MasukAroma masakan memenuhi ruang makan. Sarah tampak sibuk menata piring, sementara Richard—ayah Dante sekaligus suami baru Sarah—duduk di meja dengan ekspresi puas.
“Senang sekali akhirnya kita bisa berkumpul bersama sebagai keluarga,” ujar Richard.
Kata ‘keluarga’ menusuk telinga Chloe. Ia duduk di sisi ibunya. Di seberangnya, Dante bersandar santai di kursi. Kaos hitamnya melekat erat pada tubuh yang kin jauh lebih berotot dibandingkan tiga tahun lalu.
Mata mereka sempat bertemu. Sekejap saja, tapi cukup membuat Chloe buru-buru menghindar.
“Chloe, bagaimana rasanya di luar negeri? Kudengar kau mendapat beasiswa di sana, ya?” kata Richard ramah.
Wanita yang ditanya memaksa senyum. “Baik, Pam-Eh maksudku, Ayah. Aku banyak belajar dan bekerja part-time juga.”
“Hebat. Kau sangat pintar dan dewasa,” lanjut Richard memujinya. Sekilas ia melirik ke Dante seolah sedang menunjukkan perbedaan mereka.
Dante terkekeh pelan. “Tentu saja dia lebih dewasa. Selisih usia kami tiga tahun. Seorang kakak memang seharusnya terlihat lebih cerdas.” Ia berkata dengan nada tenang, tapi ujung bibirnya menampilkan senyum tipis yang terlalu lama untuk disebut sopan.
Makan malam berlangsung kaku. Richard berusaha mencairkan suasana dengan topik-topik ringan. Saraha yang sibuk memastikan semua nyaman. Dan Dante yang tampak terlalu santai menyendok makanan sambil sesekali melirik penuh arti ke wanita di hadapannya.
Di bawah meja, ujung sendal Dante tanpa sengaja bersentuhan dengan kaki Chloe. Ia menahan diri untuk tidak tertawa saat melihat wanita itu menegang. Tatapan mereka bertemu sekilas. Setelah itu Dante menunduk, pura-pura fokus pada makanannya seolah tidak terjadi apa-apa.
“Chloe, apa rencanamu setelah tiba di sini?” tanya Richard memecah keheningan.
“A-aku sudah melamar pekerjaan dan akan interview besok.”
“Bagus. Kalau kau butuh bantuan, bilang saja. Aku punya kenalan di perusahaan besar.”
“Tidak perlu, Yah. Terima kasih.” Chloe menolak halus, matanya sekilas melirik Dante.
Setelah semuanya beres, Chloe masuk ke kamar barunya. Ia menjatuhkan diri ke ranjang. Menatap langit-langit kosong.
Ini baru hari pertama dan sudah terasa seperti mimpi buruk baginya. Kenangan tiga tahun lalu kembali berputar. Ciuman pertama, janji manis, dan akhirnya perpisahan yang ia ciptakan sendiri.
Lamunan terhenti ketika pintu kamarnya diketuk. Sebelum sempat menjawab, pintu sudah terbuka begitu saja. Dante masuk dan bersandar di kusen dengan ekspresi tenang.
“Aku cuma penasaran, apa kau masih bisa tidur nyenyak setelah tahu mantanmu tinggal di seberang kamarmu?”
Chloe mendengus pelan, berusaha terdengar tenang meski jantungnya berdetak tak karuan.
“Kalau kau masih punya sopan santun, tutup pintunya sekarang juga.”
Dante tersenyum tipis. “Sopan santun? Kupikir itu hal pertama yang kau buang waktu memutuskan pergi tanpa pamit.”
Chloe menatapnya tajam. “Aku tidak mau membahas masa lalu.”
“Sayangnya, masa lalu sedang berdiri di depan pintumu,” ucap Dante santai.
Tatapannya tak berpindah, menelusuri wajah Chloe yang kini hanya diterangi lampu kamar yang redup. Kemudian ia melangkah lebih dalam. Sekejap ekspresinya berubah. Senyum sinis itu hilang, digantikan tatapan gelap yang membuat Chloe gemetar.
“Dante … .” Chloe menarik napas panjang, suaranya melemah. “Aku serius. Aku tidak mau ada masalah di rumah ini. Aku ke sini untuk Ibu, bukan untuk—”
“Bukan untukku?” potongnya cepat, nada suaranya rendah tapi terdengar seperti senyum yang ditahan. Pria itu berdiri tepat di depannya.
“Tiga tahun, Chloe. Bagaimana rasanya bertemu aku lagi setelah menghindar selama ini?” bisiknya. Ia menunduk hingga wajah mereka hampir sejajar.
Chloe menahan napas. Jantungnya berdentum keras. Ada ketakutan, tapi juga sensasi lain yang membuat tubuhnya berkhianat.
“Menjauhlah.” Ia mundur selangkah, tapi Dante meraih dagunya, memaksa matanya bertemu dengan mata cokelat itu.
“Sepertinya kau masih berusaha menghindariku,” katanya lirih. Senyumnya kembali muncul, namun lebih berbahaya dari sebelumnya. “Bagaimana ini, kau tidak bisa lari lagi. Kita sudah jadi keluarga, Chloe.”
Chloe menepis tangannya cepat hingga nyaris jatuh ke ranjang. Napasnya terengah dan tangannya gemetar. Sementara pria itu hanya terkekeh kecil puas menggodanya, lalu mundur perlahan menuju pintu.
“Tidurlah, Kakak. Mulai besok akan jadi hari yang panjang.”
Pintu menutup dengan bunyi lembut. Meninggalkan wanita yang terpaku. Punggungnya menempel pada ranjang. Jantungnya berdegup kencang.
Udara kamar seolah mengurungnya, menekan sampai ke tulang. Chloe menatap pintu yang baru saja ditinggalkan Dante, berusaha meyakinkan diri kalau semua ini nyata. Tiga tahun ia menghindar, namun kini setiap langkahnya akan selalu bersisian dengan pria itu.
Malam pertama baru saja dimulai dan Chloe sudah merasakan betapa berbahayanya hidup di bawah satu atap dengan Dante.
“Apa kau mengusir Zoya, Dante?”Suara Sarah terdengar datar, namun di dalamnya terselip nada yang membuat udara di ruang tamu terasa lebih dingin. Wanita itu berdiri di dekat meja makan dan ekspresi wajahnya menyiratkan kekecewaan.Di sampingnya, Chloe berdiri diam tanpa bersuara. Sorot matanya sulit dibaca.Dante menghela napas kasar, memijat pangkal hidungnya. Kelelahan akibat konfrontasi dengan Zoya kini berhadapan langsung dengan introgasi ibunya.“Sudah kubilang, aku tidak pernah punya hubungan apa pun dengan dia, Bu. Aku membencinya. Dia wanita licik dan manipulatif.”“Kau bilang begitu setiap kali ada masalah. Tapi dia terus datang. Setiap hari. Dia tampak akrab. Dia menyebut namamu dengan manja,” balas Sarah, menatap Dante seolah ia sedang menginterogasi seorang kriminal yang sudah sering berbohong.“Sudah kubilang dia itu licik, bu. Dia melakukan ini agar aku bi—”“Bisa apa? Ada sesuatu yang kau selalu sembunyikan, Dante. Aku sudah menganggapmu sebagai putraku sendiri. Kau bi
Dante menarik tangan Zoya dengan gerakan kasar, sebuah tarikan tiba-tiba yang menyeret wanita itu menjauh dari suasana tegang di dalam rumah. Langkahnya cepat, penuh energi terpendam dari emosi yang ia tahan sejak lama seolah satu detik lagi ia bisa meledak dan menghancurkan semua yang ada di dekatnya.“KAU TIDAK MENGERTI BAHASA MANUSIA, YA?!” bentakny. Suaranya yang serak dan berat menghentikan langkah Zoya secara paksa dan berbalik menatapnya dengan rahang mengeras. “Kalau kau mau aku bayar penalti karena mengabaikan kontrak, aku akan bayar! Aku akan bayar semua yang kau minta! Kau tidak perlu datang dan mengganggu hidupku!”Zoya sama sekali tidak goyah. Matanya yang gelap memantulkan amarah Dante, namun tatapannya tetap tenang, bahkan terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja ditarik seperti boneka. Di matanya, Dante hanyalah target yang sudah dipahami polanya.Begitu Dante melepaskan cengkeramannya, Zoya segera mengibaskan tangannya seolah kulit Dante adalah debu yang menjijik
Hari itu dimulai dengan cengkeraman kasar Dante dan senyum manis yang dipaksakan Zoya. Sejak berhasil masuk ke rumah itu dan membuat Sarah percaya pada status yang bahkan tidak pernah ada, rumah terasa seperti miliknya sendiri.Ia datang hampir setiap hari. Kadang sore membawa kue, kadang pagi hanya untuk menyapa, kadang muncul menjelang makan malam dengan alasan kebetulan lewat. Dalam hitungan hari, keberadaannya sudah menyatu dengan rutinitas keluarga.Hal yang paling menyayat hati justru datang dari arah yang tidak diduga. Sarah yang biasanya formal dan sulit tertawa kini terlihat begitu hidup ketika berbicara dengan Zoya. Tawanya lepas, wajahnya bersinar, bahkan matanya sampai berkerut di sudut karena terlalu sering tersenyum.Pemandangan itu terasa asing bagi Chloe seolah orang yang membuat ibunya sebahagia itu bukan dirinya, melainkan wanita lain yang jelas tidak sebaik yang Sarah kira.Seolah Zoya adalah anak perempuan yang selama ini diinginkan Sarah. Penampilannya cantik, sup
Dante sudah berdiri kaku di ambang pintu. Aura gelapnya memenuhi teras yang seharusnya menyambut pagi hari dengan damai. Dan di sana, berdiri di bawah sinar matahari pagi adalah sumber kekacauan itu.Rambut sebahu Zoya yang dipadu dengan midi dress merah muda yang ia kenakan terlihat begitu kontras dengan suasana tegang. Ia terlihat cantik, sangat cantik, tapi kehadirannya di depan rumah ini terasa seperti minyak yang disiram ke kobaran api amarah Dante.Mata Dante menyipit. Tidak ada sapaan atau basa-basi. Hanya kemarahan murni yang merayap di wajahnya. Kedatangannya jelas merusak ketenangan pagi hari.Sesaat setelah Zoya tersenyum tipis—senyum yang sangat Dante benci—pria itu bergerak cepat. Tangan kokohnya menyambar pergelangan Zoya dengan cengkeraman keras dan hampir menyakitkan.“Pergi,” desis Dante dingin. Suaranya rendah dan penuh ancaman. Ia mulai menarik wanita itu menjauhi ambang pintu, berniat mengusirnya sejauh mungkin dari kediamannya.“Dante! Hentikan!”Langkah Dante ter
Pintu itu terbuka hampir bersamaan. Di satu sisi, Chloe melangkah keluar mengenakan piyama satin berwarna biru muda yang longgar. Rambut panjangnya dikuncir asal-asalan ke belakang, menyisakan anak rambut halus yang membingkai wajahnya hingga membuatnya tampak manis.Dante keluar dari kamar yang tepat berhadapan. Ia hanya memakai celana training abu-abu dan kaus putih polos yang memperlihatkan sedikit lengannya yang berotot. Rambut tebalnya tampak acak-acakan khas bangun tidur dan beberapa tindik perak kecil berkilauan samar di telinganya.Koridor lantai atas rumah itu terasa hangat oleh cahaya matahari pagi. Mereka berdua berdiri diam. Dipisahkan oleh lantai keramik yang dingin.Chloe menatap Dante yang balas menatapnya. Senyum mereka merekah, bukan hanya di bibir, tetapi juga terasa sampai ke mata.Ini adalah pagi yang baik.Setelah beberapa hari sakit, wajah Chloe terlihat segar dan cerah. Kulitnya kini merona sehat dan jauh dari pucat. Sementara Dante, meskipun belum sepenuhnya pu
Aroma debu yang terangkat oleh angin senja adalah hal pertama yang tercium. Dante tidak tahu di mana dia, tetapi di sana ada kehangatan yang lembut dan bunyi daun-daun yang bergesekan. Terasa akrab seperti bunyi detak jantungnya sendiri.Ia mendongak. Di atasnya ada kanopi pohon rindang menyaring cahaya matahari sore menjadi serpihan emas yang menari di wajahnya. Dan di sampingnya terdengar tawa itu.Dante melihat dirinya sendiri saat tiga tahun lalu. Ia sedang duduk di samping Chloe, di anak tangga belakang gedung olahraga, tempat yang selalu sepi sepulang sekolah.Chloe menyandarkan kepala di bahunya. Helai rambutnya yang beraroma vanila menggelitik leher Dante. Di jari manis kiri Chloe melingkae cincin kertas pemberian Dante."Sepertinya aku satu-satunya alumni yang sering datang ke sini," bisik Chloe.Dante melingkarkan lengannya di bahu gadis itu, lalu menariknya lebih dekat. Keindahan sore itu terasa seperti sebuah kanvas yang telah selesai dilukis oleh alam semesta. Di usia mer







