Share

Bab 6

Demi tetap menjaga kewarasan, aku langsung menutup grup keluarga itu tanpa membaca pesan ke bawahnya lagi. Aku juga sudah beberapa kali melakukan tancapan layar agar bisa aku tunjukkan kepada Mas Arif dan orang tuanya nanti.

Aku melakukan semua ini bukan karena aku jahat, tapi aku ingin mereka sadar bahwa apa yang dilakukannya hanyalah sia-sia, dan menyengsarakan diri mereka sendiri.

Bukan hanya itu, aku juga rasanya lelah harus berseteru dengan mereka terus-menerus. Kita saudara, sudah seharusnya akur. Bukan malah mencari kesalahan-kesalahan yang terjadi di antara kita dan menyebarkan keluar.

"Mas, sepertinya aku memang tidak pernah dianggap ada oleh keluargamu," ucapku tiba-tiba melow ketika Mas Arif sudah mandi sepulang dari bengkel.

"Kenapa bertanya begitu, mereka sepertinya belum bisa menerima saja." Mas Arif duduk di sampingku dan mulai mengelus rambut panjangku dengan lembut.

Aku memang terbiasa memakai jilbab, tapi kalau di dalam rumah masih jarang. Meksipun begitu, di depan pintu aku sudah sediakan jilbab panjang yang bisa menutupi lengan langsung.

"Tadi mereka kembali membicarakan aku di grup WA, Mas," ucapku merajuk.

Mas Arif terdiam sejenak, kedua telapak tangannya terlihat mengepal. "Nanti Mas akan memberikan mereka pelajaran," ucapnya tanpa menatap ke arahku. "Mas kali dengan sikap mereka padamu yang selama ini sudah berjuang dengan Mas dari nol," lanjutnya membuatku terharu.

Kata demi kata yang keluar dari bibirnya memang selalu bisa membuatku tenang.

"Aku harap, kamu selalu seperti ini, Mas. Selalu ada di sampingku di saat aku butuh dan selalu percaya padaku," ucapku sangat berterima kasih, lalu memijat pundaknya pelan.

"Bagaimana mungkin Mas tidak percaya, selama ini kamu selalu menjadi istri yang jujur. Tidak pernah berbohong dan mengaku salah jika melakukan kesalahan," imbuhnya dan buliran bening keluar dari matanya.

"Mas bener-bener beruntung punya istri seperti kamu," ucapnya lalu memintaku untuk bersiap. Kita akan datang ke rumah ibu, memberikan hadiah yang sudah aku kemas cantik ini.

"Semoga mereka suka dengan baju-baju ini ya, Mas," ucapku penuh harap.

Mas Arif tidak bicara, dia hanya tersenyum sambil memanasi motor. Aku menunggu anakku pulang mengaji. Kita sudah janjian untuk pergi ke rumah neneknya jam setengah lima sore.

"Ayo, berangkat," seru Mas Arif.

"Bismillahirrahmanirrahim." Kami membaca basmalah bersama-sama.

****

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Setelah terdengar ramai yang menjawab salam, tapi hanya bapak yang keluar untuk menyambut kami. Tidak ada, mungkin mereka sibuk.

"Masuk, Nak." Bapak menyambut kami dengan penuh kehangatan.

"Loh, ramai ternyata," ucapku tidak percaya kalau Ratih dan Rina juga ternyata ada di sini. Sayang suami-suami mereka tidak ikut.

"Iya, mereka baru datang, Nak." Lagi-lagi hanya bapak yang menjawab. Sementara Ibu hanya terdiam membisu sambil melihat benda-benda yang ada di ponselnya Ratih.

"Bu, ini keluarga anak sulung kita datang," ucap Bapak memberitahu ibu.

"Oh, duduk saja. Ibu lagi sibuk," jawabnya ketus. Sama sekali tidak melihat ke arah kami dan yang membuat aku sedih, ibu sama sekali tidak menyayangi putri kami.

Beliau secara terang-terangan menunjukkan kebenciannya.

"Apa itu?" tanya Rina sambil melihat beberapa tas yang aku bawa.

"Gak usah ditanya, pasti cuman remahan rengginang," seru Ratih dan mereka pun tertawa terbahak-bahak.

Ya ampun, apa sebegitu hinanya kita di mata mereka?

"Ma," panggil putriku dengan matanya yang nanar.

"Kenapa, Sayang?" Aku mendekat ke arahnya dan berbisik. "Gapapa, kita orang baik. Gak usah mendengarkan apapun yang orang katakan."

Aku tahu dia tidak akan faham apa yang aku bisikan, tapi setidaknya aku lega sudah memberitahunya.

"Kamu sayang Mama?" tanyaku sambil menatap matanya dan dia pun mengangguk.

"Jadi Lala harus selalu tersenyum, ya." Aku mengusap kedua pipinya gemas.

"Baru datang sudah menciptakan drama," celetuk Ratih.

"Loh, bukankah biasanya kamu yang buat drama? Rina juga sama. Begitupun Rara. Kalian bisanya berakting jahat terus, padahal peran baik masih banyak," sindirku membuat semuanya terdiam kesal.

Mas Arif masih belum masuk, dia memarkirkan motornya dulu. Memang harus cari tempat yang paling aman, karena selain rawan maling, di luar juga penuh dengan mobil mereka.

"Jaga bicaramu, Lily," bentak Ibu.

"Apa maksudnya, Bu?" tanya Mas Arif yang ternyata sudah ada di belakangku. "Apa ibu tahu kamu ke sini dengan niat apa? Kenapa ibu begitu sinis kepada istriku? Apa ibu tidak suka jika kami ke sini meskipun untuk memberikan satu set baju baru?" cecar Mas Aris membuat semuanya terdiam.

"Bu-bukan begitu maksudnya, Rif," sanggah Ibu dengan terbata, tapi matanya menatap tas-tas yang kubawa dengan berbinar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status