Chloe berdiri tepat di depan cermin. Jemarinya sibuk merapikan kerah kemeja putih. Hari ini ia punya wawancara penting. Sebuah kesempatan untuk memulai kembali hidupnya, jauh dari masa lalu yang masih membayang.
Namun, bayangan itu justru datang tanpa diundang. Kilatan kembang api. Sorak-sorai orang-orang yang berdesakan di alun-alun kota. Dan sosok Dante, tiga tahun lalu, yang menggenggam erat tangannya.
"Tunggu aku di bawah pohon besar. Setelah hitungan mundur, kita akan melihat kembang api bersama. Aku ingin malam tahun baru kita jadi awal yang baru, Chloe."
Itulah janji terakhir yang Dante ucapkan. Janji yang ia hancurkan sendiri. Karena ketika malam itu datang, Chloe tidak pernah muncul. Ia memilih kabur meninggalkan Dante sendirian di tengah keramaian.
Chloe mengerjap cepat, menepis kenangan itu. Ia menarik kemeja hingga menutup sebagian tubuhnya, namun belum sempat mengancingkan semua, suara pintu berderit terbuka hingga membuatnya menoleh kaget.
Sosok pria paling dibenci berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat, menatapnya tanpa permisi. Tubuhnya disandarkan pada kusen seolah kamar itu memang miliknya.
“Apa kau tidak tahu caranya mengetuk?” seru Chloe panik. Ia buru-buru menutup bagian bawah kemejanya dengan kedua tangan.
Dante tidak bergeming. Matanya turun dan berhenti tepat di perut Chloe yang belum tertutup sempurna. Senyum tipis terbit di sudut bibirnya. Ia melangkah masuk sambil menutup pintu di belakangnya.
“Keluarlah! Aku tidak butuh penonton!” Chloe terlonjak kecil saat menyadari kancing bajunya belum terpasang sempurna. Tangannya buru-buru bergerak menutupinya, namun terlambat.
Dante meraih pergelangan tangannya. Sentuhannya dingin, tapi tegas. “Jangan buru-buru menutupinya,” bisiknya pelan. Suara beratnya membuat dada Chloe bergetar.
“Lepaskan aku, Dante!” Chloe berusaha menarik tangannya, tapi pria itu malah menariknya sedikit lebih dekat. Satu tarikan ringan, namun cukup membuat Chloe kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terhuyung dan dalam sekejap ia terperangkap dalam dekapan pria itu.
Tanpa aba-aba, Dante mendorongnya hingga jatuh ke atas kasur. Chloe terperangkap di antara lengannya, jantungnya berdentum kencang tak karuan. Napas Dante menyapu wajahnya begitu dekat, membuat ruang di antara mereka seolah meleleh.
“Kenapa kau menghindariku selama ini?” Suaranya berat, penuh penekanan. “Tiga tahun lalu kau pergi tanpa alasan.”
Chloe menahan napas, tubuhnya menegang. Kenangan malam kembang api itu menyesak kembali di dadanya. Ia ingin berteriak dan menjelaskan, tapi lidahnya kelu.
Dante menunduk lebih dekat. Tatapannya menusuk, seperti ingin menguliti semua lapisan pertahanan yang Chloe bangun.
“Kau yang meninggalkan aku. Jadi sekarang … aku yang akan mendekat tanpa izin.”
Mata mereka bertemu. Chloe bergetar ketakutan bercampur sesuatu yang tidak ingin ia akui.
Dengan sisa tenaga, ia menepis dada Dante.
“Pergi!” serunya, kali ini suaranya pecah.
Untuk sesaat, Dante tidak bergerak. Hanya menatapnya dalam-dalam seolah mencoba membaca isi hatinya yang tersembunyi. Lalu senyum tipis terbit di bibirnya.
“Kau boleh menolakku seribu kali, tapi jangan lupa, sekarang kita ini saudara. Tinggal di bawah atap yang sama. Sejauh apa pun kau ingin lari, aku akan selalu ada di depan pintumu.”
Setelah itu, ia melangkah pergi meninggalkan Chloe terengah di atas kasur. Pintu berderit kembali terbuka, lalu tertutup rapat.
Chloe buru-buru menutup semua kancing bajunya hingga rapat. Kemudian turun ke lantai satu dengan kaki gemetar.
“Ibu,” panggil Chloe begitu melihat Sarah sedang menyiram tanaman di halaman belakang. Napasnya terengah karena berkeliling mencarinya. “Kunci kamarku, apa Ibu tahu ada di mana?”
Sarah menoleh, menatap putrinya dengan sedikit heran. “Kata Richard, kunci kamarmu sudah lama hilang dan sepertinya tidak pernah ada cadangannya.”
Chloe membeku di tempat. “Apa tidak ada sama sekali?” tanyanya hampir berbisik.
Sarah mengangguk pelan, lalu menatap putrinya dengan khawatir. “Memangnya kenapa? Apa kau membutuhkannya?”
Chloe menggigit bibirnya. Ada ribuan kata yang ingin dilontarkan, tapi ia hanya bisa menggeleng cepat. “Tidak, bukan apa-apa, Bu.”
Namun dadanya berdegup makin keras. Dalam benaknya hanya ada satu kalimat yang berulang-ulang bergaung bahwa dirinya tidak punya ruang aman di rumah ini.
Chloe berdiri di belakang meja bar. Tangannya lincah menata gelas dan membersihkan bekas tumpahan susu. Matanya tampak fokus, tapi gerakannya terlalu mekanis seolah pikirannya tertinggal di tempat lain.Sudah hampir setengah jam ia bekerja tanpa bicara. Hanya sesekali mengangguk ke pelanggan yang memesan. Di luar jalanan sore mulai ramai, tapi dunia di dalam kafe terasa jauh lebih tenang.Sampai suara berat namun tenang memecah keheningan.“Kau baik-baik saja?”Chloe menoleh pelan. Arga bersandar di meja kerja sebelah, rambut gondrongnya dikuncir rapi, lengan seragamnya digulung sampai siku. Ia menatap Chloe dengan ekspresi cemas yang disamarkan oleh senyum tipis.Chloe sedikit mengerutkan kening, tidak mengerti maksudnya.Arga menatapnya sejenak, lalu menunduk, seperti ragu apakah ia seharusnya melanjutkan.“Maksudku… semalam. Pria itu. Dia sungguh adikmu?” Ia menatap lurus, seolah mencari kata yang tepat.Chloe mengedip pelan, lalu menurunkan pandangan ke cangkir yang sedang ia lap.
Dante melangkah mendekat lagi, menutup celah hingga napas mereka hampir bercampur. Chloe menatapnya datar dengan mata dingin yang tak mau luluh. Hanya ada bunyi langkah dan jantung mereka yang berdetak kencang.“Aku akan membunuhmu kalau berani menyentuhku tanpa izin lagi!” Chloe memerintah, suaranya tegas.Tawa Dante meledak, menggulung dan mereda jadi senyum sinis. “Kalau kau tak ingin kusentuh, jangan buat aku marah, Chloe,” jawabnya pelan. Suara itu menjadi dingin, seperti baja yang mengiris.Chloe mendesah. “Dasar gila.” Suaranya penuh rasa jijik.Dante mencondongkan badan, pandangannya menekan. “Kuperingati kau agar tidak dekat-dekat dengan pria lain, selain aku.” Kata-katanya seperti klaim, bukan nasihat.“Kau siapa berani mengaturku?” Chloe menantang, dagunya terangkat.Dante mundur sebentar, lalu tertawa pendek sebelum melangkah maju lagi. Di bawah lampu kuning, bekas luka di pipinya tampak menonjol.“Aku? Adikmu. Kau sendiri yang bilang, bukan?” Suaranya mengambang, penuh ej
Aroma kopi pekat langsung menyambut Chloe saat ia melangkah masuk ke kafe. Wanita itu menata rambut sebahunya yang bergelombang ringan, meski beberapa helai jatuh bebas menutupi pipinya yang pucat.Wajahnya sederhana, tapi cantik alami dengan mata besar dan bening itu memantulkan kegugupan sekaligus tekad. Dengan celemek hitam yang baru ia kenakan, Chloe terlihat seperti potret barista pemula yang berusaha keras tampil percaya diri.“Chloe, kan?” Suara ramah menyapa.Seorang pemuda berpostur tinggi dengan rambut agak gondrong rapi melangkah keluar dari balik meja kasir. Namanya Arga, senior di kafe itu. Usianya mungkin 25-30 tahun, sorot matanya hangat dan penuh selidik.“Iya.” Chloe tersenyum kikuk, menyembunyikan kegugupannya.Arga mengangguk sambil tersenyum miring. “Aku Arga. Mulai hari ini kita partner kerja. Kamu shift sore sampai malam, kan?”Chloe hanya mengangguk singkat, lalu berjalan mengikuti langkah Arga ke belakang meja. Mesin espresso mendesis, aroma cokelat panas berca
Chloe duduk di kursi makan dengan rambut masih berantakan. Matanya sayu akibat semalam hampir tidak tidur.Meja sudah penuh dengan hidangan. Ada roti panggang, telur, dan kopi hangat yang aromanya menusuk hidung.Richard duduk rapi dengan koran di tangan. Sementara Sarah mondar-mandir menambahkan makanan ke piring masing-masing.“Chloe, semalam kau ke mana? Ibu masuk ke kamarmu, tapi kau tidak ada,” tanya Sarah sambil menaruh gelas susu di depannya.Chloe yang sedang meneguk air langsung tersedak. Batuk keras, dadanya naik-turun, membuat semua orang menoleh.“Chloe, hati-hati!” Sarah panik, menepuk-nepuk punggungnya.Wajah Chloe memanas. Bukan karena tersedak, tapi karena otaknya baru saja menampilkan kembali kilasan semalam—mereka bersembunyi di lemari, dan… bibirnya yang direnggut begitu saja.Chloe buru-buru menggeleng, mencoba menenangkan diri.“A-aku sedang keluar mencari angin, Bu,” jawabnya bohong.Dari ujung meja, Dante menatapnya. Pria itu duduk santai, kaos hitam membalut tu
Chloe menatap langit-langit kamar, tubuhnya terasa berat. Semakin lama ia menatap, semakin besar keinginannya untuk pergi dari rumah ini. Namun kenyataan menampar keras. Tabungannya tidak akan cukup.“Aku belum mulai bekerja. Aku juga tidak mau merepotkan ibu,” gumamnya getir, suara nyaris pecah.Ponselnya masih tergeletak di lantai, layar padam. Ia menunduk, lalu meraih benda itu hendak menutup semua tab kost-an yang ia buka. Tapi tiba-tiba, ponselnya berdering beberapa kali.Tring! Tring!Pesan masuk dengan cepat dan bertubi-tubi.Chloe terdiam. Angka di ikon pesan naik seperti deret hitung gila. Mulai dari 15… 27… 39… hingga lebih dari 50 pesan masuk hanya dalam hitungan menit.Ia membuka satu. Isinya sama, hanya satu kata sapaan ‘hai’. Pesan berikutnya? ‘hai’. Dan berikutnya lagi masih ‘hai’.“Orang bodoh mana yang sebar spam seperti ini?” Chloe mendengus, buru-buru memblokir nomor itu. Ia melempar ponsel ke kasur, lalu menutupi wajah dengan bantal mencoba menenangkan diri.Belum
Chloe berdiri tepat di depan cermin. Jemarinya sibuk merapikan kerah kemeja putih. Hari ini ia punya wawancara penting. Sebuah kesempatan untuk memulai kembali hidupnya, jauh dari masa lalu yang masih membayang.Namun, bayangan itu justru datang tanpa diundang. Kilatan kembang api. Sorak-sorai orang-orang yang berdesakan di alun-alun kota. Dan sosok Dante, tiga tahun lalu, yang menggenggam erat tangannya."Tunggu aku di bawah pohon besar. Setelah hitungan mundur, kita akan melihat kembang api bersama. Aku ingin malam tahun baru kita jadi awal yang baru, Chloe."Itulah janji terakhir yang Dante ucapkan. Janji yang ia hancurkan sendiri. Karena ketika malam itu datang, Chloe tidak pernah muncul. Ia memilih kabur meninggalkan Dante sendirian di tengah keramaian.Chloe mengerjap cepat, menepis kenangan itu. Ia menarik kemeja hingga menutup sebagian tubuhnya, namun belum sempat mengancingkan semua, suara pintu berderit terbuka hingga membuatnya menoleh kaget.Sosok pria paling dibenci berdi