Bahkan dengan keadaan pipinya yang memar dan bibirnya yang pecah-pecah di serta air mata yang mengalir di wajahnya, dia tetap cantik. Rambut pirang madunya pernah dikuncir kuda, namun sekarang rambut panjangnya itu terurai di bawah bahunya dan ikatan tali itu sudah longgar, mungkin hanya sedikit menahan lapisan belakang di rambutnya.
Mata birunya pucat bengkak karena menangis, tetapi sungguh keadaan itu tidak menghilangkan kecantikannya sedikitpun. Sweter tebal dan celana jins yang di kenakannya pun tak bisa menyembunyikan lekuk tubuhnya, sehingga membuat adik kecil Zane di bawah sana mengeras. Dengan enggan Zane mengalihkan pandangannya dari wanita itu. Perlahan Zane memperhatikan Dave yang berdiri agak pucat. Wanita itu masih memegang pena lain dan segera melemparkannya ke arah Dave dan Tobias, pena itu pun melayang di udara. "Menjauhlah, menjauhlah dariku," teriaknya, berulang kali. Ava terus berteriak meskipun ia sudah kehabisan barang untuk dilempar. Zane sangat tertarik untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun, ia tidak bisa fokus pada seorang wanita yang membuat keributan. Ava berjalan mengitari meja, ia mundur ke sudut, mengulurkan tangan, meneriakkan kalimat yang sama berulang-ulang. Melihat itu Zane segera meraih kedua tangan Ava dan berdiri tepat di depannya. "Diam!" bentaknya. Wanita itu terdiam dan Zane bisa melihat air matanya mulai mengalir di sudut matanya, bibirnya pun ikut bergetar. Astaga, pikirnya. Seperti kebanyakan pria, wanita yang menangis membuatnya sangat takut. Ia lebih suka terlibat baku tembak dengan seratus musuh terburuknya daripada harus berhadapan dengan satu orang wanita yang menangis. Zane memperhatikan tanda merah terang di pergelangan tangan Ava. "Bisakah di antara kalian memberi tahuku mengapa meja kasirku hancur dan mengapa aku hampir terpenggal oleh stapler yang berterbangan itu?" gerutunya kesal kepada ketiga pria yang berada dalam ruangan itu. Ruangan itu kini nampak sunyi kecuali isak tangis pelan dari wanita itu. Zane menatap Dave dan Tobias. "Apakah kalian pergi untuk menagih?" tanya Zane sambil merasakan darahnya naik. “Kami melakukannya,” kata Dave. "Cobler tidak punya uang. Namun, dia menawarkan jasa keponakannya sebagai ganti untuk melunasi hutangnya," Tobias menyeringai. Di sisi lain Zane merasakan dorongan yang kuat untuk meninju wajah pria itu. Namun dia segera menarik napas dalam-dalam dan mengingatkan dirinya sendiri bahwa pria itu baru dalam keluarganya, dia diizinkan melakukan kesalahan. Satu kali saja. Tobias di sisi lain seharusnya lebih tahu. "Mungkin ini adalah kesepakatan yang jauh lebih baik daripada harus kembali dengan tangan kosong," Dave mengangkat bahu. Zane menatap Jax dan tangan kanannya itu segera mengangguk. Dia tahu apa yang diinginkan Zane. "Pergilah bersama Jax, aku akan membereskan kekacauanmu," gerutu Zane. Tobias kesal dia menatap Zane dengan pandangan yang menantang, dia ingin mengambil kembali apa yang menurutnya adalah haknya. Wanita ini, pikir Zane. Zane menunggu hingga ketiga pria itu pergi. Melihat keadaan wanita di depannya yang nampak polos. Zane merasa perlu untuk merusaknya dan menunjukkan sisi gelap kehidupannya dan mengikatnya agar bersamanya. Zane belum pernah bertemu wanita seperti ini, pikirannya tentang apa yang bisa ia lakukan adalah mengirimkan getaran nikmat ke dalam dirinya. Ava berdiri ketakutan, menatap pria di hadapannya, pria ini seperti tercipta dari mimpi basah, dibuat menjadi makhluk hidup, dia mengenakan setelan jas tiga potong merah anggur dan memamerkan tubuhnya yang kencang. Jika dia tidak begitu ketakutan, Ava pasti sudah meneteskan air liurnya. Begitu dia memasuki ruangan, otak Ava telah memperhatikannya. Awalnya, Ava berharap dia akan menjadi penyelamatnya, tetapi dugaannya salah. Ava sempat berpikir jika tempat ini dipenuhi oleh pria-pria tampan berjas. Namun Ava segera menyingkirkan pikiran itu karena sangat tidak pantas dalam situasi sekarang. Ava tiba-tiba teringat bahwa Dave pernah mengatakan suatu hal tentang pamannya yang berhutang banyak uang kepada mereka dan tidak mampu membayar, jadi pamannya menjadikan dirinya jaminan untuk melunasi semua hutangnya. "Jonas Cobler adalah pamanmu?" tanyanya."Tentu saja, Nona A. Maaf aku terlambat datang. Tempat itu cepat sekali penuh," kata Ryder kepada Ava."Jangan khawatir. Aku baik-baik saja," kata Ava ketika Ryder mengambil posisi di sebelahnya. Veronica datang ketika melihat gelas Ava kosong."Apa kau mau yang lain?" tanyanya."Tidak, terima kasih. Luar biasa, tapi aku sudah mencapai batasku hari ini."Zane berdiri di bar, berbicara dengan manajer klub dan Jax. Pengungkapan Ava bahwa telah terjadi peningkatan jumlah overdosis dari obat-obatan yang tidak murni membuat Zane memberi tahu manajernya untuk mengawasi. Saat mereka berbicara. Zane memiliki pandangan yang jelas ke tempat Ava duduk. Ava duduk membelakanginya, sambil melihat ke arah kerumunan orang-orang.Ava menunjukkan punggungnya yang hampir telanjang dan Zane menemukan bahwa pemandangan itu menggoda. Tampaknya Ava tak menyadari betapa banyak perhatian yang dia tarik; betapa alami dan mudahnya sensualitasnya. Zane jadi kehilangan jejak percakapan yang sedang dia lakukan
Pikiran pertama yang terlintas di benak Ava adalah di mana Zane menyembunyikan pistolnya, karena Ava tak melihat ada garis di jas abu-abu gelap Zane. Pikiran berikutnya adalah, apakah akan ada seseorang yang menelepon polisi. Ava membiarkan pandangannya menyapu restoran. Tak seorang pun tampak memperhatikan delapan pria yang saling menodongkan senjata. Ava tetap terpaku di sana, menggenggam gelas dengan erat.Ava berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlihat. Ini bukan pertama kalinya Ava berada dalam situasi di mana pistol diarahkan padanya. Hal itu pernah terjadi saat ia sedang bertugas malam di UGD.Seorang pecandu narkoba menyerbu masuk dan mengacungkan pistol ke sana kemari, mencoba mendapatkan narkoba.Ava sangat takut. Kali ini, dia mencoba mengecilkan dirinya. Namun, rasa takutnya tidak sekuat sebelumnya.Apakah itu akhirnya Ava mati rasa terhadap kekerasan? Atau ia masih syok?"Turunkan senjata kalian." Zane menggeram pada Victor dan anak buahnya. Mereka kemudian menyingkirk
Cengkeraman di pangkal leher Ava tidak menyakitkan. Di satu sisi, itu menenangkan, dan yang membuatnya ngeri, Ava mendapati dirinya menyukainya. Dia tahu Zane mengklaimnya sebagai miliknya. Ava lebih suka menjadi miliknya daripada dibiarkan terekspos ke dua pria di seberang meja yang sama-sama meneteskan air liur padanya. Ava masih belum sepenuhnya nyaman dengan gaunnya; itu menarik terlalu banyak perhatian padanya. Tapi setidaknya Zane puas. Dan memberi efek yang diinginkan pada kedua pria itu.Mereka baru teralihkan saat mereka mulai berbicara tentang bisnis. Ava mendengarkan percakapan itu sambil menyeruput koktailnya. Rasanya lumayan. lebih enak daripada kebanyakan yang pernah dia coba sebelumnya. Ava agak kesulitan mengikuti diskusi di sekitar meja. Mereka tampaknya menggunakan kata sandi. Dia menduga itu akan bijaksana karena mereka berada di depan umum mendiskusikan apa yang dianggap Ava sebagai hal-hal ilegal.Setelah mendengarkan sebentar, Ava mengerti maksud dari apa yang
Zane berdiri di anak tangga paling bawah dan melihat jam tangannya, masih ada waktu lima menit sebelum pukul enam tapi tak ada tanda-tanda Ava muncul. Zane merasa kesal. Jika Ava mengira ia bisa lolos dengan menentang dirinya, maka Ava akan menghadapi hal lain. Zane tidak akan ragu untuk naik ke sana dan menyeretnya turun. Suara irama dari sepatu hak tinggi terdengar menghantam tangga, membuat Zane mendongak. Ava sedang berjalan menuruni tangga. Makhluk itu tampak seperti bidadari. Melihat Ava sekarang, Zane menyadari bahwa ia telah meremehkan sensualitas alamiahnya. Ava mengenakan gaun berwarna merah muda, di hiasi payet perak yang bertaburan di seluruh gaunnya, membuat cahaya memantul darinya. Hal itu menciptakan ilusi, bahwa Ava berkilauan. Di sisi lengan kirinya tampak penuh, dan lengan satunya telanjang. Tidak ada belahan dada yang terlihat. Pinggangnya tampak kencang, membuat payudara serta pinggulnya menggiurkan. Lalu di bawahnya ada rok pendek yang terbungkus seksi, sehin
Setelah makan siang, Ava dan Gabriel pergi ke salon. Mereka disambut oleh seorang wanita, wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Tammy teman Jill."Aku suka warna rambutmu. Pirang madu sangat cocok untukmu. Aku akan membuatnya menjadi gaya khasmu. Kapan terakhir kau pergi ke penata rambut?" tanya Tammy kepada Ava saat Ava duduk di kursinya."Oh, seingatku. Lima tahun yang lalu?" kata Ava ragu-ragu."Tidak, aku menyeret mu ke salon saat Joan menikah. Sekitar tiga tahun yang lalu." Gabriel mengoreksinya."Ya ampun. Itu sudah cukup lama," kata Tammy."Apakah seburuk itu?" tanya Ava."Tidak terlalu buruk, bentuknya tidak ada. Aku ingin menambahkan beberapa lapisan dan sedikit menyegarkan nya. Apakah tidak apa-apa?""Kau profesional. Aku percaya padamu," kata Ava. Ava menghabiskan beberapa jam untuk dimanjakan, menata rambut dan kukunya sementara Tammy, dan Gabriel mengobrol. Tom dan Ryder selalu ada di dekat mereka. Ava merasa kasihan kepada mereka yang harus duduk bersamanya selama
Ava sudah mengira saat dia menandatangani kontrak seks secara sukarela, maka dia akan menjadi pekerja seks yang dimuliakan. Ava tidak yakin akan ada orang yang mau menerimanya sebagai teman. Jadi Ava menghindari memberi tahu Gabriel tentang isi sebenarnya dari kontrak tersebut."Jadi untuk melunasi hutang pamanmu, apakah kau harus bekerja sebagai perawat pribadi dari seorang bos mafia ya?" Gabriel bertanya dengan ekspresi ngeri saat Ava berganti gaun merah, yang menurut Gabriel harus dicobanya."Ya." Ava membenarkan."Sayang, kenapa kau yang harus melunasi hutang pamanmu?" tanya Gabriel."Dia keluargaku. Aku tidak bisa hanya berdiam diri dan melihatnya terluka. Lagipula, karena kami keluarga, mereka bisa saja mengejarku untuk mendapatkan uang. Aku bisa kehilangan rumah. Dan sepertinya ini solusi terbaik," kata Ava. "Gabriel, aku tidak bisa memakai ini.""Kenapa?" tanya Gabriel sambil berdiri berjinjit untuk melihat ke balik tirai yang memisahkan sepatu ganti dari toko."Karena ini du