Bayi cantik dan putih. Pelengkap kebahagiaan suami dan istri keduanya. “Andai kamu ikhlas menggauliku, mungkin kamu juga punya anak dariku.” ucap Safina, mengharapkan yang tidak pasti. Ngeak! Suara tangis bayi terngiang-ngiang di telinga Safina. “Bayi cantik itu menangis. Aku pingin menggendongnya,” kata Safina, perlahan memasuki kamar Angga. Safina meremas jemari lentiknya. Bibir berusaha tersenyum. Mungkin ia terharu dan bahagia melihat bayi itu. Ia melupakan sejenak kebenciannya kepada ketiga orang yang selalu menyakitinya, karena ingin turut merasakan kebahagiaan atas kehadiran bayi di rumah. “Boleh aku menggendongnya?” tanya Safina. Sandra menoleh ke Safina. Tersenyum sinis. Safina mengira ada perubahan sikap pada Sandra setelah melahirkan. “Jangan sentuh anakku! Gak usah sok baik di situ!” gertak Sandra. Angga menyindir Safina, “Ngapain kamu di situ? Di dapur aja masak!” Pekerjaan Safina sudah selesai. Ia ingin kembali ke rumah tua kosong tersebut untuk mengambil pons
“Dari mana kamu?”Merliam dan Sandra menyambut Safina. Mereka tidak senang melihat Safina bersantai tanpa mengerjakan pekerjaan rumah. Sandra memberikan tumpukan baju bayi kotor untuk di cuci manual, ia tidak ingin baju anaknya dimasukkan ke dalam mesin cuci.“Mbak! Cucikan baju anakku, yah! Jangan dicuci pakai mesin cuci nanti cepat rusak!” perintah Sandra.Safina menghelakan napasnya. Terpaksa ia harus menerima tambahan pekerjaan rumah. Lantas, Bagaimana dengan karya tulisannya? Safina tidak punya banyak waktu di sana untuk fokus menyelesaikan tulisannya.Walaupun sudah ada asisten rumah tangga yang menemaninya, tetapi Merliam tetap mengharuskan Safina ikut mengerjakan pekerjaan rumah, sebab sudah menjadi perjanjian di pernikahannya dengan Angga.“Mas, di sini, kan sudah ada Mbok Inam yang membantu pekerjaan di rumah. Bisakan aku berbagi pekerjaan?” pinta Safina.Angga berdiri dengan pakaian yang sudah rapi. Ia malas untuk berdebat dengan Safina.“Bukan urusan aku. Ingat perjanjian
“Kurang apalagi aku, Mas?! Bahkan, aku rela mengurus bayimu dengan cinta.” Saat ini, pengorbanan yang dilakukan Safina tidak mengharapkan lagi apa pun dari suaminya. Bahkan, ketika suami dan istri keduanya yang sakit-sakitan kerap memintanya untuk mengurus semua kebutuhan mereka, itu bukan karena ingin mendapatkan belas kasian Angga dan Sandra, melainkan untuk menepati janji. Pada saat Sandra ingin keluar kamar mengambil anaknya yang sedang bersama Safina, tiba-tiba menjerit kesakitan karena tubuhnya sangat lemas setelah berkali-kali muntah, padahal belum ada makanan yang ditelan oleh tenggorokannya. “Safina?! Mana anakku?!” teriak Sandra dengan lemas. Safina terkejut mendengar suara Sandra yang tidak biasanya berteriak dengan nada rendah. Ia meninggalkan pakaian yang sedang dilipatnya, kemudian menggendong dengan perlahan bayi Sandra. Setelah melihat Sandra berdiri dengan membungkukkan sedikit badannya dan paras kemerah-merahan. Ia cepat menidurkan kembali bayi Sandra di kamar,
“Jangan sakit sayang!” Menggendong dan mencium kening Sandra. Angga seorang diri membawa istrinya ke rumah sakit. Safina menyaksikan dengan matanya sendiri bahwa pria itu sepenuhnya menjadi dirinya yang sejati hanya di hadapan orang yang dicintainya. Sikap dan gaya bicaranya sangat tulus dan mendalam kepada Sandra. “Izinkan aku mengambil bayimu dan tidur bersamaku di kamar, Mas!” pinta Safina dengan ikhlas. Jelas Angga tidak merespon permintaan Safina, karena ia fokus dengan kondisi Sandra. Ia pun melajukan mobilnya ke rumah sakit. Safina sudah terbiasa dengan sikap Angga seperti itu. Walaupun, tidak ada jawaban ia mengambil bayi tersebut dan mengurusnya. Bayi itu merasa tenang ketika dipeluk, digendong, dan sesekali keningnya di cium oleh Safina. “Hey, cantik! Kamu jangan rewel, yah! Pokoknya, seharian kita bisa bersama,” kata Safina dengan suara lembutnya. Safina tinggal sendiri di rumah. Dia punya waktu untuk memberikan kabar kepada sahabatnya. Kring! Kring! “Yah, Safina?
“Mas, aku capek. Bisa istirahat sebentar, nggak?” Dengan wajah lelahnya, Safina menundukkan kepala. Ia berusaha mengurangi rasa gugup. Ia ingin membaringkan tubuhnya sebentar di samping suaminya—Angga Wirawan. Angga melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 06:00 pagi. Hari masih pagi, tapi Safina mau istirahat? Sebenarnya, apa yang baru Safina lakukan sampai terlihat kelelahan seperti ini? “Kamu mau istirahat?! Ini jam berapa, Safina?!" tanya Angga, ketus. "A—aku ... sebelum subuh, aku udah bangun," jawab Safina, terbata. Benar! Safina tidak mengada-ada. Safina selalu bangun lebih awal daripada siapapun di rumah ini. Status sebagai seorang Istri sama sekali tidak pernah dianggap oleh Suami dan keluarganya. "Mas, selama jadi istrimu, aku mengerjakan semua pekerjaan rumah. Apakah aku istri atau pembantu, tidak ada bedanya, Mas. " Keluarga Dwicahyo tidak memiliki asisten rumah tangga. Maka, Safina sendiri yang mengerjakan pekerjaan rumah. Mencuci pakaian seluruh an
“Aduh, Bu! Jangan berharap ketinggian!” Bukannya mendapatkan pembelaan dari suaminya, Angga justru hanya menambahkan luka di hati Safina. “Coba Ibu pikir! Emangnya dia bisa ganti kebaya Ibu? Uangnya dari mana, Bu?” Angga menghampiri Merliam dan merangkulnya, tanpa membantu Safina berdiri. “Ayahnya aja menyerahkan dia ke kita untuk melanjutkan hidupnya. Belum lagi, Ayah dan Ibu harus menanggung biaya pengobatan Ibunya Safina yang sakit-sakitan.” Bagaimana pun juga, Ibu kandung Safina adalah Ibu mertuanya. Haruskah Angga merendahkan keluarga Safina seperti itu? Bagi Safina, semua ini terasa seperti mimpi buruk yang tiada berakhir. Belum pulih dari duka kehilangan Ayahnya akibat kebakaran di toko milik orang tua Angga, rasa nyeri luka bakar di wajahnya masih menghantuinya. Kini, ia harus menghadapi kesakitan yang lebih dalam lagi pada pernikahannya. "Mas, aku memang dari keluarga kurang mampu, tapi aku janji akan ganti kebaya Ibu. Tolong beri aku waktu!" Safina meyakinkan
“Suasana rumah kenapa jadi sepi? Aku tidak mendengar suara Mas Angga. Apa dia sedang berduaan dengan Sandra? Sandra adalah anak dari salah satu teman sosialita Merliam. Parasnya cantik, dan ia adalah lulusan terbaik di Universitas ternama di luar negeri. Tentunya, Safina kalah dari segala sisi jika dibanding dengan Sandra. Safina memang kalah dari segi kecantikan dan pendidikan, tetapi ia unggul dalam ketulusan dan kesabaran. “Sayang sekali kamu, Sandra. Kamu cantik dan pintar, tapi kenapa mau jadi perebut suami orang?” Malam yang dingin, di balik jendela terdengar suara rintik hujan. Ketika Angga tidak di kamar, Safina memanfaatkan kesempatan itu untuk menulis. Menulis adalah hobi Safina dan ia tidak ingin Angga mengetahui hobinya tersebut. Tok! Tok! Tok! Seseorang mengetuk pintu kamar. Safina membukanya. Ia melihat Angga dan Merliam berdiri. Di tangan Angga, terdapat kotak hadiah berwarna merah marun berukuran sedang. Safina kaget melihatnya. Ia curiga dengan sikap m
Safina tidak memiliki alasan untuk menolak permintaan Angga. Sebab, ia tidak ingin kehilangan suaminya. Ia juga tidak memiliki banyak uang untuk pengobatan Ibunya. Tapi, tidak ada salahnya mencoba satu kali lagi, kan? Safina menggenggam kedua tangan Angga. Ia memohon , “Mas, tolong bahagiakan aku kali ini! Hari ini ulang tahun pertama pernikahan kita,” Angga buru-buru menepis tangan Safina. "Jangan sentuh aku!" pekik Angga. Angga berteriak, “kamu kan sudah nenyadari, bahwa dirimu nggak pantas mendampingiku. Sekarang, saatnya kamu tunjukkin sikap kamu ke semua orang! Aku tunggu kamu di bawah!" Angga membalikkan badan. Lalu, pergi meninggalkan Safina disusul oleh Merliam. Safina pasrah. Ia mengikuti langkah Suami dan Ibu mertuanya. Acara ulang tahun pernikahan Safina dan Angga diadakan di pinggir kolam renang. Dekorasinya sangat meriah. Bahkan, Safina sempat-sempatnya merasa tersanjung atas kemewahan acara ini. Safina berdiri di bawah pepohonan rindang. Ia tampak ti
“Jangan sakit sayang!” Menggendong dan mencium kening Sandra. Angga seorang diri membawa istrinya ke rumah sakit. Safina menyaksikan dengan matanya sendiri bahwa pria itu sepenuhnya menjadi dirinya yang sejati hanya di hadapan orang yang dicintainya. Sikap dan gaya bicaranya sangat tulus dan mendalam kepada Sandra. “Izinkan aku mengambil bayimu dan tidur bersamaku di kamar, Mas!” pinta Safina dengan ikhlas. Jelas Angga tidak merespon permintaan Safina, karena ia fokus dengan kondisi Sandra. Ia pun melajukan mobilnya ke rumah sakit. Safina sudah terbiasa dengan sikap Angga seperti itu. Walaupun, tidak ada jawaban ia mengambil bayi tersebut dan mengurusnya. Bayi itu merasa tenang ketika dipeluk, digendong, dan sesekali keningnya di cium oleh Safina. “Hey, cantik! Kamu jangan rewel, yah! Pokoknya, seharian kita bisa bersama,” kata Safina dengan suara lembutnya. Safina tinggal sendiri di rumah. Dia punya waktu untuk memberikan kabar kepada sahabatnya. Kring! Kring! “Yah, Safina?
“Kurang apalagi aku, Mas?! Bahkan, aku rela mengurus bayimu dengan cinta.” Saat ini, pengorbanan yang dilakukan Safina tidak mengharapkan lagi apa pun dari suaminya. Bahkan, ketika suami dan istri keduanya yang sakit-sakitan kerap memintanya untuk mengurus semua kebutuhan mereka, itu bukan karena ingin mendapatkan belas kasian Angga dan Sandra, melainkan untuk menepati janji. Pada saat Sandra ingin keluar kamar mengambil anaknya yang sedang bersama Safina, tiba-tiba menjerit kesakitan karena tubuhnya sangat lemas setelah berkali-kali muntah, padahal belum ada makanan yang ditelan oleh tenggorokannya. “Safina?! Mana anakku?!” teriak Sandra dengan lemas. Safina terkejut mendengar suara Sandra yang tidak biasanya berteriak dengan nada rendah. Ia meninggalkan pakaian yang sedang dilipatnya, kemudian menggendong dengan perlahan bayi Sandra. Setelah melihat Sandra berdiri dengan membungkukkan sedikit badannya dan paras kemerah-merahan. Ia cepat menidurkan kembali bayi Sandra di kamar,
“Dari mana kamu?”Merliam dan Sandra menyambut Safina. Mereka tidak senang melihat Safina bersantai tanpa mengerjakan pekerjaan rumah. Sandra memberikan tumpukan baju bayi kotor untuk di cuci manual, ia tidak ingin baju anaknya dimasukkan ke dalam mesin cuci.“Mbak! Cucikan baju anakku, yah! Jangan dicuci pakai mesin cuci nanti cepat rusak!” perintah Sandra.Safina menghelakan napasnya. Terpaksa ia harus menerima tambahan pekerjaan rumah. Lantas, Bagaimana dengan karya tulisannya? Safina tidak punya banyak waktu di sana untuk fokus menyelesaikan tulisannya.Walaupun sudah ada asisten rumah tangga yang menemaninya, tetapi Merliam tetap mengharuskan Safina ikut mengerjakan pekerjaan rumah, sebab sudah menjadi perjanjian di pernikahannya dengan Angga.“Mas, di sini, kan sudah ada Mbok Inam yang membantu pekerjaan di rumah. Bisakan aku berbagi pekerjaan?” pinta Safina.Angga berdiri dengan pakaian yang sudah rapi. Ia malas untuk berdebat dengan Safina.“Bukan urusan aku. Ingat perjanjian
Bayi cantik dan putih. Pelengkap kebahagiaan suami dan istri keduanya. “Andai kamu ikhlas menggauliku, mungkin kamu juga punya anak dariku.” ucap Safina, mengharapkan yang tidak pasti. Ngeak! Suara tangis bayi terngiang-ngiang di telinga Safina. “Bayi cantik itu menangis. Aku pingin menggendongnya,” kata Safina, perlahan memasuki kamar Angga. Safina meremas jemari lentiknya. Bibir berusaha tersenyum. Mungkin ia terharu dan bahagia melihat bayi itu. Ia melupakan sejenak kebenciannya kepada ketiga orang yang selalu menyakitinya, karena ingin turut merasakan kebahagiaan atas kehadiran bayi di rumah. “Boleh aku menggendongnya?” tanya Safina. Sandra menoleh ke Safina. Tersenyum sinis. Safina mengira ada perubahan sikap pada Sandra setelah melahirkan. “Jangan sentuh anakku! Gak usah sok baik di situ!” gertak Sandra. Angga menyindir Safina, “Ngapain kamu di situ? Di dapur aja masak!” Pekerjaan Safina sudah selesai. Ia ingin kembali ke rumah tua kosong tersebut untuk mengambil pons
“Sayang?”Safina penasaran dengan maksud pernyataan Randy yang terdengar begitu serius. Belum pernah ia mendengar Randy mengucapkan hal serupa sebelumnya.“Serius gak sih Randy dengan ucapannya tadi?” tanya Safina.Safina mengggosok-gosok paras dan daun telinganya, berharap ia salah dengar. Namun, pernyataan Randy terus berputar di kepalanya, mengingat kembali sikap dan kebaikannya selama ini.Safina meluruskan pikirannya, tenang, dan bersikap seperti biasanya.Dalam hati Safina bertanya, kemudian tertawa, “Jangan pikir macam-macam kamu, Safina!”Sedangkan Randy pada saat mengemudi mobilnya, baru menyadari ucapannya kepada Safina. Ia sendiri bingung mengapa kata-kata itu bisa keluar begitu saja dari mulutnya. Meskipun, tidak ada niat tertentu, tetapi dia sadar bahwa perasaannya terhadap Safina lebih dari sekadar teman.Randy menganggap Safina adalah sahabatnya yang baik dan layak diperlakukan dengan baik pula. Sehingga, sangat menyayangkan seseorang dengan mudah menyakitinya. Ia tidak
“Mas!”Berontak Safina tidak ada artinya untuk Angga. “Tolong, aku Rand! Oh, Tuhan kapan aku bisa menikmati duniaku dengan bahagia?” jerit Safina, air mata menemani kesedihan Safina.Angga, selain dengan watak yang angkuh, ia mempunyai kepribadian ganda. Kenapa seperti itu? Di satu sisi kata-kata dan sikapnya menunjukkan ketidakpedulian, bahkan kebencian, tetapi di sisi lain tindakannya menunjukkan bahwa dia masih membutuhkan Safina dalam hidupnya.“Setiap hari kalian harus ke sini mengawasi perempuan itu, agar dia tidak kabur dari rumah ini! Mengerti?!” tegas Angga kepada pengawal.Safina mendengarkan perintah Angga kepada pengawal. Setelah Angga berbicara, pengawal Angga memberikan kode kapada Safina.“Apa maksud isyarat pengawal tersebut?” tanya Safina, menatap dengan perasaan jijik.Walaupun Angga tidak mencinta Safina bahkan membiarkan Safina terusir dari rumah mertua dan tinggal seorang diri, setelah berpulang dari luar kota, ia memerintahkan pengawalnya setiap hari mengunjungi
“Rasanya, aku ingin kabur dari rumah ini.”Karena Safina berpikir sudah lama ia berbakti di keluarga Dwicahyo. Sudah banyak pengorbanan air mata dan tenaga ia keluarkan untuk keluarga tajir tersebut.“Randy, bisa gak kamu bantu aku jauh dari keluarga Dwicahyo?” pinta Safina kepada Randy.Randy masih berpikir. Apakah ia harus mengikuti keinginan Safina yang dadakan atau adakah solusi lain buat ketenangan Safina?“Kamu mau ke mana?” tanya balik Randy.Safina pun tidak tahu entah ke mana ia harus pergi. Kembali ke rumah orang tua juga tidak mungkin, sebab mereka masih mudah menemukannya.“Entah ke mana aja, Ran. Lagian mereka tidak mencariku, kok. Aku ini tidak ada artinya untuk keluarga berada seperti mereka,” jawab Safina.Mendengar jawaban Safina, Randy belum bisa membiarkan Safina meninggalkan rumah itu dan mengingat Safina belum resmi bercerai dengan Angga. Ia hanya bisa menjaga Safina dan segera ada untuknya ketika Safina meminta pertolongan.“Kamu jangan dulu keluar dari rumah itu
“Selama aku masih di rumahmu, aku sangat mengharapkan keajaiban datang.”Berjalan menelusuri pasar dengan tatapan kosong. Pikirannya jadi bingung, padahal di rumah sudah merencanakan apa yang ingin ia beli di pasar.Batinnya kembali bersedih.Safina menggerutu dalam hati. “Aku ingin melupakan suami yang ada di buku nikahku, tapi Ibunya selalu menghantuiku.”Hingga ada seseorang yang menyambarnya, barulah Safina sadar apa yang ingin ia beli di pasar.“Mbok! Beli telurnya sepuluh butir, yah!” pinta Safina.Mbok penjual telur menatap netra Safina yang sedang berkaca-kaca, “Neng, kok baru ke sini?”“Baru ada rezeki, Mbok,” jawab Safina dengan datar.Setelah membeli telur, ia langsung pergi. Biasanya Safina tinggal dulu bercengkerama dengan Mbok penjual telur itu. Sepanjang jalan pulang dari pasar, air keringat mengalir kencang dan jantung berdebar.“Safina! Apa itu Safina?” tanya Randy, merasa senang akhirnya menemukan Safina.Pip! Pip!Randy membunyikan klakson mobilnya. Ia turun dari mo
“Lupakan sejenak tuntutan mertua. Ekspresikan segala gundah gulana dalam sebuah tulisan!” Safina baru saja tiba di rumah. Tidak ada rasa lelah dalam berkarya, walaupun hampir seharian menjadi tukang cuci. “Semoga dengan kucurahkan isi hatiku, aku bisa lebih tenang!” Menulis sebuah cerita dan membukukannya adalah impian Safina sejak dulu. Namun, kesibukan pasca menikah membuatnya sulit mewujudkan impian tersebut. Mencurahkan isi hati pun hanya bisa dilakukan saat ia memiliki waktu luang dan menyendiri. “Tibalah waktunya kuwujudkan impianku sedari dulu!" tegas Safina. Berjam-jam Safina menulis, sehingga lupa memanjakan perut dan bola matanya dari kegiatan duniawi. Akhirnya, dengan semangat dan ketenangan, ceritanya sudah selesai. Selanjutnya, ia menggunakan kelincahannya mencari berbagai informasi di media sosial, agar tulisannya banyak yang membacanya. “Tulisanku sudah kubagikan di salah satu media sosial kumpulan cerita. Semoga semangatku membuahkan hasil,” tutur Safina, perasaa