Share

pertemuan tidak terduga

Pagi ini aku bangun dengan semangat, karena hari ini aku akan memulai pekerjaan pertamaku. Walaupun semalam ada kejadian tidak mengenakkan, tapi entah kenapa aku sudah tidak memikirkannya lagi. Mungkin karena sekarang aku sudah mempunyai pekerjaan dan aku pun sudah mendapat maaf dari orang tuaku sehingga semuanya jadi terasa ringan dan mudah.

Ting!

Terdengar bunyi notifikasi dari gawai jadulku. Aku yang sedang memakai baju buru-buru mengambilnya karena aku takut itu pesan dari pak Agus.

[Jangan lupa hari ini kamu ambil laptopnya!] pesan dari pak Agus, benarkan dugaanku tadi.

[Siap, Pak, nanti saya kabarin kalau sudah berangkat,] balasku.

Rencananya aku akan mengajak Musda sekalian mau mengajaknya jalan-jalan. Aku dandani gadis kecilku itu membuatnya semakin terlihat cantik.

"Mau kemana, Sayang? Kok udah cantik aja pagi-pagi gini anak ayah," sapa Mas Arka ketika melihat Musda sudah rapi siap untuk pergi.

"Mau jalan-jalan sama Bunda, Yah," jawab Musda dengan gaya manjanya.

Sekilas dia melirikku, entahlah apa yang dipikirkannya aku tak peduli.

"Kamu nggak bikin sarapan dulu? Pagi-pagi gini mau kemana?" tanyanya sambil menatapku.

"Kok kamu nyuruh aku, Mas?! Bukankah semalam kamu sendiri yang bilang kalau Melli yang akan mengatur semua keperluan rumah! Suruhlah dia untuk memasak! Aku tidak mau lagi ikut campur urusan rumah. Tugasku sekarang adalah mengurus Musda dan diriku sendiri," ujarku mengingatkan apa yang sudah diucapkannya semalam.

"Sekarang sudah makin berani ya kamu sama aku, nggak aku kasih uang lagi baru tau rasa!" ucapnya mencoba menggertakku.

"Terserah kamu ajalah, Mas, aku nggak peduli mau kamu kasih uang atau tidak! Yang penting kamu tidak melupakan kewajibanmu sebagai ayah," jawabku santai.

Aku hanya tertawa dalam hati, lihat saja nanti kalau aku sudah gajian. Bahkan gajiku bisa dua kali lipat dari gajinya.

"Musda pergi dulu ya, Yah?" pamit Musda sambil mengambil tangan dan mencium Ayahnya. Ah, gadis kecilku itu memang pandai.

Baru saja aku keluar dari pintu depan, sudah terdengar suara ribut dari dalam rumah. Terdengar suara mas Arka membangunkan istri kesayangannya itu. Aku hanya menggelengkan kepala, ku pikir Melli beneran rajin orangnya tapi ternyata rajinnya dia kemarin karena ada maunya.

¤¤¤¤¤¤

Sengaja aku mengajak Musda untuk berjalan sampai taman kompleks, selain jaraknya yang tidak terlalu jauh dari rumah, di sana juga biasanya banyak nongkrong para pedagang kaki lima. 

Rencananya aku akan membeli nasi uduk kesukaan Musda dan menyantapnya di kursi taman.

Baru saja aku menyuapi Musda dua suapan, tiba-tiba terdengar sapaan suara cempreng dari sampingku.

"Eh, Mbak Rada, tumben banget sarapan disini?" tanya Yuni, tetangga samping rumahku. Rupanya dia juga tengah menyuapi anaknya, tampak beberapa ibu-ibu kompleks bersamanya.

"Iya ini, Bu. Musda lagi pengen nasi uduk katanya. Oiya sini lo ibu-ibu kita sarapan bareng-bareng!" ajakku ramah pada mereka, sebenarnya malas aku berkumpul-kumpul seperti ini karena nanti ujung-ujungnya hanya ngerumpi. Tapi, karena sudah kepalang basah bertemu mereka, ya mau nggak mau.

"Iya, Mbak. Ih, Mbak Rada ini sekarang beda banget ya, makin cantik!" puji Bu Wati yang merupakan RT di kompleks dan di angguki oleh ibu-ibu yang lain tanda setuju dengan perkataannya.

"Ah, masa sih, Bu? Jadi geer saya," ucapku malu-malu kucing.

"Beneran! Biasanya ketemu di tukang sayur rambut di sanggul sama dasteran doang!" tambah Bu Retno.

"Oya, Mbak Rada, kemaren itu saya lihat ada perempuan berambut pirang lagi jemurin baju di belakang rumah, itu siapa ya?" tanya Mbak Yuni mulai kepo, wajar saja dia melihatnya mengingat rumah kami yang bersebelahan.

"Saudaranya mungkin," Bu Retno malah yang menjawab seolah-olah paling tahu.

"Bukan, Bu, wanita itu istri mudanya mas Arka," jawabku santai seolah biasa saja.

"Apaa!!" teriak mereka berbarengan.

"Seriusan, Mbak?" tanya Bu Retno memastikan.

Aku hanya mengangguk dan tetap menyuapi Musda makan.

"Jadi, maksud sampean, wanita itu madumu, begitu?" ujar Bu Retno masih belum percaya.

"Iya," ucapku dengan santai seolah-olah tidak ada hal aneh.

"Kok sampean mau sih, Mbak, pelakor itu tinggal di rumah sampean?!" tanya Mbak Yuni.

"Ho'oh, kalau aku udah ku bejeg-bejeg tuh mukanya pake ulekan! Gemes aku lihat Mbak Rada kok biasa aja gitu," tambah Mbak Wati terlihat emosi.

Memang benar ya kalau untuk sesama perempuan yang sudah di khianati, emak-emak berdaster pasti kompak membela. Ah, aku ada ide! Sepertinya mereka bisa aku manfaatkan untuk mengerjai Melli.

"Sebenarnya saya juga sedih, Bu, wanita mana yang tidak sakit hatinya saat tiba-tiba suaminya sudah menikah lagi! Tapi saya bisa apa? Tau sendiri saya disini tidak punya siapa-siapa," ujarku memulai akting sedih.

"Yang sabar ya, Mbak," ujar Mbak Yuni sambil mengusap punggungku.

"Saya hanya kasihan sama anak saya saja, makanya masih bertahan di rumah itu. Kalau saya ada keluarga mungkin sudah saya tinggalin, apalagi semuanya sekarang dikuasai sama pelakor itu," ujarku sedih.

"Ya Allah, kasian banget sih, Mbak, gimana kalau kita bantu mengusir pelakor itu Bu, Ibu, setuju nggak?" Bu Retno mengutarakan idenya.

"Iya, Bu, saya setuju, apalagi mereka belum laporan sama suami saya selaku RT disini," ujar Bu Wati mendukung.

"Terserah ibu-ibu aja gimana baiknya, tapi jangan libatkan saya, ya? Soalnya saya takut kalau mas Arka tahu dia akan langsung menceraikan dan mengusir saya," jawabku seolah-olah takut diceraikan, padahal aku tidak peduli, aku hanya akting untuk mendapat dukungan mereka.

Kita lihat apa yang akan dilakukan oleh para emak berdaster ini nanti.

¤¤¤¤¤¤

Setelah cukup lama tertahan di taman dan para emak-emak satu persatu akhirnya pamit pulang, aku bermaksud untuk segera menemui pak Agus. Pasti beliau sudah menungguku di kantor.

Aku menaiki taksi menuju kantor tempatku bekerja. Ketika sampai di halamannya segera aku turun bersama Musda dan mulai masuk ke dalamnya. Aku menuju ke resepsionis untuk bertanya dimana ruangan  pak Agus.

"Sudah ada janji sebelumnya, Bu?" tanya resepsionis itu ramah.

"Sudah, Mbak,"

"Baiklah, tunggu sebentar ya?" ucapnya kemudian menelpon seseorang. 

"Silahkan langsung masuk, Bu, ibu bisa memakai lift dan tekan angka sepuluh, nanti langsung sampai di depan ruangan pak Agus," lanjutnya setelah selesai menelpon seseorang dan mengarahkan aku untuk menaiki lift.

"Terima kasih, Mbak," ucapku tersenyum kemudian menarik tangan Musda dan melangkahkan kaki menuju ke dalam lift yang sudah terbuka.

Tok! Tok! Tok!

Aku mengetuk pintu yang bertuliskan direktur itu.

"Masuk!" terdengar perintah dari dalam.

Ku buka pintu itu dan terlihatlah di dalam Pak Agus tengah menungguku.

"Hai … anak manis, sini salim sama kakek," ucap Pak Agus menyebut dirinya kakek begitu melihat Musda bersamaku.

Dengan sungkan Musda mendekat dan mengambil tangan Pak Agus lalu menciumnya.

"Anak pintar," pujinya.

Aku tersenyum menanggapi pujian itu. Gadis kecil nan cantikku itu memang anak yang pintar, aku begitu bangga memilikinya.

"Musda mainan hp disitu, ya? Bunda mau bicara dulu sama kakek," ujarku sambil memberikan gawai jadulku dan menunjuk sofa yang ada di dalam ruangan ini.

Setelah melihat gadisku itu mulai asyik dengan gawaiku, aku pun kemudian duduk di kursi seberang meja tempat Pak Agus duduk.

Setelah membicarakan bagaimana cara kerjaku nanti dan menjelaskan semuanya, Pak Agus kemudian mengambil dua bingkisan dan memberikannya padaku.

"Apa ini, Pak? Ini buat saya?" tanyaku setelah menerima dua bingkisan yang satunya besar dan kecil.

"Buka saja," ujarnya santai kemudian menghampiri Musda yang tengah asyik bermain hp.

Aku terperangah begitu membuka kedua bingkisan itu. Mataku berkaca-kaca, seketika itu rasa haru menyeruak dalam dada hingga tanpa terasa bulir bening itu menetes dari sudut mataku.

¤¤¤¤¤¤¤

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status