Adik Suamiku 10 Kejahatan tidak boleh dilawan dengan kejahatan juga. Lagipula, aku memang bukan orang yang terbiasa membuat status kalau ada saudara atau teman yang sifatnya menyebalkan seperti ini. Aku langsung menunjukkan status itu kepada Mas Arif. "Apa ini?" Mas Arif mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. "Ini status Irma." Aku menjawab pelan. Dahi Mas Arif mengkerut, mungkin dia masih belum tahu siapa Irma. "Dia itu Minah, Mas. Istrinya salah satu karyawan kamu. Coba Mas baca apa statusnya dan bagaimana komentar orang-orang termasuk adik-adiknya, Mas." Aku menjelaskan semuanya. Bagiku hanya orang tua yang tidak akan pernah menceritakan apapun yang kita ceritakan kepada mereka, yang kedua suami. Tetapi jika suami kita adalah lelaki yang setia. Kalau tidak, tentu saja kita juga perlu khawatir. Namun selama dia masih menjadi suami kita, tidak usah cemas. Ceritakanlah apa yang kita rasa, karena kita juga dilarang untuk menilai orang dengan pikiran yang buruk. Terutama seora
Adik Suamiku 11 Ketika sampai di gapura, aku tidak menemukan siapapun. Hanya ada beberapa lelaki yang berlalu lalang. Ah, mungkin dia sudah pergi. Aku pun memutuskan untuk pulang dan kembali naik ke atas motor. Namun, aku tidak sengaja mendengar perkataan seorang lelaki. "Pak Arif kok bisa memutuskan pacarnya yang cantik seperti bidadari demi Lily, ya? Aneh banget, deh. Mana baik pula dia." Laki-laki itu melontarkan pujian yang membuatku malah semakin penasaran siapa wanita itu. Dulu, aku dan Mas Arif memang tidak pacaran, tapi kita sudah lama saling mengenal. Setelah dua tahun aku lulus SMA, keluarga Mas Arif datang ke rumah untuk melamar. Dari waktu itu, aku langsung menangkap kesimpulan kalau ibunya Mas Arif memang tidak begitu suka padaku. Hanya saja aku mau mencoba, terutama laki-laki sepertinya itu sangatlah langka. "Lily main pelet kali," sahut seorang lelaki lagi yang tepat berada di belakangku. Sepertinya dia tidak tahu kalau sejak tadi aku di sini. Main pelet katanya?
Adik Suamiku 12 Mas Arif yang awalnya menatap kami sambil tersenyum, kini wajahnya ditekuk, dan menatap ke arah Rara dengan tatapan tajam. Kalau bukan di tempat umum, sudah bisa kupastikan Mas Arif akan menarik tubuhnya secara kasar. "Tenang, Mas. Setelah makan bakso, kita langsung samperin dia aja, dan ajak pulang," ucapku menyarankan. Mas Arif tidak bicara, dia hanya menghembuskan napas panjang. Aku yakin saat ini dia sedang berusaha mengatur emosinya agar tidak meledak. Dari perkataan Rara yang tadi, bisa kuambil kesimpulan kalau dirinyalah yang sudah menyebarkan gosip kalau aku pakai pelet. Padahal jelas-jelas dia sendiri tahu dulu Mas Arif yang mengajakku menikah lebih dulu. Sementara aku sangat jaga jarak dengan yang namanya lelaki. Apalagi pacaran atau pake pelet. Jauh. Ketika pesanan kami datang, Mas Arif langsung masuk ke meja kami, dan makan dengan lahap. "Mas mau mengajak Rara pulang lebih dulu. Kamu gapapa, kan kalau Mas pesankan mobil online?" tanyanya dengan wajah
Adik Suamiku 13 Berita Mas Arif memarahi Rara pun viral. Setiap orang yang melihatnya langsung terdiam, bahkan ada beberapa orang yang langsung masuk ke dalam rumahnya seolah Mas Arif adalah penjahat. Melihat sikap orang-orang terhadapnya, apalagi karyawannya pun terlihat canggung ketika bertemu, Mas Arif langsung melarangku agar tidak sembarangan keluar. Mas Arif tidak mau aku mendapatkan perlakuan yang sama. "Itu Si Rara beberapa hari lalu dimarahi Si Arif hanya karena Lily." Suara ibu-ibu dekat rumah yang selalu bergosip pun mulai terdengar. Aku berusaha untuk berpura-pura tidak mendengar. Percuma, mendengarnya hanya akan membuat kita sakit. "Iya, kayaknya benar kalau dia itu pengguna ilmu hitam." Ibu yang lain langsung mengambil kesimpulan. Aku membuka gorden sedikit untuk melihat siapa saja yang ada di luar itu. Setelah mengetahui wajah-wajah mereka, aku langsung menuliskan namanya di secarik kertas. Jika nanti kami berbagi di akhir bulan, mereka tidak akan aku masukan ke
Adik Suamiku 14 Tukang Fitnah Kena Mental Gosip waktu aku datang ke warung grosir itu menyebar dengan cepat. Termasuk katanya aku memfitnah ibunya Mamat. Wah, bisa juga nih orang tua memutar balikkan fakta. "Mas, kamu dengar kan orang-orang ngatain aku apa?" tanyaku sambil mencoba menahan emosi yang akan segera tumpah. "Iya. Cuman apapun yang orang katakan, aku tidak peduli. Aku akan selalu percaya padamu. Jadi, apapun yang dunia katakan itu tidaklah berarti." Aku terdiam meresapi kata-katanya. Tunggu, sejak kapan Mas Arif jadi tukang gombal begini. Mana pake kata 'aku' lagi. Aku ingat betul sebelumnya gak pernah kaya gini. "Serius, Mas?" "Sepuluh rius. Aku akan selalu ada untukmu meksipun badai datang ribuan kali," ucapnya lagi. Wah, suamiku kenapa ini? Dia baik-baik saja, kan? "Nyebut, Mas ... nyebut," pintaku yang mulai panik. Bagaimana kalau dukun orang tuanya Mamat, alias orang tua dari seorang lelaki yang pernah aku tolak itu mulai menjalankan mantranya? Enggak. Gak mu
Adik Suamiku 15 Meksipun Dandy sudah menjelaskan semuanya dan para tetangga berbalik membelaku, Ratih tetap tidak mau menerima kekalahannya. Hal ini membuat kepalaku pusing. "Ratih memang begitu, tidak usah dipikirkan," ucap Mas Arif tempo hari. "Kapan kira-kira dia akan berubah? Aku juga capek kalau harus seperti ini terus?" Sayangnya pertanyaanku melayang di udara karena Mas Arif sudah pergi ke bengkel. Aku memang tidak masalah dengan apa yang dilakukan adik-adiknya Mas Arif, tapi tidak jika mereka sudah menganggu kenyamanan anakku yang masih balita. Aku harus segera menyelesaikan permasalahannya. Bila perlu memberantasnya sampai ke akar. "Mbak!" teriak seorang wanita dari luar. Aku menyingkap gorden dari di jendela depan dan melihatnya. Ternyata Rina. Duh, kenapa mereka bertiga selalu membuat masalah sih? "Mbak jangan pura-pura tidak mendengar apa yang aku katakan, aku ke sini diminta Ibu agar Mbak segera datang ke rumah," jelasnya dengan suara yang membuat telingaku sakit
Adik Suamiku 16 Setelah kejadian di rumah Ibu waktu itu, aku langsung pulang sesuai perintah ibu-ibu yang ada di sana. Aku hanya bisa menurut, karena sebentar lagi Mas Arif akan pulang. "Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumussalam warahmatullah, Mas." Aku langsung membuka pintu ketika Mas Arif mengucapkan salam dan membuatkan segelas teh manis hangat untuknya. "Tadi Rina meminta izin kepada Mas meminta kamu pergi ke rumah ibu. Katanya akan ada orang-orang arisan. Kalian masak bersama-sama, kan?" tanyanya dengan raut wajah yang cemas. "Iya. Memang untuk ibu-ibu arisan, Mas. Hanya saja ...." Aku menjeda perkataanku, ada rasa ragu untuk mengatakan yang sebenarnya. Apalagi menyangkut ibu, surga suamiku. "Kenapa, Dek? Gapapa, katakan saja." Mas Arif memegang kedua pipiku yang dingin. "Kok dingin, kamu sakit?" "Enggak, Mas. Aku tadi memang sempat dingin, tapi gak lagi setelah pergi ke pasar. Gak tahu kenapa sekarang dingin lagi," jawabku jujur. "Kamu ke pasar sendiri?" nadanya kembali
Adik Suamiku 17 Meksipun aku bisa mengeceknya sendiri, tetapi aku lebih memilih untuk membangunkan Mas Arif lebih dulu. Biar kita keluar berdua nanti. "Mas, sudah jam empat." Mas Arif hanya menggeliat. Matanya sempat terbuka sedikit, tetapi kembali tertidur. "Mas, ada orang yang berteriak di luar sambil menggedor-gedor pintu. Aku takut kalau keluar sendiri," bisikku di telinganya. Mas Arif kembali membuka mata. Kali ini langsung bangun dan duduk. Kelemahan Mas Arif memang kalau aku mengatakan takut. Karena semenjak gadis dan menjadi istrinya, aku memang mempunyai sikap yang penakut. Jangankan pergi ke warung, ke kamar mandi saja aku harus diantar, dan Mas Arif adalah orang yang selalu setia menemaniku. "Siapa kira-kira yang ada di luar?" tanyanya sambil mencoba untuk duduk. "Tidak tahu, Mas. Apa mungkin hantu?" tanyaku pura-pura takut. "Mana ada hantu jam empat begini, bentar lagi juga magrib. Mereka pasti langsung berlari ketika adzan subuh berkumandang," ucapnya tertawa ke