“Denny? Kamu juga datang?” Diana berusaha untuk tenang dari pesona sang mantan yang dulu sangat jauh berbeda. Kini sosok Denny benar-benar berbeda. Tidak pecicilan dan berantakan seperti saat mereka masih pacaran masa kuliah dulu.
“Aku juga alumni kampus kita ‘kan?” tegur Denny dengan senyum smirk-nya. “Hm … iya, sih. Soalnya reuni tahun-tahun lalu kamu gak pernah datang.” “Belum tertarik, baru kali ini kepengen datang.” “Pasangannya mana, nih? Kok laki-laki setampan kamu datang sendiri,” goda Diana berusaha menghilangkan kekakuan antara mereka.“Udah ada kamu ‘kan yang jadi pasanganku malam ini, buktinya kamu juga datang sendiri.” Denny tertawa lebar hampir seperti mengejek.Diana bingung mau menjawab apa, untung saja matanya melihat Riska datang menghampiri. “Wah … ada apa ini? Pasangan harmonis masa lalu hadir bersama malam ini,” ujar Riska sembari menatap kedua temannya bergantian. “Ah, nggak datang bareng kok, ini aku juga baru bertemu Denny barusan di sini,” elak Diana sembari memeluk sahabat dekatnya sejak kuliah dulu. Riska tahu banyak tentang hubungannya dengan Denny di masalalu. “Yuk, kita duduk di sana, suamiku tuh dah manggil-manggil.” Riska menggamit tangannya Diana dan mengajaknya berjalan ke meja paling pojok ruangan. Suami Riska terlihat sudah ada di sana. Denny kemudian juga berjalan mengikuti di belakang kedua teman kampusnya dulu. Sepanjang acara, Denny selalu menempel pada Diana. Membuat wanita yang kesepian ditinggal suaminya itu merasa kembali ke masa lalu mereka. Ia bahkan lupa dengan statusnya yang sudah menjadi seorang ibu dari empat orang anak-anak yang masih kecil-kecil. Bernyanyi, bergoyang sambil tertawa cekikikan bersama teman-teman lamanya, benar-benar membuat Diana merasa bahagia. “Aku antar pulang ya, Na.” Denny menatap penuh harap. Diana tersentak kaget, ketika Denny memanggil nama kesayangannya dulu kala mereka masih pacaran. “Hm … makasih, Den. Gak usah, aku bawa mobil sendiri tadi,” tolak Diana sembari melihat jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan hampir pukul dua belas malam. Pesta reuni mereka benar-benar mengasyikkan, sampai Diana lupa melihat jam. “Udah tengah malam ini, kamu yakin gak takut? Dulu kamu ‘kan penakut sekali.” Denny mencoba mempengaruhi. “Ah … kamu gitu deh, aku jadi takut benaran ini,” rengek Diana sama seperti dulu. Ia lupa kalau mereka sudah bukan lagi pasangan.“Mana kunci mobilmu? Jangan bandel, kalau kamu nanti ada apa-apa di jalan bagaimana?” Pria tampan itu menyodorkan tangannya.Ragu Diana mengambil kunci mobilnya dari dalam tas, lalu menyodorkan ke tangan pria masa lalunya itu. ”Mobilmu bagaimana?” “Kebetulan tadi aku berangkat naik taksi,” jawab Denny sambil menggamit tangan Diana dan mengajaknya melangkah ke lokasi parkir. Ia memang sudah merencanakan semua ini. Tidak berapa lama kemudian mereka berdua sudah duduk dalam mobilnya Diana yang dikendarai Denny. Sepanjang perjalanan, hanya kebisuan yang hadir di antara mereka. Diana terus memalingkan wajahnya menatap lampu-lampu kota dan kendaraan yang melintas di jalanan yang tampak sedikit lengang. Perjalanan menuju rumahnya menjadi terasa sangat jauh. Udara di dalam mobil juga terasa sangat pekat seolah terhalang gas beracun hingga menyesakkan dadanya. “Na ….” Denny memanggil memecah kesunyian. Masih dengan posisi yang sama, meski telinganya mendengar Denny memanggilnya, Diana enggan untuk menoleh. Yang ia inginkan adalah mereka segera tiba di rumahnya, karena ia terlalu enggan untuk berlama-lama bersama pria masa lalunya itu. “Kok diam aja, sih?” tanya Denny sembari mengalihkan tatapannya dari jalan di hadapannya. Ujung mulutnya tertarik sedikit ke atas begitu melihat Diana masih saja melihat ke samping jendela. “Lehermu gak sakit apa, miring terus sejak tadi.” Denny akhirnya gak kuat menahan tawanya. Diana hanya menghela napas panjang, kepalanya kemudian menunduk, mempermainkan jemari lentiknya. “Sepertinya kamu terbebani sekali karena aku mengantarmu pulang ya, Na.” “Gak tahu lah, Den. Aku merasa tidak pantas saja berdua dengan laki-laki bukan suamiku di tengah malam begini,” keluh Diana. “Beruntung sekali ya, suamimu mendapatkan wanita setia seperti dirimu, Na,” puji Denny tulus. “Kamu kenapa masih baik begini sama aku, Denny. Padahal dulu aku menyakiti hatimu.” Diana menoleh ke laki-laki yang masih fokus menyetir itu. “Memang aku sudah terlahir baik kok, Na. Mau bagaimana lagi, hahaha.”Denny tertawa geli mendengar ucapannya sendiri. “Aku masih penasaran kenapa kamu belum menikah juga sampai sekarang, Den? Tidak mungkin ada gadis yang menolak pria sepertimu.” “Sekedar untuk berkencan saja, aku sih gak kehabisan wanita, Na. Cuma untuk menikah, aku belum berminat. Mungkin karena belum menemukan yang benar-benar cocok untukku.”Denny berkata getir. Ucapannya sukses membuat Diana tidak ingin bertanya lagi. Kemudian hanya kebisuan di antara mereka. “Den, kita berhenti di simpangan hotel yang itu, ya? Ada banyak taksi di sana buat kamu pulang. Rumahku hanya 100 meter kok ke dalam. Udah gak takut lah.” Diana menunjuk sebuah hotel yang tidak begitu jauh di depan mereka. “Okey.” Denny melambatkan laju kendaraan, tidak lama kemudian menghentikan mobil Diana di bahu jalan. “Makasih banyak ya, Den, karena sudah mengantarku sampai ke sini.” “Gak masalah, Diana. Aku turun dulu ya, itu ada taksi di depan.” “Iya, Den. Hati-hati.” Diana kemudian juga turun dari mobil untuk berpindah ke belakang kemudi. Denny melambaikan tangan ketika Diana menjalankan kendaraannya menuju rumahnya.***[Diana, aku besok pagi pulang ke Samarinda.] “Akhirnya kamu pulang juga, Mas. Ini udah hampir dua minggu lho, Mas di sana,” ujar Diana hampir menangis begitu sang suami mengabarinya malam itu.[Hm … kamu mulai cengeng lagi, yang penting aman semua ‘kan di rumah?]“Iya, sih, Mas aku jemput ke bandara besok, ya? Jam berapa pesawatnya?”[Gak usah, aku ‘kan ke bandara Balikpapan dulu, ntar sewa mobil aja ke Samarinda.]“Oh gitu, ya?”[Udah dulu kalau begitu, aku mau beres-beres dulu, soalnya besok naik pesawat paling pagi.]“Iya, Mas.” Diana menjawab pelan, meski sang suami sudah memutus panggilannya.***Keesokan harinya Diana terlihat penuh semangat menyiapkan makan siang untuk suami tercintanya, sebab tadi pagi sebelum naik pesawat, suaminya sempat mengabari kalau sekitar pukul satu siang sudah tiba di Samarinda. Wajah cantiknya tampak berseri-seri. Ia benar-benar sudah rindu akan lelakinya yang meski suka mengacuhkannya, Diana tetap tidak bisa berpaling.“Duh, gimana sih ini, Mas Rey gak nyampe-nyampe, udah hampir jam dua padahal,” keluh Diana sembari melihat jam di dinding ruang tengah tempat ia menunggu untuk ke sekian kalinya.Sudah berapakali ia mencoba menghubungi ponsel sang suami, tapi tidak diangkat. Padahal setelah turun dari pesawat pukul sepuluh tadi, Rey masih sempat meneleponnya, mengabari kalau sudah tiba di bandara Balikpapan.Setengah jam kemudian, Diana yang sedang duduk melamun di sofa ruang tengah, kaget sendiri begitu mendengar ponselnya yang tergeletak di meja berbunyi. Wajahnya langsung cerah begitu melihat layar dengan nama ‘Suamiku’ memanggil.“Masss! Kok lama sekali nyampenya? Katanya tadi jam satu, ini udah hampir jam tiga, lho?” Diana langsung berkicau begitu menerima panggilan dari suaminya itu.[Maaf, Bu. Apakah benar ini dengan istrinya Pak Reynaldi?]“Lho, Bapak ini siapa? Kok pakai Hp suami saya?” tanya Diana heran, begitu yang didengarnya bukan suara suami tercintanya, tapi suara laki-laki lain.[Kami dari kepolisian, Bu. Maaf kalau harus mengabarkan hal ini, kami harap Ibu yang sabar, ya?]“Ada apa dengan suami saya, Pak?!” teriak Diana histeris, pikirannya sudah ke mana-mana mendengar ucapan polisi yang meneleponnya.[Mobil yang ditumpangi suami Ibu mengalami kecelakaan di dekat Bukit Suharto dan--]“Apa?! Kecelakaan? Terus suami saya gimana, Pak? Dia baik-baik saja ‘kan?” Diana berteriak kembali dengan tangis yang kemudian ikut terdengar. Kabar itu benar-benar tidak disangkanya sama sekali.[Maaf, Bu. Suami Ibu meninggal di lokasi kejadian, sekarang sedang di rumah sakit--]Suara polisi itu belum selesai mengabari tentang suaminya, Diana sudah melorot jatuh pingsan di sofa tempat ia duduk. Ia benar-benar shock mendengar kabar yang disampaikan oleh petugas polisi itu.“Bu, ada apa? Kok Ibu bisa pingsan begini?” Bau minyak kayu putih yang menyengat di hidungnya membuat Diana pelan membuka matanya. Terlihat Santi--babysitter anaknya serta si bungsu yang menangis menjerit dalam troly-nya, mungkin karena sang pengasuh masih sibuk menyadarkan Diana.Sesaat kemudian Diana bangkit dari tidurnya dan mulai menangis lagi, begitu teringat akan berita kecelakaan suaminya tadi. Setelah cukup tenang, ia meraih ponsel yang tergeletak jatuh di lantai. Diana memencet kembali nomor terakhir yang menghubunginya tadi.[Hallo, Bu? Anda tidak apa-apa?]“Dimana sekarang suami saya, Pak?” tanya Diana langsung tanpa menjawab pertanyaan dari polisi yang masih memegang ponsel suaminya.[Sudah dibawa ke Rumah Sakit AW Syahrani Samarinda, Bu, karena menurut penumpang yang selamat, alamat mereka di kota Samarinda.]“Memangnya ada penumpang yang selamat, Pak?&rdqu
Diana duduk termenung menatap bunga-bunga mawar yang bermekaran di depan jendela kamarnya. Sudah seminggu ia mengurung diri di kamar. Kepergian Rey begitu mengguncang perasaannya. Apalagi setelah mendengar semua rahasia yang disembunyikan dengan rapi oleh sang suami selama pernikahan mereka. Padahal tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Diana benar-benar mengutuk kebodohannya selama ini.“Mas Rey … kenapa kau sakiti aku seperti ini, Mas ….” Air mata membasahi pipi mulusnya. Isak tangisnya kembali terdengar kala mengingat laki-laki yang sudah mengambil semua cinta yang ada di hatinya. Diana masih saja merasa tidak percaya akan semua kenyataan ini. Bagaimana pun juga ia mencoba untuk berdamai dengan apa yang sudah terjadi, tetapi hatinya masih saja terasa sakit, menyesak seluruh rongga di dadanya.Suara ketukan di pintu kamarnya tidak membuat Diana menoleh dari tatapannya yang masih terpaku pada kupu
Hari-hari terus berjalan dan dilewati Diana tanpa terasa. Rasa kehilangannya terhadap sang suami juga sedikit demi sedikit bisa berkurang. Apalagi kesibukan barunya sebagai Direktur di perusahaan peninggalan suaminya itu, bisa mengalihkan kesedihan dan kedukaannya atas kepergian Reynaldi. Diana tidak terlalu mencampuri ke dalam operasional perusahaan, ia percaya Ivan mampu menangani semua yang berhubungan dengan pengembangan perusahaan baik di dalam perusahaan maupun di lapangan. Diana hanya mengawasi dari segi keuangan dan menanda-tangani semua surat-surat penting yang dibutuhkan oleh perusahaan.Tiga bulan pun berlalu. Selama itulah Diana melewati malam-malam sepinya sendiri. Meskipun terlambat mengetahui bahwa suaminya ternyata juga milik wanita lain, tetapi Rey selama ini juga selalu ada di sisinya setiap malam. Alasan ke luar kota pun juga tidak pernah lama. Sekarang Diana baru sadar, mungkin ketika sang suami pamt ke luar kota adala
Beberapa saat Diana tidak bisa berkata apa-apa. Sungguh tak disangkanya, Denny akan melamarnya seperti ini. Wanita yang baru menjanda selama tiga bulan itu hanya diam terpaku menatap lelaki yang juga tengah menatapnya tajam. Ia kemudian mengerjapkan mata dan menelan saliva yang tiba-tiba terasa seret di tenggorokan. “Sepertinya kamu butuh minum, Na.” Denny dengan tersenyum menuangkan coca cola soft drinks yang di atas meja ke dalam gelas kosong yang memang sudah disediakannya untuk sang pujaan hati. “Nih, minumlah,” ujar Denny sembari menyodorkan gelas bertangkai lancip itu.Diana menyambut gelas itu, kemudian meneguknya sedikit. “Hm … jadi bagaimana dengan lamaranku tadi? Masa iddahmu ‘kan sudah berakhir, aku ingin menjadi suamimu secepatnya,” lanjut Denny to the point. “Den … kamu sudah pikirkan masak-masak belum? Aku tuh janda dengan anak empat lho? Bagaimana dengan tanggapan orang tuamu nanti? Teman-temanmu?” ceca
Akhir pekan itu Denny pulang ke rumah orang tuanya di Balikpapan. Jaraknya hanya sekitar dua jam saja dari kota Samarinda. Dua atau tiga kali sebulan, Denny selalu mengunjungi ibu dan kedua adik perempuannya di kota kelahirannya itu. Denny tiba sekitar pukul tujuh malam di rumah orang tuanya. Sang ibu langsung mengajak putra kesayangannya itu makan malam berdua. Kedua adik perempuan Denny kebetulan sedang tidak berada di rumah pada saat itu. “Ma, ada yang ingin aku bicarakan sama Mama,” ucap Denny ketika mereka usai makan malam. Ia ingin segera meminta restu dari ibunya untuk menikahi Diana. “Wah, kebetulan nih, Den. Mama juga ada yang mau dibicarakan sama kamu,” jawab Yanny—sang ibu dengan wajah berseri-seri. “Mengenai apa, Ma?” Denny balik bertanya begitu melihat ibunya yang lebih antusias ingin bicara sesuatu dengannya. “Kamu ingat gak sama Susana putrinya Tante Ning, tetangga kita dulu waktu tinggal di dekat Se
Diana menatap lagi ponselnya untuk ke sekian kalinya. Sudah tiga hari berlalu, tidak ada kabar berita dari Denny sama sekali. Padahal Denny berjanji akan segera mengabarinya hari Senin kemarin sepulang dari Balikpapan. Namun, sampai hari Selasa ini tidak ada juga kabar samasekali dari pria yang beberapa hari lalu begitu ngotot ingin menikahinya.“Apa Denny marah gara-gara penolakanku beberapa hari yang lalu?” pikir Diana galau. Pikirannya kembali melayang pada kejadian di siang hari Jumat itu.Sebenarnya Diana sedikit menyesal dengan kejadian itu, serasa dirinya begitu murahan, tapi ia tetap harus mengakui bahwa aura memikat laki-laki itu begitu kuat. Ia tidak mampu menolaknya. Apalagi sudah tiga bulan ia tidak merasakan sentuhan yang memabukkan dari seorang laki-laki.Diana menghela napas sekali lagi. Ia menyandarkan tubuh pada sandaran kursi sambil menengadahkan kepala. Matanya terpejam. Kembali lagi, bayangan ti
Diana kembali ke ruangannya di kantor. Seulas senyum hadir di bibirnya kala mengusap perutnya yang sedikit menyembul. Makan siang bersama pertamakalinya hanya berdua Ivan, pria yang melahap makanannya dengan nikmatnya itu, membuat Diana tanpa sadar ikut menghabiskan menu makan siangnya tak bersisa. Gulai kepala ikan yang dimakannya tadi benar-benar enak, ditambah dengan sikap Ivan yang mengajaknya mengobrol ini itu. Sangat berbeda dengan sikap pria itu kala mereka berada di kantor. Diana tidak mengira teman suaminya itu begitu menarik di luar kantor. Ia pun merasa nyaman ketika bersama Ivan yang dewasa dan menyenangkan.Suara dering ponselnya dari dalam tas, menyadarkan Diana dari memikirkan sosok Ivan. Terlihat nama yang memanggilnya itu ‘Teman Lama’. Ia belum menggantinya dengan nama Denny, sejak menyimpan nomor itu ketika pertama kali bertemu lagi empat bulan yang lalu.“Hallo ….” Diana menjawab pelan.
Rumah orang tua Diana baru saja sepi dari para kerabat yang datang menghadiri acara arisan keluarga yang mereka adakan usai waktu Magrib tadi. “Ibu, Ayah. Ada yang ingin aku bicarakan,” pinta Diana begitu hanya mereka bertiga yang tersisa di ruang tengah rumah orang tuanya. “Mengenai apa, Diana? Ada masalah di kantormu kah?” tanya sang ibu sambil menatap putri sulungnya. “Bukan masalah di kantor, Bu. Hm … ini mengenai Denny. Ibu masih ingat ‘kan sama dia? Teman dekatku waktu kuliah dulu yang beberapa kali datang ke rumah ini.” “Oh, iya, Ibu ingat kok, apalagi pas kamu nikah sama Rey dulu, dia ‘kan yang datang mabuk-mabukan ke pesta kalian?” Ratih tertawa kecil mengingat pemuda yang datang ke pesta pernikahan anak sulungnya itu. “Iya, Bu, dulu aku memang meninggalkannya dan lebih memilih Mas Rey. Hm … empat bulan lalu aku ketemu Denny lagi pas acara reunian di kampus. Setelah Mas Rey meninggal, Denny jadi seri