Demi tetap menjaga kewarasan, aku langsung menutup grup keluarga itu tanpa membaca pesan ke bawahnya lagi. Aku juga sudah beberapa kali melakukan tancapan layar agar bisa aku tunjukkan kepada Mas Arif dan orang tuanya nanti.
Aku melakukan semua ini bukan karena aku jahat, tapi aku ingin mereka sadar bahwa apa yang dilakukannya hanyalah sia-sia, dan menyengsarakan diri mereka sendiri. Bukan hanya itu, aku juga rasanya lelah harus berseteru dengan mereka terus-menerus. Kita saudara, sudah seharusnya akur. Bukan malah mencari kesalahan-kesalahan yang terjadi di antara kita dan menyebarkan keluar. "Mas, sepertinya aku memang tidak pernah dianggap ada oleh keluargamu," ucapku tiba-tiba melow ketika Mas Arif sudah mandi sepulang dari bengkel. "Kenapa bertanya begitu, mereka sepertinya belum bisa menerima saja." Mas Arif duduk di sampingku dan mulai mengelus rambut panjangku dengan lembut. Aku memang terbiasa memakai jilbab, tapi kalau di dalam rumah masih jarang. Meksipun begitu, di depan pintu aku sudah sediakan jilbab panjang yang bisa menutupi lengan langsung. "Tadi mereka kembali membicarakan aku di grup WA, Mas," ucapku merajuk. Mas Arif terdiam sejenak, kedua telapak tangannya terlihat mengepal. "Nanti Mas akan memberikan mereka pelajaran," ucapnya tanpa menatap ke arahku. "Mas kali dengan sikap mereka padamu yang selama ini sudah berjuang dengan Mas dari nol," lanjutnya membuatku terharu. Kata demi kata yang keluar dari bibirnya memang selalu bisa membuatku tenang. "Aku harap, kamu selalu seperti ini, Mas. Selalu ada di sampingku di saat aku butuh dan selalu percaya padaku," ucapku sangat berterima kasih, lalu memijat pundaknya pelan. "Bagaimana mungkin Mas tidak percaya, selama ini kamu selalu menjadi istri yang jujur. Tidak pernah berbohong dan mengaku salah jika melakukan kesalahan," imbuhnya dan buliran bening keluar dari matanya. "Mas bener-bener beruntung punya istri seperti kamu," ucapnya lalu memintaku untuk bersiap. Kita akan datang ke rumah ibu, memberikan hadiah yang sudah aku kemas cantik ini. "Semoga mereka suka dengan baju-baju ini ya, Mas," ucapku penuh harap. Mas Arif tidak bicara, dia hanya tersenyum sambil memanasi motor. Aku menunggu anakku pulang mengaji. Kita sudah janjian untuk pergi ke rumah neneknya jam setengah lima sore. "Ayo, berangkat," seru Mas Arif. "Bismillahirrahmanirrahim." Kami membaca basmalah bersama-sama. **** "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam." Setelah terdengar ramai yang menjawab salam, tapi hanya bapak yang keluar untuk menyambut kami. Tidak ada, mungkin mereka sibuk. "Masuk, Nak." Bapak menyambut kami dengan penuh kehangatan. "Loh, ramai ternyata," ucapku tidak percaya kalau Ratih dan Rina juga ternyata ada di sini. Sayang suami-suami mereka tidak ikut. "Iya, mereka baru datang, Nak." Lagi-lagi hanya bapak yang menjawab. Sementara Ibu hanya terdiam membisu sambil melihat benda-benda yang ada di ponselnya Ratih. "Bu, ini keluarga anak sulung kita datang," ucap Bapak memberitahu ibu. "Oh, duduk saja. Ibu lagi sibuk," jawabnya ketus. Sama sekali tidak melihat ke arah kami dan yang membuat aku sedih, ibu sama sekali tidak menyayangi putri kami. Beliau secara terang-terangan menunjukkan kebenciannya."Apa itu?" tanya Rina sambil melihat beberapa tas yang aku bawa. "Gak usah ditanya, pasti cuman remahan rengginang," seru Ratih dan mereka pun tertawa terbahak-bahak. Ya ampun, apa sebegitu hinanya kita di mata mereka? "Ma," panggil putriku dengan matanya yang nanar. "Kenapa, Sayang?" Aku mendekat ke arahnya dan berbisik. "Gapapa, kita orang baik. Gak usah mendengarkan apapun yang orang katakan." Aku tahu dia tidak akan faham apa yang aku bisikan, tapi setidaknya aku lega sudah memberitahunya. "Kamu sayang Mama?" tanyaku sambil menatap matanya dan dia pun mengangguk. "Jadi Lala harus selalu tersenyum, ya." Aku mengusap kedua pipinya gemas. "Baru datang sudah menciptakan drama," celetuk Ratih. "Loh, bukankah biasanya kamu yang buat drama? Rina juga sama. Begitupun Rara. Kalian bisanya berakting jahat terus, padahal peran baik masih banyak," sindirku membuat semuanya terdiam kesal. Mas Arif masih belum masuk, dia memarkirkan motornya dulu. Memang harus cari tempat yang paling aman, karena selain rawan maling, di luar juga penuh dengan mobil mereka. "Jaga bicaramu, Lily," bentak Ibu. "Apa maksudnya, Bu?" tanya Mas Arif yang ternyata sudah ada di belakangku. "Apa ibu tahu kamu ke sini dengan niat apa? Kenapa ibu begitu sinis kepada istriku? Apa ibu tidak suka jika kami ke sini meskipun untuk memberikan satu set baju baru?" cecar Mas Aris membuat semuanya terdiam. "Bu-bukan begitu maksudnya, Rif," sanggah Ibu dengan terbata, tapi matanya menatap tas-tas yang kubawa dengan berbinar."Bu, dengar ya, kita ke sini itu punya niat yang baik. Bukan untuk cari masalah ataupun gosip. Coba ibu hitung sendiri, berapa tahun aku dan Lily kenal sampai menikah?" tanya Mas Arif kepada ibu. Ia sama sekali tidak mau mendengarkan omong kosong yang coba ibu jelaskan. Suamiku itu memang orang yang baik, tapi dia juga orangnya logis. Semuanya lebih duka ia tilai memakai logika. Kalau secara perasaan, jangan harap dia mau punya sikap itu. Enggak ada sedikit pun. "Ibu kan sudah minta maaf, Rif. Kenapa kamu malah begini sama ibu? Mau menjadi anak durhaka seperti Malin?" Ibu malah kembali bertanya dengan pertanyaan yang tidak seharusnya. "Bu, aku sedang bertanya A, kenapa ibu malah ke Z. Terlalu jauh." Mas Arif mengambil putri kami dan duduk di sofa yang ukurannya terbesar tanpa memedulikan adik-adiknya itu ataupun anak-anaknya. Beginilah kalau Mas Arif sudah marah, tapi sayang, adik-adiknya itu terus saka menguji kesabarannya. "Ibu gak mau menjelaskan yang sebenarnya? Iya begitu?
Aku menatap ke arah mereka dengan sinis. Perasaanku saat ini kesal bercampur marah. Benar-benar tidak tidak tahu terima kasih. "Oh, jadi gitu kamu Ra. Padahal kamu juga tadi yang awalnya cerita," geram Mbak Ratih sambil mencekal pergelangan tangan Rara dengan kuat. Bapak mertua sedang pergi keluar untuk ronda, katanya malam ini bagian keliling sama tetangga kiri kanan. Sementara matang ibu masih menatap ke arah uang yang ada di hadapan Mas Arif. Sepertinya ibu juga berada dalam dilema yang besar, sama seperti Rara. Dia terus-menerus menatap ke arah tas-tas yang sudah tergeletak tidak berdaya di depan matanya, tapi dia sama sekali tidak ada keberanian untuk mengambilnya. Karena Mas Arif ada di depan matanya. "Kalau Mbak Ratih sama Mbak Rina kasih aku uang gede, aku juga gak usah repot-repot bersikap baik sama Mbak Lily tau," bisik Rata, lalu mendengus kesal. "Emang berapa yang dia kasih ke kamu? Lima puluh ribu?” tanya Ratih menawarkan. Rara semakin merenggut. "Lima puluh ribu bu
Setelah kejadian di rumah ibu waktu itu, aku gak pernah lagi keluar dari rumah. Untuk keperluan sehari-hari, Mas Arif yang belanja ke grosir sepulang dari bengkel. Kata orang-orang, aku adalah istri yang manja. Padahal memang wanita itu tidak diciptakan untuk melakukan semua pekerjaan yang akan membuat kita lelah. Untuk yang mau melakukan silakan, tidak juga tidak apa-apa. Menurutku hal itu bukan sesuatu yang harus diributkan. Setiap wanita akan menjadi istri yang paling bahagia jika bersama dengan laki-laki yang tepat dan dialah Mas Arif, suamiku. Ibu dan anak-anaknya pun tidak pernah membuat gara-gara lagi. Mereka sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya. Hari ini mengaji anakku libur, dia ikut Mas Arif ke bengkel. Katanya mau menemani papanya dari pagi sampai petang. Sementara aku hanya diam di rumah menghabiskan waktu sendiri untuk mempercantik diri. Bagiku tidak ada masalah Salwa ikut ke bengkel, walaupun kata orang enggak pantas anak perempuan ke bengkel karena kotor
Adik Suamiku 10 Kejahatan tidak boleh dilawan dengan kejahatan juga. Lagipula, aku memang bukan orang yang terbiasa membuat status kalau ada saudara atau teman yang sifatnya menyebalkan seperti ini. Aku langsung menunjukkan status itu kepada Mas Arif. "Apa ini?" Mas Arif mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. "Ini status Irma." Aku menjawab pelan. Dahi Mas Arif mengkerut, mungkin dia masih belum tahu siapa Irma. "Dia itu Minah, Mas. Istrinya salah satu karyawan kamu. Coba Mas baca apa statusnya dan bagaimana komentar orang-orang termasuk adik-adiknya, Mas." Aku menjelaskan semuanya. Bagiku hanya orang tua yang tidak akan pernah menceritakan apapun yang kita ceritakan kepada mereka, yang kedua suami. Tetapi jika suami kita adalah lelaki yang setia. Kalau tidak, tentu saja kita juga perlu khawatir. Namun selama dia masih menjadi suami kita, tidak usah cemas. Ceritakanlah apa yang kita rasa, karena kita juga dilarang untuk menilai orang dengan pikiran yang buruk. Terutama seora
Adik Suamiku 11 Ketika sampai di gapura, aku tidak menemukan siapapun. Hanya ada beberapa lelaki yang berlalu lalang. Ah, mungkin dia sudah pergi. Aku pun memutuskan untuk pulang dan kembali naik ke atas motor. Namun, aku tidak sengaja mendengar perkataan seorang lelaki. "Pak Arif kok bisa memutuskan pacarnya yang cantik seperti bidadari demi Lily, ya? Aneh banget, deh. Mana baik pula dia." Laki-laki itu melontarkan pujian yang membuatku malah semakin penasaran siapa wanita itu. Dulu, aku dan Mas Arif memang tidak pacaran, tapi kita sudah lama saling mengenal. Setelah dua tahun aku lulus SMA, keluarga Mas Arif datang ke rumah untuk melamar. Dari waktu itu, aku langsung menangkap kesimpulan kalau ibunya Mas Arif memang tidak begitu suka padaku. Hanya saja aku mau mencoba, terutama laki-laki sepertinya itu sangatlah langka. "Lily main pelet kali," sahut seorang lelaki lagi yang tepat berada di belakangku. Sepertinya dia tidak tahu kalau sejak tadi aku di sini. Main pelet katanya?
Adik Suamiku 12 Mas Arif yang awalnya menatap kami sambil tersenyum, kini wajahnya ditekuk, dan menatap ke arah Rara dengan tatapan tajam. Kalau bukan di tempat umum, sudah bisa kupastikan Mas Arif akan menarik tubuhnya secara kasar. "Tenang, Mas. Setelah makan bakso, kita langsung samperin dia aja, dan ajak pulang," ucapku menyarankan. Mas Arif tidak bicara, dia hanya menghembuskan napas panjang. Aku yakin saat ini dia sedang berusaha mengatur emosinya agar tidak meledak. Dari perkataan Rara yang tadi, bisa kuambil kesimpulan kalau dirinyalah yang sudah menyebarkan gosip kalau aku pakai pelet. Padahal jelas-jelas dia sendiri tahu dulu Mas Arif yang mengajakku menikah lebih dulu. Sementara aku sangat jaga jarak dengan yang namanya lelaki. Apalagi pacaran atau pake pelet. Jauh. Ketika pesanan kami datang, Mas Arif langsung masuk ke meja kami, dan makan dengan lahap. "Mas mau mengajak Rara pulang lebih dulu. Kamu gapapa, kan kalau Mas pesankan mobil online?" tanyanya dengan wajah
Adik Suamiku 13 Berita Mas Arif memarahi Rara pun viral. Setiap orang yang melihatnya langsung terdiam, bahkan ada beberapa orang yang langsung masuk ke dalam rumahnya seolah Mas Arif adalah penjahat. Melihat sikap orang-orang terhadapnya, apalagi karyawannya pun terlihat canggung ketika bertemu, Mas Arif langsung melarangku agar tidak sembarangan keluar. Mas Arif tidak mau aku mendapatkan perlakuan yang sama. "Itu Si Rara beberapa hari lalu dimarahi Si Arif hanya karena Lily." Suara ibu-ibu dekat rumah yang selalu bergosip pun mulai terdengar. Aku berusaha untuk berpura-pura tidak mendengar. Percuma, mendengarnya hanya akan membuat kita sakit. "Iya, kayaknya benar kalau dia itu pengguna ilmu hitam." Ibu yang lain langsung mengambil kesimpulan. Aku membuka gorden sedikit untuk melihat siapa saja yang ada di luar itu. Setelah mengetahui wajah-wajah mereka, aku langsung menuliskan namanya di secarik kertas. Jika nanti kami berbagi di akhir bulan, mereka tidak akan aku masukan ke
Adik Suamiku 14 Tukang Fitnah Kena Mental Gosip waktu aku datang ke warung grosir itu menyebar dengan cepat. Termasuk katanya aku memfitnah ibunya Mamat. Wah, bisa juga nih orang tua memutar balikkan fakta. "Mas, kamu dengar kan orang-orang ngatain aku apa?" tanyaku sambil mencoba menahan emosi yang akan segera tumpah. "Iya. Cuman apapun yang orang katakan, aku tidak peduli. Aku akan selalu percaya padamu. Jadi, apapun yang dunia katakan itu tidaklah berarti." Aku terdiam meresapi kata-katanya. Tunggu, sejak kapan Mas Arif jadi tukang gombal begini. Mana pake kata 'aku' lagi. Aku ingat betul sebelumnya gak pernah kaya gini. "Serius, Mas?" "Sepuluh rius. Aku akan selalu ada untukmu meksipun badai datang ribuan kali," ucapnya lagi. Wah, suamiku kenapa ini? Dia baik-baik saja, kan? "Nyebut, Mas ... nyebut," pintaku yang mulai panik. Bagaimana kalau dukun orang tuanya Mamat, alias orang tua dari seorang lelaki yang pernah aku tolak itu mulai menjalankan mantranya? Enggak. Gak mu