Beberapa bulan kemudian ....Sejak kejadian di rumah sakit yang nyaris merenggut nyawa Michael. Musim telah berganti, dan bersama waktu yang terus berjalan, luka-luka Michael pun perlahan sembuh. Kini, tubuhnya kembali bugar seperti semula. Ia kembali beraktivitas, kembali memimpin Horison Steel dengan wibawa dan ketegasan yang tak tergantikan.Setiap harinya ia pulang lebih awal, tak ingin melewatkan satu detik pun bersama wanita yang kini tengah mengandung darah dagingnya. Sahira--istrinya, cinta sejatinya, kini berada dalam masa kehamilan trimester akhir. Perutnya sudah membuncit, kulitnya lebih bercahaya, dan ada pesona keibuan yang memancar jelas dari sosoknya. Baginya, Sahira kini bukan hanya seorang istri, tapi juga ibu dari anak yang sangat dinantikannya.Michael duduk bersila di atas kasur. Ia mengenakan kaus longgar dan celana santai, rambutnya sedikit acak-acakan. Di hadapannya, Sahira tengah duduk bersandar pada bantal besar, mengenakan daster hamil berwarna biru muda yan
Beberapa menit kemudian ...Langkah kaki Evelyn menggema keras di sepanjang lorong rumah sakit. Tumit sepatunya menghantam lantai dengan irama tak teratur, tergesa dan panik. Napasnya memburu, rambutnya sedikit berantakan, dan wajahnya pucat. Begitu mendengar kabar bahwa Michael telah sadar, seluruh isi dadanya seolah pecah—antara syukur dan kekhawatiran. Jantungnya nyaris melompat dari dada.Tanpa menunggu perawat yang mencoba menenangkannya, Evelyn mendorong pintu ruang perawatan dengan tenaga yang nyaris membuatnya terbuka sepenuhnya. Pintu itu terayun ke belakang, memantul ringan ke stopper. Matanya langsung menangkap sosok Michael yang sedang duduk di ranjang—dan Sahira yang duduk di tepinya, masih menggenggam tangan suaminya erat-erat.“Michael!”Suara Evelyn bergetar, pecah oleh emosi yang tak terbendung.Sahira tersentak pelan dan segera berdiri, memberi ruang bagi ibu mertuanya yang langsung menghampiri ranjang. Evelyn menjatuhkan tubuhnya ke sisi tempat tidur dan langsung me
“Sahira?” gumam Michael.Sahira tersenyum lagi, tapi kali ini lebih getir. “Iya, ini aku, Sahira ... istrimu.”Michael mengerutkan kening, mencoba mengingat sesuatu. Tapi kemudian ....“Maaf, aku tidak mengenalmu.”Deg!“Tidaak!” Sahira menggeleng. Dia ingat betul suaminya itu tidak terbentur saat tertembak tempo lalu. Tapi kenapa tidak mengingatnya?“K-kau, tidak ingat aku?”Sahira berdiri kaku di samping ranjang. Pandangannya terpaku pada wajah Michael yang tak menunjukkan ekspresi apa pun. Jantungnya berdegup begitu kencang, rasanya seperti akan pecah di dada. Dia masih terdiam, mengulang-ulang kata-kata Michael dalam benaknya: “Aku tidak mengenalmu.”Bagaimana bisa?Tubuh Sahira mulai gemetar. Tangannya yang semula menggenggam selimut ranjang Michael kini perlahan terlepas. Ia menatap suaminya dengan wajah penuh luka, seolah dunia baru saja merenggut semua harapannya.“Michael … tolong … jangan bercanda seperti ini,” gumamnya pelan, nyaris putus asa.Michael menatapnya tanpa berk
Suasana langit pagi mulai merona kemerahan ketika mobil yang ditumpangi David dan Sahira melaju di jalanan yang masih basah oleh hujan. Pepohonan di sisi jalan bergoyang perlahan ditiup angin pagi, namun di dalam mobil, udara terasa lebih panas oleh degup jantung yang berpacu cepat.Sahira duduk di kursi penumpang depan, tubuhnya condong ke depan, kedua tangannya menggenggam erat sabuk pengaman yang melintang di dadanya. Matanya berkaca-kaca, menatap lurus ke depan seolah ingin menembus jalanan, berharap rumah sakit segera muncul di ujung pandangan.“Lebih cepat, David … tolong,” bisiknya, suaranya nyaris patah. “Aku … aku harus lihat dia ….”David, yang duduk di belakang kemudi, menoleh singkat padanya lalu mengangguk cepat. “Aku tahu. Kita akan sampai. Bertahan sebentar lagi, Sahira.”Suara mesin mobil menggeram lebih keras ketika David menekan pedal gas lebih dalam. Keheningan di antara mereka hanya diisi oleh suara napas Sahira yang tidak beraturan dan gemetar. Ia terus berdoa dal
Dua jam berlalu sejak David melakukan panggilan yang penuh harap itu. Di tengah udara dingin rumah sakit yang menyelimuti lorong-lorong sepi, jam digital di dinding menunjukkan pukul 02.15 dini hari. Langkah-langkah perawat yang lalu-lalang terdengar sayup, sementara cahaya temaram dari lampu gantung menciptakan bayangan kelabu di lantai mengilap.David berdiri di depan ruang ICU, tepat di balik kaca tebal yang memisahkan dunia kehidupan dan kematian. Di dalam sana, Michael terbaring lemah dengan alat-alat medis menempel di tubuhnya. Mesin pemantau detak jantung menunjukkan garis hampir datar—tanda bahwa waktu mereka sangat terbatas.Suara pintu darurat berderit, memecah keheningan malam. Seorang pria tinggi berbalut jaket kulit hitam dan tas besar di tangannya melangkah masuk, matanya menyapu cepat ke sekeliling sebelum berhenti pada sosok David.David langsung bergerak menghampiri. “Kau orangnya?”Pria itu mengangguk. “Aku sudah mendapat instruksi. Di mana pasiennya?”David segera m
David duduk seorang diri di ruang kerja, tubuhnya bersandar lemas di kursi kulit cokelat tua. Tangannya gemetar saat menggenggam ponsel, menatap layar yang menampilkan nomor seseorang yang selama ini hanya menjadi pilihan terakhir.Sudah tiga kali ia menimbang-nimbang. Berkali-kali ia mengangkat ponsel, lalu menaruhnya kembali. Tapi waktu terus berjalan, dan kondisi Michael tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Dokter sudah angkat tangan, dan Sahira mulai kehilangan harapan.David menarik napas panjang, lalu akhirnya menekan tombol hijau di layar.Suara di seberang menjawab cepat. Dalam getaran suaranya, terasa seperti orang itu sudah tahu mengapa ia dihubungi.“Aku tunggu sebelum 24 jam,” ucap David dengan nada yang dalam dan tegas, seolah sedang membuat perjanjian dengan malaikat maut, “kau harus sudah datang dan menyelamatkan Michael. Apa pun caranya.”“Dimengerti,” jawab suara berat dari seberang. “Aku akan sampai sebelum pagi menjelang.”Klik!Telepon dimatikan. David menghela