Share

Bab 8

Author: Prettyies
last update Last Updated: 2025-11-22 17:40:44

Setelah pulang kerja, Renita seperti biasa dijemput Reza menuju rumah ibu mertuanya, Ayu. Begitu mobil berhenti, Renita buru-buru turun.

“Bawa itu kuenya, jangan sampai ketinggalan,” perintah Reza tanpa melihat.

“Iya, Mas,” Renita membuka bagasi dan mengambil kotak besar.

Dalam hati ia mendesah, ‘Ini kan kue mahal dari toko terkenal. Buat keluarganya Mas, dia royal. Tapi kalau buat aku? Hm.’

Reza mendengus. “Lelet banget kamu.”

“Iya, Mas…” Renita menunduk dan menyusul.

Begitu mereka masuk halaman, pintu rumah sudah terbuka. Tania, adik Reza, muncul sambil memainkan ponselnya.

“Mama mana, Dek?” tanya Reza.

“Di dalam, Mas,” jawab Tania enteng.

Renita tersenyum tipis. “Ayo masuk, Tan.”

Tania mendelik. “Aku mau nunggu Mbak Nathalia aja. Pasti nggak kayak Mbak… yang kalau kesini bawa tangan kosong.”

Renita terdiam. Lupa apa dia, seluruh hidupnya sudah dibiayai aku dan Mas Reza?

Ia memilih tak menjawab dan masuk, meletakkan paper bag kue di meja ruang tamu.

Baru saja duduk, suara Ayu terdengar dari dapur.

“Potong sekalian kuenya, terus buatin minuman buat Deva sama calon istrinya!”

Renita menoleh. “Iya, Bu—”

“Sana! Kamu dengar nggak Mama ngomong apa?” hardik Reza.

Renita buru-buru bangun, membawa paper bag ke dapur. Ia baru menyiapkan piring ketika suara mobil memasuki halaman.

Tak lama, Deva muncul di ambang pintu.

“Sendirian aja, Mas? Mbak Nathalia mana?” Tania langsung menyambut, senyum lebarnya jelas berbeda dari sikapnya ke Renita.

“Iya, dia banyak pasien,” jawab Deva singkat sambil masuk rumah.

Ayu muncul ke ruang tamu. “Mah,” sapa Deva sopan.

“Duduk, Dev. Nathalia mana kok nggak diajak?”

“Lagi sibuk, Mah.”

Nada Deva terdengar kaku. Ia memang tidak terlalu dekat dengan ibu tirinya yang matrealistis itu. Reza dan Tania adalah anak bawaan Ayu, sementara Deva anak dari almarhum ayahnya.

Deva melirik ke seluruh ruangan. Renita belum emerge. Renita mana ya… batinnya.

Ayu mengambil posisi di sofa, menyilangkan kaki. “Terima kasih ya, Dev, kamu sudah mau jadi dokternya Renita.”

Deva tersenyum kecil. “Sudah sewajarnya, Mah. Aku dokter, dan dia pasien.”

Ayu mengangguk tapi suaranya berubah lebih kritis.

“Gimana kondisi PCOS-nya Renita itu? Bisa sembuh, kan? Soalnya sayang banget kalau harus keluar uang cuma buat pengobatan.”

Deva menahan diri untuk tidak mendecak. Ia memperbaiki duduknya dan mulai menjelaskan sabar, profesional.

“Begini, Mah. PCOS itu kondisi hormonal. Jadi bukan penyakit yang cuma dikasih satu obat lalu hilang. Tapi bukan berarti nggak bisa ditangani.”

Ayu menyipitkan mata. “Maksudnya?”

“PCOS itu bisa membaik kalau pola hidupnya diatur dan terapi dijalankan rutin,” lanjut Deva. “Yang penting itu keteraturan kontrol. Kita lihat respon tubuhnya, atur obat, atur nutrisi, dan pantau hormon.”

“Jadi… bukan yang parah banget?” tanya Ayu.

“Tidak, Mah. Banyak pasien PCOS yang akhirnya siklusnya kembali normal dan bisa hamil. Yang penting disiplin.” Deva tersenyum tipis, tenang. “Renita juga begitu. Dia sudah aku jadwalkan kontrol seminggu sekali di klinik. Biar aku lihat progress-nya.”

Ayu akhirnya mengangguk meski masih tampak mengukur dalam hati.

“Oh, begitu… Ya sudah. Yang penting kamu urus biar cepat sembuh. Jangan sampai uang kami kebuang sia-sia.”

Sebelum Deva sempat menjawab, Renita muncul dari dapur membawa tray berisi minuman.

Deva refleks berdiri sedikit hanya untuk membantu Renita meletakkan trey di meja.

“Silakan, Mas… Mah…” ucap Renita pelan.

Dan untuk sesaat, Deva menatap Renita lama—lebih lama dari yang seharusnya seorang dokter menatap pasiennya.

“Ren, sini duduk.”

Suara Deva terdengar tenang namun tegas. Ia menepuk kursi kosong di sebelahnya.

“Mas lagi jelasin kondisi kamu ke Mama dan Reza, biar mereka paham betul.”

Renita menelan ludah. Jantungnya berdetak kacau.

Astaga… kenapa Mas Deva semakin berani? Di depan Mama… dan Mas Reza…

Reza melirik tajam. “Kamu nggak dengar Mas Deva panggil kamu? Malah bengong.”

Renita akhirnya melangkah, lalu duduk di samping Deva orang yang pernah mengisi hatinya dimasa lalu.

Deva sedikit menggeser tubuhnya, membuat ruang khusus untuk Renita.

“Maksud, Mas. Biar kamu juga dengar langsung, Ren.”

Ayu menyilangkan tangan. “Tadi Deva bilang PCOS kamu itu bisa sembuh asal nurut sama dokter.”

Deva mengangguk sambil tersenyum kecil.

“Betul, Mah. Renita ini pasien yang… kalau nurut sama aku, pasti cepat membaik.”

Tangan kiri Deva turun pelan—seolah gerakan alami menyentuh punggung Renita.

Gerakan yang seharusnya seperti dokter menenangkan pasien…

Tapi goresan lembut jarinya terlalu personal, terlalu menggoda.

Renita menegakkan punggung spontan.

“Mas…,” bisiknya lirih, hampir tidak terdengar.

Deva berdehem, pura-pura memperbaiki posisi duduk. Tapi tangannya masih menempel, mengusap sangat pelan seakan itu hal biasa.

Reza memicingkan mata. “Mas, Renita itu kadang bandel. Suka sok tahu sendiri.”

Deva menoleh ke Reza, tatapannya datar.

“Ya namanya pasien, Za. Kadang mereka takut, kadang ragu. Makanya harus ada yang jelasin… dan ada yang nenangin.”

Tangannya semakin menekan halus punggung Renita seolah membuktikan ucapannya.

Renita menunduk, pipinya panas.

Ya Tuhan… tolong jangan ada yang sadar…

Ayu ikut menimpali. “Iya, Dev. Kamu yang atur saja. Mama juga nggak mau dia ngabisin duit kalau nggak jelas hasilnya.”

Deva tersenyum santun—tapi nadanya mengandung tekanan halus.

“Tenang, Mah. Renita berobat sama saya. Gratis.”

Ia menoleh ke Renita, pandangannya dalam dan penuh makna.

“Yang penting… dia datang rutin. Seminggu sekali.”

Reza menegakkan badan. “Gak apa-apa,Mas yang penting cepat sembuh dia bisa ngelayani aku tanpa mengeluh sakit.”

Deva masih menatap Renita. “Kamu tenang aja yang atur.

Renita merasa seluruh tubuhnya menegang. Baik karena takut… maupun karena sesuatu yang ia tak mau akui.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • HASRAT MEMBARA DOKTER TAMPAN   Bab 45

    “Ren, habiskan es krimnya,” ujar Deva sambil fokus ke jalan. “Kamu jangan pikirkan yang tadi bair Mas yang urus sendiri.”“I-iya, Mas,” jawab Renita gugup, jemarinya sedikit gemetar memegang stik es krim.Mobil melaju pelan menuju apartemen. Keheningan menyelimuti mereka.Apa Mas Deva mau main solo? … Renita menelan ludah. Tapi dia punya tunangan bisa jadi mereka….. Kenapa aku malah mikirin yang aneh-aneh sih?Deva melirik sekilas ke arah Renita. “Kenapa bengong?”“Nggak, Mas,” Renita cepat menggeleng.Deva tersenyum tipis, nada suaranya setengah bercanda.“Atau kamu mau… sedang berfikir mau bantuin nidurin pusaka milik Mas,Ren?”Renita tersedak kecil. “Astaag Mas…”Deva terkekeh pelan. “Bercanda. Fokus habisin es krim kamu.”Tak lama, mobil berhenti di lobi apartemen.“Ren,” Deva memecah keheningan, “besok berangkat ke kantor bareng mas aja.”Renita menoleh. “Aku… sama Mas Reza aja.”“Nggak,” Deva menggeleng. “Nanti mas telepon Reza. Kamu bareng mas.”Tangan Deva meraih tangan Renita

  • HASRAT MEMBARA DOKTER TAMPAN   Bab 44

    Deva membukakan pintu mobil lebih dulu, memberi isyarat agar Renita masuk. Setelah Renita duduk, Deva ikut membungkuk ke dalam, meraih sabuk pengaman.“Mas mau ngapain?” Renita terkejut, suaranya tertahan. Jantungnya berdegup tak karuan saat jarak mereka tinggal beberapa inci aroma parfume maskulin Deva memenuhi setiap sudut mobil. Deva tersenyum tipis. Ia mengecup bibir Renita singkat, nyaris tak terasa.“Cup.”Renita membeku.Deva lalu memasangkan sabuk pengaman dengan tenang. Klik.“Sudah,” katanya ringan, seolah tak terjadi apa-apa.Ia menutup pintu, berjalan memutar, lalu masuk ke kursi pengemudi. Mesin mobil menyala pelan. Tangannya meraih tangan Renita, menggenggamnya hangat.“Kenapa tegang begitu?” Deva melirik sekilas.“Mas nggak akan gigit kamu kalau kamu nggak minta duluan.”Renita menarik tangannya perlahan, lalu menoleh ke arah jendela dengan pikirannya sendiri. “Mas jangan ngomong sembarangan…” ucap Renita.“Kenapa?” Deva tetap menatap jalan.“Gimana menstruasi kamu? L

  • HASRAT MEMBARA DOKTER TAMPAN   Bab 43

    Renita mengangkat wajahnya perlahan. Suaranya pelan, tapi tegas.“Mas bikin aku nggak nyaman,” kataku jujur.Deva terdiam. Tangannya yang tadi hampir menyentuhku segera ditarik kembali. Ia menghela napas panjang. “Maaf… aku kebablasan.”Aku mengangguk kecil, berusaha menormalkan napas. “Kita fokus bahas kerjaan aja. Itu tujuan kita ketemu.”Deva menatapku beberapa detik, seolah menimbang sikapku, lalu akhirnya mengangguk. “Iya. Kita profesional.”Aku membuka map di depanku, kembali ke mode manajer.“Jadi begini,” kataku mulai tenang, “pemeriksaan kesehatan karyawan besok dibagi jadi tiga sesi.”“Tiga sesi?” tanya Deva, nadanya sudah formal.“Iya,” jelasku sambil menunjuk jadwal. “Sesi pertama jam delapan sampai sepuluh pagi. Itu untuk staf operasional, sekitar dua puluh orang.”Deva mengangguk sambil mencatat. “Oke.”“Sesi kedua jam sepuluh sampai dua belas,” lanjutku, “untuk staf administrasi dan HR. Biar nggak ganggu jam kerja inti.”“Masuk akal,” jawabnya singkat.Aku melanjutkan,

  • HASRAT MEMBARA DOKTER TAMPAN   Bab 42

    Mobil Deva melambat dan berhenti di area parkir sebuah restoran yang cukup ramai. Ia turun lebih dulu, berjalan memutari mobil, lalu membukakan pintu untuk Renita.“Terima kasih,” ucap Renita singkat sambil turun.Deva tersenyum tipis. “Sama-sama.”Mereka masuk ke dalam restoran. Suasananya hangat, lampu temaram, beberapa meja terisi pengunjung. Deva memilih meja agak pojok. Setelah duduk, ia memanggil pelayan.“Mbak, dua menu andalan di sini ya. Minumnya es lemon tea,” pesan Deva.Renita menimpali cepat, “Saya air mineral saja.”Pelayan mengangguk. “Baik, Pak. Bu. Ditunggu sebentar.”Begitu pelayan pergi, Renita langsung membuka pembicaraan.“Kita bisa bahas sekarang aja, Mas. Soal jadwal pemeriksaan besok.”Deva menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Santai dulu, Ren. Tunggu makanannya datang. Kamu kelihatan buru-buru banget.”“Aku memang harus cepat pulang,” Renita menunduk sebentar. “Mas Reza pasti lapar belum makan malam.”Deva tersenyum miring. “Reza itu sudah besar, Ren. Dia bisa pes

  • HASRAT MEMBARA DOKTER TAMPAN   Bab 41

    Deva menekan pedal gas, pikirannya masih kusut saat mobilnya masuk ke area parkir klinik. Ia mematikan mesin, menghela napas panjang, lalu turun.Begitu melangkah masuk ke dalam klinik, suara Nathalia langsung menyambutnya—tajam dan penuh emosi.“Mas! Kamu ke mana aja sih? Lama banget!” Nathalia menyilangkan tangan di dada. “Pasien ngantri banyak banget,tahu! Mereka itu sumber uang kita harus diutamakan!”Deva melepas jasnya dengan gerakan lelah. “Aku lagi kerja, Nat. Tadi ada koordinasi di kantor Pak Arka. Kamu sendiri yang nerima job pemeriksaan karyawan itu, kan?”Nathalia mendengus. “Terus? Kamu dokter utamanya. Kamu tahu jadwal praktik kamu. Harusnya kamu bisa atur waktu dan datang lebih cepat.”“Kamu nyalahin aku?” Deva menoleh, alisnya mengerut. “Aku juga punya tanggung jawab profesional. Bukan cuma di klinik ini.”“Selalu aja alasan,” potong Nathalia kesal. “Kalau pasien kabur gimana? Kalau reputasi klinik turun?”Deva menghela napas, jelas menahan emosi. “Udah, Nat. Aku nggak

  • HASRAT MEMBARA DOKTER TAMPAN   Bab 40

    Pak Arka berdiri di ujung meja, menutup map cokelat di tangannya.“Nanti Dokter Deva bisa langsung koordinasi dengan Manajer Renita,” ujarnya tegas.“Beliau yang akan meng-handle seluruh teknis pemeriksaan.”Deva mengangguk sopan.“Baik, Pak.”Renita ikut menyahut singkat, profesional.“Baik, Pak.”Pak Arka melirik jam tangannya.“Kalau begitu saya permisi dulu, Bu Renita. Tolong nanti sampaikan ke Dokter Deva daftar karyawan yang akan diperiksa besok—termasuk Bu Renita sendiri.”“Siap, Pak,” jawab Renita.Pak Arka melangkah keluar, disusul dua staf HR.“Permisi, Bu Renita.”“Iya, terima kasih,” Renita mengangguk.Pintu ruang meeting tertutup. Ruangan mendadak terasa sunyi—terlalu sunyi.Deva bersandar di kursinya, menatap Renita.“Kita bisa lanjut bahas detailnya sambil makan siang.”Renita menoleh cepat.“Makan siang?”“Iya,” Deva tersenyum tipis.“Kalau soal kerjaan, lebih enak dibahas santai.”Renita menegakkan punggungnya.“ Kita bisa bahas pekerjaan disini aja sekalian.”Deva me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status