MasukAlarm ponsel Renita berbunyi pelan. Ia membuka mata dengan kepala berat dan perut yang nyeri. Cahaya matahari menembus tirai, menerangi kamar yang masih remang.
Ranjang di sampingnya sudah kosong. Hanya tersisa cekungan bantal bekas kepala Reza. Dengan nafas panjang, Renita bangkit dan keluar kamar. Reza sudah duduk di meja makan, kemeja kerjanya rapi, ekspresinya masam. Secangkir kopi di depannya tinggal setengah. “Kamu bangunnya telat,” ucap Reza tanpa menoleh. Renita membuka kulkas, mengambil air. “Aku kecapekan, Mas… semalam kita bertengkar. Perutku sakit dari tadi pagi.” Reza mendengus. “Yang mulai siapa? Aku cuma minta hak aku sebagai suami. Kamu aja yang drama.” Renita menahan sesak. “Aku cuma minta dipahami, Mas. Badanku sakit.” Reza menurunkan cangkirnya dengan suara keras. “Kamu itu penuh alasan. Nggak heran PCOS kamu makin parah. Kamu sendiri yang bikin hidup kamu ribet.” Renita menatap meja, menahan air mata. “Mas, aku lagi berusaha sembuh…” “Ya bagus.” Reza berdiri, mengambil tas kerjanya. “Nurut aja sama Deva. Konsultasi tiap minggu. Jangan menambah masalah.” Renita memberanikan diri. “Mas… bisa antar? Perutku sakit banget. Aku takut…” Reza menatap cepat. “Kamu naik ojek aja. Aku bisa telat gara-gara kamu. Ke klinik Mas Deva aja, biar gratis.” Renita menunduk. “Iya, Mas…” Reza berjalan ke pintu, lalu berhenti. “Sore aku jemput. Mama mau bahas acara keluarga.” “Baik…” “Hari ini jangan bikin masalah lagi.” Pintu tertutup. Keheningan menyiksa. Renita bersandar di meja, menutupi wajah. Rasanya… sepi. Rumah ini tidak pernah benar-benar terasa seperti rumah, bahkan sebelum Deva muncul kembali di hidupnya. Ia menarik napas panjang, bersiap, lalu memesan ojek dari lobi. Ojek berhenti di depan klinik. Renita turun perlahan, menahan nyeri di perut yang semakin tajam. Ia masuk ke resepsionis. “Selamat pagi, Bu. Sudah buat janji?” Renita menggeleng. “Perut saya sakit. Saya pasien dokter Deva. Mau kontrol.” Nama dicatat, lalu ia dipersilahkan naik ke lantai dua. Perawat membukakan pintu. “Ibu Renita, silakan.” Renita masuk. Deva menghentikan kegiatan menulis, menatapnya waspada. “Ren… kenapa? Mukamu pucat banget.” Renita duduk lemas. “Perutku… diremas rasanya. Dari pagi makin parah.” Deva berdiri cepat. “Berbaring dulu. Mas periksa.” Renita berbaring. Deva menekan lembut bagian perutnya. “Sakit di sini?” Renita meringis. “Iya… sakit, Mas.” Deva menarik napas panjang. “Kamu diet ketat lagi, ya?” Renita mengangguk kecil. “Iya… aku takut beratku naik. Semalam aku malah nggak makan.” Deva duduk di sisi ranjang, nada suaranya tegas tapi lembut. “Ren… PCOS bukan alasan kamu harus menyiksa diri. Diet itu penting, tapi bukan berarti nggak makan. Ini jelas asam lambung kamu naik. Selain itu… kamu kelihatan mau datang bulan. Makanya sakitnya dobel.” Renita menunduk. “Aku pikir… kalau aku kurus cepat, PCOS-ku sembuh.” Deva menggeleng, menatapnya prihatin. “PCOS itu bukan soal kurus atau gemuk aja. Hormonnya yang harus distabilkan. Dan kalau kamu sampai gak makan, hormon tambah kacau. Perut kamu jadi iritasi, maag kambuh, akhirnya kamu kesakitan begini.” “Renita menunduk. “Aku cuma pengen cepat sembuh… biar nggak dianggap ngabisin uang.” Deva terdiam, rahangnya mengeras. “Ren, kesehatanmu lebih penting daripada omongan siapa pun.” Ia mengambil resep. “Ini obat lambung, pereda nyeri, dan vitamin. Tapi kamu harus makan teratur.” Renita mengangguk pelan. “Iya, Mas. Makasih…” Deva menatapnya lama—lebih lama dari seharusnya. “Kalau sakitnya tambah parah, langsung telepon Mas. Jangan tunggu Reza.” Renita menunduk. Ia tahu itu benar. “Aku nggak mau merepotkan siapapun, Mas…” Deva menghentikan tulisannya, lalu menatapnya serius. “Ren, kamu bukan orang asing buat Mas. Kita keluarga aku kakak iparmu.” Renita menggigit bibir, bimbang. “Justru karena itu… Mas nggak harus perhatian sejauh ini. Kamu sudah punya tunangan. Aku juga istri orang.” Deva menahan ekspresi, tapi suaranya tetap lembut. “Perhatian Mas bukan masalah. Kamu pasien Mas. Dan… keluarga.” Renita memalingkan wajah. Jantungnya berdebar aneh. Deva berusaha mencairkan suasana. “Kamu kalau sakit, bilang. Jangan tahan. Jangan takut ganggu siapapun.” Renita hendak berdiri, namun pandangannya gelap sejenak. Tubuhnya goyah. Deva sigap memegang bahunya. “Pelan, Ren. Kamu masih lemah.” Sentuhan itu singkat, tapi cukup membuat napas Renita tersangkut. “Kamu nggak baik-baik saja,” gumam Deva. “Kamu cuma terbiasa bilang begitu.” Renita tidak menjawab. Deva menuliskan catatan terakhir. “Kamu sarapan apa tadi?” “Cuma teh…” Deva memejamkan mata, frustasi. “Renita… tolong berhenti menyalahkan tubuh kamu sendiri.” Renita menggigit bibir. “Aku cuma takut nyusahin.” “Nyusahin siapa?” suara Deva merendah. “Reza?” Renita diam. Deva menatapnya lama. Ada hal yang tidak ia katakan dan Renita terlalu takut untuk menanyakannya lagi. “Mulai sekarang… pikirin diri kamu dulu,” ucap Deva pelan. “Mas…” Renita menelan ludah. “Kenapa Mas peduli sejauh itu?” Pertanyaan itu membuat ruangan hening. Deva tersenyum tipis, menutupi sesuatu. “Karena kamu pasienku. Dan… karena kamu keluarga.” Kata itu lagi. Dan entah kenapa justru menyesakkan. Deva berdiri. “Ayo, Mas antar kamu turun.” Renita mencoba menolak, tapi kalah ketika Deva menyebut, “Kalau kamu jatuh, Mas yang disalahkan.” Mereka berjalan bersama menuju lift. Renita masih goyah, dan Deva selalu berada setengah langkah di belakangnya siap menangkap bila ia terjatuh. Di depan lift, keduanya diam. Ketika pintu terbuka, Deva menahan pintu sambil menatap Renita. “Kalau nanti malam perut kamu kumat… hubungi Mas,” suaranya menurun. “Jangan tahan sendiri.” Renita mengangguk. “Iya, Mas.” Lift menutup perlahan. Di detik terakhir sebelum pintu rapat, Deva menatapnya dengan tatapan singkat, tapi cukup untuk membuat Renita berdiri membatu meski lift sudah mulai turun. Untuk pertama kalinya sejak menikah… Renita pulang tanpa memikirkan Reza. Pikirannya hanya satu: Kalau Mas Deva sudah benar-benar move on… kenapa sikapnya masih seperti itu ke aku?Alarm ponsel Renita berbunyi pelan. Ia membuka mata dengan kepala berat dan perut yang nyeri. Cahaya matahari menembus tirai, menerangi kamar yang masih remang.Ranjang di sampingnya sudah kosong. Hanya tersisa cekungan bantal bekas kepala Reza.Dengan nafas panjang, Renita bangkit dan keluar kamar.Reza sudah duduk di meja makan, kemeja kerjanya rapi, ekspresinya masam. Secangkir kopi di depannya tinggal setengah.“Kamu bangunnya telat,” ucap Reza tanpa menoleh.Renita membuka kulkas, mengambil air. “Aku kecapekan, Mas… semalam kita bertengkar. Perutku sakit dari tadi pagi.”Reza mendengus. “Yang mulai siapa? Aku cuma minta hak aku sebagai suami. Kamu aja yang drama.”Renita menahan sesak. “Aku cuma minta dipahami, Mas. Badanku sakit.”Reza menurunkan cangkirnya dengan suara keras.“Kamu itu penuh alasan. Nggak heran PCOS kamu makin parah. Kamu sendiri yang bikin hidup kamu ribet.”Renita menatap meja, menahan air mata.“Mas, aku lagi berusaha sembuh…”“Ya bagus.” Reza berdiri, menga
Renita tersentak. Napasnya tercekat.Ia baru sadar… warna itu—warna kesukaan Deva.Jantungnya kembali memukul dadanya keras.Reza sempat mengernyit ketika melihat Deva sedikit mencondongkan badan ke arah Renita.“Mas ngapain?” tanya Reza dengan kecurigaan.Deva langsung mengalihkan pandangannya ke Reza sambil tersenyum tipis.“Oh, nggak kok. Aku cuma mau perkenalan secara formal. Soalnya aku belum pernah kenalan sama istrimu. Aku kan nggak hadir di pernikahan kalian waktu itu masih di Inggris.”Reza menatap istrinya.“Ren, kamu gimana sih? Harusnya kemarin kamu kenalan sama Mas Deva. Dia nggak bisa datang karena lagi Kuliah di Inggris.”Tangan Reza mencubit pinggang Renita pelan.“Aduh… mas, sakit,” keluh Renita sambil meringis.“Maaf ya Mas Deva,” Renita buru-buru merapikan rambutnya yang jatuh. “Aku lupa banget memperkenalkan diri. Aku Renita.” Ia mengulurkan tangan dengan sopan.Deva menyambut uluran itu dengan genggaman yang lembut dan hangat.“Deva,” jawabnya sambil menatap Renit
Setelah pekerjaan selesai, Renita keluar dari lobby perusahaan. Mobil Reza sudah berhenti tepat di depan, klakson pendek menyambutnya. Reza menurunkan kaca jendela. “Lama banget kamu ngapain aja? Lelet amat.” Renita menahan napas, tidak ingin berdebat di depan umum. “Maaf, Mas… tadi ada urusan sedikit di divisi.” Reza mendengus. “Alesan.” Renita masuk dan menutup pintu perlahan. Mobil melaju menuju apartemen mereka, atmosfer di dalam mobil terasa sesak. Sesampainya di basement, mereka turun. Renita berjalan cepat mengikuti Reza ke lift. “Jangan lama-lama dandannya,” Reza mengingatkan. “Bisa telat ke acara tunangan Mas Deva.” “Iya, Mas,” Renita menjawab pelan. Dalam hati ia berkata getir, Kenapa dia nggak bisa lebih lembut sedikit? Reza sekarang benar-benar berbeda… atau memang dari dulu aku yang buta? Jangan bandingkan dia dengan Mas Deva, Renita. Jangan… Lift terbuka. Mereka masuk unit apartemen. Reza langsung menuju kamar mandi tanpa bicara. Renita membuka lema
Setelah obat ditebus, Reza dan Renita masuk ke dalam mobil. Reza langsung menutup pintu dengan kasar. “Pokoknya mulai sekarang kamu nurut aja sama Mas Deva,” ucap Reza tanpa menatapnya. “Biar kamu cepat sembuh.” Renita mengangguk pelan. “Iya, Mas. Aku bakal banyak makan buah, minum vitamin, dan ikuti semua saran Mas Deva.” Reza mendengus. “Ya bagus. Kalau kamu sakit terus gini, biaya hidup kita makin tinggi. Yang seharusnya bisa dipakai buat hal lain malah buat bayar rumah sakit.” Renita hanya menatap kaca mobil, hatinya mengerut. Padahal semua aku bayar pakai uangku… kenapa dia yang paling perhitungan? Tapi ia memilih diam. Tiba-tiba Reza menyalakan ponselnya, menekan loudspeaker. Renita menoleh. “Mas mau telepon siapa?” “Mama lah,” jawab Reza malas. Astaga… apa-apa ngadu. Aku kayak menikah sama anak kecil, bukan pria dewasa, Renita mengumpat dalam hati. Suara Ayu langsung terdengar dari loudspeaker. “Halo, Za. Gimana tadi hasilnya? Istrimu hamil?” Reza menja
Renita menelan ludah, telapak tangannya dingin. Jantungnya berdebar keras saat mata dokter itu menatapnya. “Iya… Jadi Mas Deva itu kakaknya Mas Reza?” ia tersenyum kikuk. “Sekarang Mas sudah jadi dokter, ya. Seperti cita-cita kamu dulu. Aku ikut seneng lihatnya.” Ada getir samar dalam suaranya. Deva tersenyum tipis, tatapannya sulit dibaca. “Dunia sempit ya. Ternyata kamu istri Reza…” Renita mengangguk. “Iya, Mas. Aku juga nggak nyangka ketemu Mas di sini.” Ia menarik napas kecil. “Jadi… aku manggilnya Mas atau dokter, nih?” Deva menatapnya lama sebelum menjawab. “Mas aja. Kamu kan istri Reza.” Suaranya menurun, hampir seperti gumaman. “Dulu aku pergi ke luar negeri kuliah kedokteran tanpa pamit sama kamu. Aku tahu aku nyakitin hati kamu,Ren.” Renita memaksa tersenyum, padahal dadanya terasa sesak. “Sudahlah, Mas. Itu sudah lama banget. Kita sudah punya hidup masing-masing sekarang. Kita sudah jadi… ipar.” Kata ipar itu terasa aneh di lidahnya. Deva masih menatapnya, kali i
Pagi hari. Renita sudah berdandan rapi, menenteng tas kerja sambil merapikan rambutnya di depan cermin. Dia sudah siap berangkat ke dokter saat Reza keluar dari kamar mandi sambil merapikan rambutnya. "Mas…" Renita menatapnya dari cermin. Reza menyela cepat, "Mama tadi pagi bilang sama aku pas nganterin dia pulang. Katanya kita mending ke klinik Mas Deva aja. Kakak tiriku dia baru saja buka klinik di Jakarta." Renita menoleh penuh tanda tanya. "Kenapa gak ke rumah sakit aja sih? Kan sekalian dekat kantorku. " "Kalau di rumah sakit mahal, Ren." Reza merapikan ujung dasinya. "Kalau sama Mas Deva, gak bayar. Uangnya bisa aku pakai buat hal-hal yang lebih penting." Dalam hati Renita bergumam, “Dasar pelit. Periksa kandungan kok dihitung-hitungan.” "Terus..." Renita melipat tangan di dada, "Katanya semalam kamu gak mau nganterin aku. Sekarang kenapa tiba-tiba berubah pikiran?" Reza mendesah berat, seperti bosan mendengar rengekan. "Mama tadi bilang kamu bisa aja bohong demi memper







