Seisi ruangan hanya saling melirik dan merasakan memang ada kejanggalan dalam penerimaan beasiswa tersebut, Dani merasa kikuk, jika alasannya masuk akal, ia akan lolos dari mata-mata buas di hadapannya, jika tidak, semua akan berpihak pada Jiddan, dan tanggung jawabnya akan diambil alih oleh Jiddan.“Setelah saya tinjau kembali nilai 200 anak ini sedikit mendekati nilai rata-rata, tidak ada salahnya kita masukkan mereka dalam daftar penerima beasiswa,” jawabnya santai, namun ada kebohongan di balik wajah santainya.“Namun Pak, target kita adalah 1500 anak, kita memilih kualitas bukan hanya kuantitas Pak, kalaupun jumlah melebihi batas, dipastikan nilai mereka memang memadai,” tegas Jiddan kembali.“Ya saya kira gelombang ke dua ini akan kurang dari 500 anak pada beasiswa Mesir, maka saya tarik 200 anak tadi karena kesungguhan mereka ingin belajar di sana,” balas Pak Dani mempertahankan argumennya.“Sebaiknya tunda dulu ya Pak, karena kita memakai penyeleksian bersih, karena dari perta
Sementara itu di balik kedok seorang Dani.“Mereka ini berani membayar dua kali lipat Pak, asalkan anak-anak mereka terjamin kuliah di sana,” ujarnya melalui saluran ponsel.“Akan saya pertimbangkan dulu, tidak semudah itu menerima sogokan seperti ini,” balas seorang mentri.“Ayolah Pak, 10% dari biaya mereka untuk pengurus keberangkatan mereka Pak, termasuk bapak pastinya, jika bapak bersedia menanda tangani ini, sisanya biar saya yang urus,” rayu Dani.“Oke besok berikan saya berkas-berkasnya, akan saya cek dulu sistemnya,” pinta mentri tersebut.Keesokan harinya, map cokelat yang berisikan berkas nama-nama penerima beasiswa sudah berada di atas meja sang mentri.Di keluarkan secara perlahan, diperhatikan nama dan nomor urut calon mahasiswa luar negeri. Seperti yang direncanakan, beasiswa Mesir akan diberikan lebih dari jumlah seharusnya, yaitu 1200 anak, sedangkan 500 yang lain, diberangkatkan ke Maroko dan Sudan, sesuai dengan kapasitasnya.“Apa bisa dipastikan semua ini aman ke d
Menangkap gelagat wajah sang adik ipar, ia langsung memahami bahwa adik iparnya mulai terpesona pada Zein.Mungkin bukan hanya adik iparnya yang bertanya-tanya siapa Zein, wajar saja, sejauh ia mengenal Zein, banyak sekali akhwat yang tertarik padanya. Dia memang memiliki pesona yang menawan, wajar saja mereka mengaguminya.“Kalian pulang naik taxi kan?” tanya Zein kala breafing telah selesai.“Iya,” jawab Rena.“Aku akan mengantar kalian ya,” tawar Zein.“Tidak usah Zein, nanti merepotkan, kami pulang bertiga juga tidak masalah,” tolak Inda.“Tidak Inda, ini Mesir. Meskipun kalian bertiga kalau tidak ada laki-laki yang mendampingi itu bahaya. Banyak kejadian yang menimpa mahasiswa kita, terutama perempuan, meski mereka berlima, tetap saja pelecehan dan pencopetan terjadi karena tidak ada yang mendampingi mereka,” jelas Zein yang ingin melindungi mereka.“Hah? seperti itukah ka di Mesir?” Sofia menoleh ke arah Zein yang berjalan mengiringi mereka di belakang.“Iya, bermacam-macam kasu
“Zein bagaimana Ren,” tanya Inda dengan rintik airmata yang menggelayut di ujung bulu mata, hampir terjatuh.“Aku akan menghubungi Firhan, siapa tahu dia bersama Zein,” memanggil Firhan melalui sambungan telpon. Namun, tidak ada jawaban.“Gak diangkat Nda,” Rena menggelengkan kepala.“Duuuh... kalau kaya gini aku semakin khawatir Ren,” jemari saling merekat, gelisah memikirkan sang mantan.“Apa kita langsung ke RS Asyifa saja biar lebih pasti?” usul Rena.“Tapi ini sudah malam Ren, apa ada yang bisa dihubungi lagi?”Tiba-tiba ponsel Rena berdering.“Firhan...” lirih Rena memberitahu Inda.“Ya... halo Firhan, apa Zein bersama kamu?” tanya Rena yang juga panik.“Iya Zein baru saja dipindahkan ke ruang rawat inap,”“Hah? jadi Zein bener dalam bus merah itu?”“Iya,”“Lalu bagaimana keadaannya sekarang?”“Masih lemah,”Percakapan Firhan dan Rena mendentum sampai ke dalam hati Inda. Gelisah, takut akan terjadi sesuatu pada Zein.***Zein sengaja enggan untuk berbicara pada mereka setelah me
‘ah perasaan apa ini,' merutuki perasaannya sendiri. Cemburu pada adik ipar? Bukankah ia yang menyerahkan apel pada Sofia lalu adik iparnya itu menurut duduk di kursi samping ranjang menggantikan posisi sang kakak ipar.“Sofia, kita harus mengurus berkasmu di asrama,” tegur Inda memecah suasana romantis Sofia dan Zein.“Sekarang Ka?” Sofia enggan beranjak dari situasi itu sebenarnya.“Iya, kalau sudah tengah hari mereka tidak menerima pemberkasan lagi,” beber IndaMereka pamit keluar, Rena dan Firhan tetap di sana menunggu Zein, sebelum yang lain datang berbondong-bondong ingin menjenguk sang ketua keamanan.Di bus, Inda dan Sofia hanya terdiam, saling mengingat sesuatu di ruang rawat tadi.Masih terlihat dengan jelas dalam bayangan Sofia bagaimana jemari Zein dan Inda menyatu dengan erat. Begitu juga dengan Inda yang melihat adik iparnya menyuapkan sepotong apel pada Zein, mekipun mantan, rasanya aneh sekali kalau harus bersama Sofia.“Aku dan Zein dulu memiliki hubungan, sebelum akh
'Hmmm... sepertinya memang ada yang tidak beres' batin Jiddan mulai curiga.'dalam 3 hari ke depan, semua akan terkuak' lanjutnya.Data asli hasil tes sudah di tangan Jiddan, sengaja ia copy untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu, seperti berkas yang hilang dari ketua penerima beasiswa.Step pertama ia akan memeriksa data yang di miliki oleh Dani. Ia segera menelponnya memastikan dia berada dalam ruangannya atau tidak."Halo Pak, Assalamu'alaikum," ucapnya."Wa'alaikumussalam Pak Jiddan," jawab Dani. "Ada yang bisa saya bantu Pak?" lanjutnya basa basi."Apa Bapak ada di ruangan sekarang?""Iya Pak, saya di sini,""Bisa saya melihat berkas data mahasiswa Mesir Pak? semuanya," tanya Jiddan langsung kepada inti."Bisa Pak, ada yang sudah diprint dan bentuk FD Pak, Bapak perlu yang mana?" tawar Dani."Se... muanya Pak," Jiddan menegaskan."Baik Pak, saya siapkan,""Saya akan ke ruangan Bapak 5 menit lagi ya Pak,""Baik,"Telepon telah ditutup. Jiddan mengambil nafas dalam-dalam, lalu men
Waktu berjalan melambat, Kana tak sanggup lagi mengatur jantungnya yang berdegup begitu kencang, tercengang karena tatapan tajam yang menerjang dirinya seketika.“Kana!” ucap Jiddan heran.“Maaf Pak Yai, tadi Pak Yai yang menyuruh saya masuk Pak,” jelas Kana menunduk ketakutan.“Saya tidak sadar, maaf, hari ini saya terlalu capek sekali memikirkan masalah pekerjaan,” Jiddan mengerjapkan mata menyadarkan diri.“Apa mau saya bantu pijit Pak?” ceplos Kana.Ya, maklum saja dengan prilaku Kana yang cenderung berani melakukan apa saja pada kyai mudanya. Karena pendidikannya yang hanya sampai tamatan SMA, membuat wanita itu berbeda dengan wanita lain yang Jiddan kenal yang memiliki beground pendidikan pesantren, apalagi untuk disamakan dengan istrinya, sama sekali tidak bisa disamakan.“Eh? Tidak Kana terimakasih,” tolaknya.“Baik Pak Yai, saya permisi ke dapur lagi,” masih menunduk membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tuan tampan.Berjalan menuju dapur, Kana tak henti membayangkan tatapan
Ceg kleeek...Suara pintu perlahan terbuka.‘wanita itu, posisi tidurnya persis sekali dengan Inda’ batin Jiddan saat melihat Naya sudah terkulai di atas permadani biru bercorakkan bunga-bunga. Dengan posisi miring ke kanan, dan telapak tangan menjadi bantalannya, tampak seperti putri yang tertidur di atas hamparan bunga.Jiddan melangkah mendekati pemilik alis tebal itu, memandanginya sebentar.‘maafkan aku santriku, aku terlalu sibuk dengan duniaku, hingga aku melupakan kewajibanku, melupakan janjiku’ batinnya menyesal.Tak terasa lutut kaki menekuk hingga menyentuh permadani, menjadikan tubuhnya dekat dengan wanita yang tertidur pulas itu.“Pak Kyai, Kana minta maaf, ini salah Kana Kyai,” ratapnya memelas, ia sudah duduk simpuh pada jarak tiga langkah dari mereka.Jiddan pun menoleh, lalu mengisyaratkan dengan jari telunjuknya agar Kana tidak bersuara karena takut membangunkan Naya.Akan tetapi Naya adalah type manusia yang jika mendengar sedikit suara saja ia akan terbangun dari