Rembulan sudah tiba ketika Chloe melepas celemeknya. Lampu-lampu kafe menyala lembut, memantulkan bayangan panjang di lantai yang baru dipel. Suasana begitu tenang, hanya detak jam di dinding dan gesekan kursi yang digeser.
Di luar, Dante berdiri di bawah lampu jalan. Asap rokok melingkar di udara, matanya tak pernah lepas dari pintu kafe. Sudah empat malam berturut-turut ia menunggu Chloe di sana dengan alasan ‘menjaganya’. Arga yang memperhatikan sejak tadi mendesah pelan. “Dia benar-benar serius,” gumamnya. Chloe tak menjawab. Jemarinya bergerak terlalu cepat menata gelas, seolah ingin segera kabur sebelum pria itu masuk. Begitu pintu kafe akhirnya terkunci, Dante berdiri tegak. Wajahnya berubah cerah, senyum lebar mereka baki anak kecil menunggu hadiah. “Sudah selesai?” tanyanya sambil melangkah mendekat. Bahunya menegang, tapi ia hanya menjawab singkat, “Iya.” “Bagus. Ayo, kita pulang.” Chloe berhenti di ambang pintu. Senyumnya sirna. “Dante, aku—” Belum sempat menolak, pergelangan tangannya sudah dicengkeram kasar. Genggaman itu kuat, dingin, menusuk tulang. “Tunggu—” suara Chloe serak, menahan. Arga yang juga baru keluar pun refleks bergerak. Tubuh besarnya menghadang. Satu tangannya menahan cengkeraman Dante. “Hari ini biar aku yang antar Chloe pulang.” Nada suaranya tenang, tapi tegas. Dante menatap tangan Arga, lalu naik ke wajahnya. Sorot matanya menggelap, pupilnya menyempit. “Kau kira dia bisa pulang denganmu begitu saja?” suaranya rendah, sarat ancaman. Arga membuka mulut, tapi Dante sudah menarik lengannya kasar, menyeret mendekat. Bisikan dingin menampar telinganya. “Sekali lagi kau mendekat, aku patahkan kakimu.” Kalimat itu membuatnya membeku sesaat. Sebelum ia kembali membuka mulut, terdengar suara keras yang menggema. Plak! Tamparan keras Chloe menghantam pipi Dante. Rokoknya jatuh ke tanah membuat bara kecil padam di jalanan basah. Dante menoleh perlahan. Pipi kirinya memerah, rahangnya mengencang. Untuk sesaat, keheningan menggantung hingga suara Chloe pecah. “Aku sudah bilang, hentikan kegilaanmu! Kenapa kau tidak pernah mendengarku?!” teriaknya, matanya berkaca-kaca namun tatapannya tajam. Tanpa ragu, Chloe mendorong dada Dante dengan kedua tangannya. Tubuh pria itu terhuyung dua langkah ke belakang. Arga langsung meraih lengan Chloe, khawatir Dante akan membalas. Namun Dante hanya terdiam. Napasnya memburu. Jemarinya menyentuh pipinya yang masih panas akibat tamparan, lalu perlahan bibirnya melengkung. Tawa rendah lolos, gelap, menggema di udara malam. “Sialan! Aku bahkan menahan diri beberapa hari ini. Tapi lihat, kau malah menamparku.” Chloe melangkah maju, menantangnya balik. “Dasar gila! Kita ini saudara sekarang. Apa kau masih tidak mengerti?” Tawa Dante pecah. Terdengar dingin dan nyaring. “Kau benar. Kau membuatku gila, Chloe,” bisiknya. Ia mendekat satu langkah, matanya tak lepas dari wajah wanita itu. Senyum sinisnya mengembang. Arga menarik napas berat, berusaha tetap tenang meski tatapan Dante jelas membuat darahnya mendidih. Ia menuntun Chloe menuju mobil yang terparkir di sisi jalan. “Masuklah,” bisik Arga sambil membuka pintu untuk Chloe. Namun sebelum mereka sempat beranjak lebih jauh, suara langkah sepatu berat menyusul dari belakang. Dante berjalan santai, menyalakan rokok baru. Senyumnya terukir lebar, seperti pemenang. “Aku ikut.” Chloe menoleh cepat, wajahnya pucat. “Dante, jangan—” Tapi pria itu tidak peduli. Begitu Arga membuka pintu mobil untuk dirinya sendiri, Dante lebih dulu menarik gagang pintu belakang. Tanpa permisi, ia menjatuhkan tubuhnya ke kursi belakang, bersandar santai seakan itu memang mobil pribadinya. Asap rokok mengepul di udara sempit mobil. “Jadi, siapa yang nyetir? Kau?” tanya Dante pada sang pemilik mobil dengan nada malas, tapi matanya tajam. “Bagus. Pastikan kita sampai rumah dengan selamat. Kalau tidak, kau tahu kan, apa yang bisa kupatahkan lebih dulu?” Arga mengepalkan tangan di setir, rahangnya mengeras. “Dante, keluar dari mobil! Aku tidak butuh kau mengikutiku!” ujar Chloe berusaha mengusirnya. Tawa Dante meledak pelan, dingin. Ia mencondongkan tubuh ke depan, wajahnya mendekati telinga Chloe. “Perintah ibu, Chloe. Aku harus menjagamu. Bagaimana kalau dia membawamu ke hotel?” kata Dante. Matanya melirik tajam pada pria di kursi pengemudi. Ia kembali bersandar. Kaki terentang seenaknya di kursi belakang. Dengan tatapan penuh klaim, ia menambahkan, “Jadi ayo, antar dia pulang. Aku mau lihat apa benar kau mengantarnya ke rumah.” Mobil melaju pelan menembus jalanan malam. Lampu kota berkelebat, tapi hawa di dalam kabin terasa lebih sempit daripada udara luar. Tatapan Dante menelusuri interior mobil dengan santai. “Mobil ini bagus juga,” komentarnya enteng. Bibirnya melengkung sinis. “Seorang pegawai kafe bisa punya mobil seperti ini? Hebat” Arga mengeraskan rahangnya. “Aku bekerja keras. Tidak seperti seseorang yang cuma hidup dari warisan keluarga.” “Dante, hentikan!” Pria itu memang berhenti, tapi Arga justru melanjutkan perkataannya. “Kau yakin menyebut Chloe sebagai saudara tirimu, Dante? Kalau kau benar mengganggap Chloe keluarga, seharusnya kau melindunginya, bukan memperlakukannya seperti—” “Seperti milikku?” Dante memotong dengan senyum bengis. Ia meraih helaian rambut Chloe, memilin di antara jarinya. “Memangnya ada aturan saudara tiri beda orang tua tidak boleh bersama?” “Kau hanya sakit jiwa. Obsesimu bisa membunuh Chloe.” Arga menahan napas, mencoba mengendalikan amarah yang nyaris meledak. Sementara Chloe menggenggam tasnya erat. Suara lirih lolos dari bibirnya yang tadi terkatup rapat. “Kalian berdua diamlah!” Keheningan menekan kabin setelah kalimat Dante terakhir. Chloe hanya menunduk, jemarinya menggenggam tas hingga pucat. Arga menatap lurus ke depan, berusaha menyalurkan amarahnya ke pedal gas. Dante mendongakkan kepala, seolah bosan. Matanya melirik keluar jendela, memperhatikan jalan yang makin sepi. “Hm…sebentar lagi sampai ya. Berhentidi sini saja,” gumamnya pelan. Ia tersenyum samar, lalu menepuk sandaran kursi Arga Arga menoleh sekilas, bingung. “Apa? Ini masih cukup jauh dari rumah kalian.” “Tidak terlalu jauh.” Dante menghembuskan sisa rokoknya keluar jendela, tatapannya tajam. Ia mencondongkan tubuh, wajahnya dekat sekali dengan Chloe. Suaranya menurun jadi bisikan yang hanya ia dengar. “…aku ingin kau merasakan sendiri betapa dekatnya aku, bahkan ketika aku tidak duduk di sampingmu.” Chloe membeku, jantungnya berdetak kacau. “Dasar brengsek.” Arga mendesis, menahan geram. Dante hanya tertawa kecil, membuka pintu dengan gerakan tenang. Sebelum turun, ia sempat menatap Chloe lama. “Sambut aku saat pulang nanti, Chloe.” Pintu ditutup keras. Arga segera melajukan mobil kembali, tapi Chloe masih terpaku. Napasnya tersengal, dadanya naik-turun tak teratur. Pandangan matanya tanpa sadar tertuju ke kaca spion. Bayangan Dante semakin mengecil di balik cahaya lampu jalan, tapi entah kenapa sorot matanya seolah masih menempel mengikutinya.“Kau mau ayam lagi, Dante?” Sarah mencoba membuka suasana. Ia sedari tadi menatap Dante yang terlihat fokus pada piring ayam di sampingnya.Tapi Chloe sudah lebih dulu mengulurkan tangan dan mengambil lauk itu untuk pria di hadapannya.Dante menatap Chloe tajam. Bibirnya membentuk smirk tipis. Sudut bibirnya terangkat dengan percaya diri yang membuat dada Chloe bergetar. Ada sesuatu dari tatapan itu seolah berkata, ‘Kau menantangku, ya. Mari kita lihat seberapa jauh kau berani.’“Kau peduli sekali padaku. Aku jadi makin suka,” ucap Dante santai.Chloe terbatuk kecil mendengar itu. Pipinya memanas dan semua orang di meja makan bahkan terdiam sesaat menatap mereka bergantian.Dante tersenyum tipis lalu melanjutkan, “Senang punya kakak yang baik sepertimu.”Chloe menelan ludah, mencoba menenangkan napasnya. “Y-ya, aku hanya membantu sebagai seorang kakak,” jawabnya pelan, menunduk sebentar.Dante menggeser kursinya perlahan dan duduk di samping Chloe, senyumnya tipis tapi matanya masih m
Dante turun tangga perlahan, rambutnya masih acak-acakan, kausnya kusut. Ia tidak berharap siapa pun akan memperhatikannya. Biasanya, mereka semua sudah sibuk dengan urusan masing-masing.Namun, kali ini tidak.“Pagi,” suara lembut itu membuatnya berhenti di anak tangga terakhir.Chloe berdiri di dapur, mengenakan sweater abu-abu dan mengikat rambutnya ke belakang. Wajahnya tampak segar, seolah tidak terjadi apa-apa. Ia sedang menuang kopi ke cangkir, lalu menoleh dengan senyum kecil.“Untukmu,” katanya ringan, sambil mendorong cangkir itu ke arah Dante di meja.Dante menatapnya curiga. “Apa ini semacam jebakan? Apa ini hari kematianku?”“Cuma kopi,” jawab Chloe, nada suaranya tenang, bahkan nyaris hangat.Ia duduk di seberang, menatap Dante seperti sedang berusaha menebak sesuatu di wajahnya.Dante mengambil cangkir itu perlahan, mencium aromanya, tapi tidak langsung meneguk. Tatapannya tetap pada Chloe.“Kau aneh hari ini.”“Aneh? Aku hanya mencoba bersikap baik. Bukankah itu normal
Chloe duduk di ujung meja, mengaduk jus jeruknya tanpa minat. Matanya masih sembab setelah malam panjang yang tak memberinya jawaban apa pun.Seperti biasa, mereka sekeluarga sarapan bersama. Suara sendok dan piring beradu di atas meja panjang. Semuanya tampak biasa sampai suara pintu depan terbuka.Mereka semua menoleh hampir bersamaa. Dante muncul di ambang pintu. Rambutnya berantakan dan jaketnya masih menyisakan bau malam, tapi beruntung kali ini tidak ada darah atau luka di tubuhnya.Richard langsung berdiri. “Dari mana saja kau baru pulang?!” Suaranya keras dan bergema di seluruh ruangan.Dante tidak menjawab. Tatapannya hanya sekilas menyapu meja makan, lalu beralih ke tangga. Ia melangkah tanpa bicara.“Dante! Ayah bicara padamu!” Richard menghardik lagi. Nada suaranya makin menajam.Sarah cepat menepuk tangan suaminya pelan, berusaha menenangkan.“Sayang, sudah. Biarkan dulu. Dante baru pulang. Sarapan dulu, Nak,” katanya lembut. Mencoba menyapa Dante dengan senyum raham. “Ib
Chloe berdiri menatap punggung Dante yang kian menjauh hingga lenyap di balik sorot lampu klub Desire. Udara malam menusuk kulitnya, tapi dada Chloe terasa lebih sesak daripada dingin yang merayap.Seharusnya ia pulang. Tapi langkahnya justru berbalik mengikuti arah pria itu pergi.Ketika ia baru saja hendak melangkah ke pintu, dua pria bertubuh besar berdiri menghadang. Wajah mereka datar, tapi tegas.Salah satu dari mereka berkata, suaranya berat dan tanpa emosi, “Tuan Dante meminta kami agar tidak mengizinkanmu masuk, Nona.”Chloe tertegun. “Dia bilang begitu?” tanyanya pelan, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang tiba-tiba naik ke tenggorokannya.Penjaga itu hanya mengangguk sekali.Dari tempatnya berdiri, Chloe masih bisa melihat melalui celah pintu. Sosok Dante berdiri tak jauh di dalam. Lampu merah muda dan biru menari di wajahnya, membuat sorot matanya sulit ditebak.Lalu seseorang mendekat dari arah bar. Seorang wanita berambut merah menyala tersenyum akrab sebelum melingka
“Lepas, Dante!” seru Chloe. Ia berusaha menarik tangannya, tapi genggamannya tak kunjung mengendur.Langkah Dante baru berhenti setelah mereka cukup jauh dari pintu masuk klub. Ia menoleh, rahangnya mengeras, dan napasnya berat.“Kau sudah gila?” suaranya rendah, nyaris seperti geraman.Chloe menatapnya tajam. “Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya kau lakukan di sini!”“Dengan menyamar jadi pengunjung klub dan hampir meneguk minuman itu?”“Itu cuma minuman!”“Itu alkohol dan kau tahu itu!”Nada suaranya meninggi di akhir kalimat. Suara Dante bergema di antara bangunan beton, membuat Chloe mematung sesaat.Namun, bukannya takut, ia justru membalas tatapannya dengan keras.“Lalu kau di sana untuk apa, hah?! Kau pikir aku tidak berhak tahu? Kau muncul keesokan paginya dengan baju bau keringat dan darah. Dan sekarang aku menemukanmu di klub seperti ini!”Dante diam. Tatapannya gelap, namun di baliknya terselip sesuatu. Antara marah, rasa bersalah, atau justru kekhawatiran.Ia mengusap
Chloe berdiri di depan pintu masuk Desire dengan ragu. Setiap orang yang melangkah masuk tampak seperti berasal dari dunia lain. Mereka mengenakan pakaian berkilai, aroma parfum mahal, dan tawa keras menggelegar.Wanita yang mengenakan kemeja dan celana panjang itu menarik napas, hingga akhirnya memutuskan untuk melangkah maju.Salah satu penjaga berbadan besar menatapnya dari ujung kepala sampai kaki.“Undangan?” tanyanya datar.Chloe tercekat. Ia menunduk pura-pura mencari sesuatu di dalam tas kecilnya. Tapi sebelum sempat berkata apa pun, suara ceria penuh riang muncul dari belakangnya.“Dia bersamaku.”Rambutnya merah menyala, bergelombang longgar di bahunya. Gaun hitam yang ia kenakan menempel di tubuh seperti bayangan dengan satu belahan tinggi di sisi paha. Senyum lebar yang memperlihatkan deretan gigi rapinya terus terpasang di wajah.Tanpa menunggu jawaban penjaga, wanita itu melingkarkan lengannya di lengan Chloe.“Dia temanku. Aku yang mengajaknya. Dia bilang, dia butuh pel