“Ya ampun, Yuk, ini kok banyak banget cucian? Terus ini cucian piring banyak banget, perasaan tadi Leo belum makan. Terus udah gitu kok piringnya numpuk gelas kotor juga numpuk. Terus ini cucian baju siapa aja?” tanyaku kepada Ayukk Neneng.
Aku sangat terkejut, saat aku turun ke lantai bawah dan melihat Ayuk yang bekerja di rumahku sedang mencuci banyak sekali pakaian kotor. Dan juga di wastafel tempat cuci piring, menumpuk piring dan gelas.Saat aku membuka kulkas dan hendak mengambil batu es, ternyata batu es nya habis dan cetakan batu esnya sama sekali belum diisi. Begitu juga dengan botol-botol air minum di kulkas semuanya kosong.
Sudah sebulan ini selalu saja begitu. Aku jadi merasa lebih lelah dari biasanya. Memang ini hanya masalah kecil. Tetapi, jika dibiarkan pasti akan menjadi kebiasaan.
“Itu kerjaannya si Beiby, dari kemarin juga kayak gitu. Kalau habis makan, cucian piringnya ditumpukin di situ. Terus ini juga baju-baju kotor punya dia,” kata Ayukk.Aku menepuk dahiku dengan kesal. Sepertinya keputusan Romi untuk menampung Beiby di rumah kami itu sudah salah. Buktinya dia itu bukannya membantu tapi malah menambah pekerjaan.
Ya, sudah sebulan ini Beiby memang tinggal di rumahku. Dia akan pergi bekerja setiap pukul 09.00 malam, dan pulang jam 02.00 pagi saat club sudah tutup. Biasanya dia akan diantar oleh tukang ojek yang menjadi langganannya. Atau juga oleh tamunya.Dia memang aku beri kunci cadangan supaya tidak menggangguku karena jam 02.00 itu kan aku pasti sudah tidur.
“Terus, sekarang anaknya ke mana?” tanya aku kepada Ayuk.“Tadi pergi dijemput temannya, nggak tahu pergi ke mana.”Aku hanya bisa menghela napas, tadi memang aku sempat keluar karena harus membeli beberapa kebutuhan di rumah. Pada waktu aku pergi, dia masih tidur.
“Padahal tadi dia masih tidur waktu aku pergi,” kataku.“Ayuk juga nggak tahu, tadi Vina pergi dia memang masih tidur . Tapi nggak lama ada telepon masuk, terus dia pergi nggak pakai mandi,” lapor Ayuk.Ayuk memang hanya memanggil nama kepadaku dan Romi. Dulu, waktu almarhum mama mertua masih ada, di memang terbiasa memanggil nama saja. Aku sendiri tidak keberatan karena usia Ayuk itu sudah tua.
Aku hanya menghela napas panjang. Bukan sekali dua kali hal ini terjadi. Awal-awal tinggal di rumahku, Beiby memang sangat rajin membantu bersih-bersih dan lain sebagainya. Tetapi, setelah dua minggu tinggal di sini ada saja kejadian yang membuat aku kesal setengah mati.
Mulai dari sabun mandi yang boros, handbodyku yang dipakai, alat make up ... belum lagi pakaianku. Banyak dressku yang ia pinjam.Dia tidur di kamar anakku, Leo. Dan kamar itu tidak pernah rapi dan bersih. Jika aku kasih tahu, dia hanya tertawa cengengesan dan berkata, ‘iya nanti apabila libur dibersihkan,’ tapi, buktinya jika ia libur dia malah pergi ke sana ke sini.“Kayaknya, Romi salah nyuruh dia tinggal di sini. Tadinya, dia tinggal di sini itu kan untuk bantu-bantu buat nemenin aku kalau ada apa-apa. Eh, malah kayak begini keluhku,” kepada Ayuk Neneng.“Anaknya males, terus kamarnya juga itu lihat aja berantakan banget belum pernah rapih. Kalau Ayuk rapihin nggak langsung kotor lagi,” kata Ayuk mengadu.Aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Awalnya kami yang menyuruh dia untuk tinggal di sini, tidak mungkin kan sekarang mengusirnya begitu saja. Terkecuali, jika ia sendiri yang memutuskan untuk pindah dari rumah kami.“Lagian ... Kenapa sih Vin, kok dibiarin tinggal di sini? Padahal anaknya jorok begitu,” kata Ayuk.“Romi yang suruh, katanya kalau ada apa-apa ada yang bantuin, Yuk. Kan Ayuk cuman dari pagi sampai siang di sini. Maksudnya Romi kalau misalkan Ayuk udah pulang dia kan di sini sampai sore. Kalau ada apa-apa jadi aku bisa minta tolong dia. Tapi, bukan bisa minta tolong malah aku yang direpotin sama dia, mana lagi hamil gini,” kataku kesal.Romi sudah sebulan ini kerja di Bayung lincir. Dia hanya pulang seminggu sekali. Di hari Sabtu dan Minggu dia ada di rumah. Tapi, dari mulai hari senin pagi sampai hari jumat malam dia bekerja di Bayung Lincir dan pulang di hari Jumat malam.“Sepertinya, aku harus mengatakan hal ini kepada Romi. Dia nggak bisa seenaknya aja tinggal di sini terus udah gitu main berantak-berantakin sana-sini,” ujarku, “anak perempuan kok jorok begitu. Nggak diajarin apa sama orang tuanya?”Daripada merasa kesal, aku memutuskan untuk membuat kue. Entah mengapa saat hamil anak yang kedua ini aku jadi suka membuat makanan-makanan. Baik itu kue atau masakan.Kebetulan, kemarin aku baru saja belanja bahan. Rencananya, aku hendak membuat mille crepes Milo. Tetapi, alangkah kagetnya aku saat melihat Milo persediaanku sudah habis tinggal sedikit.
“Ayuk ini kok tinggal segini? Padahal baru kemarin loh beli Milo,” kataku kesal. Padahal aku mau membuat kue dan bahan utamanya malah hampir habis.
“Iya itu ... si Beiby ya ngabisin. Dia itu nggak diseduh tapi dimakanin gitu aja, disendokin dicemilin milonya, kata Ayuk. Aku hanya bisa menepuk dahi kesal. Dia memang memberikan uang sebesar lima ratus ribu setiap bulan. Tetapi, kalau caranya begini bukannya untung tapi malah tekor.Pada akhirnya, Romi pun terpaksa pulang. Karena perutku yang sering kram ditambah lagi keluhanku mengenai Beiby yang semakin bertindak seenaknya. Bahkan ia pernah dengan sengaja membawa sejumlah ekstasi ke rumah.Hal itu makin membuatku dan Romi kesal. Tetapi, untuk mengusirnya dari rumah selalu tidak ada kesempatan. Dia seperti sengaja pulang malam menjelang dia berangkat kerja sehingga membuat kami tidak sempat bicara kepadanya. Dan pagi itu tepat tanggal 5 november 2016, pagi saat terbangun aku merasakan mules dan keluar flek. Tanpa berpikir panjang, Romi membawaku ke rumah sakit Bhayangkara Jambi. Pada saat diperiksa ternyata masih pembukaan 1. "Nggak bisa pulang dulu, Dokter?" tanyaku kepada dokter Hanif. Dokter yang sudah menanganiku sejak anak pertama dulu. "Sebaiknya jangan. Nanti kalau pulang ke rumah lalu ada apa-apa bagaimana? Lebih baik di rumah sakit saja dulu," kata dokter.Romi tersenyum seolah mengerti keresahanku. "Ada Ayuk yang jagain Koko Leo. Tenang aja," ujar
_4 TAHUN LALU__BANDUNG, 2010_ "Kalo kamu nggak kuat ya udah tinggalin aja, kenapa susah?! Toh, buat kamu aku kan nggak berguna. Banyak perbedaan, selain perbedaan agama. Keluarga kamu kan keluarga terpandang, ngga panteslah punya menantu kaya aku yang hanya seorang vocalis Band, dan seorang DJ yang kerjanya malam!” jerit Vina pada lelaki di hadapannya.PLAK! Vina memegang pipinya yang mulai memanas akibat tamparan Adit, lelaki di hadapannya yang sudah 3 tahun ini menjadi tunangannya."Dasar perempuan ngga tau diri ! Asal kamu tau ya, di luar sana banyak perempuan yang ngejar aku!""Ya sudah kalo begitu, ngapain kamu masih bertahan? Biar bisa morotin hasil kerja aku? Kamu pikir aku ngga tau setiap kali aku longtrip di luar kota kamu kencan dengan banyak perempuan? Kamu porotin uangnya, kamu porotin juga uangku?" Adit menatap Vina emosi, entah dari mana gadis ini bisa tau seluruh sepak terjangnya diluaran, padahal gadis ini hampir tidak pernah ada di dekat
"Malah ngelamun, aku bawa makanan." Vina menoleh ke arah pintu kamar kosnya. Romi kekasihnya ternyata datang sambil membawa bungkusan makanan.Sudah hampir dua bulan Vina berada di Jambi. Beberapa kali managementnya menawarkan job, tapi Vina menolak. Selain itu, Romi juga memang bertanggung jawab untuk kebutuhan Vina. Meski tidak banyak, tapi itu cukup. Selain itu, Vina juga bukan gadis yang boros. Dan ia pun masih memiliki sedikit tabungan untuk kebutuhannya selama beberapa bulan ke depan.Vina sudah lama mengenal Romi karena profesi mereka yang sama. Awalnya, hubungan Vina dan Romi hanya sebatas teman. Ia sering sekali curhat kepada Romi jika ia sedang bertengkar dengan kekasihnya.Berawal dari hubungan persahabatan, kini mereka menjadi sepasang kekasih. Seperti biasa, pagi setelah membereskan pekerjaannya di rumah, Romi selalu membawakan Vina sarapan."Bawa apa, Sayang?" Tanya Vina.“Ini, bawa mie celor," jawab Romi sambil mengambil piring. Namun, baru saja ia menuang
Pagi itu, Vina hanya berbaring di tempat tidurnya sambil menonton televisi. Dia merasa pusing. Morning sickness yang ia alami cukup membuatnya lelah. Romi memang setiap hari datang, tetapi itu tidak banyak membantu juga.Ditambah Vina yang sedikit lebih manja dari biasanya. Membuat Romi juga bingung. Untungnya Mamanya sudah tau dan tidak terlalu menentang. Dengan pertimbangan bayi yang ada di rahim Vina sekarang, adalah cucunya juga. Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi, Vina pun segera mengangkatnya."Halo, Yang?" sapa Vina dengan suara parau."Kok suaranya begitu amat? Aku mau antar Mama belanja ke pasar, kamu ikut ya. Sekalian ketemu Mama," kata Romi. Sontak Vina terkejut. Ia langsung memaksakan diri untuk duduk."Aduh, sekarang?" tanyanya."Tahun depan ... ya iyalah sekarang, Sayang. Buruan gih, aku udah mau jalan, nggak usah mandi. Ganti baju aja, tapi jangan yang terlalu terbuka,ya. Celana panjang kamu tempo hari tu boleh, sama kaos biasa aja ya, buruan," kata Romi.
Sore itu, Lie Hwa, Romi dan Vina sudah berada di sebuah tempat prakter Dokter Kandungan. Sengaja Romi memilih Dokter Hanifah, karena tempat prakteknya memiliki alat USG 4 dimensi. Sehingga, bisa memeriksa dengan detail kondisi Vina dan Lie Hwa dengan baik. Pasien yang datang belum terlalu banyak. Mereka mendapat no antrian 3. Vina nampak sedikit tegang, namun rangkulan Romi di pundaknya membuatnya sedikit merasa nyaman."Udah makan belum tadi ?" Tanya Lie Hwa kepada Vina"Belum, Ii. Cium bau nasi tadi agak mual. Daripada muntah- muntah jadi nanti aja makannya." jawab Vina."Kalau mau makanan apa, bilang sama Romi, ya.""Iya, kamsia ya Ii," jawab Vina.Tak lama kemudian, nomor antrian mereka pun dipanggil masuk. Romi dan Vina serempak menggandeng Lie Hwa. Membuat beliau tersenyum melihat keduanya.Dokter Hanifah cukup ramah. Beliau tersenyum saat mereka memasuki ruang praktek."Vina aja dulu yang diperiksa," ujar Lie Hwa pada Romi."Selamat sore. Bapak, Ibu," sapa Dokter Hanifa
Vina menatap Romi yang sedang berusaha keras menahan tangisnya. Mereka sudah tiba kembali di kos an sejak sejam yang lalu. Namun, Romi masih terlihat seperti orang linglung.“Aku pikir, setelah operasi kemarin mama udah sehat. Ternyata malah kankernya udah menyebar ke mana-mana,” kata Romi. Vina menghela napas panjang, ia menepuk bahu Romi perlahan.“Kapan mama mau ke rumah sakit lagi?” tanyanya kepada Romi.“Besok malam kan harus rujuk ke rumah sakit Anisa untuk pemeriksaan lanjut. Kamu mau ikut?” Vina langsung menganggukkan kepalanya.“Mau.”“Ya udah besok kamu aku jemput ya.”Vina menarik napas panjang, dan memeluk Romi. Ia ingin sedikit mentransferkan rasa nyaman kepada kekasihnya itu."Nanti, kita punya anak jangan satu ya. Aku mau dua atau tiga gitu," sahut Romi."Loh, kok jadi ngomongin soal anak sih?Ini kan tadi lagi bahas mama. Kenapa jadi soal anak?" protes Vina. Romi menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan lalu menatap wajah kekas
Drrrt drrtt Romi meraih ponsel Vina yang kebetulan ada di dekatnya."Gladies ni yank, tumben amat itu anak telpon.""Halo, beeeb," sapa Gladies."Apaan," jawab Romi yang masih memegang ponsel Vina. Vina hanya geleng kepala saja melihat kelakuan Romi yang kadang memang ajaib itu."Iiiih, kok lo yang angkat sih, Panjul.""Suka – suka gue-lah.""Dodol, si Vina mana?""Lagi mabok dia kalo jam segini.""Ih ini bocah, serius guweeee," pekik Gladies di seberang sana. Gladies memang teman dekat Vina dan Romi."Ya serius, emang dia ngga cerita kalau dia lagi ngisi?""Ngisi apaan maksudnya?Eh, tunggu jangan bilang kalau ... oh my God, panjul! Lo apain si Vina? Gila lo ya, tanggung jawab lo!" pekik Gladies membuat Romi menjauhkan ponsel dari kupingnya, sebelum ia budeg gara-gara jeritan Gladies. Vina yang melihat hanya terkikik geli, lalu ia pun mengambil ponselnya dari Romi. Tanpa disuruh ia menyalakan loud speaker, supaya Romi juga bisa mendengar percakapan mereka. "Apaan sih beb, teri
Dengan berat hati, akhirnya Romi mengizinkan juga Vina untuk berangkat ke Palembang. "Aku udah bilang Mama kalau ayang mau ke Palembang," ujar Romi sambil membantu Vina memasukkan baju dan perlengkapan lainnya ke dalam koper kecil Vina."Trus, mama bilang apa?""Ngga banyak komentar sih, aku bilang tabungan kamu udah mulai menipis, jadi kamu ambil kerjaan ini untuk dua bulan ke depan.""Iya, lumayan kan dua belas juta selama dua bulan, itu lumayan banget buat bayar kos, sama keperluan kita.""Iya, nanti kalau kamu pulang, kamu ikut katakumen, ya,""Iya. Tapi, apa ga sebaiknya tunggu dede lahir dulu ya, baru kita siapin buat pemberkatan dan lainnya?""Kita liat situasi dan kondisi dulu, ya" Vina mengangguk."Kamu yakin, ngga akan pusing atau gimana gitu? Aku udah pesenin travel buat besok pagi kamu berangkat.""Udah ya? Dijemput ke sini?""Aku antar ke travelnya besok. Aku udah bilang Mama mau nginep sini nanti malam.""Boleh?""Ya boleh, masa kamu mau berangkat aku ngga temeni