minta maaf karena saat ini keadaan anak ibu masih dalam keadaan kritis! Dan anak ibu membutuhkan donor darah secepatnya. Dia kehilangan banyak darah karena luka di kepalanya cukup parah," Dokter
Pov. AldoPagi ini aku bangun kesiangan, gara-gara semalam keasyikan main game, membuatku lupa waktu hingga dini hari baru tidur.Dengan terburu-buru aku mandi, ah bukan mandi karena hanya kepalaku saja yang basah. Aku hanya menggosok gigi dan mencuci muka saja. Setelahnya kubuka lemari pakaianku dan ternyata isinya hanya tertinggal satu kemeja menggantung dan warna pink pula. Ah, siapa pula yang sudah membeli kemeja ini, pasti mama. Ku buka pintu lemari sebelahnya dan akupun sempat frustasi karena tidak ada celana maupun baju tersisa. Huh, kemana semua baju didalam lemari ini pindahnya.Aku menepuk keningku pelan. Bodohnya aku, bukankah semua bajuku masih di keranjang cucian karena belum sempat aku setrika sehabis dicuci kemarin.Ini semua gara-gara ART ku yang mendadak minta keluar seminggu yang lalu. Katanya dia akan menikah. Sudah seminggu ini juga aku mengurus segala keperluanku sendiri, bahkan membersihkan rumah juga ku lakukan. Mau bagaimana lagi aku belum punya istri.Aku ber
"Kau …!" Suaraku tercekat di tenggorokan. Geram sekali aku melihat laki-laki pongah yang tidak berperasaan ini. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu, sedangkan yang membutuhkan darahnya adalah anaknya sendiri, darang dagingnya.Rada bangkit dari duduknya, dia berdiri dan menatap benci ke arah Arka."Kami tidak akan pernah bersujud padamu! Aku yakin Musda akan baik-baik saja walaupun tanpa pertolongan Ayahnya! Ayah macam apa kamu yang tega pada anaknya! Kupikir kamu sudah benar-benar menyesal karena selama ini sudah abai sama Musda ketika kamu bilang kangen dan ingin bertemu, tapi ternyata itu semua hanya tipu muslihatmu.""Pergilah! Musda tidak butuh Ayah sepertimu! Dia sudah punya keluarga yang peduli padanya!"Arka terpaku di tempat mendengar yang diucapkan Rada. Mungkin dia tidak menyangka tanggapan yang diberikan Rada. Mungkin juga dia berfikir Rada akan bersujut dan memohon padanya.Aku kagum pada Rada, dia wanita hebat. Wanita yang kuat."Ayo, Mah, Pah, kita masuk!" ajak Rada
"Gimana, Musda?" tanya Mama begitu aku turun. Mama sedang duduk di ruang makan."Sudah tidur," jawabku pelan.Ku hembuskan nafas yang terasa berat. Melangkan menuju dapur untuk mengambil air minum. Mama mengikutiku dengan tatapan tanya.Saat ini kami sudah berada di rumah. Setelah kejadian Aldo dibawa oleh polisi tadi siang, papa memintaku untuk pulang terlebih dahulu dengan mama.Papa bilang, dia akan menghubungi pengacaranya untuk mengurus kasus Aldo dan tidak perlu untuk memberitahu orang tuanya Aldo."Keterlaluan mantan suamimu itu! Anaknya sakit tidak menengok sama sekali. Ketika bertemu malah seolah-olah tidak melihat. Apa selama ini sikapnya begitu terhadap Musda?" Mama berkata dengan geram."Tidak terlalu, sih, Mah. Dulu dia itu memang tidak pernah memperhatikan anaknya, tapi, dia itu peduli pada Musda, aku tahu itu," jawabku sambil menerawang membayangkan dulu."Tapi, aku sungguh tidak menyangka dia akan setega ini sama Musda. Sungguh aku akan membalasnya, Mah," sambungku de
"Apa rencanamu, Nak?" tanya Paman terlihat antusias.Aldo pun menjelaskan panjang lebar, dia sudah mencari tahu bahwa perusahaan tempat mas Arka bekerja tengah dilanda pailit dan sedang membutuhkan suntikan dana dari luar. Di perusahaan itu Arka merupakan salah satu orang yang kinerjanya sangat bagus dalam memajukan perusahaan itu. Untuk itulah tidak mudah untuk menyingkirkannya karena pemilik perusahaan itu sangat mempercayainya."Bagaimana kalau kamu yang masuk ke perusahaan itu? Itu pasti akan sangat mengejutkan buat Arka," Aldo menatapku."Tapi, bagaimana caranya?" tanyaku."Itu gampang, nanti biar aku yang mengaturnya," jawabnya."Pah, Papa setuju kan kalau kita mengadakan kerja sama dengan perusahaan itu?" Aldo beralih pada Paman."Its ok, tidak masalah, tapi kamu harus memastikan dulu bahwa perusahaan itu bisa berkembang nantinya jika kita memberikan bantuan dana," tegas Paman."Tenang, Pah, dulunya perusahaan itu cukup berkembang walaupun masih kecil. Hanya sudah dua tahun bel
"Aku istri barunya mantan suaminya," jawab Melly mendahului menjawab.Waw! Percaya diri sekali dia mengakuinya."Jadi … Arka itu mantan suami kamu, Da?" tanya Rini seolah masih tidak percaya."Ya begitulah," ujarku malas."Oh iya, Mbak, kok kamu bisa ada disini, sih?""Loh, memang kenapa kalau Rada ada disini? Ini rumah, rumahku, terserah aku dong mau menerima tamu siapapun!" tukas Rini tak suka."Yee … aku kan cuma nanya, gitu aja sewot!" cibir Melly."Rin, sini ikut aku!" Melly menarik tangan Rini menjauh dariku."Apa sih, Mbak! Nggak usah pake tarik-tarik juga kali!" ucap Rini tak suka. Tapi, mau tak mau tetap mengikuti karena Melly sudah menarik tubuhnya.Aku menggelengkan kepala melihat tingkah mereka. Karena aku jenuh di tinggal sendirian, akhirnya aku bermaksud keluar untuk melihat Musda dan Sinta di taman. Ketika langkahku baru saja sampai di ruang tamu, samar-samar aku mendengar perdebatan dua orang dan aku yakin itu Rini dan Melly. Ku pasang telingaku baik-baik untuk menden