Jum’at, 13 maret 2023. Acara akad dan walimatul ‘ursy akan dilaksanakan. Semua persiapan selama tiga minggu lalu telah berbuah pada hari ini.Koordinasi pengurus yang sangat solit hingga terlihat begitu memuaskan. Mulai dari pengaturan para santri, tata letak dekorasi, serta sususan acara telah siap dimulai pada detik ini.Acara sakral, yaitu pengucapan janji suci, akan segera dimulai. Para tamu agung mulai berbondong menuju masjid dengan pelataran yang sangan indah. Dikhiasi bunga-bunga cantik bernuansa putih hijau, kursi-kursi yang berjejer rapi berselimutkan putih, karpet merah yang terbentang Panjang hingga tangga masjid yang sudah di dekor lengkungan bunga di depannya sebagai tempat penjemputan mempelai wanita saat ijab qabul telah dilantunkan. Semua tersusun rapi dan sangat khidmat.“Jidan sudah siap?” tanya penghulu.“Insyallah siap,” jawabnya mantap.“Ankahtuka wazawwajtuka Inayatu Shalihah binti H. Hasan Asy-Syadzuli bi mahril madzkur haaaalan,”“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha
“Zein... mengapa kamu meninggalkan aku? apa kamu tahu aku membutuhkanmu Zein,” ratap Inda pada pria tampan yang telah menghilang selama 2 tahun silam. Hari itu begitu indah, cerah nan sejuk yang terlihat hanya pemandangan alam dengan kabut putih yang tersorot cahaya matahari. Inda berjalan menyusuri taman bunga yang terhampar sejauh mata memandang. Ia duduk di kursi kayu tepat di bawah pohon yang daunnya berwarna kemerahan, entah apa namanya, yang jelas pohon itu adalah pohon satu-satunya yang berada di taman bunga tersebut. Pria tampan dengan rambut sedikit panjang, bagian depan terbelah dua ala Angga Yunanda, kulitnya putih tubuhnya berisi, semakin terlihat perfect dengan outfit kaos dan celana jeansnya. Ia menghampiri wanita yang tengah duduk menatapi bunga, lalu duduk di sampingnya dan menggenggam tangannya. Sambil menatap pria itu dalam-dalam ia balas genggamannya erat, lalu memeluknya sambil terisak. “Inda, aku tidak akan pernah membiarkanmu tersakiti, aku tetap bersamamu dis
Bencana yang tidak disadariSetelah shalat maghrib di Masjid, Jiddan langsung kembali pulang, ingin mengatakan sesuatu pada istrinya, yang sedari sore tadi ia mencoba melatih dan memilih kata dalam fikirannya yang akan ia sampaikan..Kini keduanya berada di ruang keluarga, lampu kuning menjadi latar suasana obrolan mereka, tidak ada televisi yang menyala atau HP yang sedang dimainkan. Keduanya santai saling menatap.“Inda... maaf aku harus mengatakan ini,” Jiddan memulai pembicaraan. Diambillah tangan putih halus di hadapannya itu, dan menggenggamnya dari punggung tangan. Insting Inda sudah melayang menerka perkataan yang akan diucapkan sang suami.“Menurut saya, alangkah baiknya kita menuruti perintah Abi, sekarang beliau sudah tidak ada, kitalah yang menggantikannya,” lanjutnya dengan hati-hati.Jiddan langsung membicarakan inti percakapannya malam ini. Wajah cantik Inda mulai menangkap segala isi dan maksud dari perkataan suaminya yang merupakan keinginan mertuanya.“Apa itu arti
Hari menunjukkan pukul 8:10, itu artinya kurang dari satu jam pesawat akan lepas landas. Tegang sekali, bukan hanya dirinya, tapi seisi mobil pun ikut dalam ketegangannya.“Tenang Nda, waktu masih lama, paling sebentar lagi sudah tidak macet,” suara lirih Jiddan dari kursi depan menenangkan Inda yang gugup setengah mati.“Memang ada apa sih di depan itu, ko sampai tidak bisa jalan sama sekali?” tanya mamah Inda yang duduk di sebelahnya. “Entah” lalu dijawab sama dengan supir dan umi Jiddan.20 menit berada dalam kemacetan, akhirnya mereka terbebas dan melaju dengan cepat seperti anak burung yang di lepas dari sangkarnya.“Oh ternyata truk angkutan barang yang mogok toh!” kata umi Jiddan, serempak sorot mata mereka tertuju pada truk yang di gerek dengan mobil lain di depannya.***Inda harus mempercepat langkahnya, ia hanya membawa 1 koper besar dan kecil untuk di bagasi dan 1 koper kecil lagi untuk di kabin, untuk mempermudah perjalanannya.Lima orang tersisa yang mengantri di sana, s
Mereka sudah sampai pada permukaan pukul 09: 45. Suasana airport selalu ramai, mereka berdiri di area masjid hendak memesan uber. Namun belum berhasil mereka memesan uber, datang laki-laki paruh baya menawarkan tumpangan.“Assalamu’alaikum,” bapak itu mengucapkan salam, dengan logat penduduk Mesir pada umumnya.“Wa'alaikumussalam,” jawab mereka sambil memandangi laki-laki paruh baya itu.“Apa kalian mau naik taxi saya? Hanya 30 pound saja untuk kalian,” lanjut bapak itu menawarkan taxinya dengan bayaran yang kurang masuk akal, karena hanya separuh yang diminta dari harga biasa yang ditarifkan oleh supir taxi lain.Inda dan Rena saling berpandangan, tidak yakin dengan bapak itu, mereka hanya tersenyum dan menolak halus tawaran laki-laki yang bertubuh tegap dan masih segar bugar itu.“tenang, kalian jangan takut, saya Amu Isom, saya biasa memberikan tumpangan pada orang asing seperti kalian ko,” bapak itu meyakinkan mereka karena bukan hanya mereka yang pernah menolaknya, kebanyakan ala
Di rumah umi, di meja makan, beberapa menu makan malam sudah lengkap tersaji. Hanya ada Jiddan, umi dan adik bungsunya di rumah megah itu. Ia kini tinggal bersama ibundanya, jika sebelumnya ia mengontrak bersama Inda di kawasan tak jauh dari pesantren.“Ayo makan dulu Nang, Sofia,” seru umi Rukoyyah pada Jiddan yang duduk di sofa ruang tamu sedang membaca buku, dan adiknya yang sedang bersantai dengan ponselnya.Mereka bergegas ke meja makan. Suasana terasa amat ganjil karena tidak adanya kyai Nur juga Inda yang sudah menjadi keluarga ini, kedua adik laki-lakinya pun tengah merantau di Jogja sejak 2 tahun lalu.“Pondok putri bagaimana Nang? Semua baik-baik saja?” tanya umi di sela-sela makan.“Aman Mi, Jiddan mendapat bimbingan penuh dari Pakde Khairul,” jawabnya diiringi suapan nasi ke mulutnya.“Besok pagi mereka mengadakan acara pentas seni, dihadiri oleh beberapa guru,” jelasnya.“Inda bagaimana? sudah menghubunginya belum?” tanya umi ingin mengetahui kabar menantunya.“Belum ada
“Ren... keamanan PPMI!” senggol Inda memberikan ponselnya pada Rena. Suara itu sungguh mengejutkan, hingga ia tak mampu untuk menjawabnya. “J 3251 nomor platnya ka, taxi putih, supirnya memakai rompi hitam. Kami berada di belakang mobil pribadi merah ka,” beber Rena, sambil menoleh ke arah belakang mencari sang penelpon. Beberapa menit kemudian muncul dua lelaki berhelm, dengan tubuh dibalut jaket kulit, memakai motor besar mencoba menyusul taxi mereka. Sadar mobil mereka diikuti, sang supir pun tidak tinggal diam, bereaksi menghalau setir ke kanan, searah dengan pengendara lain yang berada di sisi kanan. Mereka berhenti tepat di halaman toko pizza Abu Ali, berbarengan dengan motor dua pria di belakang. “Ada apa kalian mengikuti saya?” tanya bapak paruh baya itu yang sudah berada di hadapan mereka. Diikuti dengan keluarnya dua wanita dari dalam mobil. “Kami dari ketua keamanan mahasiswa Indonesia, telah dilaporkan bahwa bapak membawa dua mahasiswi kami dan memaksa meminjam paspo
Pria itu hanya terdiam menatap, mencerna apa yang dikatakan Inda.“Maaf, saya dari Singapur, saya hanya bisa berbahasa Inggris dan Arab saja,” pria itu tersenyum ramah pada Inda. Pria tampan, dengan lesung pipit di wajah itu, beberapa detik memamerkan sederet gigi putihnya, melihat perubahan wajah Inda yang mulai merona ke merahan karena malu.“Oh... maaf sekali, Saya kira kamu orang Indonesia,” wajahnya semakin merona.“Tidak apa-apa, Indonesia dan Singapur itu sama-sama Asia,” jawab pria itu mengakrabi dua wanita yang tersipu dihadapannya.“Kalau begitu kami pergi dulu, thank you ya,” izin Inda tidak mau berlama-lama malu di hadapan pria itu.Mereka membalikkan badan dan berlalu menyeberangi jalan. Rena masih terkekeh melihat tingkah Inda yang salah orang barusan. Sudah faham sahabatnya itu memang sembrono dalam memilih tindakan.“Hahaha... makannya Inda, tanya dulu, orang asing di kota ini kan bukan hanya Indonesia saja,” Rena menggoda dan tertawa lepas.“Ya mana ku tahu, lagian d