Aktivitas kembali dimulai yang mana pagi hari dalah waktu tersibuk untuk seorang Adinda, beberapa barang tampak berantakan di ranjang mulai dari tas hingga beberapa buku, sama halnya dengan Melana rekan satu kamar Dinda yang tidak kalah sibuknya.
"Ehemmm..Mel, coba deh kamu fikirkan...” Dinda berbicara sembari merapikan rambutnya dikaca ia baru selesai mandi dan akan pergi ke Bank dan beberapa tempat untuk mengurusi segala kartu dan identitasnya yang hilang bersama dompetnya itu.
Melana yang sedang memakai pakaian pun menoleh, “Coba yang lain kali ya Din, mumet dah disuruh coba mikir mulu, nggak di kampus dikos-kosan juga.”
Dinda pun tertawa, “Melan serius, aku mau cerita ini....”
“Kaya ngelamar aja serius, cerita ya cerita aja kali!” gerutu Melana terus mengancing susah payah kemeja kecilnya.
Wajah sumringan Dinda masih terpancar menjelaskan ia tampak malu ingin memceritakannya, “Hem...semalam aku ketemu sama Kairo ditempat beli makan, dia yang kasih tahu tas aku sobek dan akupun baru sadar dompetku jatuh.”
“Oh orangnya yang kamu bilang kasih tahu itu dia, terus?”
“Terus ya sudah, nggak ada apapun.”
“Unfaedah, males deh, awas minggir gantian kacanya, kalau kamu ceritanya terus dia tolongin aku Mel, bantu cariin dan lalu beliin yang baru gitu baru wow, kalau cuma kasih tahu doang mah, Pak RT atau kakeknya gubernur juga bisa kali, Heyy spada, Nak nak....tas kamu terbuka dan tersayat- tersayat itu...” Melana melambai-lambaikan tangannya mengejek Dinda.
Dinda pun menarik rambur Melana yang berkaca disebelahnya, “Gila kamu ih, kenal juga nggak! Sodara juga bukan, mau kasih seperti itu buat apa!"
“Ya kenalan dong, Masss...ah....ah...— namanya siapa, gue Dinda....dekat sama mas boleh nggak ya...” Melana pun tertawa memperagakan suara desahannya.
Dinda pun menarik rambut Melana lagi, dan keduanya pun tertawa disana, “Mendesah-mendesah, anjing sawan kali ya.. Mel kamu sembarangan bilang duda, emangnya kita tahu!”
Melana mengendikkan bahunya, “Kata mba kamar sebelah dia nggak pernah lihat istrinya yang ada juga nenek-nenek, eh mungkin aja itu istrinya, ya..”
“Dih kamu ngapain bahas-bahas dia sama mbak sebelah.”
“Dih kamu belum apa-apa sudah possesive banget, itu mbak sebelah kenalin semua orang bukan cuma dia papanya si bocah, dia bilang tetangga depan sebelah kanan itu killer, yang tengah si papanya Edgar itu sepertinya duda, yang punya anjing suami istri itu mantan residivis, nah katanya dia nggak pernah lihat mamahnya Edgar, jadi kalau pagi-pagi Edgar dijemput atau di hantar si Kairo itu kerumah nyokapnya, Kairo itu Dokter dirumah sakit Golden Health Hospital.”
“Dokter Mel?” Dinda terperangah.
Melana pun menelan ludahnya mentap Dinda, "Lalu kenapa?" kemudian Melana mendorong Dinda untuk menepi, “Hallo, Tante Rowina ini anaknya tolong bawa pulang saja, mulai-mulai aneh tingkahnya...”
Dinda pun tertawa, “Apaan sih, nggak lucu!”
Melana berangsur duduk hendak mamasang sepatunya, “Tentang duda atau bukan sih kita nggak bisa mastiin, yang penting Din kamu fikir-fikir dulu deh kalau mau naksir orang yang sudah punya anak, gimana respon mama kamu dan kakak kamu.”
“Apa sih ribet banget, siapa yang naksir! Sudah pergi sana cepat! Aku mau tidur sebentar, sepertinya belum ada bank atau kantor pemerintaan yang buka jam 7 pagi.”
"Whatever!" Melana pun bangkit membuka pintu, matanya melihat keluar sembari melirik kebawah sana, “Bank dan pusat pemerimtahan belum buka, tapi pintu rumah orang depan sudah buka kok Din,” Melana tertawa, “ Noh lihat Din lihat...Edgar dijemput.”
Dinda pun segera melangkah mendekat dengan Melana disebalik gorden yang jika siang tidak akan terlihat bayangannya. Keduanya melihat pada Kairo yang memasangkan tas pada Edgar lalu mengecup rambut anaknya mengahantarkannya kedalam sebuah mobil yang menjemput itu.
“Aduhhh......gemes..” Melana memuji.
“Edgar?”
“Bukan, bokapnya lah!” Melana terbahak-bahak diwajah Dinda sengaja memperoloknya. Haha, “Dinda...Dinda terpesona sama Papah-papah hota deddah, Hah....”
Dinda mendorong mulut Melana, “Hah-nya Biasa aja kali! Bau tau!”
“Terserah beta, udah aku berangkat dulu ya sudah telat, babay Dinda....awas ya macam-macam, saat aku nggak ada!” Tunjuk Melana tangannya pada wajah Dinda.
“Temen rasa nyokab lu! Buruan berangkat sana!”
***
Pukul 9 pagi Dinda bergegas keluar, ia sudah bersiap-siap hendak mengurus semua kartu-kartunya yang hilang, sembari mengunci pintu ia melirik rumah depan sana, siapa lagi jika bukan kediaman Kairo, dua mobil masih terparkir disana artinya lelaki itu masih ada dirumah dan belum berangkat bekerja.
Peduli apa?
Dasar Dinda penguntit...
Dinda pun bergegas turun, akan berjalan kaki keluar dari komplek perumaham untuk naik angkutan umum didepan sana, beberapa kali berpapasan dengan penghuni di lantai bawah, kos-kosan itu tampak sepi mungkin hanya 5 kamar yang di huni selebihnya kosong sebab memang masih baru.
Dinda pun membuka gerbang rumah besar kos-kosan lalu kemdian menutupnya lagi, tidak lagi mengindahkan mobil yang terparkir atau lelaki yang belum berangkat bekerja, Dinda segera pergi berjalan kaki keluar menuju sebuah halte.
Coba gitu lewat ya kan.... trus tiba-tiba berhenti... “Naik? Mau kemana ayo saya hantar, kaya di film-film gitu”
Dinda tertawa, terus berjalan memegangi tasnya bersyukur mentari tidak terlalu terik dan jarak ke halte depan tidak terlalu jauh.
Tiiiinn...
Dinda tidak menyadari beberapa kali suara klakson menyapanya dibelakang hingga mobil melaju cepat mendahului Dinda.
Dinda terkesiap, haruskah aku mengatakan pucuk di cinta ulam pun tiba? Mobil itu, mobil yang kemarin juga mengklakson ku.
Dia, Kairo, Dinda mematung seperti kebingungan, apakah hayalan adalah sebuah doa, bagaimana bisa terjadi dibenar menghampiri.
“Pasti mau bilang, Dinda mau kemana? Ayo naik saya hantarkan...” Dinda bergumam sendiri.
Beberapa detik kemudian kaca mobil lelaki itu di turunkan, Dinda sedang menghitung waktu untuk mendapati ucapanan itu.
“Di-dinda...temen kamu nyariin itu, dia kembali lagi ke kos-kosan, mungkin ada yang tertinggal”
Yah... sial, Dinda terperangah semua diluar dugaan, Dinda pun menggangguk dengan perasaan yang mencelus, sungguh dia ingin sekali tertawa terpingkal-pingkal saat ini, lelaki itu menegur dan mengucapkan hal yang diluar dugaan.
Lalu Kairo pun segera kembali menutup jendelanya kembali dan pergi dari sana, “Fix, Dinda jangan kepedean, sakit hati dan kecewa atas ekspektasi yang berlebihan bisa membuat meninggal muda dan mati mendadak loh.”
Dinda pun segera menghubungi Melana sembari kembali berjalan pulang, ini jelas Dompet Melana pasti tertinggal dia kembali sebab ponsel dan kuncinya ada dalam dompetnya itu
Mengacuhkan Kairo yang sudah pergi Dinda terus berjalan menuju pulang dengan menggerutu, Melana Sialan menyusakan dan masih sedikit geli dan malu juga atas dirinya yang mengangani yang keterlaluan.
Tinn......
Lagi dan lagi mana Dinda peduli suara klakson, hingga kembali mobil itu mendahuli Dinda dan segera membuka jendela mobilnya, “Cepat sekali jalannya, saya putar balik kamu sudah hilang.”
Dinda terperangah, lelaki itu berbalik.”Ah...iya, kenapa?”
“Mau mengurus kehilangan identitas dan dokumen negara yang lain, ‘Kan? Berikan saya surat-surat pendukungnya rekan saya bisa mengurusinya dengan mudah tidak perlu menunggu lama berkali-kali kembali.”
Dinda masih terdiam sedetik kemudian dia sadar, “Bisa beneran?” Ia pun antusias, segera membuka tas miliknya dam mengeluarkan map coklat miliknya itu. “Ah ini...”
Lelaki itu mengulas senyuman, “Bukan berikan kepada saya, tapi rekan saya...ayo naik kamu minta tolong sendiri nanti.”
Sungguh Dinda seperti tidak percaya lelaki itu mengatakan ayo naik,” Naik? Ha... tidak keberatan? saya kasih kunci sama Melena dulu “ Dinda pun terus berjalan lagi.
Langkah Dinda yang cepat membuat lelaki itu menekan klaksonnya lagi dan Dinda pun menoleh, “Naik ayo!” Ajak Kairo.
Naik??
Beneran nggak sih?
Lelaki itu pun memberi anggukan meyakinkan pada Dinda yang bingung mematung di ditrotoar jalanan dan membuat Dinda membalas anggukan ke wajah tampan Kairo dengan senyuman dan segera berjalan ke arah mobil Kairo, lelaki itu memiringkan tubuhnya membuka jendela depan mempersilahkan duduk didepan bersebelahan.
Dinda yang tadinya akan naik dibelakang karena rasanya tidak nyaman dan aneh pun kini dia segera masuk, duduk perlahan dan menganggukkan kepalanya samar seperti mengucapkan terimakasih pada Kairo.
Tidak ada suara apapun dari Dinda bahkan setelah dia sampai di kos-kosan menghantarkan kunci untuk Melana membuat Melana heboh melihatnya bersama Kairo, "Sst diam Melana,nanti aku ceritain!" Dinda mengancam Melana dan segera turun lagi tidak enak dilihat tetangga dan membuat menunggu.
***
Di dalam mobil selepas kembali dari kosan Dinda terus diam begitu pun Kairo, Dinda tampak malu dan bingung harus apa, lagi pula lelaki itu tampak serius kali mengemudi.
“Kamu ngampus dibelakang?” Akhirnya Kairo memecah keheningan dalam mobil mewah yang radio siarannya menginformasikan berita itu.
“I-iya, saya kuliah dibelakang, ma-af mas, om atau papanya Kairo, Mamanya Edgar nggak apa-apanih tolongi saya? Saya takut salah paham.” Akhirnya Dinda bisa to the point langsung ke inti tanpa menanyakan basa-basi.
Walau munafik sekali kan Dinda menanyakan itu, dengan wajah menatap takut pada Kairo, padahal sudah tahu ibu Edgar tidak ada disana, kalimat yang sangat klise padahal dia sangat ingin tahu sekali segalanya.
Kairo menyimpul senyum, namun dia tidak menjawab apapun, entah tidak ingin menjawab atau mungkin sedang mengatur kalimat yang bagus untuk menjawab.
Lelaki itu terus mengemudi dengan baik menatap serius kedepan, seperti tidak tampak akan menjawab membuat Dinda pun mengalihkan wajahnya dan berfikir apakah pertanyaa dia salah.
"Istri?" ulangi Kairo beberapa menit kemudian, membuat Dinda yang takut pun menoleh padanya.
.
Next»
Dinda masih melihat pada Cairo berharap mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, “Hem, iya istri—Mas...eh...mamanya Edgar dimana?” ulangi Dinda, dan Dinda juga bingung harus memanggil tetangganya ini apa. Lelaki itu mengulas senyuman seakan paham Dinda yang bingung, “Panggil Khai saja, dirumah atau dilingkungan keluarga saya biasa mereka memanggil saya Khai, kecuali dirumah sakit.” Adinda berfikir positive tidak ingin terlalu kepedean yang mana lelaki yang baru ia kenal tidak lain adalah tetangganya ini mau menghantarkannya lalu mereka berada dalam jarak yang dekat dan di meminta memanggilnya dengan nama seperti yang keluarganya panggil, ini tidak lain sebab dia kemarin tahu Dinda kecopetan, ini hal biasa hanya sebuah bentuk peduli sesama. “Mas Khai?” Kairo pun mengulas senyuman, “Ya terserah, apapun itu sama saja.”
Setelah lama menunggu akhirnya sepupu dari Kairo akhirnya menghampiri, lelaki bernama Ervan itu begitu terkesiap melihat Kairo bersama seorang wanita.“Calon, kakak ipar?” Lelaki itu lantas langsung menembakin Kairo padahal belum bertegur sapa.Sebuah lengkungan tipis terbit di bibir Kairo,“ Kenanalin, Dinda teman saya.”ucap Kairo membuat Dinda memberikan anggukan untuk membenarkan ucapan Kairo.Lelaki itu masih saja tersenyum penuh artia seakan tidak mempercayai itu, “Baiklah, terserah apapun itu,” Ervan mengulurkan tangannya, “Saya Ervan sepupu Khai, ayah saya dan ayah Khai adik kakak.”Dinda pun menymbut uluran tangan Ervan, “Saya Dinda.”Segera Kairo melepaskan tangan Ervan dari Dinda.“Dinda masih sangat muda, tidak cocok deng
Akhirnya Dinda pun menuruti ajakan Edgar, Dinda duduk dibelakang kemudian Edgar pun meminta berpindah pula ketempat Dinda.Sebenarnya atas ajakan Edgar atau aku saja yang ganjen pakai ikut segala, Dinda menggeleng samar atas sikapnya.Edgar tampak sangat akrab sekali dengan Dinda, dia mengutarakan banyak hal dengan Dinda padahal mereka baru beberapa kali bertemu namun entah bagaimana dia begitu cepat akrbabnya.“Apakah hanya karena aku tawari jajan kemarin?” Dinda mengendikkan bahunya bingung, ia terus mendengarkan Edgar bercerita panjang lebar.“Kakak sekolahnya jauh? Sekolah Edgar dekat rumah Oma, disana dijauh...”“Sekolah kakak deket, Cuma jalan kaki sudah sampai.” Dinda mengusap pipi chubby Edgar.“Kak
Edgar menyudahi bermainnya ia pun kembali ke meja yang mereka pesan bersamaan dengan makanan yang dipesan juga sudah datang, Edgar memilih duduk disebelah Dinda dan Kairo diseberang mereka. “Wah, Kakak Dinda sama papa sama ya suka makan nasi goreng salted egg?” Dinda terperangah,beneran dipesan sama-samaan sama dia? Telur asin? Astaga mana nggak bisa makan yang asin-asin lagi,Dinda mencoba untuk suka, ia pun melengkungkan senyuman. “Hemmm...kenapa? Edgar nggak suka?” Edgar menggeleng seraya menjulurkan lidahnya, “Nggak enak, Edgar sukanya chesse, ayo kita makan.” Iya emang, nggak enak! Seleranya bapak-bapak apakah seperti ini? Mengacuhkan Kairo didepan mereka, Edgar dan Dinda tampak terus saling bercanda sembari menyantap makan
“Mel, Melanaa!” Teriak Dinda didepan kelasnya saat melihat Melana yang berlalu bersama teman-temannya, mereka beda jam kuliah juga beda jurusan membuat keduanya memang jarang bisa sama ke kampus.Melana pun berhenti saat Dinda berlari mendekat, “Masuk pagi Din? kata kamu cuma ngikutin mata kuliah Pak Ronal nanti siang?”“Aku ambil yang pagi nanti siang kakak mau jemput ke kampus, aku nginap ditempat kak Nancy ya dua hari ini dia mau pergi, bawa baby sama anak balitanya susah kalau nggak adababy sitterlagian juga besok libur kan.”“Jadi nginap ni ceritanya, Mas Khai dan anak sambung nanti cariin!”Dinda bersemu malu, “Apaan sih, sudah sana pergi! Aku cuma mau laporan itu aja, mau kemana kalian?”“Mau kerumah sa
Di tempat ini Dinda bisa melihat jelas bagaimana sosok Kairo menjadi sorotan banyak wanita muda, para ibu-ibu yang tertarik untuk jadi calon anak mereka, Dinda masih menatapi Kairo dari jauh dan sang ibunda Kairo sangat bangga pada anaknya itu.Banting bukan Din? Kamu siapa hanya bocah ingusan?Lihat yang menggandrungi dia, sesama dokter, bisnis women, model, nah ituOMGitu anak pengusaha terkenal itu kan? Lihat Dinda pada seorang gadis yang sedang menyodorkan makanan pada Kairo.Dinda mengendikkan bahunya,Whatever... Dinda merasa memang bukan siapapun, kenal juga karena Edgar dan semua karena Edgar yang mulai membuat Dinda merasa nyaman menjadi pendengar dan teman baik untuk Edgar.Dinda pun mengacuhkan Kairo disana ia masih menggandeng Kennan sang keponakan untuk berjalan ke tempat lain mencari Edgar.
“Papaaaa!”Dinda lantas terbangun, ketiganya tertidur diatas sebuah ranjang, Dinda memeluk Kairo dan Edgar berada dikaki Dinda nyaris terjatuh.“Edgaaar!” Dinda segera duduk membuat Edgar ketengah dan tidur lagi, Dinda menatap heran bagaimana dia bisa dikamar ini.Cklak“Khai bangun sudah pagi—“Suara pintu yang terbuka tiba-tiba dan panggilan seorang ibu yang masuk membuat Dinda yang tengah kebingungan semakin bingung.“Kairo?” Wanita itu terperangah melihat Dinda disana diranjang, Kairo berposisi ditengah jelas sekali pasti mereka tadi tidur dalam posisi yang sangat intim tadi, sementara sang anak dibawah sana.Dinda segera bangkit ia menggeleng tidak mengerti namun
Dinda tidak bisa keluar kamar, seluruh keluarga Kairo yang ada dirumah tante Miranda benar-benar membuat Dinda tidak berkutik, dia tidak dihardik hanya saja menjadi santapan dakwaan didepan anggota keluarga Kairo, tante Miranda juga dua adik Kairo lainnya.Dinda introgasi banyak hal mulai tentang, orang tua, keluarga, kuliah hingga keadaannya dikos-kosan, sungguh Dinda sangat takut memberitahukan bahwa dia punya kakak di Jakarta.Dinda terpaksa berbohong banyak hal, tentanag dia hanyalah anak rantauan dan hanya tinggal dikos-kosan, malam tadi dia datang bersama Indah rekannya ikut-ikut saja.Dinda tidak mungkin menghubungi mama atau kakaknya, belum mampu bahagiakan Mama malah sudah membuat hal buruk seperti ini, pasti mama akan sangat terpukul mendengar kabar Dinda dan bisa-bisa ia serangan jantung mendadak.Berkali-kali Dinda