Share

Part 4 : Kejutan yang Tragis

 “Denny? Kamu juga datang?” Diana berusaha untuk tenang dari pesona sang mantan yang dulu sangat jauh berbeda. Kini sosok Denny benar-benar berbeda. Tidak pecicilan dan berantakan seperti saat mereka masih pacaran masa kuliah dulu.

 “Aku juga alumni kampus kita ‘kan?” tegur Denny dengan senyum smirk-nya.

 “Hm … iya, sih. Soalnya reuni tahun-tahun lalu kamu gak pernah datang.”

 “Belum tertarik, baru kali ini kepengen datang.” 

 “Pasangannya mana, nih? Kok laki-laki setampan kamu datang sendiri,” goda Diana berusaha menghilangkan kekakuan antara mereka.

“Udah ada kamu ‘kan yang jadi pasanganku malam ini, buktinya kamu juga datang sendiri.” Denny tertawa lebar hampir seperti mengejek.Diana bingung mau menjawab apa, untung saja matanya melihat Riska datang menghampiri.

 “Wah … ada apa ini? Pasangan harmonis masa lalu hadir bersama malam ini,” ujar Riska sembari menatap kedua temannya bergantian.

 “Ah, nggak datang bareng kok, ini aku juga baru bertemu Denny barusan di sini,” elak Diana sembari memeluk sahabat dekatnya sejak kuliah dulu. Riska tahu banyak tentang hubungannya dengan Denny di masalalu.

 “Yuk, kita duduk di sana, suamiku tuh dah manggil-manggil.” Riska menggamit tangannya Diana dan mengajaknya berjalan ke meja paling pojok ruangan. Suami Riska terlihat sudah ada di sana. Denny kemudian juga berjalan mengikuti di belakang kedua teman kampusnya dulu.

 Sepanjang acara, Denny selalu menempel pada Diana. Membuat wanita yang kesepian ditinggal suaminya itu merasa kembali ke masa lalu mereka. Ia bahkan lupa dengan statusnya yang sudah menjadi seorang ibu dari empat orang anak-anak yang masih kecil-kecil. Bernyanyi, bergoyang sambil tertawa cekikikan bersama teman-teman lamanya, benar-benar membuat Diana merasa bahagia. 

“Aku antar pulang ya, Na.” Denny menatap penuh harap.

 Diana tersentak kaget, ketika Denny memanggil nama kesayangannya dulu kala mereka masih pacaran.

 “Hm … makasih, Den. Gak usah, aku bawa mobil sendiri tadi,” tolak Diana sembari melihat jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan hampir pukul dua belas malam. Pesta reuni mereka benar-benar mengasyikkan, sampai Diana lupa melihat jam.

 “Udah tengah malam ini, kamu yakin gak takut? Dulu kamu ‘kan penakut sekali.” Denny mencoba mempengaruhi.

 “Ah … kamu gitu deh, aku jadi takut benaran ini,” rengek Diana sama seperti dulu. Ia lupa kalau mereka sudah bukan lagi pasangan.

“Mana kunci mobilmu? Jangan bandel, kalau kamu nanti ada apa-apa di jalan bagaimana?” Pria tampan itu menyodorkan tangannya.

Ragu Diana mengambil kunci mobilnya dari dalam tas, lalu menyodorkan ke tangan pria masa lalunya itu. ”Mobilmu bagaimana?”

 “Kebetulan tadi aku berangkat naik taksi,” jawab Denny sambil menggamit tangan Diana dan mengajaknya melangkah ke lokasi parkir. Ia memang sudah merencanakan semua ini.

 Tidak berapa lama kemudian mereka berdua sudah duduk dalam mobilnya Diana yang dikendarai Denny. Sepanjang perjalanan, hanya kebisuan yang hadir di antara mereka. Diana terus memalingkan wajahnya menatap lampu-lampu kota dan kendaraan yang melintas di jalanan yang tampak sedikit lengang. Perjalanan menuju rumahnya menjadi terasa sangat jauh. Udara di dalam mobil juga terasa sangat pekat seolah terhalang gas beracun hingga menyesakkan dadanya.

 “Na ….” Denny memanggil memecah kesunyian.

 Masih dengan posisi yang sama, meski telinganya mendengar Denny memanggilnya, Diana enggan untuk menoleh. Yang ia inginkan adalah mereka segera tiba di rumahnya, karena ia terlalu enggan untuk berlama-lama bersama pria masa lalunya itu.

 “Kok diam aja, sih?” tanya Denny sembari mengalihkan tatapannya dari jalan di hadapannya. Ujung mulutnya tertarik sedikit ke atas begitu melihat Diana masih saja melihat ke samping jendela.

 “Lehermu gak sakit apa, miring terus sejak tadi.” Denny akhirnya gak kuat menahan tawanya.

 Diana hanya menghela napas panjang, kepalanya kemudian menunduk, mempermainkan jemari lentiknya.

 “Sepertinya kamu terbebani sekali karena aku mengantarmu pulang ya, Na.”

 “Gak tahu lah, Den. Aku merasa tidak pantas saja berdua dengan laki-laki bukan suamiku di tengah malam begini,” keluh Diana.

 “Beruntung sekali ya, suamimu mendapatkan wanita setia seperti dirimu, Na,” puji Denny tulus.

 “Kamu kenapa masih baik begini sama aku, Denny. Padahal dulu aku menyakiti hatimu.” Diana menoleh ke laki-laki yang masih fokus menyetir itu.

 “Memang aku sudah terlahir baik kok, Na. Mau bagaimana lagi, hahaha.”Denny tertawa geli mendengar ucapannya sendiri.

 “Aku masih penasaran kenapa kamu belum menikah juga sampai sekarang, Den? Tidak mungkin ada gadis yang menolak pria sepertimu.”

 “Sekedar untuk berkencan saja, aku sih gak kehabisan wanita, Na. Cuma untuk menikah, aku belum berminat. Mungkin karena belum menemukan yang benar-benar cocok untukku.”Denny berkata getir. Ucapannya sukses membuat Diana tidak ingin bertanya lagi. Kemudian hanya kebisuan di antara mereka.

 “Den, kita berhenti di simpangan hotel yang itu, ya? Ada banyak taksi di sana buat kamu pulang. Rumahku hanya 100 meter kok ke dalam. Udah gak takut lah.” Diana menunjuk sebuah hotel yang tidak begitu jauh di depan mereka.

 “Okey.” Denny melambatkan laju kendaraan, tidak lama kemudian menghentikan mobil Diana di bahu jalan.

 “Makasih banyak ya, Den, karena sudah mengantarku sampai ke sini.”

 “Gak masalah, Diana. Aku turun dulu ya, itu ada taksi di depan.”

 “Iya, Den. Hati-hati.” Diana kemudian juga turun dari mobil untuk berpindah ke belakang kemudi.

 Denny melambaikan tangan ketika Diana menjalankan kendaraannya menuju rumahnya.

***

[Diana, aku besok pagi pulang ke Samarinda.] 

“Akhirnya kamu pulang juga, Mas. Ini udah hampir dua minggu lho, Mas di sana,” ujar Diana hampir menangis begitu sang suami mengabarinya malam itu.

[Hm … kamu mulai cengeng lagi, yang penting aman semua ‘kan di rumah?]

“Iya, sih, Mas aku jemput ke bandara besok, ya? Jam berapa pesawatnya?”

[Gak usah, aku ‘kan ke bandara Balikpapan dulu, ntar sewa mobil aja ke Samarinda.]

“Oh gitu, ya?”

[Udah dulu kalau begitu, aku mau beres-beres dulu, soalnya besok naik pesawat paling pagi.]

“Iya, Mas.” Diana menjawab pelan, meski sang suami sudah memutus panggilannya.

***

Keesokan harinya Diana terlihat penuh semangat menyiapkan makan siang untuk suami tercintanya, sebab tadi pagi sebelum naik pesawat, suaminya sempat mengabari kalau sekitar pukul satu siang sudah tiba di Samarinda. Wajah cantiknya tampak berseri-seri. Ia benar-benar sudah rindu akan lelakinya yang meski suka mengacuhkannya, Diana tetap tidak bisa berpaling.

“Duh, gimana sih ini, Mas Rey gak nyampe-nyampe, udah hampir jam dua padahal,” keluh Diana sembari melihat jam di dinding ruang tengah tempat ia menunggu untuk ke sekian kalinya.

Sudah berapakali ia mencoba menghubungi ponsel sang suami, tapi tidak diangkat. Padahal setelah turun dari pesawat pukul sepuluh tadi, Rey masih sempat meneleponnya, mengabari kalau sudah tiba di bandara Balikpapan.

Setengah jam kemudian, Diana yang sedang duduk melamun di sofa ruang tengah, kaget sendiri begitu mendengar ponselnya yang tergeletak di meja berbunyi. Wajahnya langsung cerah begitu melihat layar dengan nama ‘Suamiku’ memanggil.

“Masss! Kok lama sekali nyampenya? Katanya tadi jam satu, ini udah hampir jam tiga, lho?” Diana langsung berkicau begitu menerima panggilan dari suaminya itu.

[Maaf, Bu. Apakah benar ini dengan istrinya Pak Reynaldi?]

“Lho, Bapak ini siapa? Kok pakai Hp suami saya?” tanya Diana heran, begitu yang didengarnya bukan suara suami tercintanya, tapi suara laki-laki lain.

[Kami dari kepolisian, Bu. Maaf kalau harus mengabarkan hal ini, kami harap Ibu yang sabar, ya?]

“Ada apa dengan suami saya, Pak?!” teriak Diana histeris, pikirannya sudah ke mana-mana mendengar ucapan polisi yang meneleponnya.

[Mobil yang ditumpangi suami Ibu mengalami kecelakaan di dekat Bukit Suharto dan--]

“Apa?! Kecelakaan? Terus suami saya gimana, Pak? Dia baik-baik saja ‘kan?” Diana berteriak kembali dengan tangis yang kemudian ikut terdengar. Kabar itu benar-benar tidak disangkanya sama sekali.

[Maaf, Bu. Suami Ibu meninggal di lokasi kejadian, sekarang sedang di rumah sakit--]

Suara polisi itu belum selesai mengabari tentang suaminya, Diana sudah melorot jatuh pingsan di sofa tempat ia duduk. Ia benar-benar shock mendengar kabar yang disampaikan oleh petugas polisi itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status