Malah hari.Waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba.Jonathan berdiri di depan jendela besar di ruang kerja, memandangi halaman yang mulai dipenuhi oleh orang-orangnya. Lencana tengkorak itu masih ada di genggamannya, seperti bara yang terus membakar kemarahannya.Di belakangnya, Sahira masih berdiri dengan ekspresi penuh keraguan. Ia mengenal Jonathan selama satu bulan ini, sebagai sosok yang tidak akan mundur jika sudah mengambil keputusan, tapi kali ini taruhannya terlalu besar."Apa kau benar-benar ingin melakukan ini, Kak Joe?" Sahira akhirnya bersuara, suaranya terdengar ragu.Jonathan mengalihkan pandangannya ke arah wanita itu, menatapnya dalam. “Kau sendiri yang melihat apa yang terjadi hari ini, Sahira. Orang itu hampir membunuhmu.”Sahira menggigit bibirnya. Ia tidak bisa menyangkal fakta itu. Jika Jonathan tidak cepat menangani situasi, mungkin sekarang dia sudah mati di tangan anak buah Michael. Tapi tetap saja, menyerang Michael secara langsung membuatnya gamang.“Kau b
Malam hari.Kediaman Michael berdiri megah di tengah kompleks luas dengan penjagaan ketat. Suasana tampak tenang, tapi di balik itu, Jonathan dan pasukannya sudah bersiap untuk menyalakan api perang.Sahira berdiri di antara anak buah Jonathan, napasnya stabil meski hatinya berdegup kencang. Ini adalah saatnya—momen di mana ia akan menghadapi iblis dari masa lalunya.Pria yang sudah menghianatinya. Membuat hatinya hancur berkeping-keping.Hufftt!Sahira menghela napas, melihat banyaknya senjata yang akan digunakan untuk menyerang Michael. Entah kenapa batinnya terusik.Jonathan berdiri di depan mereka, matanya tajam, penuh kebencian. "Kita tidak punya banyak waktu. Saat ledakan terjadi, kita masuk dari tiga sisi. Jangan beri mereka kesempatan untuk bertahan."Semua mengangguk. Mereka sudah bersiap.Lalu, dalam hitungan detik ...BOOM!Ledakan kecil mengguncang halaman depan kediaman Michael. Api berkobar dari salah satu kendaraan yang diparkir di luar. Asap tebal membumbung tinggi ke
Darah mengalir dari luka-luka di tubuh Jonathan, tetapi ia tetap berdiri, meski napasnya mulai berat. Pukulan dan tendangan yang diterimanya membuat seluruh tubuhnya terasa remuk. Namun, ia tidak bisa menyerah.Di depannya, Michael masih berdiri tegap, hanya sedikit terengah. Senyumnya licik, matanya penuh kemenangan. Seolah-olah ia tahu dari awal bahwa Jonathan akan jatuh ke dalam perangkapnya."Kau datang dengan percaya diri, tapi lihat dirimu sekarang," suara Michael dingin. "Sendirian. Habis-habisan. Dan ... akan mati malam ini juga."Jonathan mengepalkan tinjunya. Ia memang kehabisan tenaga, tetapi menyerah bukan pilihan.Sekeliling mereka penuh dengan anak buah Michael yang sudah bersiap menembaknya kapan saja. Sementara itu, beberapa anak buah Jonathan yang tersisa masih bertarung mati-matian di luar. Situasi ini lebih buruk dari yang ia duga.“Cih, sialan!”Jonathan mengumpat dalam hati. Michael memang licik. Ia menyusun jebakan dengan rapi. Persenjataannya lebih banyak, pasuk
Darah terus mengalir dari dada Sergio. Matanya terasa berat, tubuhnya melemah.Michael berlutut di sampingnya, menekan luka itu dengan tangannya, mencoba menghentikan pendarahan.“Bertahan, Sergio! Kau dengar aku? Bertahan!”Sergio tersenyum lemah, bibirnya sedikit bergetar, “Sahira … dia …”Michael menggeram, wajahnya dipenuhi amarah sekaligus rasa panik. Ia menoleh ke anak buahnya yang masih tersisa.“Bawa dia ke mobil! Cepat!”Dua orang segera mengangkat tubuh Sergio, membawanya dengan tergesa ke arah mobil.Dari kejauhan, suara sirene polisi mulai terdengar.“Cepat! Kita harus keluar dari sini sebelum polisi datang!” teriak Michael.Mereka memasukkan Sergio ke dalam mobil dengan hati-hati. Michael masuk ke dalam, duduk di sampingnya, tetap menekan luka di dada adiknya.“Jangan tutup matamu, Sergio! Jangan berani-berani mati di hadapanku!”Sergio tersenyum lemah. “Kau … selalu terlalu keras padaku, Mike …”Michael menggertakkan giginya.“Diam! Jangan bicara! Simpan tenagamu!”Mobil
Pagi hari.Cahaya matahari yang menerobos dari celah jendela memenuhi kamar dengan sinar hangat, namun Sahira justru merasa dingin. Dia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke lantai, pikirannya melayang jauh ke kejadian semalam.Pistol itu terasa begitu berat di tangannya. Suara letusan yang memekakkan telinga masih menggema di kepalanya.Sergio ...Sahira menggigit bibirnya, merasakan rasa bersalah yang menyesakkan dada. Dia tidak tahu apakah Sergio masih hidup atau sudah mati. Tapi tatapan lelaki itu sebelum jatuh, senyum getirnya saat darah mengalir dari dadanya, membuat Sahira merasakan sesuatu yang tak bisa dia pahami.Apakah dia benar-benar telah membunuhnya?Sahira menggeleng cepat. Tidak, tidak mungkin. Jonathan bilang mereka harus segera pergi. Tidak ada waktu untuk memastikan.Tapi ... bagaimana kalau benar?Dia tidak bisa terus seperti ini. Dia harus tahu.Dengan langkah cepat, Sahira keluar dari kamar. Dia tidak tahu akan mencari siapa, tapi di luar, suara para anak buah
Sahira berusaha menenangkan napasnya yang memburu. Tangannya mencengkeram erat selimut yang menutupi tubuhnya. Jantungnya masih berdetak begitu kencang, dan kepalanya terasa berdenyut hebat. Dia tak bisa membiarkan siapa pun tahu tentang ini.Dengan suara yang hampir bergetar, dia menatap dokter yang masih berdiri di samping tempat tidurnya. “Dokter,” ucapnya pelan, tapi penuh ketegasan. “Jangan katakan ini pada siapa pun. Aku tidak ingin ada yang tahu, termasuk Kakakku—Jonathan.”Dokter itu mengerutkan keningnya, jelas merasa bingung dengan permintaan mendadak ini. “Tapi, Nona, itu—”Sahira langsung memotongnya. “Tolong, Dok. Aku mohon. Jangan katakan apa pun.” Matanya yang biasanya penuh ketegaran kini berkaca-kaca.Dokter itu menatapnya dengan ragu. “Kenapa? Tapi, Tuan Joe yang memintaku untuk memeriksa Anda. Beliau pasti menginginkan hasilnya.”Sahira menggigit bibirnya, merasa semakin tertekan. “Bilang saja aku baik-baik saja, hanya kelelahan. Aku mohon, Dokter.”Dokter wanita it
Sahira berbaring di atas ranjang dengan tubuh yang terasa lelah. Namun pikirannya tak henti-hentinya berkelana. Tangannya perlahan membelai perutnya yang sedikit buncit. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang tak kasat mata, tapi begitu nyata. Kedutan halus yang baru saja dia rasakan membuat dadanya bergetar hebat.Nyawa ...Ada kehidupan yang bersemayam di dalam tubuhnya.Sahira menelan ludah, lalu meraih gantungan kunci kecil berbentuk sepatu bayi dari meja di samping ranjang. Jemarinya yang ramping memainkan benda itu dengan lembut, sebelum akhirnya menaruhnya di atas perutnya.Dia tersenyum kecil. “Jagoan ... sama seperti ayahnya.”Nada suaranya penuh kasih, tapi juga getir. Dia menghela napas panjang, mencoba menahan gejolak emosinya.Bayinya kuat. Bahkan saat dia bertarung mati-matian, janin itu tetap bertahan. Tidak ada tanda-tanda bahaya. Tuhan tahu betapa Sahira telah melalui pertarungan yang hebat, tapi nyawa kecil ini tetap memilih untuk tinggal bersamanya.Matanya mulai memanas
“Apa ini?”Sahira meneguk ludah.“I-itu ... gantungan ku-kunci.”Jonathan masih diam, tapi tak lama kemudian ...“Hahaha, kupikir apa yang kau sembunyikan.” dia tertawa.Sahira menganga, tak menyangka respon Jonathan seperti ini. Dia pikir Jonathan pintar, bisa menangkap maksud dari benda itu. Tapi ternyata ... sedikit oon juga.Baiklah, Sahira harus berpura-pura tidak tau menau soal benda tersebut.Jonathan masih tertawa kecil melihat gantungan itu. Tak ada rasa curiga sama sekali.“Jadi ini yang kau sembunyikan dariku?” tanyanya, memainkan gantungan berbentuk sepatu bayi di tangannya.Sahira meneguk ludah, berusaha tetap tenang. “Itu cuma gantungan biasa.”Jonathan mengangkat alis, melempar gantungan itu ke udara sebelum menangkapnya lagi. “Kau mulai menyukai barang-barang seperti ini?”Sahira mengangguk cepat. “Aku menemukannya di suatu tempat, dan kupikir itu lucu.”Jonathan mengamati wajah adiknya, seolah mencari tanda-tanda kebohongan. Tapi, tak menemukan apa pun yang mencurigak
Setelah selesai makan siang. Sahira merunduk manja ke dada Michael, tubuhnya melingkar seperti kucing jinak yang mencari kehangatan.Tangannya yang lembut merayap ke lengan kekar Michael, menyusuri kulitnya perlahan, seperti ingin mengukir rasa rindu yang ia tahan sejak pagi.Michael masih menatap layar ponselnya, membaca satu demi satu pesan masuk yang tak pernah berhenti berdatangan. Tapi fokusnya buyar saat suara lembut Sahira membisik halus di telinganya.“Apa ponselmu lebih menarik dari aku?”Pertanyaan itu terdengar manja, tapi ada nada menggoda di dalamnya. Michael menoleh. Sekejap saja, namun cukup untuk melihat tatapan jengkel sekaligus merayu dari Sahira. Tanpa banyak bicara, dia mematikan ponsel, meletakkannya di atas meja kaca dengan suara klik pelan, lalu membalikkan tubuhnya untuk menatap perempuan yang kini bersandar di lengannya.“Tentu saja tidak, sayangku,” ucap Michael pelan, suaranya berat dan penuh senyum. “Kenapa kamu manja begini seperti kucing birahi, hm?”Sahi
Berita tentang bersatunya Horison Steel dan ALX Group mengguncang jagat bisnis internasional. Di berbagai stasiun televisi, situs berita ekonomi, hingga media sosial, nama dua perusahaan raksasa itu terus menjadi perbincangan hangat. Para analis menyebut ini sebagai salah satu penggabungan korporasi paling berpengaruh dalam satu dekade terakhir. Alasan utamanya, bukan hanya karena kekuatan modal dan pengaruh pasar dari dua entitas itu, tetapi juga kabar bahwa dua pemimpin utamanya, Michael Nathaniel dan Alexa J, akan segera menikah.Michael duduk di ruang kantornya yang luas dan mewah. Ruangan itu sunyi, hanya denting jam dan desiran AC yang terdengar samar. Di hadapannya, layar laptop masih menampilkan berbagai laporan merger dan reaksi pasar yang positif. Saham perusahaannya melonjak tajam, investor dari berbagai belahan dunia mulai mengalihkan dana mereka ke sektor baja dan konstruksi. Ini seharusnya menjadi hari yang membanggakan, namun Michael justru menatap layar dengan raut wa
Pagi hari.Cahaya layar monitor memantul di wajah Michael, menyoroti ketegangan yang menggelayut di dahinya. Tangannya bergerak cepat, mengetik dan membuka beberapa file rahasia keuangan miliknya. Pupil matanya menyempit saat angka-angka tak wajar muncul di hadapannya. Beberapa akun sudah tidak aktif. Aset digitalnya hilang. Transfer tidak sah dilakukan dalam jumlah besar. Dan anehnya, semuanya dilakukan tanpa terdeteksi oleh sistem pengamanannya."Ini tidak masuk akal ...," desisnya lirih namun sarat amarah.Jantungnya berdegup lebih cepat. Semua dokumen yang dia buka menunjukkan hal yang sama, pencurian sistematis. Sesuatu yang dirancang dengan sangat cermat dan dilakukan oleh seseorang yang paham betul struktur keamanan keuangan perusahaannya."Siapa yang berani melakukan ini padaku?"Dengan gerakan kasar, Michael menutup laptopnya dan berdiri. Kursi kerjanya terhempas ke belakang. Dia melangkah keluar dari ruang kerja pribadinya menuju ruang tengah, wajahnya memerah karena emosi.
Suasana pusat perbelanjaan mewah di tengah kota terasa ramai, tapi juga hangat. Lampu-lampu kuning keemasan memantul dari lantai marmer yang mengilap. Michael dan Sahira berjalan berdampingan, menyusuri lorong-lorong toko dengan jemari saling terkait erat. Mereka tampak seperti pasangan bahagia yang tengah menikmati waktu santai bersama—meskipun kenyataannya, Michael sengaja membawa Sahira ke sini agar ia melupakan sedikit masalah-masalah mereka belakangan ini.Perut yang berkeroncong membuat mereka berhenti di food court.“Cepat saji dulu, ya? Kita sedang buru-buru,” ucap Michael sambil menunjuk salah satu outlet burger terkenal.Sahira mengangguk, “Tapi kamu yang antre. Aku duduk dulu.”Michael tertawa, mengacungkan jari. “Tentu, Tuan Putri.”Ia memesan dua porsi besar burger, kentang goreng, dan minuman soda sambil sesekali melirik ke arah Sahira yang sedang duduk sambil membuka ponsel. Wanita itu terlihat sangat cantik meski hanya mengenakan atasan santai dan celana jeans putih.
“Mommy!”Michael hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sosok wanita paruh baya berwajah anggun dan penuh wibawa itu berdiri di tengah ruang tamunya, mengenakan mantel wol berwarna krem. Wajahnya berseri-seri, seolah kedatangannya adalah hadiah terbesar yang pernah dia siapkan untuk sang putra.“Hai, sayang. Kenapa wajahmu terkejut begitu? Kau tidak suka Mommy pulang?” tanya Evelyn sambil tersenyum, meski ada sorot tajam tersembunyi di balik matanya.Michael yang semula terkejut mencoba memasang wajah ramah. Dia segera berjalan mendekat dan memeluk ibunya erat-erat.“Tidak, bukan begitu. Aku suka Mommy datang. Tapi kenapa Mommy tidak memberi kabar dulu? Aku pasti menjemput Mommy di bandara.”Evelyn terkekeh kecil, mengelus rambut putranya yang sudah lama tak ia sentuh.“Sengaja, ingin memberimu kejutan.”Namun seiring pelukan mereka mereda, pandangan Evelyn langsung beralih ke arah lain—ke arah seorang wanita muda yang berdiri gugup di sudut ruangan. Sahira. Dengan gaun sederh
Tok! Tok! Tok!Hufftt!Michael menghela napas, meskipun tampak tak terlalu terkejut, segera membuka pintu mobil dan berdiri di samping Sahira, memberi jarak di antara mereka dengan pria misterius yang berdiri di samping mobilnya itu.Pria itu tidak segera berbicara, hanya memandang Michael dengan tatapan tajam. Michael mengernyit, tak mengerti siapa orang ini. Dalam diam, pria itu akhirnya membuka mulut, suaranya dalam dan penuh nada peringatan."Michael .... secepatnya kita perlu bicara."Sahira merasakan ketegangan di udara, tubuhnya sedikit menegang. Ada sesuatu yang tidak beres. Michael menatap pria itu dengan lebih seksama, lalu dengan nada rendah menjawab, "Apa yang kamu inginkan?"Pria itu sedikit tersenyum, tapi senyumnya tidak membuat situasi jadi lebih nyaman. "Kita tidak punya banyak waktu," ucapnya, suara itu terasa mengandung ancaman yang samar. "Ada hal-hal yang sedang bergerak di belakang layar. Jangan bilang aku tidak memperingatkanmu."“Katakan siapa kau?”Michael men
Michael menarik napas panjang sebelum mempersilahkan seseorang itu untuk masuk."Masuk," perintahnya.Kriet!Pintu terbuka.Tampaklah sosok Lucas berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan rapi seperti biasa, namun ada guratan kegelisahan di wajahnya."Maaf mengganggu," ucap Lucas cepat sambil mengangkat setumpuk dokumen di tangannya. "Ini dokumen penting yang harus kau tandatangani hari ini, Bos."Michael hanya mengerling sekilas ke arah dokumen itu. Ia tidak bergeming, tatapannya masih terkunci pada wajah Sahira yang kini tampak kebingungan. Seolah kehadiran Lucas sama sekali tidak penting baginya."Taruh saja di meja," sahut Michael pendek, suaranya dalam dan malas, seakan Lucas hanyalah suara latar yang mengganggu dunianya bersama Sahira.Lucas mengangkat alis, sedikit geli melihat kelakuan bosnya yang biasanya serius dan tak tersentuh, kini seperti pria kasmaran yang tak mau melepaskan pandangan dari wanitanya.Dengan langkah perlahan, Lucas masuk ke ruangan, berusaha tidak meng
Begitu pintu berat ruang rapat terbuka, semua kepala otomatis menoleh. Puluhan pasang mata, dari para dewan elit hingga penasihat senior, mengamati dengan seksama sosok Michael Nathaniel dan Sahira—atau yang lebih dikenal sebagai Nona Alexa J.—melangkah masuk ke dalam ruangan.Yang membuat mereka semua terdiam bukan hanya karena keterlambatan keduanya, tapi karena caranya mereka masuk dengan bergandengan tangan.Michael berjalan dengan penuh percaya diri, menuntun Sahira di sisinya tanpa sedikit pun ragu, seolah-olah dia ingin seluruh dunia tahu bahwa wanita ini adalah miliknya. Sahira sendiri, walaupun wajahnya tenang, sempat membeku sesaat karena sadar akan semua tatapan tajam yang kini menancap seperti panah ke arahnya.Dengan refleks, Sahira melepaskan tangan Michael begitu mereka hampir mencapai meja besar di tengah ruangan. Gerakannya cepat namun tetap terlihat elegan. Dia tidak ingin memperkeruh suasana yang sudah cukup memanas dengan kemunculan mereka.Bisik-bisik kecil mulai
Pagi hari.Cahaya matahari menembus tirai jendela, menyapu lembut wajah Sahira yang masih terlelap dalam balutan selimut tipis. Silau yang menusuk matanya membuat Sahira menggeliat kecil, sebelum akhirnya kelopak matanya terangkat perlahan. Dia mengerjap beberapa kali, menyesuaikan pandangannya pada cahaya pagi yang memenuhi kamar.Saat hendak bergerak, Sahira merasakan sesuatu yang berat melingkar di pinggangnya. Dia menunduk dan mendapati tangan kekar Michael masih erat memeluk tubuhnya. Sahira tersenyum kecil, mengingat betapa keras kepala pria itu untuk sekadar tidur berdua dengannya semalam.Pelan-pelan, Sahira mencoba melepas pelukan itu tanpa membangunkan Michael. Tapi baru saja ia menggeser diri, tangan Michael malah menariknya kembali, membuat tubuh mereka bertemu rapat dan Sahira jatuh ke dalam pelukannya lagi.“Mau ke mana?” gumam Michael, suaranya berat dan serak khas orang baru bangun tidur.Sahira mendesah, mencoba tidak terjebak dengan kehangatan yang menguar dari tubuh